Wednesday, January 1, 2014

Kematian Khalifah Umar



Di tangan khalifah Umar, umat Islam memiliki banyak pasukan yang mampu menguasai berbagai wilayah, termasuk Persia dan Romawi. Begitu pula, mereka ini mampu mendatangkan ghanimah (harta rampasan perang) yang melimpah baik dari penjuru Timur maupun Barat. Sehingga umat Islam pada masa ini mampu mencapai kejayaan baik itu di bidang materi maupun non-materi. Akan tetapi bermula dari kejayaan ini pula, di sana mulai timbul benih-benih konspirasi (fitnah) yang mengatas-namakan kedaulatan umat Islam. Di sana-sini terjadi perselisihan antar-umat Islam, antara satu kubu dan kubu lainnya. Kondisi semacam ini pada akhirnya mengantarkan khalifah Umar bin Khattab terbunuh.
Bagaimana konspirasi ini dimulai? Siapa saja dalangnya?
Dalam catatan sejarah, konspirasi ini bermula ketika salah satu kubu Islam menunjuk seorang budak yang bernama Abu Lu’luah untuk membunuh khalifah Umar. Lantas, siapa sebenarnya Abu Lu’luah ini?
Ibnu ‘Abbas ketika bercerita tentang pembunuhan khalifah Umar berkata, “Umar wafat karena ditikam tepat pada paru-parunya. Orang yang menikamnya adalah Abu Lu’luah. Dia adalah seorang budak milik Mughirah bin Syu’bah yang telah masuk ke dalam golongan orang Majusi.”[1]
Abu Rafi’ r.a. juga bercerita pada kami, “Abu Lu’luah adalah seorang budak milik Mughirah bin Syu’bah. Dia bekerja di penggilingan tepung. Mughirah menggajinya dengan 4 dirham per hari.”
Abu Rafi’ melanjutkan ceritanya, “Ketika Abu Lu’luah bertemu dengan Umar, ia mengadu padanya, ‘Wahai Amirul Mukminin, Mughirah terlalu memberatiku dalam bekerja. Tolong nasehati dia supaya agak meringankan pekerjaanku.’ Umar kemudian balik menasehatinya, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah, dan berbuat baiklah kepada tuanmu’.”
Setelah itu, beliau akhirnya melaksanakan apa yang diminta Abu Lu’luah. Umar kemudian menemui Mughirah dan memintanya agar meringankan pekerjaan Abu Lu’luah. Akan tetapi jawabannya tidak seperti yang diharapkan. Budak itu malah dimarahi tuannya. Ia membentak Abu Lu’luah seraya berkata, “Carilah tuan lain yang lebih adil selain aku!” Setelah dimarahi, Abu Lu’luah merasa dihina dan raut wajahnya kelihatan sangat marah. Lalu ia berniat membunuh Umar. Budak itu kemudian membuat pisau belati bermata dua. Ia mengasahnya dengan tajam serta menaburinya racun. Setelah itu, ia mendatangi temannya yang bernama Harmazan lalu bertanya padanya, “Bagaimana pendapat kamu tentang pisau belati bermata dua ini?” Harmazan menjawab, “Kamu tidak akan menggunakan benda itu melainkan untuk membunuh.”
Abu Rafi’ lalu melanjutkan ceritanya, “Abu Lu’luah kemudian menikam Umar dengan pisau belati tersebut. Sesaat sebelum menikamnya, ia mendatangi khalifah Umar saat shalat Subuh. Ia persis berdiri di belakang beliau.” Biasanya, jika iqamah telah dikumandangkan, khalifah Umar berkata pada makmumnya, “Luruskanlah barisan kalian!” Dan seperti biasanya, ia mengatakan ungkapan ini pada umat Islam yang akan mengikutinya dalam shalat jamaah. “Ketika Umar baru memulai takbir, tiba-tiba Abu Lu’luah menikamkan pisau belatinya tepat pada paru-paru beliau dengan sekali tikaman. Tikaman itu, selain mengenai paru-paru, juga melukai dada khalifah Umar. Beliau tersentak dan langsung terjatuh. Tak hanya khalifah Umar saja yang terluka, Abu Lu’luah juga melukai 13 sahabat yang ikut menunaikan shalat. Yang tujuh ikut terjatuh dan sakit. Sisanya selamat. Beliau kemudian dibawa dan dilarikan ke rumahnya. Saat itu, umat Islam benar-benar sangat marah dengan peristiwa ini. Sampai menjelang pagi, kemarahan itu masih berkobar. Umar lalu memanggil Abdurrahman bin ‘Auf untuk menggantinya mengimami shalat Subuh. Akhirnya Abdurrahman menjadi imam dan membaca surat-surat pendek pada setiap rakaatnya.”
Selepas Abdurrahman bin ‘Auf dan umat Islam menyelesaikan shalat Subuh, mereka langsung menjenguk Umar. Lalu Umar meminta minuman agar ia bisa melihat seberapa parah lukanya. Abdurrahman bin ‘Auf lantas memberinya segelas air anggur. Tak disangka, setelah Umar meminumnya, air tersebut keluar melalui sobekan luka pada tubuh beliau. Dan air yang keluar tadi tidak bisa dikenali, apakah itu warna air anggur ataukah warna darah luka. Umar kemudian meminta air susu, lalu meminumnya. Sama saja, air susu itu juga keluar dari sobekan luka di tubuh khalifah Umar. Melihat kejadian itu, Abdurrahman bin ‘Auf menasehati Umar, “Tenangkan dirimu wahai Amirul Mukminin!”
Umar menjawab, “Jika peristiwa ini merupakan konspirasi pembunuhan, maka aku telah dibunuh.” Para sahabat di sekeliling Umar mencoba menghibur dengan memuji-mujinya. Mereka mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Amirul Mukminin.” Kemudian mereka pergi. Lalu datang sekelompok sahabat lagi. Mereka juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para sahabat sebelumnya. Umar menjawab, “Aku bersumpah demi apa yang mereka katakan. Aku senang jika mati dalam kedamaian. Aku merasa tidak terbebani.”
Ibnu Abbas yang ketika itu berada di samping Umar kemudian membacakannya beberapa ayat al-Qur’an. Setelah selesai membaca beberapa ayat al-Qur’an, ia lantas berkata pada Umar, “Sungguh Rasulullah wafat tidak dalam keadaan damai. Aku telah lama bersama Rasulullah. Aku menemaninya selayaknya seorang sahabat menemani. Aku benar-benar selalu bersamanya sampai beliau wafat. Engkau juga pernah menemani beliau wahai Amirul Mukminin. Engkau sekarang yang memegang kendali kondisi umat Islam (pemerintahan) ini. Engkau telah memegang pemerintahan ini dengan baik seperti yang Rasulullah Saw dan keluarganya lakukan.  Engkau benar-benar melaksanakan perintah-Nya wahai Amirul Mukminin.” Umar mendengarkan secara seksama apa yang disampaikan putra Abbas ini.
Lalu Umar meminta Ibn Abbas supaya mengulang apa yang dikatakannya tadi. Maka ia memenuhi permintaan khalifah Umar. Umar lantas berkata, “Aku bersumpah demi apa yang engkau katakan tadi wahai Ibnu Abbas. Jika aku punya emas yang menghampar, saat ini juga aku akan menebus kegentingan yang terjadi di pagi buta ini dengan emas tersebut. Karena aku tidak punya emas itu, untuk mengatasi kegentingan ini, aku akan mengajukan enam nama sahabat supaya mereka bermusyawarah –memilih di antara mereka sendiri–  untuk mencari penggantiku. Para sahabat itu adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqas. Dan satu lagi, aku tambahkan Abdullah bin Umar sebagai penengah di antara mereka. Adapun di antara mereka yang menonjol untuk menggantikanku ada tiga orang.” Setelah itu, khalifah Umar meminta Suhaib untuk mengimami shalat bersama umat Islam.[2]
Dalam riwayat lain, para sahabat mengatakan, “Tenanglah wahai Amirul Mukminin.” Umar lalu menjawab, “Jika kejadian ini menimbulkan masalah, maka aku benar-benar telah dibunuh.”
Abu Rafi’ menambahkan kisahnya bahwa Suhaib tiba-tiba bicara dengan nada yang keras seraya berkata di hadapan para sahabat, Oh! Oh! Oh! Mendengar suara Suhaib yang begitu keras, salah satu sahabat menegurnya, “Pelankan suaramu wahai Suhaib! Bukankah telah sampai padamu sabda Rasulullah yang berbunyi, Mereka yang sering mengeraskan suaranya, Allah akan mengadzabnya dalam kubur.”[3] Mengeraskan suara juga bisa dinisbatkan dengan menangis mengerang-erang.
Abu Rafi’ melanjutkan, “Suatu ketika, Umar bin Khattab bermimpi mengendarai kudanya memasuki kota Madinah seraya melarang para pasukan mencambukku. Karena mimpi tersebut, beliau kemudian mengirimkan surat kepada para jendral pasukan Islam agar tidak mencambukku.”
Ibnu Umar menguatkan riwayat Abu Rafi’ dengan berkata, “Khalifah Umar r.a. pernah menulis surat untuk para jendral pasukan Islam yang berbunyi, ‘Janganlah sekali-kali engkau paksa kami untuk menyakiti orang lain dengan menggunakan silet.”
Ketika ditikam Abu Lu’luah, beliau bertanya, “Siapakah orang yang menikamku tadi?“
Mereka menjawab, “Ia adalah budak milik Mughirah bin Syu’bah.”
Lalu beliau berkata, “Bukankah telah aku katakan pada kalian, janganlah sekali-kali kalian menyebabkan salah seorang pun menyakiti kami, karena merekalah yang akan mengalahkanku.”[4]
Sebelumnya, khalifah Umar pernah merasakan kekhawatiran dari cara memandang Abu Lu’luah padanya. Akan tetapi semua ketentuan hanyalah milik Allah.
Ibnu Umar juga menceritakan bahwa ayahnya, khalifah Umar bin Khattab, pernah masuk rumahnya dan meminta tolong Abu Lu’luah supaya membetulkan kunci pintu rumah yang rusak. Karena selain ahli dalam menggiling gandum, dia juga ahli ilmu pertukangan dan memahat. Abu Lu’luah lalu berkata pada khalifah Umar, “Wahai Amirul Mukmini! Mintakan untukku supaya Mughirah melepaskanku dari perbudakan.”
Umar menjawab, “Sungguh kamu termasuk seorang pekerja keras. Bersabarlah dan bertakwalah kepada Allah,” Lalu khalifah Umar berkata, “Apakah kamu akan membuatkanku gigi geraham palsu untukku?”
“Ya, aku akan membuatkan engkau gigi geraham supaya engkau dapat ngobrol nyaman dengan orang-orang,” jawab Abu Lu’luah.
Ayah lalu berkata padaku, “Aku merasa ada keburukan yang akan menghampiri dan mengancamku, wahai anakku.”
Beliau melanjutkan, “Jika dia (Abu Lu’luah) hendak membunuh orang lain dengan keji, maka aku akan membunuhnya dengan benda tajam ini.”
Beliau juga memberitahuku dengan berkata, “Pandangan mata Abu Lu’luah seperti memberi isyarat bahwa dia benar-benar ingin membunuhku.”
Tidak lama setelah kejadian itu, khalifah Umar pun ditikam Abu Lu’luah.
Amru bin Maimun berkata, “Ketika aku datang, khalifah Umar sedang bersama Hudzaifah dan Utsman bin Hanif. Beliau berkata, Apakah kalian berdua takut dengan ketidak-cocokan akan tanah yang kalian bawa? Utsman menjawab, Jika engkau mau, maka aku akan ambilkan tanahku, wahai Amirul Mukminin. Hudzaifah pun tak mau kalah saing dengan berkata, Aku telah membawa tanah yang cocok sesuai dengan perintahmu wahai Amirul Mukminin. Kemudian beliau berkata, Lihatlah! Sungguh kalian berdua telah membawa tanah yang tidak sesuai. Beliau lalu berkata, Sungguh jika Allah menyelamatkanku, maka aku akan panggil janda-janda kota Iraq. Mereka tidak akan membutuhkan seorang pun selamanya kecuali aku. Janda-janda itu tidak pada datang melainkan hanya empat orang saja hingga khalifah Umar terluka akibat ditusuk Abu Lu’luah. Sudah menjadi kebiasaan Sayyidina Umar jika masuk masjid beliau berdiri di antara barisan shalat dan berkata, “Luruskan barisan kalian!” Jika telah lurus, maka beliau akan maju sebagai Imam dan mulai bertakbir.
Ada riwayat lain yang menuturkan, “Ketika baru saja bertakbir untuk mengimami shalat, beliau ditusuk di tempat pengimaman. Aku mendengar beliau berkata, Aku telah dibunuh oleh anjing, aku telah dimakan oleh anjing’.” “Aku tidak benar-benar tahu, perkataan mana yang beliau ucapkan saat itu,” kata Abdullah bin Umar.
Ibn Umar berkata, “Tidak ada jarak antara aku dan ayah kecuali Ibn Abbas. Beliau menarik tangan Abdurrahman bin ‘Auf lalu memeganginya. Tiba-tiba ada pisau belati bermata dua yang mengarah ke ayahku. Mereka yang berada di sebelah kanan ataupun kiri juga terkena sabetannya karena mencoba menghalangi pisau itu agar tidak mengenai ayahku. Akhirnya pisau belati beracun itu melukai 13 orang dan sembilan di antaranya meninggal dunia.”
Ibn Umar berkata lagi, “Tiba-tiba saja ayahku melihat seseorang yang melemparinya baju supaya dipakai. Beliau mengira bahwa baju itu minta diambil supaya dapat dipakai dirinya. Beliau pun berkata, ‘Kami telah melaksanakan shalat Subuh.’ Pada saat itu, umat Islam di sekitar masjid tidak mengetahui perkara yang sebenarnya terjadi. Yang janggal adalah hilangnya suara Sayyidina Umar yang biasanya mengajak mereka untuk mengucap سبحان الله sebanyak 2 kali. Ketika mereka pergi, Ibn Abbas adalah orang pertama yang melihatku bersama ayah. Umar lalu berkata pada Ibn Abbas, ‘Carilah siapa yang mencoba membunuhku!
Tak berselang lama, Ibnu Abbas kemudian datang kepada kami dengan berkata, “Yang mencoba membunuh engkau adalah seorang budak milik Mughirah si pemilik pabrik gandum wahai Amirul Mukminin. Budak itu juga ahli pertukangan. Kemudian khalifah Umar mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku ini di tangan orang yang mengaku Islam. Semoga suatu saat Allah membalasnya. Aku akan memerintahkan untuk membunuh budak itu dengan cara yang baik. Ibn Abbas lalu berkata, ‘Jika keputusanmu demikian, maka akan kami kerjakan.’ Dan beliau juga berkata, Setelah ini, dia tidak akan mengatakan apa yang pernah dia katakan. Dia juga tidak akan mengerjakan shalat. Dan pastinya dia tidak akan beribadah seperti ibadah yang kalian laksanakan.”
Ibn Abbas berkata, “Mereka yang hadir berkata pada khalifah Umar, ‘Sudah, tak apa-apa wahai Amirul Mukminin.’ Setelah itu khalifah Umar meminta segelas air anggur untuk diminum. Malangnya air tersebut keluar lagi dari lukanya saat diminum. Kemudian beliau meminta air susu dan meminumnya. Sama juga yang terjadi, air susu tersebut juga keluar lagi dari lukanya. Beliau yakin kematiannya telah dekat. Maka beliau berkata kepada putranya, Abdullah bin Umar, ‘Hitunglah berapa utangku selama ini wahai putraku!’ Ibnu Umar menjawab, ‘86 ribu’. Sayyidina Umar bilang kepada putranya, ‘Jika harta dalam keluarga kita cukup, maka bayarkanlah utangku dari harta itu. Jika tidak cukup, maka keluarga Bani ‘Adi bin Ka’ab yang akan menambal utangku. Jika tidak cukup lagi, maka orang-orang Quraisy yang akan melunasinya. Pesanku, jangan sekali-kali kamu kasihkan tanggunganku ini ke orang lain untuk melunasinya. Kerjakanlah semua itu wahai Abdullah! Lalu pergilah ke rumah Ummul Mukminin, Aisyah. Sampaikan salamku padanya dan katakanlah, ‘Apakah diperbolehkan Umar bin Khattab dengan tanpa menggunakan kata ‘Amirul Mukminin’ dikuburkan bersama kedua sahabatnya yaitu Nabi Muhamad Saw dan Abu Bakar al-Sidiq?’
Ibn Abbas melanjutkan, “Kemudian Ibn Umar mendatangi Sayyidah Aisyah yang sedang duduk dan menangis. Sebelum masuk, ia mengucapkan salam dan berkata, ‘Apakah Umar bin Khattab boleh dikuburkan bersama kedua sahabatnya?’ Ia menjawab, ‘Sungguh, sebenarnya aku juga ingin dikuburkan bersama mereka. Akan tetapi aku akan menarik keinginanku itu saat ini juga.’ Ketika permintaan khalifah Umar diterima, Ibn Umar kembali. Mereka yang ada di sekitar beliau menyambut putranya dengan berkata, Ini Abdullah telah kembali. Khalifah Umar berkata, ‘Angkatlah aku!’ Beliau kemudian disandarkan. Beliau langsung bertanya pada putranya, ‘Bagaimana hasilnya?’ Ibn Umar menjawab, ‘Seperti yang engkau inginkan wahai ayah, engkau telah mendapatkan izin.’ ‘Segala puji bagi Allah’, kata Umar. ‘Apa lagi yang lebih penting dari perkara ini. Jika nanti aku mati, maka bawalah aku.’ Lalu ucapkan salam dan katakanlah, ‘Umar telah diberi izin untuk dikuburkan bersama kedua sahabatnya.’ Jika mereka mengizinkan, maka masukkanlah aku ke dalam liang kubur berdampingan dengan keduanya. Jika tiba-tiba mereka menolakku, maka kuburkanlah aku bersama kuburan orang-orang Muslim lainnya.’
Tak berselang lama, Hafsah putri Sayyidina Umar yang menjadi istri Rasulullah datang bersama beberapa sahabat dari golongan perempuan (shahabiyat). Saat kami melihat mereka datang, kami langsung berdiri mempersilakan mereka masuk dan sebagian dari kami ada yang keluar. Hafsah kemudian masuk seraya menangis di pangkuan ayahnya sekitar satu jam hingga kami mendengar tangisannya dari luar. Para sahabiyat itu lalu berkata, ‘Berwasiatlah wahai Amirul Mukminin supaya ada yang menggantikan posisimu sebagai khalifah!’
Khalifah Umar menjawab, ‘Aku tidak menemukan sahabat-sahabat yang lebih baik dari mereka ini. Saat Rasulullah wafat, mereka termasuk golongan orang yang ridha atas wafatnya. Mereka ini adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah, Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdurrahman bin ‘Auf.’ Beliau menambahi, ‘Dan jadikanlah Abdullah Ibn ‘Umar sebagai saksi kalian. Ia tidak berhak untuk dipilih dalam musyawarah itu. Ia cukup sebagai penengah saja. Jika kekhalifahan ini jatuh ke tangan Sa’ad, maka ia yang akan menjadi khalifah. Dan jika tidak, saling musyawarahlah kalian untuk memilih siapa yang cocok memegang tampuk kekuasaan. Sungguh aku tidak akan membicarakan kekurangannya dan tidak akan berkhianat kepadanya.’ [5]
‘Amru bin Maimun r.a. berkata, “Aku mendengar Umar saat dia ditusuk sempat mengucap ayat suci al-Qur’an:[6]
 وَكَانَ أَمْرُ اللهِ قَدَرًا مَقْدُوْرًا
Dan ketetapan Allah itu merupakan suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS Al-Ahzab [33]: 38 ).
Ibnu Abbas berkata, “Di waktu Subuh saat Umar terkena musibah, aku adalah salah satu orang yang membawa beliau pulang ke rumahnya. Ia kemudian tersadar dan berkata, ‘Siapa yang menusukku tadi?’ Aku menjawab, ‘Abu Lu’luah wahai khalifah Umar. Ia adalah seorang budak milik Mughirah bin Syu’bah.’ Lantas beliau menasehatiku, ‘Berbuat baiklah engkau kepada semua sahabat. Aku tidak ingin Abu Lu’luah dimasukkan sebagai tawanan dari golongan mereka yang kafir. Jika aku melakukan itu, maka suatu saat kalian akan memberontak kepadaku.”
