Tuesday, June 30, 2015

Dana Hibah dan Bantuan Sosial di Jember Naik Drastis Menjelang Pilkada

Dana Hibah dan Bantuan Sosial di Jember Naik Drastis Menjelang Pilkada
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Suasana saat penyerahan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) Pilkada Serentak 2015 di Kemendagri, Jakarta, Rabu (3/6/2015). Penerimaan DP4 menjadi titik tahapan penggunaan anggaran pilkada serentak yang rencananya dilaksanakan 9 Desember 2015. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN) 

 Anggaran hibah dan bantuan sosial (Bansos) naik dalam rancangan Perubahan-APBD Jember 2015.
Bupati Jember MZA Djalal menyebut kenaikan itu tidak terkait kepentingan untuk menggaer dukungan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jember.
Anggaran hibah naik memang dikarenakan untuk Pilkada.
"Dana hibah memang untuk Pilkada, antara lain untuk pengamanan yang diberikan kepada TNI dan Polri, juga untuk pelaksana dan pengawas Pilkada yakni KPU dan Panwas," ujar Djalal usai rapat paripurna di gedung DPRD Jember, Kamis (11/6/2015).
Sementara itu, anggaran Bansos naik karena adanya sejumlah permohonan dari masyarakat yang belum terlaksana.
"Sehingga ada yang perlu dimasukkan ke P-APBD," imbuhnya.
Dari rancangan P-APBD tercatat, kenaikan anggaran bantuan hibah mencapai 1 persen lebih, naik dari Rp 206 miliar menjadi Rp 208 miliar.
Hibah ini antara lain diberikan kepada Panwaslih Kabupaten Jember sebesar Rp 18 miliar.
Sedangkan anggaran bantuan sosial naik dari Rp 46 miliar menjadi Rp 58 miliar atau naik sekitar 25 persen.
Saat ini, Pemkab dan DPRD Jember sedang membahas Raperda Perubahan-APBD 2015 karena dijadwalkan bulan Juli disetujui gubernur.
Pembahasan ini maju beberapa bulan dibandingkan tahun 2013, karena pertimbangan bulan puasa, hari raya, dan pelaksanaan Pilkada di akhir tahun 2015.
Bupati Djalal akan mengakhiri masa jabatannya Agustus 2015. Dia tidak bisa mencalonkan diri lagi karena sudah dua menjabat dua periode berturut-turut.
Namun sebelumnya, ia menyatakan dukungannya secara resmi kepada Sekretaris Kabupaten Jember Sugiarto untuk maju sebagai bakal calon bupati Jember.
Sebagai seorang Sekkab, Sugiarto juga menjabat Ketua Tim Anggaran Pemkab Jember.

TRIBUNNEWS.COM, JEMBER -

Monday, June 29, 2015

Dibahas Kembali, RUU Tapera Ditargetkan Rampung Akhir 2015

  Komisi V DPR RI kembali akan membahas Rancangan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Tapera). RUU Ini ditargetkan dapat disahkan menjadi undang-undang sebelum akhir 2015 ini. Pembahasan RUU Tapera kembali dilakukan setelah sempat ditarik pembahasannya di akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Anggota Komisi V DPR RI yang juga mantan Ketua Pansus RUU Tapera, Yoseph Umar Hadi, mengungkapkan, saat ini pembahasan kembali RUU Tapera sudah dalam proses harmonisasi di badan legislasi (Baleg) DPR RI, dan tinggal menunggu pengesahan di sidang paripurna dewan.

"Kami terus kebut dan mengawal agar RUU Tapera ini bisa cepat selesaikan karena penting untuk memacu pembangunan perumahan rakyat. Doakan saja (bisa disahkan jdi UU) bisa tahun ini," ungkap Yoseph yang dihubungi Liputan6.com, Rabu (24/06/2015).

Politisi PDIP itu sempat menyayangkan pembatalan RUU Tapera secara sepihak oleh pemerintah pada 2014. Pembahasan RUU Tapera telah memakan waktu dua tahun, dan telah terjadi tarik ulur di internal pemerintah terkait pembahasan RUU ini.

Saat itu, pemerintah  meminta pembahasan ditunda dan dilanjutkan pada masa pemerintahan baru periode selanjutnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda menilai RUU Tapera yang kini mulai dibahas kembali diharapkan memberi kejelasan aturan terutama mengenai kelembagaan Tapera. Lembaga ini penting namun pada pembahasan sebelumnya sempat tidak mendapat prioritas dalam pembahasan.

Seperti diketahui saat ini sudah ada lembaga pemerintah yang juga memberikan fasilitas tabungan perumahan seperti Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) dan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

“Menurut saya, sebaiknya badan-badan itu dilebur dalam satu lembaga saja, sehingga tidak menimbulkan kebingungan bagi pengusaha dan masyarakat," jelasnya.

Menurut Ali, Tapera berpotensi menghimpun dana yang sangat besar dari masyarakat untuk pembangunan perumahan menengah bawah. Mekanisme menghimpun dana sejenis telah berhasil diterapkan di beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

"Sedangkan potensi penggalangan dana dari Tapera diperkirakan mencapai Rp 50 triliun per bulan, sehingga mekanisme pelaksanannya harus jelas dan tidak ada celah untuk penyelewengan dana," ujar Ali.  (Liputan6.com)

Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja Akan Lebih Aplikatif

Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja Akan Lebih Aplikatif
Warga yang hendak berobat di RSUD Depok mulai menandai tempat antrean sejak pukul 2.00 pagi di Depok, Jawa Barat, 10 September 2014. Pasien pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat, Jamkesda, dan BPJS ini datang lebih awal untuk mendapat nomor antrean. TEMPO/Ilham Tirta
 
Kementerian Ketenagakerjaan memastikan aturan pelaksana untuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan beroperasi penuh pada 1 Juli mendatang akan aplikatif dan komprehensif.


M Hanif Dhakiri, Menteri Ketenagakerjaan, menjelaskan pembahasan peraturan turunan Undang-undang mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), terutama yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, melibatkan semua pemangku kepentingan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan telah melewati diskusi yang panjang dan dapat dipahami semua pihak.


"Kepastian sistem regulasi jaminan sosial akan sangat membantu dalam pemberian hak yang layak bagi kesejahteraan pekerja atau buruh, perusahaan maupun pemerintah," kata Hanif di Jakarta, Sabtu, 13 Juni 2015


Seperti diketahui, seiring pemberlakuan Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN  dan Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,maka terhitung sejak 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan telah beroperasi menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan Nasional, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan akan beroperasi paling lambat pada 1 Juli 2015.


Dalam program SJSN tersebut para pekerja mendapatkan perlindungan yang meliputi lima program, yaitu program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan serta Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kematian yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan.


