Sunday, January 27, 2013

BPJS Kesehatan Jalan Sempurnakan Jamkesmas


Mulai Januari 2014, BPJS Kesehatan mulai operasional. Sejumlah persiapan kini dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Warga masyarakat miskin berharap BPJS Kesehatan mampu menjadi tumpuan layanan murah, bahkan gratis.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah nestapa Ika Puspandari, warga Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, yang harus kehilangan anaknya yang sakit jantung bocor dan mesti menjaminkan sertifikat tanah ke RS Dr Sardjito Yogyakarta lantaran masih kekurangan pembayaran biaya rawat inap sebesar Rp19 juta.
"Sertifikat tanah yang kami jaminkan adalah sertifikat milik saudara saya. Karena tidak ada uang untuk membayar, kami menggunakan sertifikat itu," kata Ika Puspandari saat mengadu ke Lembaga Ombudsman Jateng dan DIY sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara akhir tahun 2011.
Ika bercerita, kekurangan pembayaran biaya rawat inap di RS Sardjito itu bermula ketika anaknya yang berumur empat bulan sakit jantung pada 2009. Karena kondisi kesehatan anaknya yang makin parah mengharuskan dirujuk dari RS Panti Rini di Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, ke RS Dr Sardjito Yogyakarta, masih di tahun 2009.
"Anak saya yang didiagnosa menderita pneumonia PJB Asianotik atau jantung bocor itu telah meninggal pada akhir 2009. Total biaya perawatan anak saya di RS Sardjito yang belum bisa saya lunasi sebesar Rp19 juta," katanya.
Pihak rumah sakit ketika itu meminta sertifikat tanah atau apa pun sebagai jaminan biaya yang belum dilunasi, sehingga Ika Puspandari terpaksa meminjam sertifikat tanah milik saudaranya.
Kematian memang sudah menjadi suratan takdir anak manusia. Tapi, Ika Puspandari tetap berikhtiar maksimal menyelamatkan si buah hati walau tidak punya uang yang cukup untuk membayar pelayanan rumah sakit. Sampai-sampai ia harus meminjam sertifikat tanah buat jaminan atas kekurangan biaya rawat inap. Ya sebatas itu yang bisa ia lakukan. Ika tidak memiliki asuransi kesehatan yang meng-cover biaya perawatan anaknya. Barangkali pula memang tidak ada asuransi kesehatan yang meng-cover pembiayaan perawatan penyakit bawaan.
Ika bisa jadi hanyalah sebuah potret buram warga kurang beruntung yang berharap pelayanan rumah sakit secara memadai. Masih banyak warga kurang beruntung yang kemudian cuma dapat bermimpi memperoleh pelayanan kesehatan penuh keramahan. Misalkan Patenah, warga Koja, Jakarta Utara, yang harus berobat ke RCSM gara-gara RS dekat rumahnya menolak kendati ia sudah mengantongi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Pengalaman kedua warga kurang beruntung tadi membuat was-was warga masyarakat miskin di banyak daerah. Wanto, warga Kelurahan Gedongkuning, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta, merasa was-was lantaran Kartu Menuju Sehat (KMS) miliknya dicabut oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Pedagang angkringan ini ketakutan keluarganya tidak bisa lagi memanfaatkan jaminan sosial seperti jaminan pendidikan dan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Banyak orang seperti Wanto kini menggantungkan hak pelayanan kesehatan pada KMS, SKTM, Kartu Gakin dan sejenisnya. Apalagi kini Pemerintah terus menyempurnakan pelaksanaan Jamkesmas dan bersiap mengimplementasikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
UU BPJS yang telah diundangkan pada akhir November 2011, oleh pemerintah dan DPR, dijadikan titik pijak awal bangsa Indonesia menuju terwujudnya jaminan sosial menyeluruh bagi seluruh rakyat tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28 Hayat (3) dan Pasal 34 ayat (2), serta UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sedemikian pentingnya pengembangan jaminan sosial nasional menyeluruh bagi seluruh rakyat tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi. Dan titik pijak itu dimulai sistem pembiayaan kesehatan melalui program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), terutama yang berpihak pada masyarakat miskin. Program Jamkesmas mulai digulirkan tahun 2008. Program ini sebagai penyempurnaan upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin yang dimulai dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK) tahun 1998–2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001, Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Tahun 2002-2004, dan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) di bawah pengelolaan PT Askes (Persero) pada 2004-2008.
