Saturday, August 31, 2013

Kita Harus Mengubah Mindset Hubungan Industrial



* Ridwan Monoarfa
Anggota DJSN



Persoalan besaran iuran jaminan sosial yang mesti dibayar pekerja (buruh) menjadi isu krusial menjelah dioperasikannya BPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2014 nanti. Tarik ulur masih terus berlangsung. Padahal, buruh sangat lekat dengan prinsip gotong royong alias bekerja bersama sebagai bagian dari prinsip iuran jaminan kesehatan. Benarkah? Mari kita ikuti pernyataan Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Ridwan Monoarfa berikut:

Bagaimana latar belakang Anda masuk DJSN?
Ya sebenarnya sejak UU SJSN ditetapkan, memang kemudian untuk pertama kalinya, wakil dari serikta buruh itu ditunjuk. Ditunjuk oleh kementerian yang terkait, yakni Kemenakertrans. Tapi proses penunjukan itu melalui proses organisasi pekerja yang duduk, sebab konfederasi yang duduk. Konfederasi itu gabungan dari federasi2 serikat pekerja. Jadi memang topnya tingkat nasional itu konfederasi. Konfederasi yang mewakili di DJSN ini dua, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang saya wakilkan dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Saya yang mewakili dari KSPI ini, oleh rapat KSPI itu ditunjuk karena untuk duduk di sini ada persyaratan: usia di bawah 60 tahun dan sarjana. Itu yang paling pokok. Kemudian dilihat dari yang ada di KSPI, saya yang dipilih. Memang ada juga yang lain memenuhi syarat, tapi sudah ada jabatan.
Prosesnya adalah proses pilih yang dilakukan oleh rapat. Sebelumnya saya tidak tahu persis. Tapi kemudian saya diminta oleh organisasi KSPI untuk mewakili duduk di sini.

Lalu apa yang terbayang di benak Anda ketika masuk ke DJSN?
Saya waktu itu membayangkan ini satu wadah untuk kita menempatkan menyuarakan aspirasi pekerja dalam pelaksanaan jaminan sosial. Jadi saya menyuarakan aspirasi2 buruh. Waktu itu saya sudah dipesankan oleh kawan2 di KSPI itu tiga hal: yakni pelayanan kesehatan seumur hidup, tanpa batasan, dan semua jenis penyakit. Saya kira aspirasi itu sudah masuk. Jadi kalau kemudian ada jaminan kesehatan komprehensif, juga mempertimbangkan aspirasi buruh ini, untuk semua penyakit dan tidak ada batasan. Karena buruh merasakan betul. Kalau penyakit2 katroskopi itu tidak ditanggung, di situ lah persoalanan. Banyak perusahaan tidak menanggung itu. Dulu Jamsostek tidak menanggung itu, sekarang sedang diusahakan. Katroskopi itu seperti penyakit kanker, cuci darah, dan sejenisnya.
Saya merasa form mewakili mereka, hal yang diminta kawan2 itu terakomodasi. Ini satu situasi yang baik, Kemenkes memahami betul. Dari sisi medis, pertama orang sakit itu ya dipulihkan. Jadi tidak harus dikenal atau ditanya wah ini penyakit tidak dicover di sini.. dari kalangan medis sendiri menyembuhkan penyakit orang kan tugas profesi.
Jangan dikira menanggung penyakit komprehensif ini tidak ada tekanan2. Banyak juga yang tidak sependapat ...oh ini penyakit mahal. Tapi saya kira Kemenkes bertemu dengan aspirasi buruh yang kuat, sangat mempengaruhi keputusan atas jenis2 penyakit yang dijamin.

Selain soal pelayanan kesehatan yang komprehensif, aspirasi apa lagi yang berhasil Anda perjuangkan?
Hal yang lain soal pensiun. Pensiun ini sudah menjadi bagian, masa orang bekerja sekian lama kok sengsara. Memang ada jaminan hari tua, tapi tidak memadai, tidak memenuhi syarat kita untuk memiliki income lagi. Dengan jaminan pensiun ini diharapkan, walaupun kita sudah tidak bekerja lagi, mereka tetap memperoleh pendapatan. Mungkin pendapatannya tidak sebesar dibandingkan ketika masih bekerja. Sekarang sedang diformulasikan berapa besarnya. Kawan2 buruh menginginkan formulasi manfaatnya secara dasar mencukupi. Pengertian cukup itu tidak membebani pihak lain.


Apa tantangan untuk mencapai pelayanan kesehatan yang komprehensif?
Situasi berubah, sikap kita ternyata tidak berubah. Contoh paling gampang, dulu atau selama ini buruh tidak merasa membayar iuran. Sekarang, sistemnya sudah diperbaiki, tidak ada lagi diskriminasi, kita sadari bahwa kita harus berubah, ya mesti membayar iuran karena UU mensyaratkan demikian. Kalau saya membayar iuran, sebagai buruh, ke depan saya menjunjung sikap solidaritas atau gotong royong. Karena gotong royong atau solidaritas itu ideologi buruh. Dalam sistem jaminan sosial sekarang ini ada prinsip gotong royong. Artinya, sudah sesuai dengan aspirasi. Nah, di mana gotong royong itu, ya di iuran tersebut. Modal gotong royong itu, khususnya di sistem kesehatan, pemerintah/negara membantu yang miskin, pengusaha dan buruh sama2 membayar iuran, yang sehat membantu yang sakit, yang sehat kan iurannya gak kembali karena dipakai oleh yang sakit. Di situlah prinsip kegotong-royongan. Dalam pandangan saya, prinsip gotong royong ini yang harus dikuatkan oleh serikat buruh untuk diperbarui setiap saat. Karena di situ ada ideologi buruh yang kuat. Menjadi tantangan bagi saya untuk meyakinkan kawan2 terhadap isu ini, terhadap perwujudan prinsip gotong royong ini.
Ini bukan pekerjaan gampang. Sejauh ini kami terus menjalin dialog2. Saya optimis hal ini makin hari makin ada pengertian yang kuat. Karena dulu lihat saja, gak bayar, sekarang sudah mau tapi minta secara bertahap. Sudah ada perubahan, pemahaman dan pengertian. Dan semakin disadari gotong royong ini yang menjadikan sistem ini semakin kuat. Sistem ini akan bekerja baik kalau sesama warga negara saling tolong-menolong.
Saya kira hal itulah yang mendasar. Tantangannya soal waktu saja. Kalau sistem makin baik, manfaat juga baik, akan muncul kesadaran di masyarakat akan arti penting jaminan sosial. Sistem harus dipelihara secara baik karena di sinilah ada hubungan antara negara dan warga masyarakat. Hubungan semakin diperkuat. Masyarakat semakin berkontribusi pada sistem jaminan kesehatan nasional.

Mengapa sepertinya soal konsensus pekerja mengiur ini berjalan alot?
Watak kaum buruh itu suka membantu orang. Saya ini pengelola serikat buruh, sebagai pimpinan lho, ketua salah satu serikat pekerja di Panasonic Gobel Group. Waktu saya pimpin, sistem ini kan belum ada. Kami biasa bergotong-royong membantu kalau ada pekerja yang sakit walaupun perusahaan tidak menanggung. Apa yang kita bantu? Biaya2 dari keluarga yang datang dari kampung. Di situ lah buruh kumpul duit untuk mengongkosi keluarga. Artinya, suasana itu sudah ada tapi masih bersifat kelompok, baru kesadaran sosial, belum sistem. Sekarang sudah berusaha disistemkan, diundangkan, jadi semakin kuat posisinya. Justru kita harus makin maju melihat bahwa iuran kita itu terkait dengan harga diri. Kalau kita membayar maka kita merasa memiliki sistem ini. Yang kemudian kita mengontrol. Bukan dalam arti psikologis tapi dalam tindakan2 kontrol kita bisa lakukan. Karena kita yang membiayai, kita berjuang, kita mengambil peran. Di situlah kontrol kita apakah sistem bekerja secara baik. Jangan ada yang korupsi, jangan disalah-gunakan, pelayanan baik atau tidak, di sinilah fungsi kita. Karena kita berkontribusi, itu harga diri namanya.