Hingga saat ini atau 17 hari menjelang berlakunya kebijakan bagi BPJS Ketenagakerjaan ini pemerintah belum mengeluarkan satupun aturan yang mendukung. (http://bisnis.tempo.co)

The Biggest Problem With Social Security, Revealed


Source: Social Security Administration via Facebook

For many, retirement is the ultimate goal. Unfortunately, this is also a goal that hangs perilously out of reach for far too many people.
Baby boomers, in particular, are facing a number of challenges. First and foremost, Boomers who weren't able to withstand the stock market's wild vacillations between 2007 and 2009 and sold wound up losing a substantial portion of their retirement nest egg.
Additionally, Social Security -- the financial backdrop designed to protect lower-income retirees, the disabled, and survivors of deceased workers -- is facing what could be a substantial cut in benefits sometime between now and 2033 if Congress can't find a way to increase revenue or cut expenses for the program. In other words, if boomers haven't diligently saved and invested for their retirement, then they could be in serious trouble.
However, the stock market may only be partly to blame for some Americans failing to reach their retirement goals, at least according to a recent survey from MassMutual Financial Group.
The biggest problem with Social Security, revealed
According to MassMutual, the greatest deficit when it comes to Social Security is actually a lack of education among retirees and workers. MassMutual came to this conclusion after KRC Research completed an online survey in late February and early March on behalf of MassMutual in which 1,513 people across the United States were asked 10 questions. In general, these were 10 fairly basic true or false questions pertaining to Social Security. A passing grade was considered three or fewer incorrect answers, while four or more incorrect answers would represent a failing grade.
Care to try your hand at the quiz (link opens PDF)? No cheating!!!

Source: Social Security Administration via Facebook
The data showed that just 28% of Americans knew enough about Social Security to get a passing grade on MassMutual's quiz. Perhaps even more impressive and depressing at the same time, just one person (yes, one person) out of 1,513 managed to get all 10 true/false questions correct! Just 8% of respondents were self-described as "very knowledgeable."
In other words, most people have very little understanding of the program that could be critical to providing them income during retirement.
What were some of the biggest misconceptions among Americans? Per MassMutual, approximately three-quarters believed you needed to be an American citizen in order to receive Social Security, which is false, 71% incorrectly identified age 65 as the full retirement age (it actually varies based on the year you were born), and 55% believed they could continue to work and collect full retirement benefits from Social Security, which is false.
Tackling another major misconception
Amazingly, MassMutual's survey didn't really touch on what I believe is the most dangerous Social Security misconception of all in much detail.
Source: Flickr user Joi Ito
This prevalent misconception is that far too many Americans believe the Social Security program will be insolvent by the time they retire. To some extent MassMutual scratched the surface on this issue with one of its questions concerning benefits payments remaining the same forever once you file for benefits (which is false, by the way). However, a survey conducted by the Pew Research Center recently showed that 41% of Americans believe Social Security will not provide them any benefits come retirement.
In reality, the Social Security trust fund, known collectively as the Old-Age. Survivors and Disability Insurance Trust, or OASDI, is slated to run out of its cash reserves by 2033, primarily due to the demographic shift of boomers retiring and people living longer than ever (and thus being paid benefits for a longer period of time). But this is no way means it's going insolvent.
If Congress does nothing, benefits will drop by 23% to 77% of inflation-adjusted full retirement benefits in 2033 and the OASDI should be able to continue making payments to eligible beneficiaries through 2087. Congress has between now and 2033 to raise revenue through taxes, cut costs, or do some combination of both to help protect Social Security benefits. But no matter what happens, Social Security will be there for you when you retire.
How can we fix Social Security's education problem?
The primary takeaway from MassMutual's study is that Americans need to do a better job of seeking out information when it comes to their Social Security retirement benefits, because what they don't know could actually cost them a substantial amount of money over the long run.
Source: Social Security Administration via Facebook
One of the easiest ways to improve your Social Security knowledge is to peruse the Social Security Administration's website, where you can do everything from estimate your retirement benefits to learn how those benefits can adjust based on your choice of when to take benefits. Everything you need to know about Social Security can be found on the SSA's website, but it can also, understandably, read a bit dry.
Another solution? Consider talking to a financial advisor or a retired friend or family member. I can't guarantee you that a current retiree has made all the right moves, but they can certainly lend you knowledge about their personal experiences with Social Security that you may not be aware of. Likewise, a financial professional should know the ins and outs of Social Security and may be able to help you maximize your long-term take-home pay, but it still never hurts to double-check their suggestions against what you find on the SSA's website. Of course, you'll also find a mountain of information on Social Security from my Foolish colleagues and me as well.
The point being that the tools to become more knowledgeable with regard to Social Security are within your reach, so take the initiative and don't put off this necessary retirement education for a minute longer than you have to. Your retirement could depend on it!
The $15,978 Social Security bonus most retirees completely overlook
If you're like most Americans, you're a few years (or more) behind on your retirement savings. But a handful of little-known “Social Security secrets” could ensure a boost in your retirement income. In fact, one MarketWatch reporter argues that if more Americans knew about this, the government would have to shell out an extra $10 billion annually. For example: one easy, 17-minute trick could pay you as much as $15,978 more... each year! Once you learn how to take advantage of all these loopholes, you could retire confidently with the peace of mind we're all after. Simply click here to discover how you can take advantage of these strategies.

