Friday, March 28, 2014

Pernikahan yang Diberkahi


Abdullah bin Abi Wada'ah adalah seorang laki-laki miskin. Dia biasa menimba ilmu dari gurunya dan Syaikhnya: Imam Masjid Nabawi dan Syaikh Madinah di zamannya al-Imam Said bin Musayyab. Dia belajar ilmu-ilmu al-Quran dan as-Sunnah. Setiap kali dia belajar dari sumber yang jernih ini, dia semakin haus, lalu dia menambah waktu belajarnya. Meskipun demikian dia tidak kenyang juga dari ilmu dan hikmah yang keduanya terpancar dari lisan Said bin al-Musayyab. Keduanya menjadi madu dan air penawar yang memuaskan dahaga Ibnu Abi Wada'ah dan menumbuhkan benih cinta antara dia dan gurunya. Waktu berlalu dan Said bin al-Musayyab menambah frekwensi ilmu dan hikmah ke dalam hati muridnya, lalu cahaya al-Quran dan Hadits Nabi Saw memancar ke hati muridnya, sehingga Ibnu Abi Wada'ah bangun dari tidurnya mendapati dirinya telah tergiring untuk bertemu gurunya. Dia kembali dari pekerjaannnya yang sederhana ke majlis gurunya untuk mendengar mutiara-mutiara al-Quran dan Hadits dan hidupnya kembali tersenyum, bahagia dan bercahaya.
Al-Imam al-Jalil dianugerahi kekayaan yang berlimpah dan nasab yang tinggi karena dia berasal dari Quraisy. Dia juga dihiasi dengan kewara'an, kezuhudan dan ketakwaan yang tinggi sampai pada puncak kesalihan dan ketakwaan. Orang tahu bahwa dia telah menunaikan ibadah haji sebanyak 30-an kali dan selama 40 tahun tidak pernah luput satu kalipun dari takbiratul ihram di masjid dan selalu berada di barisan pertama dalam shalat selama waktu itu.
Perbedaan kondisi ekonomi tidak menghalangi hubungan antara guru dan muridnya, bahkan perasaan cinta dan persaudaraan karena Allah SWT menyatukan keduanya dalam pancaran cahaya, sehingga masing-masing menjadi saudara bagi yang lain.
Said bin al-Musayyab memiliki seorang anak perempuan yang terkenal kuat keimanannya dan keluasan ilmunya dalam al-Quran dan Hadits Nabi. Amirul Mukminin, Abdul Malik bin Marwan – atau Hisyam bin Abdul Malik – mendengar tentangnya dan khalifah ingin meminang anak perempuan Said bin al-Musayyab untuk anaknya dan putra mahkotanya. Tidak diragukan lagi bahwa khalifah berpikir panjang memilihkan istri untuk putra mahkotanya yang akan mengisi istananya dan menjaga nama baiknya dan nama baik kakek moyangnya raja-raja dari Bani Umayyah. Dia beruntung dianugerahi ilmu yang kuat untuk menjadi istri putra mahkota, dan semua itu diliputi dengan nasab seperti dinding yang menjaga kebun dengan ilmu dan adabnya. Khalifah menemukan mutiara yang hilang itu dalam diri anak perempuan Said bin al-Musayyab.
Utusan Amirul Mukminin tiba di Madinah untuk menyampaikan keinginan Amirul Mukminin pada Said bin al-Musayyab. Tidak ada pilihan bagi Said bin al-Musayyab kecuali menyampaikan kepada utusan itu bahwa dia menolak lamaran itu.
Utusan khalifah bertanya, "Kenapa?" Said menjawab, "Karena putra mahkota orang yang kelakuannya tidak terpuji.
Awalnya utusan itu menggunakan pendekatan persuasif, dia berkata, "Apakah kau akan menolak kerajaan, kemuliaan, pangkat, kekayaan dan harta? Apakah kau menolak Amirul Mukminin?"