Sayyidina Umar selalu melarang siapa saja yang datang menjenguknya dengan ratapan, tangisan ataupun sejenisnya.
Miqdam bin Ma’di Karb bercerita bahwa ia juga datang menjenguk Sayyidina Umar. Ketika keluar, ia berpapasan dengan Sayyidah Hafsah. Sebelum melangkah jauh, ia mendengar Ummul Mukminin berkata pada Sayyidina Umar, “Wahai Amirul Mukminin, wahai sahabat Rasulullah, wahai khalifah Rasulullah! Mendengar suara putrinya, beliau langsung berkata padanya, Dudukkanlah aku wahai putriku! Lalu beliau melanjutkan perkataannya, Putriku, aku ingin engkau menangisiku setelah pertemuan kita ini. Sungguh air mata dari kedua matamu itu bukan milikku lagi. Sungguh tidak akan ada mayat yang terbujur kaku dengan diratapi kepergiannya oleh keluarga, melainkan malaikat akan menguatkannya.”[7]
Dalam riwayat lain, Sayyidina Umar berkata, “Aku melarang kalian meratapiku setelah pertemuan ini.” Ketika salah seorang memuji beliau, ada seorang sahabat lagi yang menangis karena rasa takutnya kepada Allah. Hal ini merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki Sayyidina Umar bin Khattab. Sesudah itu Ibn Abbas berkata, “Setelah Umar ditusuk, Hafsah masuk ke dalam menemui Umar. Lalu Ibn Abbas berkata lagi, ‘Apakah manusiawi orang yang telah berbuat seperti ini kepadamu wahai Amirul Mukminin? Sungguh Allah telah memberimu hidup dalam pelbagai masa, melindungimu dari kemunafikan, serta meluaskan rezekimu.’ Umar lalu membalasnya, ‘Apakah ada kekuasaan yang memalingkanku wahai Ibn Abbas?’ Ibn Abbas membalas, ‘Pemimpin lain pun demikian.’ Lalu Umar berkata, ‘Aku bersumpah demi Dzat yang memegang jiwaku ini, sungguh aku rela keluar dari kekuasaan itu seperti aku memasukinya. Sehingga aku tidak akan menerima upah sedikit pun dan dosa yang menumpuk darinya. Ketahuilah! Aku tidak memiliki utang ataupun piutang.”[8]
Musawwar bin Makhramah bercerita, “Ketika sesaat Sayyidina Umar ditusuk, beliau berkata, Aku bersumpah, jika aku memiliki emas yang menghampar, aku akan menghadiahkan semuanya kepada orang lain. Supaya aku terjauh dari adzab Allah sebelum aku melihat-Nya nanti.”[9]
Setelah beliau ditusuk, lukanya terus-menerus mengeluarkan darah. Riwayat ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan Musawwar. Dia berkata, “Setelah ditusuk, beliau tak sadarkan diri beberapa saat. Setelah sadar, beliau kemudian berkata, Semoga kalian tidak memisahkan diri dari suatu amalan saleh selagi kalian masih hidup.’ Ibn Abbas lalu berkata, Apakah itu shalat wahai Amirul Mukminin?! Jika betul, maka aku telah berhati-hati dalam melaksanakannya. Maka beliau berkata, Betul, amal shaleh itu memang shalat. Setelah ini, berilah perhatian kepada orang-orang Islam yang meninggalkan shalat. Kemudian beliau menunaikan shalat Subuh meski darah masih mengucur melalui lukanya.[10]

Detik-detik Khalifah Umar al-Faruq Saat Menjelang Wafat
Sungguh berat detik-detik terakhir umat manusia ketika menghadapi kematian!
Kira-kira, bagaimana detik-detik itu dilewati oleh sang khalifah Umar bin Khattab al-Faruq?