Sunday, June 28, 2015

Menilik Layanan Kesehatan BPJS

* Jajak Pendapat

Perjalanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan memasuki tahun kedua sejak diluncurkan. BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014 sebagai transformasi PT Asuransi Kesehatan Indonesia (Persero) dalam memberi jaminan kesehatan. Peserta BPJS adalah peserta PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, program Jaminan Kesehatan Masyarakat, program Penerima Bantuan Iuran, dan peserta mandiri.
Warga menunggu  pelayanan kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (10/3). Iuran kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola  Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan diusulkan dinaikkan. Penyebabnya,  besaran iuran dinilai tidak mencukupi bagi fasilitas kesehatan untuk memberikan layanan sesuai dengan manfaat yang dijamin.
Kompas/Yuniadhi AgungWarga menunggu pelayanan kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (10/3). Iuran kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan diusulkan dinaikkan. Penyebabnya, besaran iuran dinilai tidak mencukupi bagi fasilitas kesehatan untuk memberikan layanan sesuai dengan manfaat yang dijamin.
Animo masyarakat untuk menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan cukup besar. Data terbaru, peserta BPJS Kesehatan mencapai 142 juta orang. Proyeksi tahun 2015, jumlah peserta meningkat menjadi 168 juta orang dengan 30 juta orang merupakan pekerja penerima upah (PPU).
Komposisi opini peserta BPJS juga tecermin dari jajak pendapat Kompas. Dari 592 responden jajak pendapat Litbang Kompas di 12 kota, 53,5 persen telah mengikuti BPJS Kesehatan. Komposisinya, lebih dari 60 persen pegawai negeri sipil dan pensiunan.
Namun, dari 317 responden yang menjadi peserta program JKN BPJS Kesehatan, hanya 39,1 persen yang menyatakan puas terhadap layanan BPJS. Sebanyak 42,9 persen responden pengguna layanan BPJS Kesehatan masih menyatakan tidak puas. Ketidakpuasan tersebut berdasarkan pada pengalaman mereka dalam berbagai hal, mulai dari kerumitan prosedur untuk mendapatkan layanan sejak pendaftaran keanggotaan hingga saat pemeriksaan.
Peserta BPJS tak bisa bebas memilih fasilitas kesehatan (faskes) karena program JKN menggunakan pola rujukan berjenjang. Pasien diharapkan berobat terlebih dahulu ke faskes tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik, ataupun dokter keluarga. Jika membutuhkan layanan lebih lanjut dari dokter spesialis, pasien akan dirujuk ke faskes yang tingkat layanannya lebih tinggi.
Masalah lain, masih sedikit faskes yang bekerja sama dengan BPJS. Hal ini kerap mengakibatkan antrean panjang pasien untuk mendapat pelayanan kesehatan. Bahkan, antrean panjang pun terjadi ketika warga hendak mendaftarkan diri sebagai peserta di kantor cabang BPJS Kesehatan.
Fasilitas kesehatan
Data BPJS Kesehatan menyebutkan, pada triwulan I-2015, ada 14.619.528 kunjungan di faskes tingkat pertama. Dari data itu, 2.236.379 kunjungan dirujuk dari pelayanan primer (puskesmas) ke tingkat pelayanan sekunder (rumah sakit). Sebanyak 214.706 kunjungan di antaranya merupakan rujukan nonspesialistik. Itu berarti seharusnya kasus itu tak perlu dirujuk dan bisa diselesaikan di faskes tingkat pertama atau primer.
Salah satu penyebab munculnya kasus rujukan nonspesialistik adalah kapasitas sumber daya manusia di faskes tingkat pertama belum memadai. Tingginya angka rujukan yang tidak perlu itu mengakibatkan penumpukan pasien di rumah sakit sebagai tingkat layanan sekunder, yang sampai kini masih terjadi. Pelayanan menjadi terganggu karena panjangnya antrean, sementara sumber daya manusia di rumah sakit terbatas.
content
Saat ini, peserta BPJS PPU mencapai 33,9 juta peserta, terdiri dari PPU swasta; PPU PNS, TNI, dan Polri aktif; serta pensiunan. Rasio klaim BPJS Kesehatan 2014 mencapai 103,88 persen. Artinya, klaim yang harus dibayar pada program Jaminan Kesehatan Nasional lebih besar dibandingkan dengan iuran yang diperoleh. Karena itu, Dewan Jaminan Sosial Nasional mengusulkan kenaikan iuran bagi semua kelompok peserta.
Iuran
Kondisi yang belum optimal dalam menjaring kerja sama dengan faskes dan banyak peserta potensial yang belum dirangkul, ditambah kualitas layanan yang belum memuaskan, membuat publik menilai iuran belum layak dinaikkan. Dari 53,7 persen responden yang tidak setuju iuran BPJS Kesehatan dinaikkan, 58,8 persen merupakan peserta dan 39,3 persen belum menjadi peserta.
Menyelesaikan masalah yang dihadapi BPJS Kesehatan tidak cukup dengan menaikkan iuran peserta. Harus ada evaluasi komprehensif antara lembaga Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan BPJS Kesehatan. Yang perlu dilakukan saat ini adalah meningkatkan kualitas pelayanan di faskes, baik di jenjang primer maupun lanjutan.
Perbaikan mutu layanan dan kualitas sumber daya manusia di faskes primer perlu diprioritaskan agar pengobatan dapat dilakukan lebih awal dan lebih cepat. Dengan demikian, faskes yang lebih tinggi tidak terbebani dan semua faskes diberdayakan secara optimal dan merata.
(Litbang Kompas)

Saturday, June 27, 2015

Tunjangan Pensiun ke-13 Dibayarkan Juli

Tunjangan Pensiun ke-13 Dibayarkan Juli
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ilustrasi 

PT Taspen Cabang Pontianak akan membayarkan pensiun bulan ke-13 kepada 30.444 orang sebesar Rp 70.937.286.470. Pembayaran pensiun atau tunjangan bulan ke-13 dibayarkan bersamaan dengan pembayaran pensiun bulan Juli 2015.
"Pembayaran pensiun bulan Juli 2015 berdasarkan pensiun pokok tahun 2015 beserta rapel tunjangan beras dengan jumlah pensiun 30.487 orang sebesar Rp 75.276.863.133. Sedangkan pembayaran pensiun bulan ke-13 dengan 30.444 orang sebesar Rp 70.937.286.470," ujar Kepala Cabang PT Taspen Pontianak, Tris Putranto kepada Tribunpontianak.co.id, Jumat (26/6/2015).
Tris menambahkan, besarnya pensiun bulan ke-13 sebesar penghasilan yang diterima pada bulan Juni 2015 setelah disesuaikan dengan pensiun pokok tahun 2015 atau pensiun pokok yang baru.
Penghasilan penerima pensiun bulan ke-13 meliputi pensiun pokok, tunjangan keluarga dan tunjangan tambahan penghasilan. Penghasilan penerima tunjangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah diatur.
"Dalam hal penerima pensiun atau tunjangan, menerima lebih dari satu penghasilan berupa pensiun, diberikan satu pensiun bulan ke-13 yang jumlahnya lebih menguntungkan," kata Tris.
Pembayaran pensiun bulan Juli 2015 lanjutnya, juga dihitung berdasakan pensiun pokok tahun 2015 atau pensiun pokok yang baru. Pensiun juga dihitung berdasarkan tunjangan beras yang berlaku mulai 1 Januari 2014.
"Pembayaran pensiun sudah dihitung berdasarkan tunjangan beras yang berlaku sejak 1 Januari 2014 sebesar Rp 7.242 per kilogram dan sekaligus pembayaran rapel selisih kenaikan tunjangan beras untuk 18 bulan dari Januari 2014 hingga Juni 2015," urainya.
Pembayaran pensiun ataupun tunjangan bulan ke-13 berdasarkan PP nomor 38 tahun 2015 tentang pemberian gaji/pensiun/tunjangan bulan ke-13 dalam tahun anggaran 2015 kepada PNS, TNI, Kepolisian, Pejabat Negara dan penerima pensiun atau tunjangan.
Selain itu juga mengacu pada peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-03/PB/2015 tanggal 10 Februari 2015 tentang perubahan kelima atas peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-67/PB/2010 tentang tunjangan beras dalam bentuk natura dan uang. TRIBUNPONTIANAK.CO.ID