Program Jamkesmas kini telah menuai banyak hasil pencapaian, terbukti dengan terjadinya kenaikan yang luar biasa dari pemanfaatan program ini dari tahun ke tahun oleh masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dan pemerintah telah meningkatkan jumlah masyarakat yang dijamin maupun pendanaannya.  Tahun 2012 ini pelaksanaan Jamkesmas disempurnakan dan ditingkatkan, mulai dari aspek kepesertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan, organisasi dan manajemen. Untuk aspek kepesertaan, Jamkesmas mencakup 72,04 juta jiwa dengan dilakukan updating peserta Jamkesmas di Kabupaten/Kota, optimalisasi data masyarakat miskin, termasuk gelandangan, pengemis, anak terlantar dan masyarakat miskin tanpa identitas. Peningkatan peran pemerintah daerah dalam berkontribusi terhadap masyarakat miskin di luar kuota. Dalam program ini, masih melibatkan PT Askes (Persero) yang mulai Januari 2014 bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan. PT Askes melaksanakan tugas dalam manajemen kepesertaan Jamkesmas. Juga akan dilakukan peningkatan pelayanan kesehatan dan penerapan sistem Indonesian Diagnosis Related Group (INA–DRG) dalam upaya kendali biaya dan kendali mutu pada seluruh Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK).
Peserta program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu. Sasaran peserta secara nasional ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes) sesuai SK Menkes Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 yang mengacu pada SK Bupati/Walikota tentang penetapan peserta Jamkesmas  serta gelandangan, pengemis, anak terlantar, masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas, pasien sakit jiwa kronis, penyakit kusta dan sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang belum menjadi peserta Jamkesmas.
Apabila masih terdapat masyarakat miskin yang tidak terdapat dalam kuota Jamkesmas, pembiayaan kesehatannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat dan mekanisme pengelolaannya mengikuti model Jamkesmas. Hal ini dimaksudkan agar semua warga masyarakat miskin terlindungi jaminan kesehatan dan di masa yang akan datang (tahun 2014) dapat dicapai universal coverage. Sampai saat ini masyarakat yang sudah ada jaminan kesehatan baru mencapai 50,78% dari sekitar 237,5 juta jiwa penduduk.
Implementasi dan pengguliran program Jamkesmas yang ditopang Jamkesda bukan berarti tanpa hambatan. Beberapa daerah bahwa merasa kesulitan karena banyak rumah sakit yang tidak siap menyediakan ruang perawatan kelas III, dana yang telat sampai pada RS provider, dan pendataan warga miskin yang dirasakan kurang jelas. Hal-ha seperti ini mesti dibenahi agar BPJS Kesehatan tidak menghadapi kendala-kendala yang sebenarnya telah diketahui.
Untuk kesiapan operasional BPJS Kesehatan per Januai 2014, Anggota Komisi IX DPR Herlini Amran mengingatkan, Kemenkes harus melakukan melakukan penambahan fasilitas tempat tidur kelas III di rumah sakit (RS) secara masif pada 2012 ini baik di rumah sakit umum daerah (RSUD) maupun RS swasta. Pihaknya meminta rumah sakit pemerintah di daerah agar bisa menambah tempat tidur kelas III hingga 50%.
Selain RS pemerintah, RS swasta juga akan diwajibkan menambah jumlah tempat tidur kelas III, yang saat ini baru sekitar 10% dan diharapkan mencapai 25% mulai tahun 2012 ini. ”Saat ini tercatat ada 114.000 tempat tidur bagi pasien kelas III yang disediakan 1.080 RS penerima dana Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) di seluruh Indonesia. Jumlah itu dinilai masih kurang dan akan ditingkatkan hingga dua kali lipat,” jelas Herlini sebagaimana dilansir Koran SINDO belum lama ini.
Ke depan, kata dia, seluruh pasien di kelas III akan ditanggung pemerintah lewat Jamkesmas yang kemudian bermetamorfose menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas). Karena itu, Kemenkes harus segera berkoordinasi, baik dengan RS pemerintah maupun swasta untuk mensinergikan penambahan kasur tersebut dalam upaya persiapan kebijakan seluruh fasilitas RS kelas III gratis.
Selain penambahan fasilitas tempat tidur untuk kelas III, Herlini juga mengimbau agar Kemenkes dapat berkoordinasi dengan pengelola RS swasta agar dapat menerima pasien peserta jaminan kesehatan, yakni Jamkesmas/Jamkesnas, Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Jaminan Persalinan (Jampersal), dan Asuransi Kesehatan (Askes). ”Karena baru sekitar 300 RS swasta yang melayani pasien jaminan kesehatan dari total 700 RS swasta di Indonesia,” jelas Herlini.
