Saturday, November 1, 2014

Berada di Puncak

(Terpilih Menjadi Bupati Poso)

* EMPAT

Subordinasi (bawahan) lebih menyukai pemimpin yang autokrasi, bahkan ingin meniru dan memuji pemimpin yang bersifat autokrasi serta ingin menerapkan pola-pola autokratis bilamana mereka kelak menjadi pemimpin.
Dr. Hendry Tosi, pakar ilmu politik dari Michigan State University

POSO, memasuki 2005. Kendati pada 20 Desember 2001 Kelompok Islam dan Kristen yang bertikai di Poso telah menanda-tangani Deklarasi Malino, Sulawesi Tengah, sepakat untuk berdamai dan menghentikan konflik, namun sampai memasuki kalender 2005 riak-riak konflik masih saja muncul.
Tercatat misalkan pada 3 Januari 2005 terjadi ledakan bom di dekat Asrama Brimob yang hanya menimbulkan kerusakan bangunan. Lalu pada 28 April 2005, terjadi ledakan dua bom, pertama di Kantor Pusat Rekonsiliasi Konflik dan Perdamaian Poso sekitar pukul 20.00 Wita. Dan bom kedua meledak di Kantor Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil pukul 22.00 Wita. Tidak ada korban jiwa.
Kemudian tanggal 28 Mei 2005, muncul ledakan bom pada pukul 08.15 Wita di Pasar Tentena dan pukul 08.30 Wita di samping Kantor BRI Unit Tentena, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Kejadian kali itu menewaskan sedikitnya 22 orang dan melukai 70 orang lainnya. Bom rakitan berdaya ledak tinggi itu berisikan potongan paku, menggunakan timer sebagai pemicu, dan batu baterai 1,5 volt yang berfungsi sebagai arus listrik.
Di rentang waktu 2004-2005, meskipun telah dapat dikurangi, pertikaian dan konflik antargolongan dan kelompok memang masih mewarnai perpolitikan Tanah Air. Ini merupakan pertanda rendahnya saling percaya dan tiadanya harmoni di dalam masyarakat. Beberapa konflik sosial yang berdimensi kekerasan politik dan menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit telah terjadi di beberapa daerah, di antaranya Mamasa pada bulan Oktober 2004, di Poso pada akhir tahun 2004, dan beberapa kali pada tahun 2005 sebagaimana terpapar di awal bab ini.
Upaya-upaya untuk menghentikan konflik telah dilakukan sejak konflik di Poso dimulai pada tahun 1998. Namun, situasi konflik hanya dapat dihentikan sementara waktu karena kemudian muncul lagi konflik susulan dengan eskalasi konflik yang makin meningkat dan lebih meluas. Pertemuan Malino tahun 2001 serta operasi pemulihan keamanan Sintuwo Maroso merupakan beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi dan menuntaskan persoalan konflik di Poso. Munculnya kembali konflik tersebut pada tahun 2004-2005 mencerminkan bahwa pemicu konflik tampaknya belum sepenuhnya dapat dikendalikan.
Untuk mewujudkan dan mempertahankan situasi aman dan damai di Poso, secara terus-menerus, dilakukan upaya membangkitkan semangat Sintuwu Maroso atau “Bersatu Kita Kuat”. Upaya lainnya adalah dengan melibatkan warga masyarakat dalam melakukan rekonsiliasi dan pengamanan lingkungan desa dan kelurahan sehingga dapat terwujud serta tercipta rasa saling percaya di antara komunitas yang bertikai.
Saat konflik masih fluktuatif tersebut, Piet Inkiriwang –yang ketika itu sudah bersiap mencalonkan diri mengikuti Pilkada Kabupaten Minahasa Selatan—seperti didesak oleh perasaan sendiri bahwasanya dia harus datang ke Poso. Padahal, sejumlah tokoh agama dan keluarganya melarang. Mereka merasa khawatir kedatangannya ke Poso akan sekadar “menyetor” nyawa. Dan, sebenarnya, Piet tidak memiliki rencana untuk mencalonkan diri pada Pilkada Poso 2005.
Namun jalan Tuhan berkata lain. Suatu hari dia dijemput teman semasa sekolah di Poso untuk datang ke wilayah yang masih dilanda pertikaian tersebut. Katanya sedikit mengenang:
“Sejarahnya, dari Minahasa, saya dijemput seorang teman masa sekolah di Poso dulu. Saya terkejut. Saya turun di Palu kemudian dijemput oleh seorang tokoh agama Kristen. Rupanya banyak orang sudah menunggu di sana. Malam-malam nunggu saya, begitu saya datang mereka langsung berucap ‘selamat datang pak bupati’. Saya lebih kaget lagi. Karena waktu itu mereka kehilangan figur. Mereka mencari figur yang mampu menyatukan, kira-kira begitu.      
Saya katakan bahwa saya bukan bupati. Saya baru datang, mau cek apakah saya bisa diterima atau tidak. Sambutan ternyata luar biasa, dari sana saya diterima luar biasa. Kemudian saya ke wilayah yang berbatasan dengan Sulawesi Selatan, di sana sudah jam tiga pagi, menjelang subuh, juga sudah banyak orang menunggu di sana. Padahal saya tidak bawa apa-apa. Orang lain mungkin ke sana kasih duit dulu, ajak minum atau apa. Saya meneteskan air mata. Itulah gerakan jalan Tuhan itu. Tuhan sudah bekerja di sini. Itulah awal saya masuk kembali ke Poso yang sebenarnya sudah saya tinggalkan sejak tahun 1972. Jadi saat pertama datang itu yang membuat saya terkejut orang mengatakan saya bupati. Wah, ini panggilan Tuhan.”
Dari situlah Piet merasa terpanggil untuk memimpin rakyat-masyarakat Kabupaten Poso. Selain sambutan warga yang membuatnya terkejut, dia juga tahu persis persoalan di Poso karena dia pernah bertugas di wilayah dilanda konflik relatif panjang tersebut.

A.   Pilkada di Tengah Upaya Turunkan Eskalasi Konflik
Di tengah upaya-upaya mewujudkan situasi aman dan damai di Poso, pada pertengahan 2005 rakyat-masyarakat Kabupaten Poso berpesta demokrasi memilih secara langsung kepala daerah yang diharapkan mampu menurunkan, bahkan menghilangkan, eskalasi konflik yang telah berlangsung sejak 1998. Sebagaimana diagendakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Poso, pemilihan kepala daerah digelar pada 30 Juni 2005.
Setelah melalui berbagai proses dan kampanye, KPUD Kabupaten Poso mengukuhkan  lima pasangan bakal calon kepala daerah – calon wakil kepala daerah Kabupaten Poso yang siap bertarung pada pemilihan langsung di tangan rakyat tersebut. Kelima Pasangan Calon Bupati/Wakil Bupati Poso itu masing-masing, berdasarkan Penetapan Nomor Urut, sebagai berikut:
1) Pasangan: DEDE K. ATMAWIJAYA dan Dra. LIES SIGILIPU SAINO, M.Si.;
2) Pasangan: Drs. PIET INKIRIWANG, M.M; dan A. MUTHALIB RIMI, S.H.,M.H.;
3) Pasangan: Drs. H. A. MUIN PUSADAN dan Drs. OSBERT YUSRAN WALENTA;
4) Pasangan: FRANS W. L. SOWOLINO,S.E.,M.Si. dan Ir. ABD. KAHAR LATJARE, M.Si.;
5) Pasangan: Drs. F. E. BUNGKUNDAPU,M.Si. dan AWAD ALAMRI, S.H.
Sayangnya kesiapan para calon kepala daerah dan rakyat Poso tersebut masih saja diganggu oleh letupan-letupan konflik. Setelah insiden ledakan bom 28 Mei 2005 yang memakan korban tewas puluhan orang, menjelang hari pencoblosan masyarakat Poso pun belum lepas dari peristiwa konflik bernuansa ledakan bom. Dua hari menjelang hari pencoblosan, warga Poso dikagetkan ledakan bom. Tepatnya Selasa (28 Juni 2005) malam, sebuah bom meledak di kantor sekretariat tim sukses pasangan calon bupati – calon wakil bupati Piet Ingkiriwang - Abdul Muthalib Rimi.