Ke depan apa harapan Anda?
Akhirnya kalau sistem ini berjalan baik, kembali kepada perusahaan kita, perbaikilah hubungan industrial di tingkat perusahaan, bangunlan sikap kerjasama antara pengusaha dan pekerja untuk memajukan perusahaan, dan kesejahteraan buruh harus terjamin dan terus-menerus. Harapan kami dalam membangun sistem jaminan sosial ini ada dua hal yang harus diperhatikan oleh negara maupun pengusaha: pertama, pekerjaan itu harus bisa dijamin secara terus-menerus sehingga buruh bisa bekerja secara baik. Jadi memang buruh kontrak itu problem karena tidak punya jaminan bakal bekerja terus-menerus. Kedua, berikan pendapatan yang menjadi bagian purchasing buruh untuk menguatkan secara makro sekaligus membantu sistem ini menjadi kuat. Itulah mengapa buruh harus membayar iuran. Bayangkan masa punya upah gak bisa bayar iuran. Di sinilah jaminan pekerjaan dan jaminan pendapatan menjadi penting. Ini hanya bisa terwujud apabila hubungan industrial di tingkat perusahaan berlangsung baik. Pengusaha harus melihat pekerja itu bukan siapa2, mereka adalah bagian dari perusahaan. Dan karena itu harus dijaga. Caranya jaminan sosial itu harus bisa berlangsung dengan syarat ada jaminan pekerjaan dan jaminan pendapatan. Itulah harapan yang paling kuat.
Memang banyak negara mengatakan wah negara beri semuanya, itu negara luar. Negara kita sedang tumbuh kok. Kita ini direbut pasarnya oleh perusahaan asing, kok tidak yakin, apa gunanya merdeka. Yang mau saya katakan adalah saat terjadi perubahan di dunia internasional jangan lantas ikut2an. Sebagai bangsa yang merdeka kita punya strategi buat mengatur sendiri. Bangsa ini sedang tumbuh besar, bahkan menjadi sorotan dunia, bahwa perkembangan ekonomi ada di Indonesia. Jangan ketika terjadi krisis ekonomi di Barat, karena mereka sudah penuh, kita kan tidak. Kita kan baru mulai, gitu lho. Jangan saat membangun ini lantas pakai alasan2 di atas, itu ahistoris namanya, tidak sesuai dengan pertumbuhan sejarah kita. Industri kita belum apa2, pasar kita diambil kok. Jangan takut membangun sistem jaminan sosial karena takur bersaing. Oo yang bersaing siapa. Jangan lupa industri negara maju itu tumbuh karena purchasing dari buruhnya. Cuma lagi2 mereka sudah full. Kita masih terbuka luas industri tumbuh lebih luas lagi.                                           
Harapan saya SJSN ini mereorientasikan kita bagaimana menata hubungan industrial itu ke depan. Mari kita bersama2 melihat sistem jaminan sosial ini harus berjalan baik dengan satu sikap saling kerja sama buruh, pengusaha dan pemerintah.
Ini penting sekali, pengusaha harus berubah mentalnya atas sikapnya melihat pekerja seolah2 sebagai orang yang berada di bawahnya. Jangan lagi melihat pekerja seperti majikan melihat PRT di rumah. Majikan jangan melihat buruh seperti itu. Sebaliknya buruh jangan melihat majikan selalu eksploitatif. Karena itu kalau kita bisa bangun sistem jaminan pekerjaan terhadap pekerjanya, dia bisa bekerja terus-menerus, memperoleh income yang layak, punya jaminan sosial, saya yakin negara ini akan menjadi lebih kuat. Hubungan industrial di perusahaan akan terbangun dengan baik. Lagi2 kita harus mengubah mindset.

Apa yang menjadi keberatan kalangan buruh atas iuran SJSN ini?
Problem buruh itu banyak dan banyak pula pemimpinnya. Kita ada di alam demokrasi, tidak boleh memaksakan satu terhadap yang lain. Kemudian berpendapat beda dimaklumkan di alam demokrasi. Problem adalah ketika mencari konsensus di dalam perbedaan ini. Saya kira kita masih perlu belajar dalam mencari konsensus dalam berbeda pendapat. Contoh paling kongkret soal jaminan sosial tadi, ada yang setuju bayar, ada yang tidak setuju bayar. Oo jangan ini tanggung jawab negara. Ini kan pendapat. Tapi ketika dicari konsensus sulit, masing2 pihak begitu, akhirnya tergantung pemerintah. Kita tentu tidak bisa membayangkan ada kelompok serikat buruh yang menolak UU SJSN, tidak bisa dibayangkan ini buruh siapa? Itulah karena terlalu banyak kelompok tadi. Dan pemimpin buruh punya banyak latar belakang. Di sinilah perbedaan itu. Tapi sekali lagi, kalau perbedaan itu kita hargai bagian dari demokrasi, jangan lupa konsensus harus dicapai. Kalau tidak maka ya seperti ini.