“Diharapkan Kemenkes melakukan persiapan yang matang menuju BPJS Kesehatan mulai tahun ini. Jangan sampai menjadi kagetanketika sudah mendekati 2014 masih banyak perangkat persiapan BPJS Kesehatan yang belum terlaksanakan,” tandasnya.
Untuk mencapai universal coverage pada tahun 2014 memang perlu ada sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hal yang paling penting dalam mensinegikan jaminan kesehatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah masalah pembiayaan. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdapat dalam Keputusan Bupati/Walikota akan dibiayai dari APBN, Masyarakat miskin dan tidak mampu di luar kuota ditanggung oleh Pemerintah Daerah dengan sumber biaya dari APBD, Kelompok Pekerja dibiayai dari institusi masing-masing ( PNS, AsabriI, Jamsostek) dan kelompok individu (kaya dan sangat kaya) membiayai diri sendiri dengan asuransi kesehatan komersial atau asuransi kesehatan lainnya.
Sampai saat ini sudah banyak Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan menyediakan dana melalui APBD dalam rangka memberikan jamianan kesehatan bagi masyarakatnya di luar kuota Jamkesmas. Namun pelaksanaanya antara pemerintah daerah yang satu dengan pemerintah daerah yang lain berbeda-beda. Pemerintah Provinsi Jawa Barat misalkan, mulai tahun 2012 ini menerapkan KTP Berasuransi Kesehatan untuk warga miskin. Pemerintah Kabupaten Bantul (DIY) lain lagi cara yang ditempuhnya, yakni menggulirkan gerakan seribu rupiah untuk membantu pelayanan kesehatan warga miskin.
Kementerian Kesehatan mengaku sedang mempersiapkan peraturan untuk operasional BPJS Kesehatan yang diberlakukan mulai 2014. "Ada beberapa hal yang dipersiapkan, khususnya persiapan peraturan-peraturan untuk mendukung BPJS Kesehatan," jelas Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih baru-baru ini. Ia menambahkan, sebelum 2014, peraturan dimaksud sudah rampung dan BPJS Kesehatan siap jalan.
Sementara itu Hasbullah Thabrany dari Center for Health Economics and Policy Universitas Indonesia (UI) mengingatkan perlunya dukungan sistem informasi atau link yang terhubung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk operasional BPJS Kesehatan. "Semua data peserta harus terdaftar dan terekam dalam database nasional," kata Hasbullah belum lama ini.
Selain itu, dalam mempersiapkan beroperasinya BPJS Kesehatan, kualitas dan moralitas petugas BPJS harus di-upgrade dengan pemberian pemahaman jabatan publik agar dalam melakukan tugas sepenuhnya untuk memuaskan peserta.
Sebelum sampai pada perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM) dan fasilitas penunjang, ujar Hasbullah, pertama kali Pemerintah harus menuntaskan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Jaminan Kesehatan dan BPJS Kesehatan di tahun 2012. Selain itu, menurut dia, sosialisasi UU SJSN dan UU BPJS ke seluruh rakyat juga sangat diperlukan. "Sediakan dana Rp1 hingga Rp2 triliun untuk kesiapan, sosialisasi, dan sinkronisasi peraturan teknis," jelasnya.
Hal yang tidak kalah penting untuk mempersiapkan beroperasinya BPJS Kesehatan adalah PT Askes yang akan diubah menjadi BPJS I, harus mengubah semua prosedur dan mind set para stafnya agar konsisten dengan tugas UU SJSN dan UU BPJS. Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah, dibantu oleh swasta, juga harus membangun lebih banyak tempat tidur di Rumah Sakit kelas I, II, dan III.
Sedangkan untuk mempercepat persiapan beroperasinya BPJS Kesehatan,  Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini mengatakan dapat dilakukan dengan persiapan cakupan, memperluas penerima bantuan iuran, penduduk miskin, tidak mampu dan penduduk di sektor informal dengan besaran minimum Rp20 ribu per orang per bulan. Menurutnya dana APBN dan APBD cukup memadai untuk digunakan, hanya saja saat ini belum ada political will dari pemerintah.
"Pemda membayar sebagian iuran, sharing dengan pemerintah pusat, agar rakyatnya segera terjamin. Selain itu perlu ada penegakan hukum untuk pengusaha yang belum bayar iuran kesehatan," jelasnya lagi.
Beberapa bidang yang paling krusial yang harus dibenahi dalam pelayanan kesehatan di antaranya pelayanan yang non-diskriminatif, sosialisasi kepada seluruh dokter yang bekerja di Rumah Sakit, Klinik dan Puskemas. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beserta  Dinas Kesehatan juga perlu mensyaratkan sertifikasi pemahaman atau ujian mengenai Jaminan Kesehatan Nasional agar bisa melayani dengan baik dan benar, menghitung besaran iuran dan pembayaran yang sesuai, yang bisa diterima pasar. ***

  

No comments:

Post a Comment