Friday, June 26, 2015

Apindo: Batas Toleransi Dana Pensiun 3%

\Apindo: Batas Toleransi Dana Pensiun 3%\
Ilustrasi: (Foto: Reuters)

Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) masih memberikan toleransi untuk besaran iuran dana pensiun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebesar 3 persen. Meski demikian, pihaknya masih berharap iuran tersebut dapat turun seperti hitungan pihak Apindo sebelumnya yaitu 1,5 persen.
Ketua Apindo bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani menuturkan, usulan iuran pensiun sebelumnya sebesar 8 persen masih terlalu tinggi dan berpotensi mengakibatkan pengusaha gulung tikar alias bangkrut.
"Kita tetap tidak bisa terima kalau di angka 8 persen. Meskipun nantinya mengarah kesitu, semoga tidak. Semoga ada kompromi yang bisa dilakukan,' katanya di gedung Menara Thamrin, Jakarta, Rabu (24/6/2015).
Dia menjelaskan, pihaknya masih bisa menerima jika jaminan pensiun dibebankan sebesar 3 persen dari gaji pegawai. Namun, angka tersebut bukanlah maksimal dan Apindo tetap pada hitung-hitungannya di angka 1,5 persen.
Shinta menyatakan, pihaknya bakal melayangkan surat ketidapuasan kepada pemerintah jika tidak mengubah keputusan angka iuran sebesar 8 persen. Pemerintah pun diminta menuruti keinginan pengusaha, sebab nantinya pasti akan ada yang minta keringanan.‎
"Karena kalau tetap dijalankan, nantinya banyak yang tidak bisa mengikuti peraturan ini, dan pada ujungnya mereka semua akan minta pengecualian-pengecualian, minta dibebaskan dari peraturan 8 persen," tandas dia.
Seperti diketahui, saat ini BPJS Ketenagakerjaan belum memutuskan besaran iuran pensiun yang dibebankan kepada perusahaan. Sebelumnya, BPJS menginginkan pengusaha membayar iuran pensiun sebesar 8 persen dari gaji pegawai.
(http://economy.okezone.com)

Thursday, June 25, 2015

BPJS Ketenagakerjaan to Cover Informal-Sector Workers as of July

Officers at BPJS Ketenagakerjaan explain the benefits of the government-sponsored insurance scheme. (ID Photo)

The Social Security Administration Body for Employment, or BPJS Ketenagakerjaan, announced on Thursday that it would officially start insuring workers without a regular salary as of July 1.
The occupations included in this classification range from informal-sector workers such as motorcycle taxi drivers and street vendors, to the self-employed such as doctors and notaries.
BPJS Ketenagakerjaan, previously known as Jamsostek, or the state pension fund, is now a government agency that provides cover for occupational accidents, retirement savings, and life insurance.
“Non-formal workers can voluntarily undertake savings for the old-age scheme and pension scheme as of July 1,” the body said in a statement on Thursday.
Subscribers must pay a monthly premium of Rp 14,666 ($1.10), or Rp 489 per day, to qualify for BPJS Ketenagakerjaan’s insurance scheme.
The agency has 16.7 million subscribers to date, most of them formal-sector workers with a regular monthly salary.
Indonesia’s labor force is estimated at 110 million, according to the Central Statistics Agency (BPS), of whom only 42 million work in the formal sector.
The majority, working in the informal sector, are typically denied access to financial services such as loans and insurance because of their irregular income.
However, the 2004 and 2011 laws undergirding the establishment of BPJS Ketenagakerjaan stipulate that the government agency must provide coverage to all citizen, regardless of income status.
The agency said it would provide the same insurance services to informal-sector workers as to formal-sector ones, including a life insurance payout of Rp 24 million, plus Rp 12 million for each dependent child. This benefit, though, is only available if an individual has been a subscriber for at least five years.
BPJS Ketenagakerjaan also said on Thursday that it was offering online services for registering new subscribers and paying out claims. It is also working with retail outlets, state post offices and banks to take insurance premium payments from customers.
The agency formally introduced its new services on Wednesday in the city of Serang, in Banten province.
The province’s acting governor, Rano Karno, said BPJS Ketenagakerjaan must inform the public about the program and promote its benefits, especially for workers in the informal sector, who are often wary of spending money on insurance.
Rano said he was upbeat that BPJS Ketenagakerjaan would sign up a large subscriber base in his province, which has a population of 11.5 million and labor force of 5.7 million. Of that latter figure, 2.62 million work in the informal sector. (http://thejakartaglobe.beritasatu.com)

Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik

Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik
www.hidayatullah.com
BPJS Kesehatan. 

Belum genap beroperasi dua tahun, neraca keuangan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah berdarah-darah. Nilai klaim yang dibayarkan lebih besar ketimbang jumlah iuran yang masuk, membuat neraca BPJS defisit.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil pernah menyatakan, potensi defisit BPJS Kesehatan bisa mencapai Rp 11 triliun tahun ini (lihat Harian KONTAN edisi 19 Juni 2015). Tak ingin berlama-lama tekor, BPJS mengajukan sejumlah usulan kepada pemerintah. Lewat intervensi regulasi, BPJS Kesehatan berharap nilai defisit akan menciut.
Ada dua usulan yang disodorkan BPJS. Pertama, menghilangkan grace period bagi yang menunggak iuran. Saat ini, peserta BPJS bukan penerima upah masih bisa memperoleh layanan kesehatan selama enam bulan meski menunggak iuran. Sedangkan, bagi peserta BPJS penerima upah yang menunggak iuran ada batas waktu tiga bulan.
Sebagai gambaran, BPJS membayar Rp 6.000 per bulan kepada Puskesmas. Berarti dalam tujuh bulan, BPJS Kesehatan harus mengeluarkan biaya Rp 42.000.
Padahal, jumlah iuran yang dibayar peserta hanya untuk satu bulan atau sebesar Rp 25.000. "Ini tidak balance antara kewajiban yang dibayar BPJS dengan iuran yang diterima, belum kalau menggunakan rumah sakit," kata Irfan Humaidi, Kepala Departemen Komunikasi dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, kemarin.
Usulan kedua, menaikkan pengali pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Saat ini, dasar perhitungan iuran paling tinggi 4,5% dikalikan dua kali dari PTKP. Nah, BPJS mengusulkan ini diubah menjadi antara lima hingga tujuh kali PTKP. "Namun, sepertinya sedang dibahas tiga kali PTKP," papar Irfan.
Contoh sederhananya, besar PTKP saat ini sebesar Rp 2,37 juta per bulan untuk keluarga dengan dua anak. Berarti, patokan maksimal iuran BPJS adalah 4,5% dikalikan Rp 4,73 juta atau sekitar Rp 212.000 per bulan.
Dus, berapapun besar gaji pekerja, maksimal iuran BPJS hanya sekitar Rp 212.000. Nah, kalau patokan pengali PTKP ditambah, otomatis iuran yang dibayarkan peserta juga akan naik.
Selain mengubah batasan atas, BPJS juga mengusulkan kejelasan batas bawahnya. Perhitungan batas bawah iuran peserta PPU ialah 4,5% kali upah minimum tiap daerah. "Sekarang tidak jelas apakah upah minimum kabupaten atau upah minimum regional (UMR). Makanya perlu batas bawah UMR," tambah Irfan
Kalangan pengusaha keberatan dengan rencana BPJS menaikkan iuran. Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia menilai, BPJS Kesehatan sebaiknya menghitung ulang rencana kenaikan iuran yang menambah beban pengusaha.
Ia mengakui, kehadiran BPJS Kesehatan memberi manfaat besar. "Tapi kurang tepat bila solusinya menaikkan iuran," kata Haryadi. --SRIPOKU.COM