Soal premi ini kan ada porsi buruh dan pengusaha, berapa?
Harus dikembalikan kepada perhitungan keekonomian. Ada variabel2 mengapa iuran itu besarnya sekian. Setelah dikaji dari berbagai sudut ya angka lima persen itu. Kalau kita mau fair dengan keadaan, kalau kita lihat eksisting rata-rata jadi 4,5 persen, dengan sistem yang baru kan tinggal tambah 0,5 persen dari biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan yang lima persen, terlepas siapa yang bayar: pengusaha atau buruh. Buruh atau pengusaha yang bayar itu soal administrasi, karena iuran itu diambil dari perusahaan. Perusahaan itu hidup karena ada kerjasama majikan dan pekerja. Mau 4:1 atau 3:2 ya diambil dari perusahaan. Sebab, buruh kan tidak bawa uang dari rumah lalu bayar premi. Oo tidak. Nanti di labour cost, biaya buruh, itu terbaca betul gaji berapa, bayar iuran jamsostek berapa, pajak, biaya piknik, biaya baju. Semua itu masuk komponen biaya buruh. Itu lah yang mempengaruhi harga produk kita. Kemudian konsumen bayar itu. Karena produk bagus, konsumen bisa menikmati.
Lagi2 sebenarnya besaran 5 persen itu harus dilihat dari perusahaan kita. Sanggup ataukah tidak, itu harus dicek di labour costnya. Berapa labour cost Indonesia, masih di bawah 10 persen. Artinya yang dibicarakan ini 10 persen di dalam 90 persen cost. Terlalu relatif kecil. Tapi kalau kita tarik nominal seolah2 besar. Cuma saya harus mengatakan, terkait dengan padat karya, kita harus siap betul. Karena padat karya ini biasanya komponen labour costnya tinggi sekali. Tapi kita harus cek betul, pengusaha harus jujur lah. Tapi untuk bayar kesehatan, dibandingkan dengan negara2 ASEAN, Indonesia masih kecil.
Semangat kawan2 berharap pemerintah membantu buruh formal dalam pelayanan kesehatan ini. Jadi 1/3 buruh, 1/3 pengusaha dan 1/3 pemerintah. Tanggung jawab bersama lah, maunya begitu. Tapi pemerintah kita ka wah fiskal, fiskal... ya sudahlah. Padahal kalau pemerintah bayar itu kan menstimulasi. Perusahaan akhirnya ikut semua. Kalau tidak kita kehilangan opportunity, 30 persen yang dibayar pemerintah tidak kita gunakan. Saya kira menarik kalau pemerintah ikut, tiga pihak kan. Tapi pemerintah bilang kan untuk pertama kali buat yang tidak mampu dulu lah. Artinya, buruh bisa meminta, kalau terima upah minimum itu dianggap tidak mampu, karena upah itu hanya cukup buat makan, tidak cukup buat bayar premi jaminan kesehatan. Kita berharap dapat PBI juga. Harapannya begitu.
Ini semua saya kira isu2 penting yang mesti kita lihat. Bagi saya yang penting pertama pastikan kita terdaftar sebagai anggota peserta jaminan sosial. Pastikan itu.

Bagaimana dengan pekerja mandiri atau informal?
Untuk buruh informal kami juga perjuangkan. Iuran mreka biasa dalam bentuk nominal, misal Rp20.000-an untuk yang standar, yang di atas standar bisa Rp40.000-an. Mereka cukup peduli pada kesehatan dan mereka sudah nanya2 karena melihat sistem sekarang ini lebih bagus.***                

No comments:

Post a Comment