Monday, December 31, 2012

Pemohon SIM tidak Wajib Beli Premi Asuransi


Pernah dengar Asuransi Bhayangkara? Itu adalah nama perusahaan asuransi yang memberikan pertanggungan terhadap risiko kecelakaan diri terhadap pemilik SIM. Namun, seiring banyaknya protes pemilik SIM, Asuransi Bayangkara tak ingin semata-mata bermain di asuransi khusus ini.

Pagi itu Gani –sebut saja anak muda berusia sekitar 25 tahun—pergi Kantor Samsat Polres Tulungagung, Jawa Timur, untuk keperluan memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM) C miliknya yang telah habis masa berlakunya. Dengan membawa SIM C dan KTP plus kopinya masing-masing dua lembar, Gani langsung menuju loket pendaftaran. Di sini, Gani diminta petugas agar terlebih dulu membuat surat keterangan dokter.

Gani lalu mendatangi klinik pemeriksaan yang berada di kompleks Samsat Polres Tulungagung. Sampai di tempat, dia menjumpai dua orang resepsionis di dekat pintu masuk klinik. Tanpa basa-basi, kata Gani, salah seorang perempuan respsionis tadi mengambil SIM C lama miliknya dan menyalin datanya ke dalam formulir isian data asuransi SIM. “Tiga puluh ribu rupiah mas, silakan tanda tangan di kuitansi ini,” pinta perempuan itu sebagaimana ditulis Gani melalui www.kaskus.us.

Gani tidak serta merta membayar. Dia terlebih dulu mempertanyakan apakah setiap pemohon SIM wajib membayar asuransi. Tapi, perempuan resepsionis itu mernjawab, “Bagaimana lagi mas, ini sudah terlanjur ditulis.” Tak ingin berdebat berkepanjangan, Gani langsung membayar premi asuransi SIM karena ingin cepat-cepat mengurus perpanjangan SIM C.

Gani hanyalah satu contoh pemohon perpanjangan SIM yang menggerutu lantaran merasa ‘dipaksa’ memberli premi asuransi terhadap risiko kecelakaan diri pemilik SIM yang selama ini dikelola oleh PT Asuransi Bhakti Bhayangkara. Padahal, tidak ada landasan hukum yang mewajibkan setiap pemohon SIM baru dan perpanjangan SIM harus memberli premi asuransi SIM.

Ketiadaan landasan hukum yang mewajibkan pemohon SIM mengikuti asuransi itu diakui oleh Manager Teknis Bhakti Bhayangkara Sabaria Tambunan. Katanya, kini bisnis asuransi SIM (khusus) tidak menguntungkan karena penjualannya saat ini sudah tidak lagi menjadi satu dalam sistem pembuatan SIM pengendara kendaraan. Hal ini, ujarnya lebih lanjut, karena kebijakan dalam pembuatan SIM tidak memberikan kewajiban membeli asuransi khusus ini. Sehingga bisnis ini cenderung tidak diminati oleh masyarakat dan penjualannya terus menurun.

"Bisnis khusus itu dulu dijual ketika pengendara sepeda motor membuat SIM, tapi sekarang sudah tidak diwajibkan dan terpisah dari sistem itu, sesuai dengan kebijakan yang ada. Jadi sekarang kami harus menawarkan dulu pada orang yang membuat SIM, dan tidak ada paksaan," jelas Sabaria Tambunan.

Sebab itu, Sabaria mengungapkan, PT Asuransi Bakti Bhayangkara akan melakukan ekspansi bisnis terutama pengembangan sejumlah lini asuransi umum, dari sebelumnya fokus pada asuransi khusus --asuransi kecelakaan diri dengan penjualannya yang dilakukan bersamaan dengan pembuatan SIM pengendara kendaraan.

Dia menambahkan komposisi bisnis asuransi khusus tersebut hingga 2010 lalu masih mendominasi portofolio bisnis perseroan mencapai 70%, sedangkan pada asuransi umum baru 30% yang nantinya akan terus ditingkatkan. "Tahun ini perseroan menargetkan porsi bisnis asuransi khusus dan asuransi umum bisa 50%:50% karena asuransi khusus dinilai sudah tidak menguntungkan lagi, seiring dengan pesatnya perkembangan bisnis asuransi saat ini," ujar Sabaria sebagaimana kami kutip dari bisnis.com belum lama ini.

Tahun 2011 lalu, PT Asuransi Bhakti Bhayangkara membidik pertumbuhan pendapatan premi sebesar 60% menjadi Rp80 miliar dibandingkan posisi sementara akhir 2010 sekitar Rp50 miliar. Sabaria Tambunan mengatakan target pertumbuhan pendapatan premi tersebut bersamaan dengan rencana ekspansi bisnis dan perluasan jaringan pemasaran perseroan pada tahun ini.

Pada tahun 2001, jelas Sabaria, perseroan menggenjot sejumlah lini bisnis asuransi umum seperti asuransi kendaraan bermotor, pengangkutan, engineering, dan  asuransi penjaminan proyek (surety bond). Selain itu, perseroan juga berencana untuk tetap melakukan pengembangan produk-produk baru dari general accident, dengan sejumlah nilai tambah yang diberikan, serta pemasaran yang berbeda dibandingkan sebelumnya.

"Kami akan terus menggalakkan pemasaran berbagai lini bisnis asuransi umum yang dimiliki, mulai dari properti sampai surety bond. Khusus properti, kami akan mematok harga sesuai referensi yang ada," tuturnya.

Sabaria menerangkan pada tahun 2011 lalu perseroan menambah jaringan pemasaran di Batam untuk penjualan produk-produk asuransi umum yang dimiliki. Untuk pemasaran asuransi umum, saat ini perseroan telah memiliki kantor cabang di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, serta kantor pemasaran meliputi Medan dan Pekanbaru. "Kalau untuk asuransi khusus, kami memiliki jaringan di kantor pembuatan SIM di seluruh Indonesia, tetapi kalau untuk penjualan asuransi umum dilakukan secara terpisah," jelasnya. *

Boks:
Tips Klaim Asuransi SIM
* Isi semua formulir yang disyaratkan lalu ajukan klaim ke kantor PT Asuransi Bhakti Bhayangkara terdekat.
* Surat keterangan dari kepolisian mengenai kecelakaan.
* Surat keterangan dokter tentang cacat yang terjadi akibat kecelakaan.
* Kopi SIM dan KTP yang masih berlaku.
* Kopi  kartu asuransi SIM yang masih berlaku. 

Belajar Historis Sebelum Merger BPJS


Oleh Achmad Mochtarom
Staf Pengajar Sistem Jaminan Sosial di STIA LAN Jakarta

Kekisruhan Pemerintah dan DPR dalam pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) semakin pelik dan rumit. Dalam penjelasannya, Pemerintah justru menginginkan adanya perubahan UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN. Padahal, tahun 2011 tidak diagendakan adanya revisi UU SJSN. Lalu, apakah pengesahan RUU BPJS harus ditunda terlebih dulu menunggu revisi UU SJSN?

Perselisihan BPJS tidak pernah berhenti, sejak UU SJSN ditetapkan justru pemerintah daerah dan badan pelaksana pemeliharaan kesehatan masyarakat menguji (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alhasil, UU SJSN pasal 5 ayat (2), (3) dan (4) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Putusan MK ini menyatakan bahwa Jamsostek,Taspen, Asabri dan Askes bukanlah BPJS yang dimaksud UU SJSN.

Namun, karena pasal 52 –yang memerintahkan keempat BUMN jaminan sosial itu untuk melakukan penyesuaian masih berlaku—maka BUMN tersebut hingga kini dikejar-kejar untuk menyesuaikan diri dengan UU SJSN. Putusan yang kontradiktif ini tentu menimbulkan ketidak-pastian hukum terhadap bentuk badan hukum, program yang dikelola dan kepesertaan dari Jamsostek, Taspen Asabri dan Askes dalam penyelenggaraan jaminan dan asuransi sosial bagi pekerja sektor swasta, PNS, pejabat negara, dan TNI-Polri. Sebelum memformat Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes, terlebih dulu Pemerintah dan DPR mesti memahami aspek historis terbentuknya keempat BUMN tersebut.

Jamsostek misalnya, BUMN ini mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security. Program jaminan sosial tenaga kerja sektor swasta ini dibiayai dari iuran peserta dan pemberi kerja atau majikan. Berdirinya Jamsostek berawal dari amanat UU No.2/1951 tentang Kecelakaan Kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang Pengatruan Bantuan untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh, PMP No.15/1957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS).

Jaminan atau asuransi sosial tenaga kerja dirilis sejak diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Tepatnya pada tahun 1977, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.33/1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Sekalipun hanya PP, peraturan ini mewajibkan semua pemberi kerja atau pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikut-sertakan pekerjanya dalam program Astek.
Dalam rangka penyelenggaraan Astek tersebut, Pemerintah mengeluarkan PP No.34/1977 untuk membentuk sebuah BUMN berbadan hukum Perum yaitu Perum Astek. 

Penyelenggaraan Astek terus mengalami perbaikan sehingga terbitnya UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Perubahan asuransi sosial menjadi jaminan sosial didukung dengan perubahan bentuk badan hukum dari Perum menjadi Persero. Berdasarkan PP No/36/1995 PT Jamsostek ditunjuk sebagai BPJS tenaga kerja.
Kemudian Taspen. Seluruh kepala urusan kepegawaian dari seluruh departemen yang ada di Indonesia melakukan konferensi kesejahteraan aparatur negara pada tanggal 25-26 Juli 1960 di Jakarta. Konferensi memandang perlu adanya program kesejahteraan sosial bagi aparatur negara, yang kemudian ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pertama RI No.380/MP/1960 tanggal 25 Agustus 1960.

Hasil konferensi ditindak-lanjuti Pemerintah selaku pemberi kerja dengan menerbitkan PP No.9/1963 tentang Tabungan Asuransi Pegawai Negeri dan PP No.13/1963 pada tanggal 17 April 1963 sebagai dasar pembentukan badan penyelenggara dengan nama Perusahaan Negara Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri atau PN Taspen.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No.749/MK/IV/11/1970, pada tanggal 18 November 1970, PN Taspen berubah bentuk hukumnya menjadi Perum. Menyeimbangkan kemampuan kinerjanya maka pada tanggal 30 Juli 1981 Perum Taspen diangkat bentuk badan hukumnya menjadi perseroan PT Taspen berdasarkan PP No.26/1981.

Lalu Taspen ditunjuk menyelenggarakan Asuransi Sosial bagi Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No.25/1981. Program asuransi sosial PNS yang diselenggarakan PT Taspen hanya meliputi Tabungan Hari Tua (THT) dan Dana Pensiun.

Selain itu, PNS dan pejabat negara juga memperoleh program asuransi kesehatan PNS dari PT Askes. Program pemeliharaan kesehatan mulai diberlakukan kepada Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS dan ABRI) beserta anggota keluarganya sejak diterbutkan Keputusan Presiden (Keppres) No.22/1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi PNS, Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluargnya.

Namun sejak diterbitkan PP No.69/1991, kepsertaan pemeliharaan kesehatan diperluas pada veteran dan perintis kemerdekaan beserta keluarganya. Selain program wajib tersebut, program pemeliharaan kesehatan ini juga dapat diikuti secara sukarela bagi pegawai-pegawai badan usaha dan badan lainnya.

Program pemeliharaan kesehatan ini semula diselenggarakan oleh Menteri Kesehatan melalui Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang merupakan unit di lingkungan Departemen Kesehatan. Penyelenggaraan kesehatan tersebut dipisahkan dari Departemen Kesehatan ke Perusahaan Umum Husada Bhakti yang dibentuk berdasarkan PP No.23/1984. Untuk mendorong kemandirian penyelenggaraan maka Pemerintah mengeluarkan PP No.6/1992 yang mengubah status Perum menjadi Persero.

Sebagai wujud kepedulian Pemerintah terhadap kesejahteraan prajurit ABRI maka Pemerintah menerbitkan PP No.44/1971 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata. Untuk menyelenggarakan Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata tersebut, berdasarkan PP No.43/1971, pada Agustus 1971 Pemerintah membentuk sebuah BUMN dengan bentuk badan hukum Perum, yaitu Perum Asabri.

Seiring dengan kinerja perusahaan, Pemerintah menerbitkan PP No.68/1991 yang mengubah status Perum menjadi Persero. Saat ini PT Asabri menyelenggarakan program pensiun dan THT bagi jajaran TNI, Polri dan PNS di lingkungan Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Menyimak historis masing-masing BUMN penyelenggara jaminan sosial tersebut, menurut hemat penulis, ada sedikit kekeliruan dalam praktik. Hasil usaha (laba) selain digunakan untuk mencukupi pendanaan, sebagian disetor dalam bentuk deviden ke negara dan sebagian lagi dipergunakan untuk meningkatkan modal perseroan. Untuk mengatasi kekeliruan ini, Pemerintah dapat mengubah status perseroan menjadi Perum atau menjadi provider Pemerintah.

Hal tersebut sangat mungkin, karena secara bisnis BUMN perseroan hanya akan menerima management fee atas penyelenggaraan administrasi dan pelayanan serta pengelolaan dana (fund management). Bila permasalahan BPJS sudah teridentifikasi dan teratasi, maka saat ini Pemerintah dan DPR harus memikirkan agenda yang tidak kalah urgen, yakni membentuk BPJS bagi warganegara yang hingga kini belum tersentuh jaminan sosial. Bukan berupaya merger Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes dalam sebuah BPJS yang justru akan menghimpun masalah besar yang tidak pernah akan terselesaika. Untuk urusan rakyat, jangan pernah mencoba-coba. ***

Asuransi tidak Dibayar, TKI Terus Merana


Para TKI dan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) diwajibkan membayar asuransi sebagai salah satu bentuk perlindungan. Tapi, mengapa ratusan miliar rupiah klaim asuransi mereka tidak dibayar. Ke mana dana asuransi TKI itu menguap?  

Siti Rohanah binti Muhaimin Abdul, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Dusun Kembang Kuning RT 03/04, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, harus menerima kenyataan pahit. Harapannya dapat bekerja di luar negeri untuk menghidupi keluarganya di kampung pupus sudah. Tenaganya diperas selama 2 tahun 10 bulan tanpa dibayar upahnya. Ia mengaku sudah melaporkan kasus ini ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 19 Juli 2008. Tapi sang majikan, Moh. Abdul Aziz Shaleh Al-Ghamidi, yang bekerja sebagai tentara pengawal kerajaan tak memenuhi panggilan KJRI. Sang majikan terkesan tidak mau bertanggung-jawab.

Pihak KJRI Jeddah mengaku sudah beberapa kali mengontak sang majikan. Tapi, apa daya, janji tinggal janji. Gaji Siti Rohanah sebesar 27.040 Riyal (Rp77 juta) tetap tidak dibayar. Satu-satunya harapan Siti Rohanah dalam mewujudkan mimpinya tergantung pada perusahaan asuransi yang menjamin diri dan pekerjaannya selama Arab Saudi. Namun, lagi-lagi ia harus menelan pil pahit. Perusahaan asuransi Indo Duta Sembada, mitra PPTKIS yang mengirimnya ke Arab Saudi, sampai sekarang belum membayar klaim yang diajukannya.                                    

Kasus Siti Rohanah hanya salah satu dari semacam puncak gunung es kasus-kasus asuransi TKI yang tidak beres. Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) mencatat, selama September 2008-April 2009 sebenarnya ada sebanyak 16.621 TKI (dari 37 negara penempatan) belum menerima klaim asuransi dari lima konsorsium asuransi yang masuk daftar asuransi TKI. Klaim asuransi tersebut meliputi 15 jenis masalah yang dihadapi TKI saat bekerja di negara penempatan. Di antaranya dokumen tidak lengkap, gaji tidak dibayar, kecelakaan kerja, pelecehan seksual, penganiayaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, sakit akibat kerja, sakit bawaan dan hamil.

Dari sekian ribu klaim TKI itu, hanya tercatat 1,4% (232 orang) yang dapat dicairkan. "Itu pun hanya menerima 30%," jelas Ketua Umum Himsataki, Yunus M. Yamani, kepada Jaminan Sosial. Yunus Yamani mengakui bahwa angka jumlah 16.621 klaim asuransi TKI bermasalah adalah valid. Data tersebut diperolehnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kompar. Sejak tahun 2008, LBH Kompar memang diberi kuasa oleh Pemerintah untuk menyelesaikan berbagai klaim asuransi bermasalah dan TKI bermasalah. Lembaga ini bekerja sama dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesai (BNP2TKI).

Total klaim yang seharusnya dicairkan konsorsium asuransi tapi belum dibayar mencapai Rp365 miliar. Di antaranya, klaim asuransi sakit akibat kerja sejumlah Rp144 miliar (3.601 orang), klaim asuransi penganiayaan senilai Rp77,4 miliar (1.935 orang) dan klaim asuransi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak sebesar Rp39,8 miliar (5.784 orang). Berkaitan dengan PHK sepihak, rinciannya, PHK setelah kerja kurang dari dua bulan (1.256 TKI), setelah bekerja sekitar 2-3 bulan (746 TKI), setelah bekerja 3-4 bulan (459 TKI) dan setelah bekerja lebih dari 4 bulan (3.323 TKI).

Kesulitan pencairan klaim asuransi semacam itu jelas semakin menambah derita para TKI. Padahal, setiap pekerja yang akan berangkat ke luar negeri, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Asuransi Perlindungan TKI (SK Nomor 20/2007 dan SK Nomor 23/2007) dikenai premi asuransi Rp400 ribu. Premi itu harus dibayarkan oleh PPTKIS. Dalam lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Nomor 07/Men/VI/2010 ditegaskan bahwa TKI wajib membayar premi asuransi sebesar Rp400.000. Perlindungan atau proteksi diberikan kepada TKI agar mereka dapat bekerja di luar negeri dengan tenang sehingga kinerja dan kontribusinya terus meningkat. Pembayaran premi sebagai proteksi diberikan mulai dari masa pra-penempatan, penempatan hingga purna-penempatan (pasal 77 UU Nomor 39/2004). Memang, untuk memberikan jaminan perlindungan saat bekerja di luar negeri, sejauh ini, para TKI diwajibkan membayar premi asuransi sebelum berangkat bekerja di negeri orang. Kewajiban ini diatur oleh pasal 83 UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Pasal ini menegaskan bahwa setiap TKI wajib mengikuti program pembinaan dan perlindungan. Perlindungan itu kemudian diimplementasikan melalui keikut-sertaan TKI ke dalam program asuransi.

Kasus pencairan klaim asuransi TKI yang berlarut-larut ini menunjukkan secara jelas betapa perlindungan yang komprehensif bagi TKI, terutama bagi TKI di sektor informal, kurang memadai. Padahal, sesungguhnya, sudah begitu banyak masukan dan saran yang datang dari dalam negeri dan luar negeri. Tapi, semua itu seakan hanya dianggap angin lalu. Sebenarnya, aturan mainnya sudah ada, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun aturan pelaksanaannya. Hanya saja, semua itu ternyata cuma indah di atas kertas. Implementasinya masih sangat jauh dari harapan.

Lalu, sebenarnya, ke mana dana asuransi TKI menguap? Berdasarkan penelusuran Himsataki, ternyata banyak pihak yang mengambil keuntungan dari TKI dengan dalih asuransi. Konsep perlindungan terhadap TKI di luar negeri, antara lain melalui asuransi TKI, tampak belum sinkron antara semangat dan realita di lapangan. Banyak pihak mencari keuntungan materi (uang) dengan dalih asuransi. ***

Sunday, December 30, 2012

Komunitas Jamsosnas Indonesia (KJI)


Peduli pada Pembangunan Jaminan Sosial

Pelayanan kesehatan masyarakat sampai kini boleh dikatakan masih jauh dari merata. Warga masyarakat miskin sulit mengakses layanan kesehatan yang memadai. Pemerintah belum mampu menyediakan layanan kesehatan kepada seluruh warga masyarakat. Dengan begitu, warga masyarakat miskin harus pandai-pandai menjaga kesehatan agar jatuh lebih miskin lagi.
Pelayanan kesehatan baru tersedia secara memadai, misalkan, bagi 95,2 juta jiwa melalui jaminan kesehatan PT Askes, 4,4 juta jiwa melalui pelayanan Jamsostek, 2 juta Asabri, 5 juta Bapel, 8,8 juta jiwa asuransi komersial, 72,04 juta jiwa lewat Jamkesmas, dan 6,61 juta jiwa lewat PJKMU. Lalu, sebagaimana dilansir Kementerian Kesehatan RI (2010), sekitar 116,9 juta jiwa belum terjamin layanan kesehatan.
Siapa yang bertanggung-jawab memberikan layanan kesehatan pada mereka yang belum ter-cover tersebut? Tentu, pertama-tama, adalah pemerintah sebagai penyelenggara negara. Lantas, mengapa pemerintah tak jua memberikan layanan kesehatan yang memadai kepada warganya? Di tengah keprihatinan itulah, sejumlah tokoh berusaha memperjuangkan tersedianya jaminan kesehatan dan dan jaminan sosial lainnya yang menjadi hak warganegara. Ibarat lidi, bila sendirian maka tidak memiliki kekuatan, para tokoh tersebut kemudian berhimpun dan mendeklarasikan pembentukan wadah Komunitas Jamsosnas Indonesia (KJI) pada 16 Agustus 2010 di Jakarta.
Deklarasi KJI tersebut diprakarsai oleh Giri Suseno Hadihardjono dan Achmad Subianto. Dua pemrakarsa ini merupakan sosok yang kapasitasnya tidak perlu diragukan lagi, karena Giri Suseno telah banyak menyumbangkan pemikiran dan karya nyata selama menjadi Menteri Perhubungan Republik Indonesia dan Wakil Kepala BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis). Berdasarkan pengalamannya selama menjadi Pejabat Negara dan pensiun purna karya saat ini tentunya memberikan banyak inspirasi untuk membenahi kesejahteraan Aparatur Negara. Giri Suseno tak ingin nasib Pejabat Negara yang akan datang seperti apa yang dialaminya sekarang. Lebih dari itu, pada usianya yang sudah tidak lagi muda, Giri Suseno masih punya keinginan yang kuat untuk berbuat bagi kemanfaatan dan kemaslahatan bangsa-negaranya, yang di antaranya adalah turut memperbaiki sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat agar terhindar dari belenggu kemiskinan.
Pun demikian dengan Achmad Subianto, yang adalah salah satu putera bangsa yang punya semangat tinggi dalam membangun Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), serta telah menerbitkan buku yang unik dan langka yang berjudul Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pilar Penyangga Kemandirian Perekonomian Bangsa (2010). Berlatar belakang sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Departemen Keuangan, mantan Direktur Keuangan, SDM dan IT PT Garuda Indonesia, Deputi Kepala BPIS bidang Keuangan dan Pengawasan, mantan Sesmeneg Kementerian BUMN, dan terakhir dipercaya menjadi Direktur Utama PT Taspen, berkali-kali Achmad Subianto melakukan upaya bagi pengembangan SJSN. Serangkaian langkah reformasi SJSN yang telah dilakukan adalah (antara lain) transformasi PT Taspen sebagai penyelenggara jaminan sosial nasional berkelas internasional (world class), memprakarsai pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi PNS, dan pembayaran nilai tunai pensiun bagi PNS yang tidak berhak pensiun. Sekalipun kini telah purna karya, namun pemikiran dan gagasannya bagi upaya pembangunan SJSN tidak pernah berhenti.
Dalam deklarasi Komunitas Jamsosnas Indonesia (KJI) tanggal 16 Agustus 2010, para pendiri diwakili 5 (lima) orang yaitu selain Giri Suseno Hadihardjono dan Achmad Subianto; juga Progo Nurdjaman (mantan Sekjen Departemen Dalam Negeri dan mantan Ketua Umum DPN KORPRI), Prof. DR. Didin Hafidhuddin (Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional [BAZNAS]), serta Bacelius Ruru, SH, LLM. (mantan Sekretaris Menteri BUMN, Deputi Kementerian BUMN dan kini Ketua Yayasan IQA [Indonesia Quality Award]).
Demikian penting peran dan manfaat sistem jaminan sosial bagi rakyat, maka KJI berharap mendapat dukungan dari semua pihak, dan mampu memberikan pemikiran-pemikiran dalam pembangunan dan pengembangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di negeri tercinta Indonesia ini. Kehadiran KJI sangat diperlukan bagi bangsa-negara Indonesia yang kini memang sedang bertekad untuk membangun SJSN.
Sebagai lembaga pemikiran independen yang peduli terhadap penyelenggaraan dan pembangunan jaminan sosial nasional wajib memberikan sumbangan pemikiran, dengan cara melakukan penelitian, kajian, pengembangan, diskusi, workshop, seminar, serta mendorong penulisan dan bedah buku terkait jaminan sosial. Juga memberikan apresiasi dan penghargaan kepada anggota parlemen (DPR), pejabat Pemerintah, tokoh masyarakat, ahli/akademisi, organisasi masyarakat yang peduli, berjasa dan mampu mewujudkan sistem penyelenggaraan jaminan sosial yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan. ***


Kegiatan yang Telah Dilakukan KJI
·         Membentuk KJI (Komunitas Jamsosnas Indonesia).
·         Membuat website  Jamsosnas.
·         Melakukan Press release di Restauran Pulau Dua.
·         Membangun kantor KJI.
·         Melaksanakan seminar SJSN pada hari Senin tanggal 2 Mei 2011.
·         Mengirim buku SJSN kepada DPR.
·         Mengirim buku SJSN kepada Presiden dan Menko serta Menteri.
·         Memenuhi Undangan Menteri PPN/Kepala Bappenas.
·         Mengirim surat (soal THR) kepada Presiden Republik Indonesia.
·         Mengirim Surat Nomor 009/KJI/IV/2011 tanggal 7 April 2011 tentang SJSN kepada Presiden.
·         Menyusun RUU Penyempurnaan UU Nomor 40 tahun 2004 Tentang SJSN.
·         Menyusun RUU BPJS (option 1 dan option 2).
·         Mengirim surat nomor 022/KJI/V/2011 tanggal 6 Mei 2011 tentang Draft RUU penyempurnaan UU Nomor 40 Tahun 2004 dan Draft RUU BPJS kepada Presiden.
·         Mengirim surat sebagai tindak lanjut Seminar SJSN dilampiri 2 RUU dengan Surat Nomor 023/KJI/V/2011 tanggal 6 Mei 2011 kepada Ketua Pansus RUU BPJS.


Kegiatan yang Akan Dilakukan KJI
·         Melakukan dengar pendapat dengan Pansus DPR RI.
·         Menemui mantan Wakil Presiden M Yusuf Kalla untuk menjelaskan persoalan SJSN dan BPJS.
·         Menemui mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menjelaskan persoalan SJSN dan BPJS.
·         Menemui Presiden RI guna menjelaskan persoalan SJSN dan BPJS.
·         Menemui Wapres RI buat menjelaskan persoalan SJSN dan BPJS.
·         Menyelenggarakan seminar BPJS pada 1 Juni 2011 di Jakarta.
·         Menerbitkan majalah JAMSOS.
·         Membentuk KJHI ( Komunitas Jamaah Haji Indonesia).
·         Melaksanakan Diskusi Nasioanl: “MENATA KEMBALI INDONESIA”.

BPJS Merupakan “BUMN Khusus”


Silang pendapat seputar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus mengemuka mengiringi jalannya pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) BPJS di DPR. Ada kalangan yang meminta BPJS sebagai suatu badan yang benar-benar baru? Ada pula yang mendorong bahwa BPJS sebagai hasil konversi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini bergerak di asuransi pegawai negeri dan asuransi kesehatan. UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai payung hukum BPJS tidak secara tegas menyatakan mengenai pengertian BPJS. Perihal bentuk BPJS, UU SJSN menyebutkan ciri-cirinya saja, antara lain berwujud wali amanah dan merupakan iuran bersama antara peserta dan pemberi kerja. Untuk menggali lebih jauh tentang BPJS, Majalah Jaminan Sosial mewawancarai secara khusus Ketua Umum KJI Drs. Achmad Subianto, MBA. Berikut petikannya secara lengkap:


Belakangan ini marak pemberitaan seputar desakan untuk segera disahkannya RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tapi sejauh ini belum ada satu kata kesepahaman tentang BPJS. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan BPJS?

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah suatu Badan Usaha baru dalam sistem hukum di Indonesia. Merujuk pada “Rumah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)” ala Indonesia yang coba saya dan KJI (Komunitas Jamsosnas Indonesia) susun, terdapat tiga kelompok BPJS, yaitu BPJS WARGANEGARA, BPJS PROFESI dan BPJS PENUNJANG.

Dari ketiga kelompok BPJS tersebut ada yang bersifat tunggal dan ada pula yang bersifat jamak. Melihat pengalaman di banyak negara, BPJS Warganegara bersifat tunggal. BPJS Warganegara (Basic Social Security) disebut pula BP Jaminan Sosial Nasional Dasar (Jamsosnasda) mencakup jaminan sosial para pekerja non-formal dan harus melaksanakan 5 program jaminan sosial dasar, yakni jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Sekadar pengetahuan, di China, BP Jamsosnasda dinamakan National Social Security Fund (NSSF) yang didirikan pada tahun 1997 atas saran World Bank. Sedangkan di Korea Selatan, BP Jamsosnasda disebut Nation Pension System (NPS). Meskipun namanya Pensiun namun pelayanan yang diberikannya menyangkut berbagai program jaminan sosial.

Lantas, bagaimana dua kelompok BPJS yang lain?

Dalam pemikiran saya, BPJS Profesi dan BPJS Penunjang bersifat jamak. Sebagaimana kita ketahui bahwa profesi dalam kehidupan di masyarakat ini kan sangat beragam. Berapa banyak BPJS Profesi ini bisa saja dibuat menurut jenis profesi yang ada, misalkan pegawai negeri sipil, pegawai swasta, tentara, dan tenaga medis. Begitu pula BPJS Penunjang yang dapat saja sesuai bidang penunjang, antara lain jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan dan jaminan perumahan.

Bila melihat pengertian ini, sebenarnya kita telah memiliki BPJS dan tinggal bagaimana menyesuaikan dengan perundang-undangan yang berlaku?

Anda benar. Kita ambil contoh BPJS Profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS). BPJS ini melaksanakan lima program jaminan sosial, yakni jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. BPJS PNS disebut pula BP Jamsospen. Melihat badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada, BP Jamsospen dapat saja merupakan konversi dari PT Taspen (Persero). Kemudian BPJS Profesi TNI/Polri. BPJS ini pun melaksanakan 5 program jaminan sosial (jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian). BPJS TNI/Polri dinamakan juga BP Jamsosta dan bisa merupakan proses konversi dari PT ASABRI (Persero). Selanjutnya BPJS Karyawan Swasta yang juga melaksanakan lima program jaminan sosial (jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian). BPJS Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) dengan nama lain BP Jamsostek dan bisa sebagai konversi dari PT Jamsostek (Persero).

Masih BPJS Profesi, perlu ditambahkan BPJS Karyawan BUMN yang juga mengemban amanah melaksanakan lima program jaminan sosial. BPJS Karyawan BUMN bisa kita sebut sebagai BP Jamsosbun (Jamsospeg). Lalu BPJS Guru Swasta yang melaksanakan lima program jaminan sosial dengan peserta para guru (pendidik) sekolah swasta. BPJS Guru Swasta bias kita namakan BP Jamsosdik. Selanjutnya BPJS Tenaga Medis Swasta yang bekerja menyelenggarakan program jaminan sosial dengan peserta para profesional medis. BPJS Tenaga Medis Swasta bisa kita sebut misalnya dengan nama BP Jamsosdis.

Sedangkan untuk BPJS Penunjang dapat meliputi BP Jaminan Sosial Kesehatan (Jamsoskes) sebagai hasil konversi dari PT Askes (Persero), BP Jaminan Sosial Kecelakaan Lalu-lintas (Jamsoslin) yang dibentuk sebagai konversi dari PT Jasa Rahardja (Persero), dan BP Jaminan Sosial Perumahan (Jamsosrum) yang didirikan dengan mengkonversi Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) PNS. Untuk BPJS Penunjang ini perlu pula ditambahkan BP Jaminan Sosial Kematian (Jamsoskem).

Boleh jadi BPJS yang merupakan hasil konversi tidak akan mengalami persoalan dalam pengalihan bentuknya, bagaimana sebenarnya bentuk badan usaha BPJS itu?

Sebagai Badan Usaha baru, BPJS pertama kali dibentuk dengan modal Pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pengalihan kekayaan dari BUMN atau Badan Usaha lainnya. BPJS bukanlah merupakan Persero, Perum (Perusahaan Umum) ataupun Perjan (Perusahaan Jawatan). Karena terdapat modal pemerintah di dalamnya, BPJS merupakan “BUMN Khusus” dengan kekayaan negara yang dipisahkan, tidak ada dividen, tidak ada pajak dan tunduk kepada UU No.40 Tahun 2004 yang disempurnakan. Selanjutnya BPJS dibangun dengan iuran bersama antara peserta dan pemberi kerja dengan pola pendanaan penuh (fully funded system). BPJS merupakan usaha berbentuk wali amanat lantaran BPJS mengelola dana titipan peserta.

Secara yuridis, sebelum terbentuk UU BPJS, apa landasan hukum pembentukan BPJS?

Landasan hukumnya jelas, yakni UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pasal 1 ayat (6) UU itu merumuskan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak sebagaimana disebutkan pasal 1 ayat 1 UU itu. Terkait dengan jaminan sosial, pasal 1 ayat 2 UU itu memperkenalkan Sistem Jaminan Sosial (SJSN) yang merupakan suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa BPJS. Lebih lanjut, pasal 5 ayat 1 UU ini mengatur bahwa BPJS harus dibentuk dengan undang-undang.

Dengan berlakunya UU Nomor 40 Tahun 2004 ini, bagaimana nasib BPJS yang telah ada?

