Wednesday, January 28, 2015

Merajut Asa Merenda Masa Depan



* DUA


Paulus mengatakan, ”Kami ingin bertingkah laku jujur dalam segala perkara.” (Ibrani 13:18)

PEKERJA keras, kreatif dan rajin membantu orang tua memperkuat denyut ekonomi keluarga. Kuat dalam keinginan, cerdas dalam melangkah, cermat mengantisipasi dan senantiasa fokus pada apa yang telah dimulainya. Demikianlah sedikit karakter yang telah tertanam kuat dalam diri seorang Marukan Hendrik dalam menapaki titian kehidupan –baik keseharian maupun karir profesional.
Karakter tersebut terbentuk tak terlepas dari peran ayahnya yang seorang petani di Desa Bayat, Kecamatan Belantikan Raya, Kabupaten Lamandau. Di masa kecil Marukan, Desa Bayat hanya sebuah desa nun jauh di wilayah pedalaman Kawedanan Bulik, Kabupaten Kotawaringin Barat. Untuk ke ibukota kabupaten (Pangkalan Bun) membutuhkan waktu 3-4 hari dengan perahu klotok. Ayah Marukan adalah seorang petani yang ulet dan rajin mengembangkan keterbatasan sumber daya alam yang ada di hadapannya. Ayahnya tidak terpaku pada keterbatasan yang kadang membelenggu ruang gerak seorang petani.  
Sedikit tentang Desa Bayat, data terakhir tahun 2012,  sekitar 80 persen penduduknya hidup sebagai petani, terutama petani padi. Warga desa yang berada pada ketinggian 88 meter di atas permukaan laut (mdl) dan kemiringan tanah 15-25 derajat itu masih menggunakan kayu bakar untuk memasak dan belum memiliki penerangan umum yang memadai. Di sini baru terdapat satu unit Taman Kanak-kanak, 3 SD negeri, satu SMP dan satu SMA. Dan terdapat dua masjid serta tiga gereja (2 gereja Kristen dan 1 gereja Katolik).
Kembali ke perjalanan hidup seorang Marukan Hendrik. Ringkas cerita, di akhir 1960-an, ketika Marukan masih duduk di kelas empat SD Negeri Bayat, ayahnya mengajarkan kiat berladang yang baik dan menuai hasil optimal, lebih dari sekadar membantu kegiatan orang tua di ladang. Lebih dari semata-mata membuat pagar ladang dan membabat rumput. Lebih dari sekadar ikut memanen padi. Ayahnya memberikan kebebasan penuh kepada Marukan untuk mengelola ladang secara mandiri, tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya di masa itu yang hanya sebatas membantu orang tua berladang.
Saat masih duduk di kelas empat SD itu, Marukan diserahi ladang seluas kira-kira 25x100 meter persegi. Dalam usia kanak-kanak, mengolah ladang seluas itu tentulah bukan pekerjaan mudah. Tapi, Marukan mampu, bahkan sampai dua tahun berturut-turut. Dia mampu menebar benih padi secara pas pada luasan lahan yang tepat. Sampai pula dia berhasil memanen hasil padinya dua kali. Panen yang sarat manfaat dan arti bagi kehidupan Marukan di usia masih kanak-kanak. Manfaat dan arti kehidupan yang bagaimana? Marukan bercerita:
“Waktu panen pertama, saya bisa beli ranjang. Saya beli ranjang besi. Di masa itu, ranjang besi menjadi tolok ukur orang kaya di desa saya. Selain itu, saya juga dapat beli lampu petromaks, dulu mereknya King, Swan atau Solar. Kemudian pada panen kedua, duduk di kelas lima, saya bisa panen padi lalu dijual buat beli mesin jahit mereka Butterfly.
Dapat dibayangkan bagaimana pengalaman saya umur segitu kan, sudah membantu orang tua dan juga menghasilkan duit. Masuk kelas 6 SD, tahun 1971, saya tidak lagi berladang. Karena saya fokus menghadapi ujian akhir sekolah. Kalau masih harus berladang, pikirannya saya agak buyar. Sementara itu saya punya tekad melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Sebenarnya antara keinginan dan kondisi itu sangat dilematis. Satu sisi ada keinginan kuat melanjutkan sekolah. Di sisi lain, saya merasa khawatir karena harus keluar kampung halaman, khawatir nanti tinggal dengan siapa di tempat lain, makan bagaimana, dan kekhawatiran bagaimana ongkos sehari-hari.”

A.   Ke Pangkalan Bun Merenda Asa
Marukan bertekad kuat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang sekolah lanjutan pertama. Namun, waktu itu belum ada SMP di Desa Bayat. Bahkan di ibukota kecamatan saja masih dalam rintisan, belum terlihat jelas kiprah sebuah sekolah setingkat SMP. Sebab itu, Marukan mencari sekolah SMP di ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat, Pangkalan Bun. Dengan menggenggam restu kedua orang-tuanya, Marukan berangkat ke Pangkalan Bun guna merenda asa yang lebih berpengharapan di masa depan. Berkat prestasi yang lumayan bagus saat lulus dari SD Negeri Bayat, dia tidak mengalami kesulitan saat mendaftar dan langsung diterima sebagai siswa baru di SMP Negeri 1 Pangkalan Bun.  
“Akhirnya, saya berangkat ke Pangkalan Bun. Setelah lulus ujian SD tahun 1971, saya mendaftar dan diterima masuk kelas 1-B SMP Negeri 1 Pangkalan Bun,” tutur Marukan mengenang langkah pertamanya keluar dari Desa Bayat mencari pengharapan yang lebih menjanjikan.
Rasanya mustahil bila Marukan mesti ulang-alik setiap hari dari Desa Bayat ke Pangkalan Bun yang di awal 1970-an itu harus ditempuh berhari-hari dengan menumpang perahu klotok. Setelah semua urusan administrasi pendaftaran siswa baru di SMP Negeri 1 Pangkalan Bun selesai, Marukan mencari kerabatnya yang mukim di Pangkalan Bun. Sampai lah ketemu rumah salah seorang kerabatnya. Dia pun meminta izin menumpang di sana.
Namun, keadaan keluarga yang ditumpangi Marukan dapat dikata tidaklah cukup mampu sebagaimana keadaan warga Pangkalan Bun ketika itu pada umumnya. Cukup setahun saja dia tinggal di rumah salah seorang kerabat.
Memasuki tahun kedua sekolah di SMP Negeri 1 Pangkalan Bun, dia pamit pada kerabatnya untuk mencari tempat tumpangan yang lain. Dia sempat beberapa kali berpindah. “Saya waktu itu tinggal di tempat orang karena tidak ada tempat tinggal lagi. Hampir tidak ada yang bisa diharapkan karena kondisi Pangkalan Bun termasuk parah juga,” ujar Marukan.
Lantaran ikut orang lain, Marukan harus berjuang agar tetap dapat bersekolah dan makan sehari-hari. Dia mesti berjuang setiap hari demi ½ piring nasi dengan lauk ikan kering yang digoreng atau dibakar. Dia benar-benar harus berjuang agar ketika berangkat sekolah dalam keadaan perut terisi sehingga dapat berkonsentrasi menerima pelajaran hari itu. Dan, berkat perjuangan yang cukup keras, saban pagi dia memperoleh setengah piring nasi berlauk ikan kering. Ternyata sarapan bukanlah sesuatu yang gratis.
Lantas perjuangan macam apa yang dilakukan oleh Marukan yang beranjak remaja waktu itu? Sungguh tidak mudah. Setiap hari dia bangun jam empat pagi, sebelum pemilik rumah bangun. Lantas dia menyapu lantai, mencuci piring, merebus air, memberi makan ternak, dan mengangkut air dari sumur ke rumah yang jaraknya cukup jauh. Terkadang pula mencangkul di ladang milik tuan rumah. Pekerjaan itu belum berhenti di situ. Di sela-sela mandi pagi, dia mencuci pakaian keluarga yang ditumpanginya. Baru kemudian dia sarapan pagi dan bersiap pergi ke sekolah. Begitulah rutinitas saban hari Marukan. Terkadang usai sarapan belum bisa serta merta melenggang ke sekolah, karena diserahi tugas momong anak sang tuan rumah. Dan di saat momong, si anak tuan rumah kadang kencing atau buang air besar diam-diam dan mengotori pakaian sekolah Marukan. Karenanya itu pula, dia kerap terlambat tiba di sekolah.
Sepulang sekolah, perjuangan mesti berlanjut. Sampai di rumah, Marukan langsung makan siang. Pekerjaan menyapu lantai pun telah menunggu. Tuntas menyapu lantai, dia berangkat ke hutan mencari kayu bakar. Ibarat sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui, di hutan, dia tidak sekadar mencari kayu bakar. Dia sekaligus kita cari sayur (kelakai) dan memancing ikan di lokasi semacam empang yang kadang ada di tengah hutan.  
Kayu bakar yang didapat pun tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sang tuan rumah yang ditumpanginya. Muncul pikiran kreatif Marukan mencari celah buat mencari uang jajan. Dia berikan kayu bakar seperlunya sesuai kebutuhan sehari-hari sang tuan rumah lalu sisanya dijual kepada warga yang memerlukan.
“Selain untuk kayu bakar di rumah, sebagian saya jual untuk membeli buku dan pulpen. Kadang kalau banyak bisa buat beli kaos dan celana. Untuk menambah uang saku, saya kadang juga bekerja di toko material milik orang Cina. Di sana saya bekerja menggunting sirap, atap yang terbuat dari kulit kayu. Saya renceng agar bagus. Dulu upahnya Rp5 untuk 1000 untaian. Setelah merenceng 2.000 sampai 3.000 sirap atau setara upah Rp10 atau Rp15, orang Cina itu menawari es lilin. Ya saya ambil, satu es lilin harganya Rp5. Jadi hasil kerja itu habis buat beli es lilin saja. Syukurlah, kalau beli sendiri kan tidak mampu. Pada masa itu es lilin sangat populer,” tutur Marukan ihwal kesehariannya masa SMP di Pangkalan Bun.
Acapkali di ujung senja dia baru sampai di rumah. Di rumah sudah menunggu pekerjaan mencuci piring, memasak air, dan menanak nasi. Sampai datangnya waktu makan malam tiba. Begitulah romantika sehari-hari Marukan selama menapaki bangku sekolah SMP.   
Lantas kapan Marukan belajar mengulang pelajaran yang telah lewat atau mempersiapkan pelajaran esok hari? Dia mengaku sangat mudah menyerap materi pelajaran di sekolah dan mengulang sekilas di rumah. Itu pula yang membuatnya tetap bersemangat bersekolah di ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat tersebut.
Dia mengangggap pekerjaan sehari-hari di rumah yang ditumpanginya bukan sebuah beban. Dia sudah terbiasa dan rajin bekerja (berladang membantu orang tua) sejak dini di kampung halamannya Desa Bayat. Kendati aktif bekerja di masa berada di kampung halaman, prestasi Marukan selama SD bagus-bagus. Prestasi bagus itu pun berlanjut ketika menapaki bangku SMP di Pangkalan Bun.
“Yang luar biasa dapat saya ceritakan, baca buku sekali saja saya langsung ingat alur cerita. Kalau kemudian dua kali baca, saya sampai ingat titik-koma yang ada di dalam naskah buku itu. Daya ingat saya termasuk luar biasa. Sampai sekarang daya ingat saya masih belum terlalu rusak. Nah, itu yang membuat saya terus bersemangat dan tidak terganggu oleh pekerjaan-pekerjaan rumah tangga di tempat yang saya tumpangi,” Marukan berkisah.

B.    Masuk SMA Negeri Pangkalan Bun Menikmati Pengalaman Asrama
Tak  terasa tiga tahun sudah Marukan remaja mengarungi kehidupan di Pangkalan Bun. Tahun ajaran 1974, dia lulus dari SMP Negeri 1 Pangkalan Bun dengan nilai memuaskan. Memasuki tahun ajaran 1975, dia mendaftarkan diri dan diterima sebagai siswa baru di SMA yang menjadi favorit para lulusan SMP di Kabupaten Kotawaringin Barat, yakni SMA Negeri 1 Pangkalan Bun.
Memasuki bangku sekolah SMA, Marukan tidak lagi tinggal menumpang di rumah kerabat atau keluarga yang bersedia ditumpangi. Marukan remaja ketika itu rupanya sempat bersentuhan dengan seorang pastur Katolik yang tengah aktif menyebarkan agama. Sang pastur asal Polandia itu tertarik pada pribadi dan keaktifan Marukan di sela-sela sekolahnya. Sampai kemudian, dari penganut Kaharingan, dia jadi memeluk Katolik Roma.
Serta merta, Marukan remaja ditarik ke lingkungan gereja Katolik di Pangkalan Bun. Bahkan, dia lantas ditampung di lingkungan gereja. Dapat dikatakan boleh tinggal pada sebuah asrama di lingkungan gereja dan di bawah asuhan seorang pastur.
“Di SMA itulah, saya masuk Katolik dan saya dibina oleh seorang pastur. Meski di gereja tapi tidak membuat saya menganggur. Ceritanya di bawah bimbingan orang Barat itu kami didisiplinkan, bangun pagi, ibadah, dan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan atau aktivitas di lingkungan gereja. Kemudian berangkat sekolah dan baru pulang sore hari. Di sore hari, kami juga ditugasi menyelesaikan pekerjaan dan mengikuti aktivitas rutin peribadatan di gereja,” tutur Marukan. Kendati hidup dalam disiplin asrama gereja Katolik, dia tetap mampu menyalurkan bakat berusaha mencari-cari tambahan uang saku.  
Waktu SMA tersebut, