Tuesday, December 31, 2013

Beda Kartu JKN Dibandingkan Asuransi Komersial



Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) beberapa hari lagi, tepatnya 1 Januari 2014 akan diberlakukan. Seluruh masyarakat Indonesia didorong untuk mengikuti program tersebut.
Belanja asurasi, merupakan salah satu kebutuhan bagi sebagian orang. Tujuan yang paling mendasar adalah sebagai cara pengalihan risiko.
Pada asuransi kesehatan, risiko pembiayaan yang besar ketika sakit, dialihkan ke asuransi. Secara berkala, peserta asuransi membayar premi baik tiap bulan, triwulan, atau sesuai kontrak di polis. Premi yang dibayar pun berbeda-beda. Tergantung fasilitas yang dijanjikan perusahaan asuransi komersial. Meski demikian, tetap saja asuransi kesehatan saja tidak cukup.
Diperlukan asuransi kesehatan sosial atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), khususnya yang belum masuk dalam penerima bantuan iuran (PBI), anggota TNI/Polri dan pensiunannya, pegawai negeri sipil (PNS) dan pensiunannya, peserta jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) Jamsostek. Mengapa?
"Pertama, premi asuransi komersial relatif tinggi sehingga tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat dan manfaat yang ditawarkan umumnya terbatas," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan, drg Murti Utami, MPH di Jakarta, Jumat (27/12/2013).
Berbeda dengan asuransi komersial, asuransi sosial memberi beberapa keuntungan yakni memberi manfaat yang komprehensif dengan iuran yang terjangkau.
"Asuransi sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu, sehingga peserta bisa mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali, bukan terserah dokter atau RS," kata Murti. (www.tribunnews.com)

Lebih dari 116 Juta Jiwa Siap Gabung Jadi Peserta JKN



Dari seluruh jumlah Warga Negara Indonesia, ternyata sudah ada lebih dari 166 juta jiwa yang siap bergabung menjadi peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) per 1 Januari 2014.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur kepersertaan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), Sri Endang Tidarwati saat temu media yang berlangsung di Kantor Askes, Cempaka Putih, Jakarta, Senin (30/12/2013).

Sri mengatakan, data tersebut merupakan data perserta yang secara resmi menyatakan bergabung menjadi peserta JKN sesuai nama, alamat lengkap, jenis kelamin serta jenis kepersertaannya.

Berikut rincian kepersertaan seperti yang dimaksud Sri:

1. Peserta pengalihan program

Eks PT. Askes 16.142.615
Jamkesmas 86.400.000
TNI 859.216
POLRI 743.454
Jamsostek 8.446.856

Total 112.592.141

2. Peserta Baru

Gabungan calon peserta JKN dari BUMN, BU swasta dan lainnya, Jamkesda (Aceh dan DKI) serta PBPU dan BP yang berjumlah 3.529.924

"Sehingga total pesertanya menjadi 116.122.065 jiwa setelah dijumlahkan antara peserta pengalihan program dan peserta baru," kata Sri.

Selanjutnya secara bertahap seluruh WNI (Warga Negara Indoensia) akan mendaftar di kantor BPJS terdekat. Karena sesuai undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS bahwa program JKN adalah sebuah asuransi sosial yang kepersertaanya wajib bagi seluruh WNI.

Sebagaimana juga yang diamanatkan dalam pasal 1 angka 3 UU No. 40/2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang menyatakan bahwa asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta atau anggota keluarganya.

Menurut Sri, data seluruh WNI yang bergabung akan rampung sesuai target rencananya pada Januari 2019.

(health.liputan6.com)

Perangkat Desa Minta Jaminan Kesehatan



Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI), Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, meragukan program jaminan kesehatan nasional, yang diberlakukan mulai 1 Januari 2014 itu, bakal menjangkau perangkat desa.

Sebab, perangkat desa selama ini tidak terjangkau sistem jaminan sosial, ketika PT Asuransi Kesehatan belum diubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Ketua I PPDI Brebes, Rohto Raharjo, mengatakan perangkat desa yang pertama didamprat warga, ketika ada permasalahan pelayanan jaminan kesehatan. “Ironisnya, kami tidak pernah mendapat jaminan seperti itu. Kami harus bayar mahal kalau jatuh sakit,” kata Rohto, yang ditemui Tempo, di kantor DPRD Brebes, Senin, 30 Desember 2013.

Menurut dia, iklan di layar kaca, justru menuai reaksi keras perangkat desa. Sebab, BPJS Kesehatan hanya melayani peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Askes, dan untuk TNI dan Polri.

Pemerintah Jawa Tengah, kata dia, pernah menginformasikan akan mengalokasikan anggaran sekitar Rp 30 miliar dari APBD 2014, bagi jaminan sosial perangkat desa di seluruh Jawa Tengah.

Namun, hingga kemarin, PPDI sama sekali belum mendapat sosialisasi, ihwal jaminan sosial dari provinsi itu. “Lantas apa makna dari seragam ini? Kerja kami sama dengan PNS. Tapi pemerintah terkesan abai terhadap kesejahteraan kami,” kata Rohto, Kepala Urusan Keuangan, Pemerintah Desa Kramat, Kecamatan Jetis itu.

Bersama sekitar 300 anggota PPDI, Rohto mendatangi kantor DPRD Brebes untuk menyuarakan aspirasinya. Mereka hanya ditemui tiga anggota Komisi I yang membidangi pemerintahan.

Tanpa alasan atau pemberitahuan, delapan anggota Komisi I yang lain tidak tampak. Walhasil, suasana audiensi di ruang Komisi I, sempat memanas. ”Besok jangan dipilih lagi,”kata Sekretaris Umum PPDI, Khamim.

Pantas jika Khamim kesal. Sebab, PPDI sudah mengajukan permohonan audiensi ke Komisi I, sejak dua bulan lalu. Khamim juga mendesak agar Ketua DPRD menemui mereka. “Beliau sudah sepuh dan sekarang masih sakit stroke,” kata Ketua Komisi I, Cahrudin, meredam emosi para perangkat desa itu.

Meski tidak semua anggotanya hadir, Cahrudin memastikan, Komisi-nya akan menampung aspirasi dan memperjuangkan hak-hak mereka. “Komisi I sepenuhnya mendukung PPDI,” katanya. Dalam audiensi itu, PPDI juga mempermasalahkan Peraturan Bupati nomor 78/2013, yang mengatur perangkat desa harus berhenti dari jabatannya, ketika maju sebagai calon kepala desa. (www.tempo.co)

BPJS Berlaku, Menko Kesra Pastikan RS Terima Pasien Miskin



Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono memastikan tidak akan ada pasien miskin yang ditolak berobat oleh rumah sakit setelah program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan diberlakukan mulai 1 Januari 2014. Agung juga mengatakan, BPJS tidak menghapuskan jaminan kesehatan masyarakat dan jaminan kesehatan daerah yang sebelumnya sudah diterima warga tidak mampu.

“Ya tentu dengan adanya dialokasikan 35 persen dari penduduk Indonesia yang berpenghasilan rendah yang selama ini mendapatkan Jamkesmas, Jamkesda, tetap berlaku maka tentu diharapkan semua rumah sakit tetap melayani warga yang tergolong tidak mampu,” kata Agung di Istana Bogor, Senin (30/12/2013).

Menurut Agung, warga tidak mampu yang belum terdaftar dalam program BPJS dapat tetap menggunakan Jamkesmas atau Jamkesda jika mereka memilikinya. Agung mengatakan, program BPJS nantinya akan mencakup pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan penyelamatan jiwa, dan bukan pelayanan kesehatan kosmetik.

“Kecelakaan, pengobatan, sakit berat, semua termasuk. Begitu jadi peserta, melakukan pembayaran iuran (premi) maka dia berharap mendapatkan pelayanan medis,” ujarnya.

Untuk warga yang tidak mampu, menurut Agung, biaya preminya akan ditanggung negara. Besaran premi yang ditanggung yakni Rp 19.225 per orang per bulan untuk 86,4 juta warga miskin.

“Kemudian untuk masyarakat umum, pekerja yang tidak menerima upah mandiri, sektor informal dan sebagainya, itu ada kelas-kelasnya. Kelas III Rp 25.000, kelas II, Rp 45.000, dan kelas I, Rp 60.000,” papar Agung.

Dia juga mengatakan, sekitar 1.700 rumah sakit yang tersebar di Indonesia sudah siap menjalankan program BPJS kesehatan. Terhitung sejak 1 Januari 2014, rumah sakit yang bekerja sama mulai melakukan pendaftaran.

Kendati demikian, menurut Agung, masih ada sekitar 600 rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta yang belum bekerja sama. “Dari 2.300 rumah sakit, baru 1.700-an yang join (bergabung), sudah MoU (nota kesepahaman) di seluruh Indonesia, apakah rumah sakit swasta, pemerintah, daerah,” katanya. (nasional.kompas.com)

Oasis BPJS Kesehatan



Oleh Tasroh
Pegiat Banyumas Policy Watch, alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang

MULAI 1 Januari 2014 rakyat Indonesia menapaki lembaran baru sistem jaminan sosial nasional dengan beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ada dua lembaga di bawah pengawasan Presiden yang hadir pada awal 2014, yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Publik ramai memperdebatkan reposisi dan reorientasi BPJS Kesehatan (kerap disebut BPJSKes).

Lembaga yang dulu bernama PT Asuransi Kesehatan (Askes) dan berada langsung dibawah Kementerian BUMN, kini bereposisi di bawah naungan Presiden dengan koordinasi langsung Kemenkes. Perubahan posisi tersebut tentu berimplikasi terhadap peran, tupoksi, dan kewenangan lembaga pada masa mendatang.

Dulu berorientasi bisnis dan mulai 1 Januari 2014 wajib lebih berorientasi sosial, sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Layanan Jaminan Sosial. Debat tentang reposisi dan reorientasi PT Askes ke BPJSKes tentu disambut suka-cita oleh rakyat Indonesia, khususnya pasien.

Mau mengakui atau tidak, selama puluhan tahun, silih berganti rezim, khususnya rezim reformasi yang melahirkan bayi neolib, semua derita berkait pelayanan kesehatan dirasakan oleh seluruh rakyat, para pasien, yang benar-benar mencekik leher, khususnya warga miskin. Sudah bukan rahasia lagi, layanan kesehatan dibisniskan sesuai harga pasar sebagai manifestasi dari sistem jaminan sosal kesehatan nasional yang kian profit oriented. Ketika itu, bisnis layanan kesehatan berkembang supaya bisa mengeruk sebesar-besarnya keuntungan tanpa pandang bulu yang akhirnya menciptakan diskriminasi layanan kesehatan.

Kegiatan hulu hingga hilir bisnis kesehatan, baik yang diselenggarakan pemerintah (rumah sakit, puskesmas, dan klinik) maupun swasta (nasional dan asing) punya kesamaan orientasi: mengeruk setinggi-tingginya keuntungan ekonomi dari semua pasien: mampu, kurang mampu, atau tidak mampu sekalipun.

Di sisi lain, nasib pasien, baik kelas premium apalagi kelas tak mampu, kian terabaikan.  Semasa menjadi PT Askes, pasien berduit dari dalam negeri ternyata juga tidak benar-benar dilayani secara prima oleh penyelenggara kesehatan nasional sehingga memicu ketidakpercayaan pasien kepada layanan kesehatan produk nasional.

Maka wajar bila banyak pasien kita, terutama kalangan berduit, menjadi pasien layanan kesehatan asing, baik layanan yang beroperasi di Indonesia maupun di luar negeri. Jelasnya, meskipun secara bisnis penyelenggara kesehatan nasional berbentuk perseroan yang berorientasi bisnis, faktanya mutu layanan kesehatan tak paralel dengan kinerja bisnis mereka.

Nasib lebih tragis terjadi pada layanan kesehatan bagi pasien kurang mampu hingga miskin. Terjadidiversifikasi layanan kesehatan bagi kelompok ini hingga muncul berbagai bentuk asuransi kesehatan tanpa kendali negara.  Apalagi belakangan asuransi kesehatan mulai dipolitisasi di daerah sesuai dengan visi misi kepala daerah sehingga rakyat/warga memiliki jaminan kesehatan sendiri-sendiri.

Kita bisa menyebutnya Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), atau Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMS), dan sebutan primordial lainnya.  Namun lantaran negara tak memiliki sistem proteksi yang jelas maka layanan kesehatan nasional pun tak memiliki standar yang berasaskan kemanusiaan, keadilan bagi seluruh rakyat. Realitasnya, sebelum ada BPJSKes maka keadilan sosial adalah bagi mereka yang mampu membayar lebih. Ada uang berarti ada pelayanan baik.

Konsistensi Reorientasi

Karena itu, kelahiran BPJS Kesehatan diharapkan bisa membangun sistem jaminan kesehatan nasional, yang memenuhi 9 prinsip jaminan sosial kesehatan (gotong royong, nirlaba, keterbukaan, akuntabel, portabel, kepesertaan wajib, dana amanat, kemanusiaan, keadilan, dan demokratis) sebagaimana amanat UU Nomor 24 Tahun 2011.

Selain itu, sekaligus secara konsisten mau dan mampu mengimplementasikan reorientasi misi dan target layanan kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali, kaya atau miskin. Konsistensi reorientasi dari bisnis ke sosial itu tidak hanya disepakati secara konseptual oleh pengambil keputusan publik bidang kesehatan an sich, tetapi yang lebih substantif pengaplikasiannya pada level akar rumput.

Terutama manajemen rumah sakit, puskesmas, termasuk sumber daya kesehatan nasional di mana pun dan kapan pun. Misi ini perlu segera dipraksiskan oleh segenap tenaga di lapangan, khususnya dokter, bidan, perawat dan tenaga paramedis lain. Argumennya adalah menetapkan pesan sosial tak semudah membalikkan telapak tangan, khususnya pada kalangan tenaga dokter dan paramedis lainnya. Pakar kesehatan (psikiater) Limas Sutanto mengingatkan bahwa masalah terbesar dalam transformasi kelembagaan layanan kesehatan bukan pada level kelembagaan atau regulatif melainkan justru pada level operator kesehatan itu sendiri, khususnya dokter dan tenaga paramedis.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis medis para dokter akan berubah dari masa-masa sebelumnya. Jasa medis dokter yang dalam sistem lama (PT Askes) disesuaikan dengan ’’harga pasar’’ mulai tahun 2014 semua dokter wajib mengikuti prosedur jasa medis yang dikeluarkan BPJSKes.  Ini tentu berimplikasi kepada mutu layanan kesehatan yang diberikan, yang suka atau tidak, akan berdampak langsung kepada masyarakat/pasien. (www.suaramerdeka.com)