Said menjawab, "Jika seluruh dunia di sisi Allah hanya sebesar sayap nyamuk, lalu berapa besar kekuasaan Amirul Mukminin di sayap nyamuk itu?"
Kemudian utusan Amirul Mukminin menggunakan ancaman, dia berkata, "Aku takut kau akan terkena murka Amirul Mukminin dan siksaan serta adzab yang tidak akan sanggup ditanggung oleh manusia." Lalu Said berkata:
"Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman.” (QS Al-Hajj [22]: 38).
Said bergeming, dia tetap menolak lamaran itu.
Al-Imam al-Jalil berpikir dengan kecerdasan seorang alim dan cahaya ahli ibadah bahwa khalifah ingin melamar anaknya untuk memasukkannya ke dalam sangkar emas dalam istana. Putrinya tidak akan bahagia tinggal di istana walaupun diberikan sutra, emas dan pembantu. Bahkan dia akan berada di neraka Bani Marwan yang menyala-nyala. Dan Allah pasti akan bertanya kepadanya tentang putrinya pada hari Amirul Mukminin dan anaknya serta pada penasehatnya ditanya di hadapan Allah, apa yang telah mereka lakukan bersama para perampok dan orang-orang dzalim dan jahat. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk tidak menikahkan putrinya dengan sultan.
Said bin al-Musayyab duduk di Masjid Nabawi untuk memberikan pelajaran waktu ashar, tetapi dia tidak melihat muridnya Ibnu Abi Wada'ah di antara hadirin. Sudah tiga hari berturut-turut dia tidak datang. Kenapa? Said tidak tahu. Ketika Said kembali ke rumah, dia bertemu dengan putrinya yang memiliki cahaya ilmu yang menambah kecantikannya. Lalu putrinya bertanya tentang makna firman Allah:
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat." (QS Al-Baqarah [2]: 201).
 "Apakah kebaikan dunia, ayahku?" Said menjawab, "Putriku, kebaikan dunia bagus disebutkan bersama kebaikan akhirat. Aku tidak melihat kebaikan dunia bagi seorang laki-laki kecuali istri yang salehah dan bagi perempuan kecuali….” Said tidak menyempurnakan kalimatnya. Lalu dia mendengar ketukan pintu. Ternyata yang mengetuk adalah Abdullan bin Abi Wada'ah, murid dan kekasihnya karena Allah SWT.
Syaikh segera bertanya kepada muridnya, "Ke mana saja kau, Ibnu Abi Wada'ah?" Muridnya menjawab, "Istriku wafat dan aku disibukkan dengan itu, maafkan aku." Syaikh berkata, "Kenapa kau tidak memberitahu kami agar kami bisa datang dan mengucapkan bela sungkawa?" Kemudian dia memberinya nasehat tentang surga, neraka dan hisab kubur, sampai-sampai kata-kata Syaikh menggambarkan bentuk kubur yang jasad istri muridnya ada di sana, air matanya pun bercucuran.
Di sini perbincangan terjadi lagi antara Syaikh dan putrinya yang tadi sempat terputus oleh ketukan Ibnu Abi Wada'ah, saat Syaikh berkata, "Tidak ada kebaikan dunia pada wanita kecuali… Abdullah bin Abi Wada'ah.” Lalu Syaikh bertanya kepada muridnya, "Apakah kau mau menikah lagi?"
Ibnu Abi Wada'ah menjawab, "Tidak, Guru. Aku orang miskin, siapa yang mau menikahkan aku sedangkan aku hanya memiliki 3 dirham?" Syaikhnya menjawab, "Aku!" Ibnu Abi Wada'ah menggambarkan perasaannya saat itu, "Aku tidak mendengar kata (Aku) dari Said sehingga aku berkata dalam hati, ‘Kau tahu apa yang dimaksud oleh Syaikh? Mungkin dia bermaksud ingin membantuku dengan sebagian hartanya agar aku mendapatkan istri yang sesuai dengan hartaku karena aku orang miskin yang tidak punya apa-apa. Atau barangkali dia ingin mencarikan untukku dengan caranya, seorang wanita miskin yang rela menikah denganku’."
Ibnu Abi Wada'ah berkisah, "Ketika aku berada dalam kata-kata (Aku), seakan-akan segala sesuatu yang ada menyanyikan dan bersenandung (Aku), sampai aku melihat Said meletakkan tangannya di tanganku yang dilihat dan didengar oleh hadirin di Masjid Nabawi. Lalu dia mengucapkan bismillah, memuji Allah, bershalawat kepada Nabi Saw. dan berkata, ‘Saksikanlah, jama'ah sekalian bahwa Said bin al-Musayyab menikahkan anak perempuannya Fulanah dengan Abdullah bin Abi Wada'ah berdasarkan Kitab Allah  dan Sunnah Rasul-Nya dengan mas kawin sejumlah 3 dirham’.” Kemudian Said menutup dengan shalawat Nabi dan berharap taufiq serta bimbingan-Nya. Setelah itu Said duduk menjelaskan makna hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa menikahi seorang wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kefakiran. Barangsiapa menikahi seorang wanita karena kecantikannya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kerendahan. Barangsiapa menikahi seorang wanita karena nasabnya, Allah  tidak akan menambahkannya kecuali kehinaan. Barangsiapa menikahi seorang wanita karena agamanya, maka Allah akan memberkahinya dengan wanita itu dan wanita itu akan diberkahi dengannya."[1]
Saat maghrib, ketika Abdullah bin Abi Wada'ah berada di rumahnya yang sederhana, dia menyiapkan makanan untuk berbuka puasa, tiba-tiba dia mendengar ketukan pintu. Dia bertanya, "Siapa itu?" Lalu dijawab, "Said." Abdullah berkata, "Aku mengira Said yang mana lagi yang mengetuk pintu rumah di saat seperti ini kecuali Said bin al-Musayyab? Aku bangkit untuk membukakan pintu. Aku merasa malu dan takut, mungkin Syaikh akan menarik diri atau pengantin wanita menolak menikah denganku. Tetapi saat aku membuka pintu, Said bersama putrinya yang bersinar dalam pakaian pengantinnya bersama beberapa orang gadis yang membawa hadiah.
Syaikh berkata kepada Abdullah, "Kau orang yang bujang lalu aku menikahkanmu dan aku tidak suka kau tidur sendirian malam ini. Ini istrimu." Kemudian dia meninggalkan tempat itu dan pulang. Tinggallah pengantin wanita di rumah suaminya.
Ibnu Abi Wada'ah bertutur, "Aku telah menyiapkan makanan untuk aku berbuka puasa, yaitu kacang polong, minyak dan kepingan tepung gandum, serta segelas air putih. Aku menuju makananku dan aku menyembunyikannya jauh dari pandangan pengantin perempuan.”
Lalu Abi Wada’ah naik ke atap rumahnya dan berseru, "Wahai fulan, wahai fulan."
Lantas beberapa orang tetangga melihatnya dan bertanya, "Apa yang kau inginkan?"
Abi Wada’ah berujar, "Aku bersaksi pada kalian bahwa Said bin al-Musayyab telah menikahkanku dengan putrinya dan sejak malam ini dia ada di rumahku.” Hal itu dia lakukan agar tidak ada yang berburuk sangka ketika dia mendengar suara wanita bersamanya di dalam rumah.
Beberapa orang berkata, "Kau mengolok-olok kami, Ibnu Abi Wada'ah." Yang lain berkata, "Dia sudah gila. Bagaimana mungkin Said bin al-Musayyab menikahkanmu dengan putrinya sedangkan dia menolak lamaran putra mahkota?"
