Almujizat
Pemerhati CSR
Ramai
dengan pendapat yang kontra tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tidak
membuat pemerintah bergeming. Tetap dengan rencananya, pemerintah akan mulai
melaksanakan SJSN pada awal Januari 2014. Bagi pemerintah, SJSN dianggap
sebagai solusi terhadap persoalan yang dirasakan rakyat terhadap layanan
kesehatan dan jaminan ketenaga kerjaan.
Menurut UU
No. 40 Tahun 2004, SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan
sosial oleh beberapa Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Ada dua program
jaminan sosial dalam SJSN, pertama jaminan kesehatan, dan kedua jaminan
ketenagakerjaan. Jaminan ketenagakerjaan meliputi jaminan kecelakaan kerja,
jaminan hari tua, jaminan pension dan jaminan kematian. Lebih lanjut dalam UU
disebutkan SJSN dianggap penting dilakukan menimbang setiap orang berhak atas
jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan
meningkatkan martabat. Dengan SJSN orang miskin atau kalangan tidak mampu akan
dibiayai oleh Negara melalui APBN dengan istilah Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Diluar orang miskin dan kalangan tidak mampu, setiap warga negara harus
membayar iuran setiap bulan. Kenyataan ini menjadi berbeda dengan Jamkesmas
selama ini yang tidak perlu menjadi peserta dan membayar.
Banyak
kalangan yang terkejut dengan sistem pelaksanaan SJSN. SJSN dianggap menjadi
bentuk pembodohan logika dalam sistem penyelenggaraan bernegara. Sistem jaminan
sosial khususnya dalam bidang kesehatan akan mengalihkan sebagian tanggungjawab
pelayanan kesehatan oleh pemerintah kepada rakyat. Selain membebani rakyat,
sistem pelayanan kesehatan tersebut bersifat diskriminatif sebab yang
ditanggung oleh pemerintah hanyalah orang miskin saja. Sementara yang dianggap
mampu harus membayar sendiri. Tragisnya lagi, pelayanan kesehatan terhadap
rakyat dibedakan berdasarkan status ekonomi dan jabatannya.
Pendapat
yang kritis juga dilayangkan oleh serikat pekerja. Banyak juga yang menolak.
Menurut mereka adanya SJSN membuat beban kepada pekerja menjadi bertambah
karena iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang tadinya dibayarkan
sepenuhnya oleh perusahaan beralih ke pekerja. Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jamsostek, iuran JPK sepenuhnya ditanggung pengusaha dengan
besaran 3% dari upah sebulan, dan 6% dari upah sebulan bagi pekerja
berkeluarga. Tetapi dengan berlakunya UU SJSN dan UU BPJS, para pekerja mesti
mengalami pemotongan upah sebesar 2% dari upah sebulan.
Bagaimana
respon dunia usaha terhadap SJSN? Sejauh ini sudah 268.417 perusahaan yang
telah mendaftar kepada Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). BPJS adalah badan
yang ditunjuk berdasarkan UU BPJS N0. 24/2011 untuk melaksanakan SJSN. Menurut
Elvyn G Masassya, Direktur Utama PT Jamsostek angka tersebut belum semuanya,
masih banyak yang belum mendaftar (okezone, 9/04).
Guru Besar
Pusat Kajian dan Kebijakan Kesehatan Fakulas Kesehatan Masyarakat UI Hasbullah
Thabrany dalam sebuah seminar mengatakan, dalam praktiknya nanti SJSN belum
100% optimal, karena masih banyak perusahaan yang belum mau bergabung menjadi
peserta BPJS. Faktor utamanya adalah perusahaan sudah bekerjasama dengan
asuransi kesehatan komersial yang lain. Dengan kata lain manfaat yang diperoleh
nantinya dikhawatirkan akan berkurang jika perusahaan mendaftar di BPJS.
Katanya lagi banyak karyawan di beberapa perusahaan swasta di Indonesia
mempunyai dokter pribadi masing-masing di beberapa Rumah Sakit karena
fasililitas yang diberikan asuransi komersial. Kedekatan karyawan dan dokter
pribadi tersebut menjadi salah satu penyebab lain sehingga perusahaan masih
menunda menjadi peserta BPJS kesehatan.
Jika
ditilik dari pendapat Hasbullah Thabrany, dari segi jaminan kesehatan banyak
perusahaan yang sudah melaksanakan jaminan kesehatan dengan standar yang lebih
baik dari BPJS. Dalam hal ini pekerja justru menjadi pihak yang dirugikan
apabila SJSN jadi diberlakukan karena beban biaya yang akan bertambah dibandingkan
saat tidak perlu membayar apa-apa karena perusahaan yang membayarkan.
Jika memang
demikian, maka layaklah sikap kritis dilayangkan kepada SJSN. Karena dalam
beberapa hal justru SJSN membuat sejumlah standar layanan menjadi berkurang
dari sebelumnya. Mestinya sebagai sebuah sistem baru, SJSN memiliki nilai lebih
dibanding dengan kondisi sebelumnya. Peran Negara yang harusnya menjadi
penanggung jawab dalam pelayanan kepada rakyat justru hilang berganti dengan
keharusan rakyat yang membayar sendiri atas layanan kesehatan yang semestinya
diberikan secara gratis.
Bagi dunia
usaha, memang sudah semestinya memberikan fasilitas yang lebih baik daripada
apa yang diberikan jika masuk dalam BPJS. Komitmen tersebut terbangun dengan
kesadaran bahwa karyawan adalah asset yang berharga bagi keberlangsungan usaha.
Pekerja yang mendapatkan fasilitas yang baik akan memberikan prestasi kerja
yang maksimal sehingga pada akhirnya berpengaruh posistif bagi pendapatan
perusahaan.
Ditinjau
dari sudut ISO 26000, lebih jauh urusan yang terkait dengan karyawan (labour
practices) merupakan praktek CSR bersama dengan aspek-aspek lainnya yang harus
menjadi perhatian perusahaan.
Disebutkan
dalam ISO 26000, ada tujuh hal utama (7 core subjects) yang masuk dalam
tanggung jawab sosial perusahaan yaitu, tata kelola organisasi (organizational
governance), isu HAM (human rights), urusan perburuhan (labour practices), isu
lingkungan (environment), praktek operasi perusahaan yang memenuhi kaidah dan
etika (fair operating practices), tanggung jawab terhadap konsumen (consumer
issues), dan pelibatan dan pengembangan komunitas (community involvement and
development).
ISO 2600
merupakan guidance bagi dunia usaha dalam menjalankan perannya dan bagaimana
memiliki tanggung jawab sosial (corporate social responsibility).
Pemenuhan
hak-hak terhadap karyawan secara baik dan melebihi dari apa yang digariskan
dalam aturan dan perundang-undangan adalah wujud CSR. Pelaksanaan CSR tersebut
pada akhirnya diyakini akan memberikan kontribusi dalam kinerja dan
keberlanjutan perusahaan. (http://www.rumahcsr.co.id)
No comments:
Post a Comment