Meski demikian, tahapan pemilukada terus berjalan sesuai jadwal. Ketua KPUD Kabupaten Poso (saat itu) Yasin Mangun mengatakan bahwa ledakan bom di kantor sekretariat tim sukses pasangan calon yang diusung Partai Damai Sejahtera (PDS ) itu bukan alasan yang kuat untuk menunda pelaksanaan pemungutan suara Pilkada. "Tidak ada penundaan, pemungutan suara dilaksanakan hari Kamis (30 Juni 2005)," terangnya.
Menurut Mangun, persiapan teknis pelaksanaan pemungutan suara Pemilukada di Kabupaten Poso tetap berjalan sesuai agenda dan seratus persen telah siap."Persiapan teknis pemungutan suara telah rampung," katanya.
Bom berkekuatan "low explosive" tersebut meledak di sekretariat tim sukses pasangan Piet Ingkiriwang - Abdul Muthalib Rimi di Jalan Yos Sudarso Kelurahan Kasintuvu, Poso. Peristiwa itu tidak sampai menelan korban jiwa dan korban luka. Hanya terjadi kerusakan cukup berat sebab seluruh kaca pada bagian depan bangunan pecah, plafon dan beberapa pintu terbongkar.
Sebelum ledakan terjadi, seorang anggota tim sukses Piet-Thalib bernama Naser alias Aci (26) melihat sebuah kotak terbungkus kantong plastik hitam teronggok di teras rumah.
Keberadaan barang mencurigakan itu langsung dilaporkan ke pos polisi terdekat yang berselang beberapa saat telah berada di lokasi kejadian. Namun, bom meledak lebih awal di saat anggota polisi dari satuan penjinak bahan peledak mempersiapkan proses penjinakan.
Tanpa terpengaruh kasus ledakan bom di sekretariat tim sukses pasangan Piet Ingkiriwang - Abdul Muthalib Rimi, KPUD Kabupaten Poso tetap menggelar pemungutan suara sesuai jadwal, yakni tanggal 30 Juni 2005. Setelah selesai rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat KPU Kabupaten Poso tanggal 9 Juli 2005, lalu pada tanggal 12 Juli 2005 bertempat di Kantor KPUD Kabupaten Poso diadakan Rapat Pleno KPUD Kabupaten Poso untuk menetapkan perolehan suara sah setiap pasangan calon dan penetapan pasangan calon terpilih Pilkada Kabupaten Poso tahun 2005.
Berdasarkan data peringkat perolehan suara, pasangan calon yang memenuhi syarat terpilih sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Poso, Pilkada tahun 2005, sesuai ketentuan Pasal 107 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 95 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 adalah pasangan calon nomor urut 2 atas nama: Drs. PIET INKIRIWANG, M.M. sebagai Kepala Daerah; dan  A. MUTHALIB RIMI, S.H.,M.H. sebagai Wakil Kepala Daerah.
Pasangan Piet – Thalib memperoleh suara terbanyak sejumlah 42.718 suara (42,39 %) dan kemudian ditetapkan dengan Surat Keputusan KPU Kabupaten Poso Nomor 16 Tahun 2005 tanggal 12 Juli 2005 tentang Pasangan Calon Terpilih Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Poso Tahun 2005.
Namun, perjalanan Piet Inkiriwang ke kursi Bupati Poso 2005-2010 tidak serta merta mulus dan segera dilantik. Pada tanggal 2 Juli 2007, sekitar 1000 orang warga Poso menggugat kemenangan Piet Inkiriwang dan pasangannya. Bahkan, sampai matahari hampir terbenam, mereka masih bertahan di Kantor KPUD Kabupaten Poso. Mereka menolak hasil pilkada. Warga dari 12 kecamatan itu menyerbu Kantor KPUD Kabupaten Poso di Jalan Pulau Timor, Poso Kota, Sulawesi Tengah, sejak pukul 11.00 Wita. Mereka mengancam akan menduduki Kantor KPUD Poso hingga pilkada diulang. Hingga pukul 16.30 Wita, warga masih duduk-duduk bergerombol di trotoar jalan di depan kantor. Aksi yang kebanyakan diikuti kaum ibu ini berjalan tertib. Belasan aparat kepolisian yang menggunakan tameng dan senjata bersiaga dan membuat barikade.
Warga menolak hasil Pemilukada 30 Juni 2005 yang menempatkan pasangan Piet Ingkiriwang dan Abdul Muthalib di urutan teratas. Alasannya, pasangan ini diduga terlibat politik uang. Mereka juga menuduh Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah dipergunakan para politisi seperti Piet untuk meraup keuntungan. "Kemenangan Piet tidak sah. Kami tidak mau dipimpin orang seperti Piet," teriak Ibu Nuraini Sabilah, warga Kelurahan Kayamanya Poso Kota. Beberapa spanduk diusung warga, bertuliskan "Menolak Piet memimpin Poso" dan "Pemilu harus diulang karena politik uang". Aspirasi warga juga disampaikan dalam bentuk teriakan oleh kaum ibu secara bersahut-sahutan. "Piet Sangkuriang", "Kami tak mau orang luar pimpin Poso", "Piet baru dua minggu di Poso, mana mungkin kami dipimpin dia", "Piet lahir di Sulewana, Pamona Utara, dia tidak pernah bermukim di Poso".
Kendati ada penolakan warga, KPUD Kabupaten Poso terus bekerja sesuai jadwal. Setelah selesai menetapkan calon bupati/wakil bupati terpilih, KPUD Poso memberikan waktu selama 3 (tiga) hari –13-15 Juli 2005-- untuk tanggapan dan keberatan pasangan calon lain terhadap Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Penetapan Pasangan Calon Terpilih oleh KPUD Kabupaten Poso.
Untuk meyakinkan ada-tidaknya keberatan tersebut, KPUD Kabupaten Poso menyampaikan pertanyaan secara tertulis Kepada Ketua Pengadilan Negeri Klas IB Poso dengan Surat Nomor 270/223/KPU.Pso/VII/2005, tanggal 16 Juli 2005, Perihal Penyampaian Penetapan Hasil Penghitungan Suara Kepada Ketua Pengadilan Negeri Klas IB Poso. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri Klas IB Poso, melalui suratnya Nomor W26.Dd.Um.02.02-503, menegaskan bahwa sampai tanggal 16 Juli 2005 tidak ada pasangan calon yang mengajukan keberatan pada Pengadilan Negeri Klas IB Poso, sehubungan dengan Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Poso Tahun 2005. Berdasarkan Surat Ketua Pengadilan Negeri Klas IB Poso tersebut, KPUD Kabupaten Poso berkesimpulan bahwa hasil pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Poso Tahun 2005 sudah dapat diserahkan kepada DPRD Kabupaten Poso guna dilanjutkan proses pengesahan dan pengangkatannya.
Selanjutnya, pada 18 Juli 2005 KPUD Kabupaten Poso (Ketua dan empat orang Anggota) bersama Sekretaris KPUD Kabupaten Poso, menyampaikan secara resmi Penetapan Pasangan Calon Terpilih Hasil Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005 bersama lampirannya kepada DPRD Kabupaten Poso, dengan Suratnya Nomor 270/224/KPU.PSo/VII/2005, tanggal 16 Juli 2005. Namun dokumen tersebut belum dapat diserahkan kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Poso. Ketua DPRD Kabupaten Poso menjelaskan penyerahan dokumen dilaksanakan dalam Rapat Koordinasi dengan para Anggota DPRD Kabupaten Poso pada 19 Juli 2005.
Tanggal 19 Juli 2005, berdasarkan undangan yang disampaikan oleh Pimpinan DPRD Kabupaten Poso, KPUD Kabupaten Poso menghadiri rapat dengan membawa seperangkat dokumen hasil Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005 yang akan diserahkan pada Rapat Koordinasi DPRD Kabupaten Poso bertempat di ruang sidang DPRD Kabupaten Poso. Setelah Ketua DPRD membuka Rapat Koordinasi selanjutnya menyerahkan kepada salah seorang Wakil Ketua DPRD untuk memimpin rapat. Pemimpin sidang lantas memberi kesempatan kepada Ketua KPUD Kabupaten Poso memberi penjelasan dan menyerahkan dokumen hasil Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005.