Menurut rumusan pasal 5 ayat (2) UU itu, sejak mulai diberlakukannya UU No.40 Tahun 2004 maka BPJS yang telah ada dinyatakan sebagai BPJS menurut UU ini. BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tadi adalah Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek); Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen); Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes).

Semua ketentuan yang mengatur mengenai keempat BPJS tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh pasal 52 ayat (2), harus disesuaikan dengan UU Nomor 40 Tahun 2004 paling lambat lima tahun sejak UU itu diundangkan.

Merujuk pada penjelasan Bapak tentang BPJS Profesi dan Penunjang yang jamak tadi, tentu dibutuhkan BPJS baru di masa depan. Apakah dimungkinkan pembentukan BPJS baru?

Dalam hal diperlukan BPJS yang baru selain keempat BPJS tersebut maka dapat dibentuk BPJS yang baru dengan UU (pasal 5 ayat [4] UU No.40 Tahun 2004). Artinya, untuk membentuk BPJS Warganegara (jaminan sosial dasar, social security) misalnya, dibutuhkan UU tersendiri. Begitu pula jika perlu membentuk Jamsosdik ataupun Jamsosdis, perlu UU tersendiri.

Siapa saja peserta BPJS? Apakah hanya mereka yang memiliki profesi dan pekerja formal?

Untuk kepesertaan, pasal 13 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2004 mengatur bahwa secara bertahap pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan yang diikuti. Selain itu, pasal 14 ayat (1) UU ini mengatur bahwa secara bertahap Pemerintah mendaftarkan penerima bantuan sosial sebagai peserta kepada BPJS. Jadi tidak hanya kalangan profesional dan pekerja formal yang bisa menjadi peserta BPJS.

BPJS kan mengelola dana titipan peserta, seberapa besar porsi iuran peserta?

Mengenai besaran iuran, pasal 17 ayat (1) UU No.40 Tahun 2004 merumuskan bahwa setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Selanjutnya, ayat (2) pasal ini menyebut bahwa setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.

Mengenai program jaminan sosial, apa saja yang wajib dilaksanakan oleh BPJS?

Tentang program jaminan sosial, pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 2004 menegaskan bahwa setiap BPJS wajib melaksanakan lima program jaminan sosial, yakni jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. BPJS yang merupakan hasil konversi tentu tidak akan menghadapi persoalan dalam melaksanakan kelima program jaminan sosial tersebut. Persoalan akan terjadi pada BPJS yang baru dibentuk sebagaimana diamanatkan oleh UU itu, misalnya BPJS Warganegara yang wajib melaksanakan dan mengelola jaminan sosial nasional dasar (Jamsosnasda). BPJS Warganegara yang juga dinamakan BP Jamsosnasda tentu belum memiliki dana yang cukup untuk melaksanakan sekaligus kelima program jaminan sosial tersebut secara bersamaan. Ada baiknya BPJS Jamsosnasda membuat skala prioritas program yang hendak dilaksanakan, misalnya prioritas utama program jaminan kesehatan.

Sejauh ini BPJS baru belum terbentuk dan UU BPJS belum pula disetujui oleh DPR, apa yang dapat Bapak rekomendasikan agar ke depan BPJS dapat berjalan secara baik?

Dengan mengacu pada pengertian dan pemahaman tentang BPJS sesuai dengan UU No.40 Tahun 2004, saya dapat memberikan beberapa usul perbaikan, di antaranya, pertama, rumusan pada Bab VII Ketentuan Peralihan pasal 52 ayat (1) yang menyebutkan “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku: Perusahaan Perseroan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) ... tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan Undang-undang ini” perlu direvisi atau diperbaiki. Tidak perlu menyebutkan nama PT Jamsostek, PT Asabri, PT Taspen dan PT Askes karena keempatnya bukan perusahaan dengan aktivitasnya di bidang Jaminan Sosial, tapi di bidang asuransi. Dengan demikian sebaiknya bunyi rumusannya diubah menjadi sebagai berikut: “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, BUMN, BUMD dan BUMS yang bergerak di bidang Jaminan Sosial tetap melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan pembentukannya dengan kewajiban secara bertahap menyesuaikan sistem pengelolaan Jaminan Sosial dengan Undang-undang ini.” Di sini, DPR dan Pemerintah harus segera menyempurnakan UU Nomor 40 Tahun 2004.

Kedua, sembari menyempurnakan naskah UU Nomor 40 Tahun 2004 dan menuntaskan RUU BPJS menjadi UU BPJS, selain memproses konversi BPJS yang telah ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Pemerintah juga harus segera membentuk BPJS baru. Ketiga, Pemerintah perlu segera membentuk tim kerja untuk mewujudkan BPJS baru. Komunitas Jamsosnas Indonesia (KJI) siap membantu membentuk tim kerja tersebut. Dan keempat, DPR dan Pemerintah harus bisa memisahkan antara bentuk/status BPJS dan program jaminan sosial yang akan dilaksanakan. ***