Abi Wada’ah mengucap, "Demi Allah, Syaikh telah menepati janjinya dan putrinya sekarang ada di rumahku." Lalu tetangganya mengutus istri-istri mereka untuk meneliti hal itu. Mereka mendapati pengantin wanita benar-benar ada di rumah Abi Wada’ah. Kemudian mereka kembali ke suaminya dan bersumpah pada mereka bahwa putri Said menjadi pengantin untuk Ibnu Abi Wada'ah. Semua tetangganya datang. Para wanita membuat pesta untuk pengantin wanita dan para pria membuat pesta untuk Abi Wada’ah. Secepat kilat pesta itu, meskipun sederhana tetapi memancarkan kegembiraan hati yang menyelimuti langit dan bumi. Dan kegembiraan ini hanya dilahirkan oleh cinta kepada Allah SWT.
Ketika Said bin al-Musayyab ditanya tentang alasan dia menikahkan putrinya dengan Abdullah, dia berkata, "Aku tidak menikahkan putriku dengan seorang yang aku tahu dia itu kaya atau miskin, tetapi dengan seorang pahlawan kehidupan yang memiliki senjata agama dan kemuliaan. Ketika aku menikahkannya dengan Abdullah, aku yakin bahwa keutamaan Abdullah akan mengenal keutamaan dirinya, dan sifat ini sesuai dan tidak ada yang menyenangkan untuk laki-laki dan wanita kecuali sifatnya sesuai dengan sifat pasangannya. Aku dan orang tahu bahwa tidak ada harta dunia yang bisa membeli kesesuaian ini, karena itu adalah hadiah buat hati yang saling mengenal dan saling mencintai."
Ibnu Abi Wada'ah berkata, "Aku dan istriku menghabiskan satu minggu penuh seakan-akan kami berada di surga. Setelah selesai satu minggu, aku pamit kepadanya untuk keluar. Lalu dia bertanya, "Mau ke mana?" Abi Wada’ah menjawab, "Untuk menghadiri pengajian Said." Istrinya berkata, "Duduklah di sini, aku akan mengajarkanmu ilmunya Said."

Memprioritaskan Orang Lain
Dari Abdullah, anak saudara perempuan Muslim bin Sa'ad, dia berkata, "Aku ingin berangkat haji, lalu pamanku, Muslim, memberiku 10.000 dirham.” Muslim berpesan padanya, "Jika kau datang ke Madinah, carilah keluarga di Madinah yang paling miskin, lalu berikan uang ini kepada mereka."
Ketika Abdullah tiba di Madinah, dia langsung mencari tahu tentang keluarga yang paling miskin di sana. Lalu dia ditunjukkan pada sebuah keluarga. Abdullah mengetuk pintunya lalu seorang wanita bertanya, "Siapa kau?"
Abdullah menjawab, "Aku seorang dari keluarga di Baghdad. Aku dititipkan 10.000 dirham dan aku disuruh untuk menyerahkannya pada keluarga yang paling miskin di Madinah. Keadaan kalian telah diceritakan kepadaku, maka ambillah uang ini."
Wanita itu berkata, "Abdullah, temanmu memberi syarat keluarga yang paling miskin. Mereka yang tinggal di sebelah kami lebih miskin dari kami."
Lalu Abdullah meninggalkan mereka dan mendatangi mereka. Abdullah mengetuk pintu lalu seorang wanita menjawab kemudian dia katakan apa maksud kedatangannya. Wanita itu berkata, "Abdullah, kami dan tetangga kami sama dalam hal kemiskinan maka bagikan uang itu untuk kami dan mereka."


[1]Hadits dzaif, HR Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (5/245), Al-Thabrani dalam al-Awsath (2527), Ibnu Hibban dalam al-Majrûhiin (2/151). Lihat: Ibnu al-Jauzi, Al-Maudhû'ât,  (2/258, 259), Majma' al-Zawaaid (4/254), Al-Silsilah al-Dha'ifah (1055).

No comments:

Post a Comment