Wednesday, June 24, 2015

Social Security communications benefit the American public


Good communication is about more than just promptly taking a customer’s phone call or directing them to a helpful website. It includes providing useful information in a clear and easy-to-understand way, in writing, on the web, and over the phone.
June is National Effective Communications Month, but Social Security is at the forefront of clear, concise communications all the time.
Social Security’s efforts to better serve and clearly communicate with the American public are paying off, and regular people are reaping the benefits. The organization is proud of its consistently high ratings in customer satisfaction and usability.
In the most recent ForSee E-Government Satisfaction survey, Social Security’s website outranks the customer satisfaction ratings of the private sector websites of icons like Amazon, LL Bean and Apple.
Out of the top-ranked government websites, five Social Security sites were ranked in the top six, including the Retirement Estimator, Business Services Online, my Social Security and Social Security’s online benefit application sites.
This year, for the second year in a row, Social Security received confirmation that it’s doing a great job of explaining its programs and services to the American public in its written products.
The organization scored an “A” on the 2014 Federal Plain Language Report Card from the Center for Plain Language. This grade means it is exceeding the standards of the Plain Writing Act of 2010, which requires federal agencies to communicate clearly with the public. Social Security is the only federal agency to earn this honor for two consecutive years!
Not only is the Social Security website simple to navigate and understand, its publications and “Frequently Asked Questions” (FAQ) are easy to read and understand as well.
You can browse through the collection of publications at socialsecurity.gov/pubs to learn about Social Security, its programs and what the programs mean to you and your family. Many publications are available in up to 17 different languages, and are written in plain language. If you prefer a printed copy of a publication, you can call Social Security at 410-965-2039 to request a mailed copy.
Social Security’s online FAQs provide quick and accurate answers about our programs for millions of people every year. Recently, the organization streamlined and consolidated the FAQs so you can find answers easily and efficiently. You can visit socialsecurity.gov/faq for accurate information at your convenience.
Nothing is more important to Social Security than meeting the needs of those the organization serves. Social Security thanks its customers for their valuable feedback and vote of confidence.
Social Security customers continue to express their satisfaction because of the organization’s effective communication, and Social Security remains committed to maintaining these high standards.
Kirk Larson is a Social Security Washington public affairs specialist

Tuesday, June 23, 2015

Medical Insurance Is Good for Financial Health, Too


Credit Stephen Savage
People who have health insurance have less health-related financial stress. That’s a not-so surprising finding from a recent survey from the Centers for Disease Control and Prevention.
There’s good reason to expect the Affordable Care Act to reduce financial strain. Exposure to health care costs fell for those who gained coverage, as it has for those whose coverage became more generous, too.
But even those families whose health insurance coverage didn’t change may have benefited. In 2013, 32.2 percent of uninsured families had problems paying medical bills, but that dropped to 31.2 percent in 2014. There may have been less need for people to pitch in if their formerly uninsured family members obtained coverage.
Another possibility is that those who obtained coverage may have been in a better position to financially assist family members who still lacked it. This could partly explain why the financial condition of even the uninsured improved after the Affordable Care Act’s coverage expansion. Other factors, like an improving economy, could also help explain the changes.
The C.D.C. looked at data from more than 370,000 people collected through the National Health Interview Survey. It found that in the six months after the introduction of the Affordable Care Act in January 2014, the percentage of people under age 65 who were in families having problems paying medical bills was lower than it had been before — 17.8 percent vs. 19.4 percent in 2013. Smaller reductions in financial strain from medical bills had occurred in prior years, perhaps because of slow improvements in the economy after the end of the Great Recession.
The C.D.C.’s findings are consistent with another recent survey by the Commonwealth Fund, as reported by my colleague Margot Sanger-Katz. It found that the percentage of adults experiencing trouble with a medical bill or medical debt declined to 35 percent in 2014 from 41 percent in 2012.
Coverage expansions that predate the Affordable Care Act were also associated with reductions in health-related financial difficulty. After Oregon expanded its Medicaid program by lottery in 2008, out-of-pocket medical expenses exceeding 30 percent of income fell more than 80 percent, according to analysis published in The New England Journal of Medicine.
Massachusetts’ 2006 coverage expansion law, which resembles the Affordable Care Act in many respects, was also associated with better financial conditions for families, a Federal Reserve Bank of Chicago study found. For instance, when coverage expanded, the two-year bankruptcy rate fell by 20 percent, credit balance past due fell by 22 percent, fraction of debt past due fell by 10 percent and credit scores improved by 0.4 percent.
Despite the financial relief that accompanies coverage expansion, high medical costs remain for many families. Some families covered by exchange plans could face out-of-pocket costs as high as 40 percent of their incomes. More than a fifth of Americans have medical debt on their credit reports. A recent Commonwealth Fund survey found that 23 percent of insured Americans were “underinsured,” meaning their medical expenses were above 10 percent of household income the last year (5 percent if very low income) or their deductibles more than 5 percent of income.
This is also unsurprising. Deductibles and other cost sharing can be high for some plans. And they’re growing for employer-sponsored plans, cutting against the financial security health insurance might otherwise offer.
Yet the evidence is clear. Though it doesn’t offer complete financial security to everyone, health insurance expansion has decreased financial strain. Financial security, after all, is the point of insurance. Though we might expect more from health insurance expansion — like improvements in health as well — at least it reduces financial strain, even if incompletely. (http://www.nytimes.com)

Monday, June 22, 2015

Buruh Sebut Jamsostek Jadi ATM Penguasa

Buruh yang tergabung dalam FSPMI dan KSPI. (Foto:MTVN/Intan Fauzi)
Buruh yang tergabung dalam FSPMI dan KSPI. (Foto:MTVN/Intan Fauzi)
  Ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan unjuk rasa di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Mereka menilai PT Jamsostek hanya menjadi 'ATM' bagi penguasa.

"Belajar dari pengalaman PT Jamsostek, sejak tahun 1992 - 2015, aset yang terkumpul hanya Rp 190 triliun. Hal itu jangan terjadi pada BPJS," kata Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam pernyataan tertulis, Kamis (4/6/2015).

Buruh mendesak pengelolaan pendanaan BPJS dilakukan transparan. "BPJS harus terbuka dalam hal investasi. Buruh harus dapat mengecek berapa saldo iuran Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua setiap saat," terang Said.

Said mengingatkan, jangan sampai BPJS melipat uang hasil keringat buruh. "Saya ingatkan kepada BPJS Ketenagakerjaan, jangan coba-coba curi uang buruh. Jangan sampai buruh marah karena dananya diselewengkan," tutupnya.
(http://news.metrotvnews.com)

Sunday, June 21, 2015

Mensos: Lansia Terlantar Dijaminkan Asuransi & KIS

Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa (kiri) (Foto: Antara)
Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa (kiri) (Foto: Antara)
Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa berkunjung ke sejumlah Pondok Pesantren di Pulau Madura, Jawa Timur. Kunjungan kerja itu juga dalam rangka Haflatul Imtihan dari kegiatan pesantren, menjelang bulan suci Ramadan.
Menteri Khofifah meminta kepada setiap perangkat desa, agar warganya menerima tiga kartu sakti yakni, Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
"Karena dengan ketiga kartu tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat dan membantu dalam kelangsungan hidupnya," papar Menteri Khofifah.
Dalam kesempatan itu, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu juga meninjau sejumlah lansia (lanjut usia) di pulau garam tersebut.
Menteri Khofifah juga membagikan bantuan kepada masyarakat yang mendapat Program Keluarga Harapan (PKH).
Kementerian Sosial juga mempunyai program langsung ke lapangan dalam bentuk bedah kamar lansia terlantar. Pelayanan sosial bagi lansia harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program pemerintah untuk memperoleh perlindungan sosial maupun jaminan sosial.
Saat ini, Kementerian Sosial juga mencatat terdapat 1,8 juta jiwa penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). "Saya pastikan lansia terlantar dijamin dapat asuransi lanjut usia dan KIS," sambungnya.
Dia berharap, agar semua program pemerintah yang telah berjalan ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat.
"Mari kerja samanya para Camat, Kiai dan Pemerintah Daerah demi masyarakatnya dalam hidup yang lebih baik dan sejahtera," tukas Menteri Khofifah.
(http://news.okezone.com)

Saturday, June 20, 2015

Saman: Permudah Masyarakat Membuka Tabungan Haji

Saman: Permudah Masyarakat Membuka Tabungan Haji
Tribunpekanbaru/Nolpitos
KaKanwil Kemenag Provinsi Riau yang diwakili Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil Kemenag Provinsi Riau, HM Saman menggunting pita tanda peresmian kantor kas BRI Syariah di kawasan Kantor Kemenag Pekanbaru. Kantor kas ini juga melayani pendaftaran haji, pembukaan tabungan haji, kursi haji dan pelunasan serta pembiayaan umroh. 

Kakanwil Kemenag Propinsi Riau yang diwakili Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil Kemenag Provinsi Riau, HM Saman, usai meresmikan kantor kas BRI Syariah di Kantor Kemenag Pekanbaru kepada Tribunpekanbaru.com menyebutkan, pihaknya menyambut gembira keberadaan kantor kas BRI Syariah di kawasan Kemenag Pekanbaru ini. “Kami di lingkungan Kemenag Provinsi Riau menyambut gembira dengan dibukanya pelayanan kas di lingkungan Kemenag Kota Pekanbaru ini. Ini mempermudah masyarakat yang akan membuka tabungan haji,” ungkap Saman.
Selain itu, kata Saman, masyarakat yang ingin melakukan pendaftaran haji juga tidak perlu bolak-balik mengikuti jalur proses pendaftaran haji.
“Dengan adanya pelayanan one stop service ini, calon jamaah haji akan merasa nyaman melakukan proses pendaftaran dan pelunasan BPIH. Kami juga mengharapkan agar pihak bank membuka KAS ATM untuk mempermudah jamaah atau nasabah dalam proses pencairan atau pengambilan uang tunai,” harap Saman.
Jika BRI Syariah ingin mengadakan kegiatan, ulas Saman, dalam kawasan Kantor Kemenag Pekanbaru juga tersedia gedung serba guna yang bisa digunakan.
“BRI Syariah juga bisa menggunakan gedung serbaguna jika ada kegiatan. Bisa dengan disewa, karena gedung luas dan juga tersedia sarana ibadah,” sebut Saman. (http://pekanbaru.tribunnews.com)

Friday, June 19, 2015

Don't Wait Until 70 To Retire. Here's Why.


Roger Kay Contributor
I cover endpoints and how they relate to the cloud.
Opinions expressed by Forbes Contributors are their own.