Saat itu pula para Anggota DPRD Kabupaten Poso melakukan interupsi terhadap pelaksanaan persidangan tersebut yang berkembang pada munculnya perbedaan pendapat menerima dan menolak penyerahan dokumen hasil Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005. Dengan menempuh cara voting, akhirnya diperoleh hasil 15 anggota DPRD Kabupaten Poso menolak dan 7 Anggota DPRD Kabupaten Poso menerima hasil Pilkada Kabupaten Poso.
Dengan demikian DPRD Kabupaten Poso menyimpulkan :
* Menolak Penyerahan Hasil Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005 sebagaimana nyata dalam Surat DPRD Kabupaten Poso Nomor 170/445/DPRD tanggal 19 Juli 2005 Perihal : Penjelasan DPRD Kabupaten Poso;
* Pimpinan DPRD Kabupaten Poso pada hari itu juga seusai sidang segera ke Palu untuk konsultasi dengan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah;
Atas dasar kesimpulan tersebut, Berkas Dokumen hasil Pilkada Kabupaten Poso yang sedianya diserahkan oleh KPUD Kabupaten Poso pada Rapat Koordinasi tersebut batal diterima oleh DPRD Kabupaten Poso walaupun sesuai Ketentuan undang-undang paling lambat 3 (tiga) hari sesudah Penetapan Hasil Pilkada KPU Kabupaten Poso harus menyerahkan kepada DPRD Kabupaten Poso;
Perkembangan berikutnya, tanggal 20 Juli 2005 KPUD Kabupaten Poso yang terdiri dari Ketua, empat orang Anggota dan Sekretaris berangkat ke Palu bermaksud konsultasi dengan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah untuk mohon petunjuk penyelesaian atas penolakan DPRD Kabupaten Poso yang tidak menerima hasil Pilkada Kabupaten Poso dengan membawa Surat Nomor 270/226/KPU.PSO/VII/2005 tanggal 20 Juli 2005, perihal mohon petunjuk hasil Penyelenggaraan Pilkada Kabupaten Poso.
Lalu tanggal 21 Juli 2005 bertempat di Ruang Desk Pilkada Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, KPU Kabupaten Poso diterima oleh Gubernur yang diwakili oleh Sekretaris Provinsi Sulawesi Tengah. Hasil pertemuan tersebut adalah:
* Penjelasan proses penyerahan hasil Pilkada oleh KPUD Kabupaten Poso kepada DPRD Kabupaten Poso sudah sesuai dengan petunjuk Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
* Penyerahan copy Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1559/SJ tanggal 27 Juni 2005 Perihal : Penyampaian Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk dipedomani;
* Pelaksanaan Tahapan Pilkada Kabupaten Poso harus tetap jalan sesuai jadwal;
* Disarankan agar KPUD Kabupaten Poso melakukan koordinasi dengan Departemen Dalam Negeri.
Selanjutnya pada tanggal 22 Juli 2005 KPU Kabupaten Poso menghadap Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia yang diwakili oleh Direktur Pejabat Negara di Daerah untuk melaporkan dan meminta petunjuk penyelesaian Tahapan Pilkada Kabupaten Poso. Dan hasilnya sebagai berikut :
* Tahapan Pilkada supaya jalan terus sesuai jadwal;
* Proses penyerahan Hasil oleh KPU Kabupaten supaya mengacu kepada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor I20/1559/SJ, tanggal 27 Juni 2005, perihal Penyampaian Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
Sesuai Surat Menteri Dalam Negeri pada huruf B angka 1 bahwa KPU kabupaten/kota menyampaikan penetapan pasangan calon terpilih beserta berkas pemilihan dengan melampirkan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada DPRD kabupaten/kota dengan tembusan Gubernur dan Menteri Dalam Negeri, hal ini sudah dilaksanakan oleh KPUD Kabupaten Poso. Selanjutnya pada Huruf B Ayat (4) dari Surat Menteri Dalam Negeri tersebut dinyatakan bahwa apabila Ketua dan Wakil Ketua DPRD tidak dapat melaksanakan tugasnya, Gubernur menyampaikan usul pengesahan pengangkatan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri berdasarkan berkas pemilihan yang disampaikan oleh KPU kabupaten/kota.
Atas petunjuk yang diperoleh KPU Kabupaten Poso --baik dari Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah maupun dari Menteri Dalam Negeri-- serta mengacu kepada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1559/SJ tanggal 27 Juni 2005 maka, pada tanggal 28 Juli 2005, KPU Kabupaten Poso menyerahkan secara resmi berkas Penetapan Hasil Pilkada Kabupaten Poso kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah dengan Surat Nomor 270/230/KPU.PSo.VII/2005, tanggal 26 Juli 2005, Perihal: Penyampaian Proses Pengesahan Pengangkatan Pasangan Calon Terpilih Hasil Pilkada Kabupaten Poso Tahun 2005.
Setelah selesai menyerahkan berkas, Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah cq. Biro Pemerintahan menugaskan kepada KPUD Kabupaten Poso untuk melengkapi berkas pasangan calon sebagai bahan pengusulan, pengesahan pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Poso kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia sebanyak 10  (sepuluh) rangkap.
Sesuai Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.52-733 Tahun 2005 tentang Pemberhentian Pejabat Bupati dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Poso Provinsi Sulawesi Tengah dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.52-734 Tahun 2005 tentang Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Poso Provinsi Sulawesi Tengah, kemudian pada tanggal 30 Agustus 2005 dilaksanakan Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kapala Daerah Kabupaten Poso Periode 2005-2010 oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah bertempat di Gedung Pertemuan Torulemba Poso.

B.    Kemenangan Piet Inkiriwang berbuntut Sengketa
Kendati sudah dilantik, bukan berarti pasangan Piet Inkiriwang – Abdul Muthalib Rimi tenang menjalankan amanah sebagai Bupati dan Wakil Bupati Poso 2005-2010. Setelah protes masyarakat mereda, legislatif (DPRD Kabupaten Poso) melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) tidak berwenang mengusulkan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati terpilih Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.
DPRD Kabupaten Poso menilai Gubernur telah melampui kewenangannya dalam pengusulan tersebut karena bertentangan dengan Pasal 65 ayat (3) huruf f, Pasal 100 Ayat (2), Pasal 109 Ayat (2) dan Ayat (4), serta Pasal 111 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 78 Ayat (1) huruf d UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD serta Pasal 18 Ayat (3) dan Ayat (4) jo Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, DPRD mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada 13 Desember 2006, melalui kuasa hukum Achmad Michdan, Ketua DPRD Drs. S. Pelima, Wakil Ketua DPRD H. Abdul Munim Liputo, dan Wakil Ketua DPRD Herry M. Sarumpaet, mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dengan termohon Gubernur Sulawesi Tengah. Dalam permohonan yang diperbaiki pada 22 Januari 2007, mereka meminta Majelis Hakim MK Mengabulkan Permohonan para Pemohon; dan  Menyatakan Gubernur Sulawesi Tengah tidak berwenang mengusulkan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati terpilih Kabupaten Poso Sulawesi Tengah, dan telah melampaui batas kewenangannya.
Dalam proses persidangan di MK, Ketua DPRD Kabupaten Poso Drs. S Pelima selaku salah satu pemohon prinsipal menjelaskan bahwa sengketa ini diawali dengan persoalan dalam Pemilukada Poso, yakni adanya pengaduan sekelompok warga masyarakat yang merasa tidak puas atas pelaksanaan Pemilukada Poso karena disinyalir cacat proses.
Menindak-lanjuti pengaduan tersebut, DPRD Kabupaten Poso sepakat menolak mengusulkan disahkannya pasangan calon Bupati/Wakil Bupati Poso terpilih karena belum terselesaikannya pengaduan tersebut oleh pihak yang berwenang. Dan Gubernur Sulteng mengambil inisiatif mengusulkan agar pasangan Bupati – Wakil Bupati Poso 2005-2010 terpilih segera disahkan, diangkat dan dilantik.
Menurut Kuasa Hukum Gubernur Sulawesi Tengah selaku termohon, Drs. Rais Lamangkona, Gubernur berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati kepada Menteri Dalam Negeri sesuai Pasal 42 Ayat (1) huruf d UU Nomor 32 Tahun 2004 UU No 22 Tahun 2003. Hal ini dikarenakan tanggung jawab pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah Kabupaten/Kota berada pada Gubernur, ujar Rais Lamangkona, dalam persidangan di MK pada awal 2007.
 Rais menjelaskan bahwa dalil yang dilontarkannya juga sejalan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 Tahun 2005 tentang Pedoman Bagi Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah. Di situ secara tegas disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (2) tanggung jawab pelaksanaan Pemilukada Kabupaten berada pada Gubernur dan dilaporkan kepada Menteri dalam Negeri.
 Oleh karena DPRD Kabupaten Poso menolak menerima penetapan pasangan calon terpilih dari KPUD Poso, Gubernur Sulteng berinisiatif menyampaikan usul pengesahan pengangkatan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Kabupaten Poso masa jabatan 2005-2010 kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Gubernur (termohon) dalam melaksanakan wewenang atributif yang melekat padanya telah dilakukan sesuai asas umum pemerintahan yang baik, tandas Rais. Keputusan DPRD yang menolak menerima penetapan KPUD Poso mengenai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih, demikian kata Rais, bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 109 Ayat (4) yang menentukan bahwa Bupati dan Wakil Bupati diusulkan oleh DPRD selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur berdasarkan penetapan pasangan calon terpilih dari KPUD Kabupaten.
Rais menambahkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri Poso telah menyatakan tidak ada pasangan calon yang mengajukan keberatan sehubungan dengan penetapan hasil pemilukada Kabupaten Poso tahun 2005. Dengan demikian, Rais menilai dalil penolakan yang dilakukan oleh DPRD mengada-ada dan patut dikesampingkan.
Senada dengan Gubernur, selaku pihak terkait, KPUD Poso menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada masalah dalam pelaksanaan Pilkada dan hasil-hasilnya. Tidak ada saksi (pemilukada) yang mengajukan keberatan, ujar Yasin Mangun, Ketua KPUD Poso.
Lebih jauh, Yasin menjelaskan bahwa pemilukada Poso terus dilaksanakan meskipun ada insiden pengeboman di Tentena. Karena, menurutnya, KPUD telah melakukan koordinasi dengan Kapolres Poso dan Komandan Kodim Poso. “Kapolres dan Komandan Kodim menyatakan bahwa kondisi Poso masih kondusif sehingga KPUD meneruskan Pilkada,” ungkap Yasin.
Dalam persidangan di MK hadir pula tokoh-tokoh masyarakat Poso sebagai pihak terkait, antara lain Ketua Dewan Adat Poso, Ketua Forum Masyarakat Kristen, tokoh Muslim, Ketua Parisada Hindu Dharma, dan tokoh wanita Poso.
“Kami sudah lelah dengan segala konflik. Kami sangat menyesalkan adanya sengketa ini antara eksekutif dan legislatif. Mereka adalah wakil rakyat yang seharusnya mengawal perdamaian,” ujar Lies Sigilipu, tokoh Wanita Poso.
Lies, yang juga mantan kandidat Bupati yang bersaing dengan Bupati Poso terpilih, mengaku telah menerima dan tidak mempermasalahkan hasil pemilukada. “Ini sengketa yang naif. Kalau saya yang menggugat, itu wajar,” tutur Lies dengan penuh kekecewaan.
Para tokoh masyarakat Poso tersebut sepakat meminta DPRD mencabut gugatannya demi menjaga perdamaian dan mencegah terjadinya konflik berkelanjutan di Poso. “Kalau ini dicabut, maka semua masyarakat akan menaruh hormat pada DPRD,” ujar Yahya Patiro, Ketua Forum Masyarakat Kristen Poso.
Sementara itu, Ketua Dewan Adat Poso, Johanes Santo sangat berharap MK bisa mempertemukan antara pemohon dan termohon supaya ada perdamaian. Karena perdamaian itu yang dirindukan masyarakat saat ini, ujar Santo.
Terhadap masukan-masukan tersebut, kuasa hukum pemohon, Achmad Michdan, menghargainya dan berjanji akan mendalaminya lebih jauh. Kami akan menyampaikannya pada pemohon prinsipal, tambah Michdan.
Ketua MK (saat itu) Prof Jimly Asshiddiqie memberi kesempatan kepada para pihak untuk memikirkan langkah selanjutnya apakah akan berdamai atau tidak. Kalau ditarik (gugatannya), maka akan memiliki dampak yang substantif. Kalau tidak ditarik maka harus siap dengan segala putusan yang dikeluarkan MK, kata Jimly yang bertindak selaku ketua majelis hakim.
Akhirnya, melalui rapat permusyawaratan  hakim yang dihadiri sembilan hakim konstitusi yang kemudian diucapkan pada sidang pleno MK yang dipimpin Ketua Jimlu Asshiddiqie pada tanggal 9 Maret 2007 memutuskan:  Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Hadir pula dalam sidang yang terbuka untuk umum itu Pemohon/Kuasa Pemohon, Termohon/Kuasa Termohon, dan para Pihak Terkait.

C.   Menerapkan Gaya Kepemimpinan “Orang Mabuk”
Tanggal 30 Agustus 2005  adalah hari yang penuh sejarah dan telah dicatat dengan tinta emas, di mana seorang Drs. Piet Inkiriwang, MM dilantik dan dikukuhkan menjadi Bupati Poso yang pertama di era reformasi yang merupakan hasil pilihan langsung rakyat secara demokratis. Di tengah proses gugatan sengketa kewenangan antara DPRD Kabupaten Poso dan Gubernur Sulawesi Tengah yang digelar di MK pada rentang waktu akhir 2006 sampai mendekati pertengahan 2007, Bupati terpilih Piet Inkiriwang terus bekerja keras memulihkan Poso dari konflik berkepanjangan. Lantas bagaimana gaya kepemimpinannya di tengah masyarakat Poso yang belum sembuh betul dari badai konflik dan pertikaian? Bahkan, riak-riak pertikaian terkadang masih meletup sampai dua tahun (2007) kepemimpinan Piet Inkiriwang.
Setelah dilantik, yang pertama dilakukan Piet adalah mengundang Komandan Kodim (Dandim) Poso, Komandan Batalyon (Danyon) dan Kepala Polres Poso. “Sebagai kakak senior, saya tanya satu per satu, kita harus bersepakat, tidak boleh lari sendiri-sendiri. Kita saling berdiri berpelukan. Apa yang disampaikan dan diarahkan bupati mari kita kerjakan bersama-sama. Kita ini pelindung. Komandan-komandan ini yang pertama saya satukan. Untuk kebutuhan kalian guna mengamankan, saya belum lihat apakah APBD cukup, saya akan penuhi. Saya minta kalian siapkan patroli-patroli TNI-Polri karena yang menguasai kota ini adalah teroris,” papar Piet yang sepanjang karirnya berada di lapangan operasional kepolisian ini.
Langkah kedua yang ditempuh Piet adalah konsolidasi segenap Pegawai Negeri Sipil (PNS) di pemerintahan Kabupaten Poso. Dia mengungkapkan bahwa ketika itu ada pegawai dan kepala dinas yang terlibat konflik sosial. Bahkan, mereka pun melengkapi diri dengan senjata F-16. Ujar Piet, “Yang Kristen ada senjata, yang Islam juga ada senjata. Sepakat, sebagai Bupati yang kalian sendiri pilih, saya perintahkan kalian yang punya senjata segera kembalikan sesuai tanggung jawab. Kalau kalian tidak mau, maka berhadapan dengan bupati dan TNI-Polri. Mulailah pelan-pelan, takut-takut, mereka membawa ke sini. Ada bom dan granat pula. Baru kemudian saya undang Densus untuk mengambil senjata-senjata itu. Saya main perintah begitu, mereka bisa saja melawan karena saya bukan lagi polisi. Karena ada pertolongan Tuhan, semua berjalan baik.”
Setelah konsolidasi dengan pegawai, selanjutnya Piet berkonsolidasi dengan tokoh-tokoh agama yang ada di Kabupaten Poso. Mereka dikumpulkan di pendopo kabupaten untuk diajak bermusyawarah untuk membawa kembali Poso yang damai. Mereka bersepakat mau kembali damai.
Akhir tahun 2005 sudah Poso mulai kondusif. Tutur Piet tentang langkahnya menyatukan warga masyarakat Poso:
“Tiga bulan jadi bupati, saya menyelenggarakan natal di sini. Semua datang, ada yang pakai jilbab dan ada pula yang pakai celana jingkrang. Mereka yang bantu memasang lilin. Itu tiga bulan pertama. Kemudian pada bulan keempat saya pimpin takbiran, takbir keliling, saya pimpin yang paling depan. Dan bersyukur tidak ada kejadian apa-apa. Itulah kuasa Tuhan. Mulai dari situ masyarakat tersadar, ah tidak ada apa-apa di sini. Lalu tahun baru, yang Muslim dari kota (Poso) pergi naik ke tempat yang Kristen (Tentena), mencari teman-temannya kemudian mengajak turun bersama-sama. Anak-anak mulai membunyikan terompet yang selama ini hilang. Islam-Kristen sudah mulai kembali bersatu. Tiga even ini yang luar biasa.”
Dari berbagai langkah tersebut, Piet pun bisa mulai melihat dan memisahkan mana kelompok kawan, mana kelompok lawan, dan mana pula kelompok  abu-abu. Dia berusaha melihat mana yang betul-betul mendukung terorisme, mana yang tidak mendukung dan mana yang hanya ketakutan. Dengan begitu, tidak salah sasaran di saat mengambil langkah menghancurkan atau membubarkan kelompok teroris.
Melihat hubungan umat Islam-Kristen yang mencair, Piet lalu berinisiatif membentuk forum persatuan antarumat beragama, forum persatuan Islam-Kristen, di Poso pesisir. Dan suasana Poso semakin kondusif.
Hanya dalam hitungan bulan Piet Inkiriwang memimpin Kabupaten Poso, kendali penuh ada di tangan bupati, tidak ada yang jalan sendiri-sendiri. “Itulah yang saya kerjakan di awal-awalmenjabat bupati, dimulai dengan merekatkan kembali. Terutama mulai 2006 dan puncaknya 2007 kami hancurkan kelompok teroris. Memang perlu waktu yang cukup untuk menyelesaikan. Tokoh-tokoh agama Islam waktu itu juga mendukung, mereka bertekad untuk tidak lagi melindungi,” jelas Piet.
Dalam tesisnya ketika menyelesaikan Program Magister Administrasi Publik pada Program Studi Administrasi Negara Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Manado dengan judul “Pengambilan Keputusan Pasca Konflik (Study Gaya Kepemimpinan Bupati Poso Periode 2005 – 2010)”, Frits Sam Purnama, SH, M.AP menilai bahwa, dalam melangkah dan mengambil kebijakan, Bupati Piet Inkiriwang cenderung menerapkan gaya kepemimpinan autokrasi. 
Oleh banyak kalangan, gaya kepemimpinan autokrasi dianggap sebagai sebuah gaya kepemimpinan yang tidak lagi cocok di era keterbukaan dan reformasi saat ini. Karena gaya kepemimpinan ini dianggap sebagai sebuah gaya kepemimpinan yang represif dan lebih mengedepankan hasil daripada membangun sebuah komunikasi timbal balik. Kesannya saat ini semua dituntut untuk serba mengacu pada gaya kepemimpinan demokrasi yang dianggap segala-galanya. Padahal, di dalam praktiknya di organisasi manapun, kedua tipe tersebut mempunyai kelemahan dan juga kelebihan masing-masing. Ada baiknya kita mengelaborasi secara subtansial kedua gaya kepemimpinan tersebut.
Gaya kepemimpinan yang demokratis adalah bahwa dalam melaksanakan fungsi kerjanya seorang pemimpin selalu lebih menekankan pada melihat subordinasinya atau bawahannya sebagai “human being” yang memberikan kebebasan kepada lingkungan kerja, cara kerja, waktu kerja, pencapaian target kerja dan lain sebagainya. Selanjutnya gaya ini lebih bersifat persuasif dan mohon pengertian dari subordinasinya dan bukan melalui pengawasan dan memberikan petunjuk secara tegas tentang apa yang akan dicapai, kapan harus diselesaikan dan apa yang akan dihasilkan.
Sedangkan gaya kepemimpinan autokrasi, di mana seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya tetap berperilaku baik (nice guy), namun selalu tegas (firmed), disiplin, dan partisipatif dalam mengatur pencapaian sasaran kerja dengan cara terlebih dulu memberikan gambaran sasaran kerja, dan telah jelas hasil apa yang diharapkan, serta bagaimana cara mencapainya, kapan harus diselesaikan, dan selalu diikuti dengan supervisi yang terjadwal, bahkan tidak jarang pemimpin tersebut menyampaikan pada subordinasinya (bawahan) bagaimana bersikap, berkomunikasi dan berperilaku dalam lingkungan pekerjaan.
Dalam memimpin Kabupaten Poso yang masih rawan konflik, sebagai Bupati, Drs. Piet Inkiriwang, MM selalu menunjukkan diri sebagai seorang manager, pemimpin atau leader yang selalu ingin bergerak cepat dan mengambil keputusan secara tepat, walau dikesankan agak keras (baca tegas). Selanjutnya dalam menyelesaikan masalah selalu dimulai dengan arahan, yang di dalamnya memberikan gambaran kerja, apa yang mau dikerjakan, siapa-siapa yang harus mengerjakan, bagaimana mencapai pemecahan masalah, menunjukan secara tegas sasaran apa yang harus dicapai dan berapa lama pekerjaan tersebut harus diselesaikan. Dan berikutnya Piet Inkiriwang selalu memonitor, melakukan supervisi sejauh mana pekerjaan telah dilaksanakan. Bahkan monitoring dan supervisi ini dilakukan dengan tidak mengenal waktu, baik siang maupun malam. Dan tidak menginginkan pekerjaan tersebut dilakukan asal-asalan dan selalu akan mengejar ambisi yang sudah ditetapkan sebagai sebuah tujuan (Visi dan Misi).
Boleh jadi semua hal ini sangat dipengaruhi gaya kepemimpinan sebagai seorang mantan polisi. Sebagaimana kita tahu bersama bahwa sosok Piet Inkiriwang adalah seorang polisi tulen yang memulai karirnya dari seorang polisi rendahan secara berjenjang sampai pensiun sebagai seorang Perwira Menengah dan telah memegang berbagi jabatan strategis, antara lain sebagai Kapolsek, Kasat Serse, Wakapolres, Kapolres sampai beberapa kali dan terakhir pensiun sebagai Kepala Diklat Kepolisian.
Kondisi kepemimpinan seperti ini membuat subordinat (bawahan) harus senantiasa siap siaga setiap saat apabila pemimpin melakukan apa yang disebut monitor atau pengawasan serta memaksa untuk disiplin dalam melaksanakan tugas.
Dari hasil penelitian Frits Sam Purnama sebagaimana dituangkan dalam tesisnya, hanya segelintir orang memprotes dan menilai bahwa gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh Piet Inkiriwang bukanlah seorang yang demokratis, yaitu gaya kepemimpinan yang memberikan ruang kepada orang untuk menyampaikan pendapat dan lebih leluasa melakukan segala sesuatu.
Dalam persoalan ini, Frits Sam Purnama mengajak kita benar-benar bisa mengkaji secara kritis dan tidak sekadar ikut-ikutan ramai atas fenomena demokrasi saat ini dengan gaya kepemimpinan tersebut. Benarkah gaya kepemimpinan demokrasi menghasilkan yang terbaik, tercepat dalam membuat keputusan, berdaya guna dan tepat guna terutama bila dikaitkan dengan fungsi dan peran seseorang yang menjadi seorang pemimpin daerah di mana diperhadapkan dengan persoalan pelik dan membutuhkan sebuah keputusan yang cepat dan harus menyelesaikan masalah dalam waktu yang relatif pendek.
Lantas bagaimana menjadi seorang pemimpin di Kabupaten Poso yang baru saja dilanda konflik yang  berkepanjangan, yang telah menghancurkan seluruh sendi-sendi kehidupan sosial, bahkan hampir memutus hubungan silahturahim antar sesama umat manusia? Bagaimana mengambil keputusan di tengah-tengah tekanan dan ancaman? Haruskah menjadi seorang pemimpin yang memberikan kebebasan kepada subordinasinya atau bawahannya di dalam melaksanakan tugas dengan pencapaian target yang bersifat persuasif ataukah menjadi seperti seorang manager yang tegas dan partisipatif dalam memimpin agar diikuti oleh subordinatnya?
Dr. Hendry Tosi dari Michigan State University telah melakukan penelitian terhadap 500 orang yang pernah dipimpin oleh orang yang memiliki pola demokratis, kemudian sekarang dipimpin oleh pemimpin yang autokratis. Pada kesimpulannya ditemukan bahwa subordinasi (bawahan) tetap lebih menyukai pemimpin yang autokrasi, bahkan ingin meniru dan memuji pemimpin yang bersifat autokrasi serta ingin menerapkan pola-pola autokratis bila mereka kelak menjadi pemimpin.
Mengapa demikian, bukankah memiliki pemimpin yang demokratis lebih membuat para subordinatnya (bawahannya) lebih leluasa dalam banyak hal? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bahwa :
* Para pekerja yang bekerja di perusahaan tersebut juga mempunyai keinginan karir kerja yang baik di masa depan. Karena itu, dengan pemimpin yang autokratis, mereka merasa mendapat pelajaran dari pemimpinnya, merasa ada yang dapat ditiru, dan merasa lebih yakin dan lebih pasti dalam mengejar karir dan menjalani tanggung jawab pekerjaannya.
* Para pekerja yang bekerja di perusahaan memang harus ada yang membimbing dan tidak hanya dilepas sedemikian rupa, namun kalau di luar perusahaan mereka harus bebas menentukan dirinya sendiri (On the job dan off the job).
* Dengan adanya pimpinan yang partisipatif, subordinasi merasa terinspirasi untuk mengerjakan sesuatu, sebaliknya dengan pemimpin yang tidak partisipatif acapkali situasi kerja menjadi frustasi dalam menghadapi permasalahan.
Dari catatan Frits Sam Purnama, kepemimpinan Piet Inkiriwang telah menunjukkan gaya yang agak aneh (baca unik). Bahkan Piet pernah mengatakan gaya kepemimpinannya adalah gaya kepemimpinan “orang mabuk”. Artinya, bahwa dalam mengambil keputusan bisa dapat berubah secara cepat sesuai kebutuhan dan kondisi yang ada bahkan waktu lima menit sangat berharga untuk memberikan penilaian dalam mengambil atau mengubah keputusan.
Apapun model atau gaya kepemimpinan seseorang apakah demokrasi ataukah autokrasi bukanlah hal yang menjadi utama tetapi bagaimana tujuan itu bisa tercapai secara baik dan dapat bermanfaat bagi banyak orang. Menjadi seorang pemimpin (manager) yang baik haruslah menjadi seorang yang tegas/disiplin dan partisipatif dalam memimpin agar diikuti oleh subordinatnya/bawahan (Be a firmed and participative leader whom people will follow).
D.   Kembali Terpilih pada Pemilukada 2010
Dalam memimpin Kabupaten Poso, Piet Inkiriwang dan Abdul Muthalib Rimi mengusung visi bagi terwujudnya Kabupaten Poso yang aman, damai, demokratis, bebas korupsi dan masyarakat Poso yang sejahtera. Untuk dalam kepemimpinan mulai 2005, Piet memprioritaskan wilayah Kabupaten Poso yang aman dan damai. Sebab itulah kemudian lahir program Pendidikan Harmoni sebagai upaya mencairkan hubungan warga masyarakat yang pernah bertikai melalui pendidikan sejak dini, mulai dari SD, SMP sampai SMA dan sederajat.
Sejak kepeimpinan Piet Inkiriwang, kondisi Poso (terutama setelah 2008) berangsur aman dan kondusif serta warga masyarakat tidak lagi dihantui rasa was-was dan syakwasangka. Tak terasa, kepemimpinan Piet yang tidak mudah mendekati ujung masa bakti di tahun 2010.
Memasuki 2010, warga Poso kembali pada hiruk-pikuk pesta demokrasi untuk memilih pemimpin mereka. Sekitar dua atau tiga tahun sebelumnya, berkumpulnya massa di satu titik akan menjadi persoalan serius keamanan. Ratusan petugas kepolisian, TNI, akan disiagakan, persenjataan disiapkan, jalanan pun lengang, suasana kota sepi. Bahkan, meskipun massa tidak berkumpul namun isu berkumpulnya massa tertentu hingga isu pengerahan massa dari Poso ke Tentena atau Tentena ke Poso tidak hanya menjadi ancaman serius bagi keamanan namun merembet, menembus, mengaktivasi ingatan seluruh masyarakat tentang peristiwa negatif sejak tahun 1998 hingga 2008 dengan berbagai pola-pola kekerasan. Pada saat itu, dua kota utama di Kabupaten Poso, yakni Poso dan Tentena, menjadi “lingkaran” perlindungan identitas, wilayah “kami” dan wilayah “mereka”. Poso sebagai “wilayah muslim”, Tentena sebagai “wilayah Kristen”
Bagaimana menjelang pemilukada Poso 2010? Dua pekan masa kampanye Pemilukada Poso yang ditetapkan oleh KPU Poso, 17–29 Mei 2010, warga masyarakat Poso larut dalam aktivitas kampanye membongkar seluruh persepsi, asumsi, hegemoni wacana tentang Poso. Masyarakat dengan beragam caranya menggugat kembali sejarah konflik Poso yang menghegemoni, bahkan dengan elegan melewati batas korban dan pelaku yang digariskan oleh kekuasaan. Selanjutnya, tiga hal ini yang terjadi: “melewati” identitas agama dan suku; menempatkan dengan benar Pemilukada sebagai “pesta” rakyat; melakukan “confronting the past” atau menempatkan konflik Poso pada tempatnya.
Piet Inkiriwang selaku petahana kembali maju pada Pemilukada Poso 2010. Kali ini dia berpasangan dengan T. Samsuri. Pemilukada Poso 2010 menghadirkan empat pasangan calon, masing-masing Piet Ingkiriwang dan T. Samsuri; Frans Sowolino dan Burhanuddin Andi Masse; Hendrik Gary Lyanto dan Abdul Muthalib Rimi; Sony Tandra dan Muliadi. Semua calon bupati beragama Kristen, sementara seluruh calon wakil beragama Islam. Baik Piet Ingkiriwang, Hendrik Gary Lyanto maupun Sony Tandra bersuku Pamona campuran Tionghoa, hanya Frans Sowolino yang bersuku Pamona.
Pada periode Pilkada 2005 isu agama menjadi catatan penting bagi rakyat-masyarakat pemilih. Hal ini terlihat dari partai pendukung kandidat khususnya yang bersimbolkan agama tertentu dan dari besarnya suara pemilih di wilayah-wilayah tertentu yang agamanya mayoritas sesuai dengan kandidat. Pada masa Pemilukada 2005 pula, isu agama menjadi salah satu isu sensitif dalam kampanye. Dalam hal ini lingkaran identitas keagamaan masyarakat dijaga, dipertahankan, diangkat oleh setiap kandidat.
Fenomena tersebut tidak lagi ditemukan dalam Pilkada 2010. Isu agama masing-masing kandidat tidak hanya tidak penting tetapi tidak dibicarakan, baik di wilayah publik maupun dalam wilayah rumah tangga keluarga. Bahkan, ketika salah satu kandidat membawa isu kesukuan, hal tersebut juga kurang membawa hasil yang maksimal. Masyarakat pemilih telah belajar bahwa siapapun beragama apapun tidak menjamin kehidupan menjadi lebih baik (baca: lebih aman). Perhatian ditujukan pada latar belakang kehidupan, track record masing-masing kandidat dan visi-misi yang disampaikan.
Tidak heran, jika pada periode Pemilukada 2005, masyarakat sudah menentukan pilihannya bahkan sebelum masa kampanye berakhir hanya dengan melihat identitas agamanya, pada Pemilukada 2010 banyak ditemukan pernyataan pemilih “lihat saja siapa yang paling bagus visi, misi dan programnya untuk Poso ke depan”.
Masyarakat pemilih membalikkan identitas suku dan agama ke dalam identitas lainnya, yakni pekerjaan, pendidikan, hingga program-program yang ditawarkan. Kandidat Bupati Hendrik Gary Lyanto yang adalah pengusaha properti dari Jakarta, merupakan wajah baru dalam dunia politik di Kabupaten Poso, dan baru muncul pada empat bulan terakhir menjelang Pemilukada. Kandidat Bupati Sony Tandra adalah pengusaha kontraktor sekaligus anggota DPRD Kabupaten Poso. Sementara itu kandidat bupati Piet Ingkiriwang adalah kandidat incumbent, memiliki latar belakang sebagai Kapolres Bitung. Kandidat Bupati Frans Sowolino adalah anggota DPRD dan akademisi, dosen di Universitas Kristen Tentena.
Latar belakang pekerjaan dan pendidikan masing-masing kandidat ini mempengaruhi visi-misi dan isu utama selama kampanye. Hendrik Gary Lyanto mengangkat isu masyarakat Poso yang modern, salah satu contoh yang diangkat adalah pembangunan mall. Sony Tandra mengangkat isu akses yang terbuka terhadap pembangunan Poso dengan terjaminnya sarana dan prasarana, salah satu contoh yang diangkat adalah listrik menyala 24 jam. Sementara itu Piet Ingkiriwang masih tetap mempertahankan isu keamanan, dengan mendengung-dengungkan keamanan yang berhasil dicapai selama masa pemerintahannya. Frans Sowolino mengangkat isu pendidikan berbasis digital, dan membuat dewan rakyat untuk menjembatani legislatif dan eksekutif.
Berbagai isu tersebut lepas dari pembicaraan tentang identitas keagamaan yang dipersepsikan sebagai akar perpecahan dalam masyarakat Poso yang mengakibatkan konflik berkepanjangan. Bahkan isu keamanan, tidak lagi diarahkan dalam bingkai antar-kelompok masyarakat yang berbeda agama, atau dibicarakan dalam bingkai satu kelompok agama tertentu. Kalaupun dibicarakan, tidak lagi menjadi ancaman tetapi sekedar pembicaraan, saja. Piet misalkan, memformulasikan aspek keamanan dalam visi: Terwujudnya Kabupaten Poso Yang Aman, Damai, Demokratis, Bebas Korupsi Dan Masyarakat Poso yang Sejahtera, Sehat, Cerdas, Produktif yang Didukung SDM yang Handal dan Berdaya Saing pada 2015. Tidak sedikitpun mengusik persoalan antar-umat beragama atau antar-suku.
Bukan cuma isu keamanan ditepiskan oleh ramainya lalu lintas massa kampanye, kotak-kotak identitas menyatu dalam bendera-bendera beragam partai pengusung kampanye. Selanjutnya, Pemilukada Poso 2010 menjadi “pesta” bagi masyarakat Poso.
Menyebutnya “pesta” bagi masyarakat Poso karena dua hal, pertama, aktivitas keseharian masyarakat seakan terhenti, terpusat pada semarak kampanye. Beberapa keluarga berhenti melaut, hari untuk menanam padi diagendakan ulang, perkuliahan berhenti sementara dan sebagainya. Keinginan besar masyarakat untuk mengikuti rangkaian kampanye oleh kandidatnya, mungkin saja lantaran tergiur oleh sarana dan prasarana yang diberikan baik berupa atribut maupun uang. Namun kenyataan mereka memilih aktivitas yang lain dari aktivitas keseharian yang mereka laksanakan bukanlah hanya karena kemungkinan tersebut di atas. Harapan akan dipimpin oleh pemimpin yang terbaik dan mempengaruhi kehidupan mereka juga menjadi bagian penting pertimbangan keikut-sertaan. Jika tidak, maka hal kedua tidak akan terjadi.
Kedua, masa kampanye biasanya terpusat pada kandidat calon bupati. Periode kampanye tahun 2010 berlangsung sebaliknya, peserta kampanye menjadikan kampanye sebagai ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri dan didengarkan. Alih-alih membiarkan para kandidat menebarkan janji, sebagian besar masyarakat mendesak para kandidat untuk mempertimbangkan apa yang paling diharapkan mereka. Di luar segala pertimbangan tentang efektifitasnya, kontrak-kontrak politik diajukan dan ditanda-tangani. Sementara itu, tanpa bermaksud menafikan tim sukses resmi dari partai pengusung kandidat, tim sukses bayangan dibentuk dari orang-orang yang dianggap bisa menjembatani kandidat dan massa pendukung. Janji-janji yang diungkapkan tidak lagi sekedar diutarakan namun harus diberikan alasan-alasan yang tepat. Karena, jika tidak, maka akan dipertanyakan. Ungkapan-ungkapan “itu janji atau janjii (dalam bahasa Pamona berarti bohong)”, atau “yang menentukan Poso ke depan bukan bupatinya siapa, tapi kita yang memilih bupati” sering keluar dari mulut para calon pemilih. Sebab itu, alih-alih mendapatkan kaos, uang transportasi, makanan bungkus, dan ikut berdendang, berjoget selama kampanye hingga dero (tarian khas Poso) sebagai bagian dari strategi kampanye para tim sukses, masyarakat tidak terlalu serius melihatnya sebagai daya darik utama. Sebaliknya, mereka menikmati seluruh masa kampanye sebagai masa meriah bersama-sama. Tidak menjadi daya tarik utama bisa terlihat dari sebagian besar massa berada di hampir semua kandidat, termasuk bila tidak menerima sarana dan prasarana alias harus menanggung sendiri biaya makan dan transportasi. Sulit untuk menghitung massa riil.
Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana sebagian besar masyarakat melihat, mendengar, menilai, mendiskusikan, dan mempertimbangkan semua hal untuk kemudian memutuskan. Sebuah proses cerdas yang belajar dari pengalaman masa silam. Sebuah proses yang membalikkan teori-teori massa pasca konflik, mematahkan strategi-strategi kampanye yang hanya mengandalkan identitas, kelompok tertentu.
Di mana masa lalu dalam seluruh kemeriahan kampanye Pilkada 2010? Salah seorang eks kombatan yang mengklaim memiliki basis massa (Muslim) di wilayah Poso bergabung dengan eks kombatan lainnya yang memiliki basis massa (Kristen) di wilayah Tentena menjadi satu tim sukses. Ratusan hingga ribuan massa dengan segala atribut, termasuk simbol keagamaan, naik mobil, sepeda motor dan truk dari Poso ke Tentena dan sebaliknya. Ratusan orang yang selama lebih dari sepuluh tahun pasca konflik kekerasan tidak pernah (baca:berani) bepergian ke wilayah Poso atau Tentena, melintasi wilayah tersebut dengan perasaan aman. Tentu banyak perasaan berkecamuk saat melewati wilayah-wilayah konflik kekerasan. Pun tentu saja banyak ingatan dan trauma yang lahir dari wilayah-wilayah yang mereka singgahi atau tuju. Pulang kampung bersama, begitu komentar salah seorang ibu yang sejak tahun 1999 tidak pernah menginjakkan kaki lagi di kota Poso yang hanya berjarak 50 km dari tempat tinggalnya sekarang. Mengunjungi keluarga lama, sambung seorang ibu lain dari wilayah Poso Kota yang sejak tahun 2002 berjanji tidak akan pernah mengunjungi Tentena.
Pemandangan ini baru ditemui dalam 10 tahun terakhir. Tidak ada kepalan tangan saat berselisih jalan, hanya jari-jari yang menunjuk nomor tertentu. Tidak ada isu serang, menyerang, mengepung, terkepung. Fenomena tersebut secara tegas membicarakan masa lalu dengan cara menggugat hegemoni pengetahuan yang tertulis dalam lembar-lembar laporan penelitian dan tulisan, hegemoni kekuasaan yang diterjemahkan dalam kebijakan pemerintah tentang keamanan yang mendatangkan ribuan pasukan keamanan, termasuk isu terorisme, menggugat hegemoni wacana tentang konflik Poso.
Pertama, ada re-interpretasi tentang masa lalu dengan mengurai konfigurasi kekuasaan yang ada di balik pengawetan ingatan yang hegemonik tentang konflik Poso sebagai konflik antar-umat beragama. Re-interpretasi ini lebih jauh lagi diterjemahkan dengan tenggelamnya identitas agama dan suku sebagai pertimbangan utama pemilih dalam menentukan pilihan. Tenggelamnya identitas sebagai isu utama (berbanding terbalik dengan isu awal konflik Poso) menunjukkan “kesepakatan” alami (yang diam namun memiliki dampak mendalam) tentang adanya politisasi isu agama dalam konflik kekerasan yang mereka alami. Re-interpretasi dalam prosesnya yang alami dan melahirkan kesepakatan ini pada akhirnya melahirkan pengakuan tentang kepentingan bersama pada kekinian dan masa depan. Pengakuan ini diekspresikan pada bergabungnya masyarakat lintas agama dan suku dalam kerumunan massa kampanye tanpa gesekan dan sentimen tertentu. Bahkan, di luar berbagai kepentingan ekonominya, antar-eks kombatan dari kedua kelompok keagamaan bergabung dan memperjuangkan kandidatnya. Pengakuan ini membawa diri dan komunitas pada titik diam sejenak, menyimak ulang, memaknai masa lalu sebagai sesama manusia.
Kedua, penundaan makna pada konsep-konsep yang hegemonik bahkan yang berkembang kini pada gilirannya melakukan dekonstruksi masa lalu (baca: konflik). Dekonstruksi ini tidak lagi sekadar dalam ingatan-ingatan masyarakat yang terpinggirkan tetapi dalam aksi bersama massa yang membaur dalam aktivitas kampanye. Alih-alih meletakkan masa kampanye sebagai bagian dari ritual politik dalam Pemilukada, masyarakat Poso menempatkannya sebagai bagian penting proses re-interpretasi yang menjadikan mereka melintasi batas identitas hingga akhirnya melakukan dekonstruksi konflik Poso.
Ketiga, dekonstruksi konflik Poso memiliki ruang kritik tidak saja terhadap hegemoni wacana tentang konflik Poso sebagai konflik antar-umat beragama tapi juga membuka kembali ruang pembicaraan wacana alternatif tentang kepentingan ekonomi politik konflik Poso. Pasca konflik, masyarakat Poso dihadapkan pada kenyataan bahwa di negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini sedang dikepung dengan masuknya investor yang tidak saja meminggirkan rakyat, namun juga menyingkirkan kedaulatan rakyat atas tanah dan seringkali memanipulasi hak rakyat atas nama kesejahteraan dalam pemahaman yang kerdil. Sebab itu dekonstruksi konflik Poso melewati persoalan identitas pada persoalan kehidupan bersama, sebagai rakyat yang memiliki hak hidup atas tanah. Melawan bersama terhadap kooptasi kekuasaan, investor dan militer menjadi mungkin.
Dalam suasana yang amat cair itulah, pada 2 Juni 2010, 142.136 rakyat Poso yang memiliki hak pilih berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang telah disiapkan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS). Setelah melakukan penghitungan dan rekapitulasi suara, KPU Kabupaten Poso menyatakan pasangan nomor urut 4 Piet Inkiriwang-Syamsuri memenangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Poso. Pasangan incumbent yang diusung Partai Demokrat ini memperoleh suara tertinggi 45.119 suara (38,76%)
Keputusan pemenang Pemilu Poso itu diambil setelah KPUD merampungkan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu dari jumlah daftar pemilih tetap mencapai 142.151, tercatat jumlah suara sah dalam Pemilukada Poso berjumlah 116.402, dan suara tidak sah berjumlah 1.126.
Pihak-pihak yang keberatan dengan hasil pemilu tersebut diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengajukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). "Bila dalam masa 3 hari itu tidak ada keberatan yang disampaikan, maka tahapan pemilukada Poso tinggal menunggu pelantikan calon terpilih yaitu pasangan Piet-Syamsuri pada tanggal 30 Agustus mendatang," kata Ketua KPU Kabupaten Posos Iskandar Lamuka.
Berdsarkan hasil penghitungan, perolehan suara terbanyak kedua diraih pasangan Sony Tandra-Muljadi yang diusung koalisi Partai Patriot Pancasila, PDIP, PBR, Republikan dengan suara 30.712 suara (26,38%). Menyusul pasangan Frans Wangu Sowolino-Burhanuddin Andi Masse yang diusung koalisi PDS, PKPI, PDP dengan perolehan 21.579 suara (18,54%), dan juru kunci nomor urut 1, koalisi Partai Golkar, PAN, PPP, Gerindra, pasangan Hendrik Garry Lyanto-Thalib Rimi dengan perolehan 18.992 suara (16,32%).
Saksi dari tiga pasangan kandidat yang kalah ini menolak menandatangani berita acara Rekapitulasi Penghitungan Suara Tingkat Kabupaten Poso. Satu-satunya saksi yang bersedia bertanda tangan adalah Yos Bangguna, S.Sos yang menjadi saksi untuk nomor urut 4.
Burhanuddin Hamzah, Ketua Tim Pemenangan pasangan Tandra-Muljadi, mengatakan bahwa pihaknya tidak bersedia menandatangani berita acara karena berubah-ubahnya data DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang mereka terima. “DPT pertama kami terima itu 142.107 pemilih, kemudian ada perubahan lagi 142.136 pemilih dan terakhir 142.151 pemilih,” katanya .
Burhanuddin mengatakan akan mengajukan keberatan terkait hasil Pemilukada Kabupaten Poso “In syaa Allah kita akan gunakan limit waktu itu, apakah dia di ranah Mahkamah Konstitusi atau di pidana. Kalau pidana kami akan menyurat kepada Panwas, Panwas Pemilukada akan meneruskan ke Penyidik dan Penyidik meneruskan ke pengadilan. Jadi proses pengadilan dipercepat," kata Burhan.
Sedangkan saksi pasangan Hendrik Gary Lyanto-Abdul Muthalib Rimi keberatan dengan hasil penghitungan karena sertifikat penghitungan tingkat kecamatan tidak ditanda-tangani oleh saksi dan sertifikat penghitungan suara tingkat TPS yang ada pada pihaknya belum terekap secara baik sehingga masih membutuhkan waktu untuk memverifikasi keseluruhan model C yang ada. Bahkan, pasangan Hendrik Gary Lyanto-Abdul Muthalib Rimi mengajukan gugatan ke MK karena menilai terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif.
Mahkamah Konstitusi pun menolak gugatan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Poso. Sebab, pemohon tak bisa membuktikan tuduhannya bahwa terjadi kecurangan yang sistematis, terstruktur, dan massif dalam pemilihan tersebut. "Mahkamah berkesimpulan dalil pemohon tidak terbukti. Mahkamah menyatakan menolak permohonan pemohon," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (saat itu) Mahfud Md dalam pembacaan putusan di sidang pleno MK, 1 Juli 2010.
Dan, tanggal 30 Agustus 2010 pasangan Bupati dan Wakil Bupati Poso (2010-2015) terpilih Piet Inkiriwang – Syamsuri dilantik oleh Gubernur Sulawesi Tengah (atas nama Menteri Dalam Negeri) dalam sidang paripurna DPRD Kabupaten Poso.
Ihwal kepemimpinannya di periode kedua (2010-2015), Piet Inkiriwang bertutur dengan sedikit kilas balik:

“Tiga bulan pertama di periode pertama itu kondisi Poso sudah mulai kondusif. Dan memasuki tahun 2007, kami mulai membangun. Saat itu kami sudah memperoleh dana recovery dari Pemerintah Pusat sebesar Rp58 miliar. Kami dapat banyak dana untuk rekonstruksi. Pada periode kedua ini saya sengaja membawa Poso mau lepas landas. Sejak tahun 2008, ada penerbangan Merpati masuk ke Poso. Juga masuk kapal Pelni di sini. Kapal-kapal barang pun masuk, bawa semen dan barang-barang yang dibutuhkan di sini. Barang dari Makassar mahal, setelah ada kapal dari Surabaya, harga bisa kompetitif. Kami buka semua alur perhubungan udara, darat dan laut.”  (*)

No comments:

Post a Comment