Mengenai hal ini Ibn Abbas bertutur, “Aku masuk menemui Umar setelah peristiwa penusukan. Aku bertanya padanya, ‘Apakah orang sepertimu akan masuk surga wahai Amirul Mukminin? Engkau telah memeluk Islam sejak orang-orang masih menolak kedatangannya. Engkau juga berjihad bersama Rasulullah Saw saat mereka masih enggan melaksanakannya. Di tambah lagi saat Rasulullah Saw wafat, beliau ridha terhadapmu. Dan tidak ada seorangpun yang berselisih ketika engkau memimpin. Akhirnya engkau mati dalam keadaan syahid seperti yang engkau harapkan. Umar lalu menjawab, Apakah aku telah berjanji kepada seseorang wahai Ibn Abbas? Jika iya, aku akan tunaikan janji itu kepadanya sekarang juga. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, bila seluruh emas dan gandum di dunia ini menjadi milikku, maka aku akan menghadiahkan semua itu kepadanya. Sesungguhnya orang mulia adalah mereka yang memuliakan orang lain.”[11]
Abdullah bin Umar juga mengatakan, “Saat ayah sakit, beliau meletakkan kepalanya di pahaku hingga ajal menjemputnya. Beliau berkata padaku, ‘Letakkan pipiku ke tanah!’ Kemudian aku bertanya padanya, ‘Apa bedanya engkau letakkan pipimu di atas tanah dan di atas pahaku wahai ayah?’ Beliau lalu menjawab, ‘Kamu sudah lama tidak memiliki ibu. Letakkan pipiku di atas tanah!’ Aku berkata pada beliau, ‘Bukankah meletakkan pipimu di atas pahaku dan tanah sama rasanya?’ Beliau menyuruh lagi, ‘Letakkan pipiku di atas tanah!’ Aku kemudian letakkan pipi ayahku ke tanah. Setelah itu aku mendengarnya berkata, ‘Celakalah aku dan ibuku jika Allah tidak merahmatiku. Celakalah aku dan ibuku jika Allah tidak mengampuni dosa-dosaku.[12] Beliau tetap mengucapkan kata-kata itu hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir.


[1]Hadits hasan, HR Imam Tabrani dalam ‘al-Mu’jam al-Kabîr’ hlm. 77, yang juga disebutkan oleh Imam al-Dzahabi dalam ‘Târîkh Islâm’, Juz IV, hlm. 281.
[2]Hadits hasan, Abu Ya’la dalam ‘Musnad’ no. 2731, Ibn Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ no. 352 bab 52, Ibn al-Atsir dalam ‘Asad al-Ghâbah’, Juz IV, hlm. 177.
[3]Hadits shahih, HR Imam Muslim dalam ‘Shahîh Muslim’ no. 927, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 361-362, Ibn Syabbah dalam ‘Asad al-Ghâbah’ no. 907, Juz III.
[4]Hadits shahih, HR. Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz III, hlm. 892-893.
[5]Hadits shahih, HR Imam Bukhari dalam ‘Shahîh Bukhâri’ no. 3700, Ibnu Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’, Juz VIII, hlm. 576-577, Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz III, hlm. 899, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 337-341, Ibn al-Atsir dalam ‘Asad al-Ghâbah’, Juz IV, hlm. 175, Ibn Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 355 bab 52.
[6]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’ hlm. 349, Juz III, Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’ hlm. 900, Juz III, Ibn Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 358 bab 52.
[7]Hadits shahih, HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’ hlm. 906, Juz III, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’ hlm. 371, Juz III, Ibn al-Jauzi dalam ‘Manâqib Umar’ hlm.  225.
[8]Hadits shahih,  HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 351, Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz III, hlm. 916, Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 52, Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’, bab 52, hlm. 363.
[9]Hadits shahih, HR Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 52.
[10]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 350, Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’, bab 52, hlm.  359, dan Ibnu Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’, Juz VIII, hlm. 579.
[11]Hadits shahih, HR Ibn Syabbah dalam‘Târîkh al-Madînah’, Juz III, hlm. 914, Imam Baihaki dalam ‘al-Kubra’, Juz X, hlm. 97.
[12]Hadits shahih, HR Ibn al-Mubarak dalam ‘al-Zuhd’ hlm. 80, dan Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 360.

No comments:

Post a Comment