Is it better to start taking Social Security at 62, 66, or 70?
Work for a lifetime, and before you know it, you’re staring at your final productive years.  I’ve been a tech analyst for anywhere between 18 and 36 years, depending on how you look at it.  I’ve been involved with tech one way or another since 1970.  I’ve covered companies like Microsoft MSFT +1.59%, Intel INTC +1.35%, and Apple AAPL +0.44% almost since they were founded.  But all this tech talk gets old.  You see the same things, if not in circles, then in spirals; if not in mirror images, then in familiar reflections.
We’re all in our 60s, the analysts I consider colleagues.  Tim Bajarin has been managing his blood sugar for years now, but as far as I can tell, has hardly slowed down.  Rob Enderle is selling his house in Silicon Valley, having already moved to rural Oregon.  He’s a force of nature in our industry, writes more and talks more than anyone.  But still, such a move could easily presage a next phase of life.  I still have college bills to pay for a few more years, late family-starter that I am.  So, I’ll have to remain pretty active.  But retirement is somewhere out there on the horizon for all of us.
I found myself wondering, abstractly, when should I retire?  And close behind that thought came this one: when should I start taking Social Security?  Somewhere along the way, I got an MBA in finance and marketing at Chicago, the quant school.  We did a lot of modeling there, and so I decided to model social security, using a wide range of assumptions.  I looked at three key ages: 62, 66, and 70; four interest rate assumptions for cash-flow discounting: 1%, 2%, 5%, and 10%.  And two important assumptions about the solvency of the U.S. Social Security Administration.  My only tool was a simple Microsoft Excel spreadsheet.
The ages are key because 62 — which I am now — is when you can actually start taking Social Security.  You get less forever after, but you can start drawing.  As of the moment, 66 represents the “official” 100% age, when payments are what they’re supposed to be.  That’s one year older than it used to be, and younger than it will be for later cohorts.  And 70 represents the age when payments reach their maximum.  If you can wait that long, you get more.
But this cheery scenario, which has served the next-older cohort, the group that’s now 65-74, quite well, depends on there being money around in the future to make those fatter payments.  And, as I’m sure you know, that may not be the case.
Addressing the end date for the stream of payments, I looked at two different reports that each gave an estimate of when — 2031 and 3037 — Social Security would run out of money if no reforms were enacted.  Now, I recognize that it is unlikely that there will be funds one day and the spigot will clang shut the next.  More probably, sometime before the system, which has been in the red since 2010, actually runs out of money, some brave Congresswoman, Senator, or even President will step up and enact reforms that will allow payments to continue at reduced rates.  However, for purposes of this exercise, I made the simplifying assumption that payments will continue as they are until they stop.  This assumption has the additional benefit that it can apply not just to the system, but to the individual as well.  That is, the system may stop, but I may stop first.  Even the greatest narcissist can’t truly believe après moi, le deluge.  After all, as T.S. Eliot so eloquently and mystifyingly said, “This is the way the world will end … not with a bang, but a whimper.  I will cease, but something else will continue.
What is most interesting in the model, however, particularly to quants, is the interest rate assumption.  At Chicago, we plugged the cost of capital into everything.  It was always called Greek letter ρ (“rho”), the cost of capital.  Now, lazy people like me just used the interest rate as a proxy for the cost of capital, and it’s way beyond the scope of this column to talk about why that may or may not be a solid move.  But what even is the interest rate?  Is it the lending rate, the borrowing rate, the interbank rate, some other arbitrary rate set in London, or what capital actually costs you?  Whatever.
You use the cost of capital/interest rate as a means to discount the value of money between periods; that is, over time.  The basic idea is that a dollar today is worth more than the promise of a dollar tomorrow.  It’s completely intuitive.  But how much more?  To manage this question, I used, as noted above, four assumptions.  Those savers among you may have noted that your bank accounts are yielding something pretty close to zero.  Paranoids in our Boomer ranks might think that these “artificially” low interest rates are a grand conspiracy to deprive us of our rightful retirement, but the fact is the world is awash in money looking for a rate of return, and that’s the way markets operate: all this demand for safe investments drives the price of money (the interest rate) down.
I didn’t use a zero interest rate in the model because it would yield an absurd result: $1,000 now would be worth the same as $1,000 20 years from now, and you know that can’t be right.  Perhaps the market interest rate isn’t a good measure of an individual’s cost of capital.  For an old guy, having the money now while he’s still healthy enough to enjoy is worth a lot more than later, when he’s dead.  So, I used the 1%, 2%, 5%, and 10% rates.  Folks in my generation can remember when interest rates were as high as 20%, in the Volker/Reagan years.
So, here are the results.  Using discounted cash flow analysis, and starting the periods at the appropriate times — this year, in 2019, and in 2023 — when I am/will be 62, 66, and 70, respectively, I ran all the numbers, determining a net present value for each stream of payments, a single number to represent that set of assumptions.  What they show is that you might be better off beginning to take benefits at each age, depending on assumptions,.  That is, the model is sensitive enough so that the assumptions matter.  For low interest rates and a longer-lived system (and person), the recommendation is to wait until 70.  For high interest rates and a shorter-lived system/person, start at 62.
Net present value of the stream of payments associated with taking Social Security at various ages using various interest rates and assuming that the system goes bankrupt in 2031
Net present value of the stream of payments associated with taking Social Security at various ages using various interest rates and assuming that the system goes bankrupt in 2031
Interestingly, under the model that shows the system crapping out in 2031, no assumption tells you to wait until 70, the maximum benefit year.  And even under the 2037 version, only the 1% and 2% models say take it at 70.  In fact, the 2037 model shows a perfect crossover.  At 5%, the recommendation is 66, and at 10%, it’s clearly 62.
Same as above but with the assumption that the system will go bankrupt six years later, in 2037
Same as above but with the assumption that the system will go bankrupt six years later, in 2037
So, where does that leave us?  I submit that the true cost of capital is higher for the individual than the current market interest rate would suggest, and that discounting of future payments at a reasonable rate — like 5% — makes sense.
Thus, I’m likely to start claiming at age 66.
Good luck with your decision, fellow Boomers!
Twitter TWTR -0.09%: RogerKay

Thursday, June 18, 2015

500 Marbot di DKI dapat Jaminan Gratis BPJS Ketenagakerjaan

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama berfoto bersama marbot (pengurus masjid) sebelum keberangkatan umroh, Selasa (16/12).
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama berfoto bersama marbot (pengurus masjid) sebelum keberangkatan umroh, Selasa (16/12). (Suara Pembaruan/Deti Mega P) 

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Kantor Wilayah (Kanwil) DKI Jakarta memberikan kartu BPJS Ketenagakerjaan gratis kepada 500 marbot atau pengurus masjid di Waduk Pluit, Jakarta Utara. Para marbot tersebut dapat mengajukan klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK) dengan jangka waktu selama tiga bulan ke depan.
Penyerahan kartu secara simbolis dilakukan oleh Asisten Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Pengendalian dan Kependudukan Marullah Matali, didampingi oleh Walikota Jakarta Utara Rustam Effendi, dan Kakanwil BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta Rizani Usman, di Jakarta, Selasa (16/6).
Kegiatan tersebut mengambil tema "Sosialisasi Masif Perlindungan Sosial Pekerja Bukan Penerima Upah, Menyongsong Operasi Penuh BPJS Ketenagakerjaan". Selain pembagian kartu, ada pembagian 4.000 paket sembako gratis, dan ratusan beasiswa kepada siswa berprestasi.
Kakanwil BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta, Rizani Usman mengungkapkan, pada 1 Juli 2015 BPJS Ketenagakerjaan akan beroperasi penuh yag ditandai dengan dimulainya Program Jaminan Pensiun (JP) yang akan diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo di Cilacap, Jawa Tengah. Program baru tersebut akan melengkapi program yang telah ada, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), dan Jaminan Hari Tua (JHT).
Program Jaminan Pensiun menjadi salah satu program perlindungan dasar yang bisa dinikmati pula oleh karyawan swasta. Rizani juga menyampaikan mulai tahun ini pihaknya menyelenggarakan program return to work.
"Bagi tenaga kerja yang mengalami cacat bisa dirawat dengan biaya tak terbatas. Dirawat agar bisa kembali pekerja sesuai dengan fungsinya," ujar dia.
Pada kesempatan itu, Marullah Matali yang mewakili Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, mengapresiasi langkah BPJS Ketenagakerjaan yang menyantuni para marbot dengan program perlindungan sosial ketenagakerjaan.
"Ini merupakan sesuatu yang sangat luhur. Ini kado mulia dalam rangka HUT DKI ke-488 dari BPJS Ketenagakerjaan," kata dia.
Marullah berharap, perlindungan tersebut tidak hanya berlaku tiga bulan ke depan saja. Tetapi berlaku selamanya untuk para marbot.
"Semoga ke depan, ditindaklanjuti oleh Bazis (Badan Amil Zakat Infaq dan Sodaqoh) DKI. Kami laporkan juga kepada Pak Gubernur (Basuki Tjahaja Purnama) agar direspons," ujar dia.
Menurut dia, marbot merupakan kelompok yang perlu dibantu lantaran penghasilannya tidak jelas. Mereka bukan tergolong kelompok pekerja, karena pekerjaan mereka tidak berorientasi untuk gaji. Mereka mencurahkan segala tenaga dan kemampuan untuk mengurus masjid dan musala.
"Ini menjadi kewajiban. Pemerintahan harus ada di tengah-tengah kesulitan warganya," kata Marullah. (www.beritasatu.com)

Wednesday, June 17, 2015

BP Jamsostek Berikan Bantuan Mobil Ambulan kepada RS Pertamina Jaya



Untuk kesekian kali Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) Kantor Wilayah (Kanwil) DKI Jakarta memberikan bantuan mobil ambulan gawat darurat kepada rumah sakit. Kali ini penerimanya adalah  Rumah Sakit Pertamina Jaya (RSPJ), Jalan H. Yani No 2 By Pass, Jakarta Pusat. Dengan begitu pasien-pasien kasus kecelakaan kerja dapat tertolong lebih cepat.   
”Kami sangat berterimakasih kepada BPJS Ketenagakerjaan. Bantuan yang diberikan tergolong ambulan recue dengan peralatan cukup lengkap. Sehingga saat mengankut pasien bisa dilakukan tindakan emergency. Bahkan di dalam ambulan bisa dilaksanakan operasi kecil, ” ungkap Direktur RSPJ, dr Duta Liana MARS di sela-sela acara penyerahan serah terima kunci mobil ambulans secara simbolis di halaman RSPJ. Turut hadir dalam acara tersebut Kakanwil BP Jamsotek DKI Jakarta Rizani Usman yang didampingi Kepala Kantor Cabang (Kakacab) BP Jamsostek Jakarta Salemba Budiono.
Liana mengatakan, pihaknya memang salah satu rumah sakit yang ditunjuk menjadi faslitas trauma center untuk menangani pasien BP Jamsostek dalam kasus kecelakaan kerja. Sebelumnya pihaknya juga bekerjasama dengan BP Jamsostek atau masih menjadi PT Jamsostek Persero (BUMN) Kantor Cabang Salemba. Sebagai fasilitas trauma center tentu dilengkapi fasilitas yang memadai.
Antaralain unit gawat darurat 24 jam, rawat jalan, rawat inap, penunjang medis, dan rehap medis. Sedangkan sisi SDM juga langkap antaralain ada dokter spesialis bedah tulang, bedah umum, bedah urologi, bedah vaskuler, enternis, dan sebeagianya. Pihaknya berharap dengan bekerja sama dengan BP Jamsostek dapat semakin meningkatkan fasilitas dan layanan medis terutama trauma center. Terlebih dibantu mobil dengan mobil ambulan BP Jamsostek.
”Sebab posisi RSPJ tergolong strategis sebagai tempat penangangan gawat darurat. Salah satunya karena berada di pintu keluar jalan tol By Pass,” ungkapnya. Sementara itu Kakanwil BP Jamsostek DKI Jakarta, Rizani Usman berharap dengan bantuan mobil ambulan gawat darurat tersebut pelayanan RSPJ meningkat.
Ambulan gawat darurat tersebut memiliki spesifikasi lebih banyak dibandingkan mobil ambulan standar. Seperti alat monitor jantung, oksigen, dan sebagainya. ”Sehingga bisa cepat menstabilkan kondisi pasien di tempat kejadian dan pada saat dievakuasi di ambulan,” paparnya.
Menurutnya, RSPJ bekerjasama dengan pihaknya untuk menjadi RS Trauma Center (TC). Sehingga pasien peserta BPJS TK yang mengalami kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja langsung bisa ditangani dengan baik. Keberadaan mobil ambulan gawat darurat diharap bisa mengoptimalkan fungsi TC untuk pasien BP Jamsostek yang mengalami kecelakaan kerja. Menurutnya, cakupan kecelakaan kerja BPJS TK luas.
Mulai dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya pulang ke rumah dengan rute yang biasa dilewati. Begitu pula ketika musibah terjadi saat tugas di luar negeri akan dicover. ”Kecuali kalau mampir untuk karaoke lalu kecelakaan itu tidak akan dicover,” paparnya.
Yang luar biasa, kata Rizani, kecelakaan ketika acara piknik juga dicover. Asalkan acara tersebut merupakan agenda perusahaan. ”Misalnya employee gathering ke Taman Safari lalu di sana digigit singa, nah  itu masuk kategori kecelakaan kerja dan dicover,” paparnya.
Pihaknya juga bekerjasama dengan PT Jasaraharja. Dengan begitu peserta BP Jamsostek ototamtis pertama kali dicover Rp 10 juta dalam kasus kecelakaan lalu lintas. Jika kurang, baru BPJS TK membiayai maksimal Rp 20 juta.  ”Jika belum sembuh bisa dibiayai manfaat tambahan Rp 20 juta. Semilsalkan cacat, kami ada program return to work dengan biaya unlimited agar peserta bisa kembali bekerja sesuai dengan fungsi yang ada,” tandasnya.(*)
- See more at: http://www.indopos.co.id/2015/06/bp-jamsostek-berikan-bantuan-mobil-ambulan-kepada-rs-pertamina-jaya.html#sthash.pYJqO7St.dpuf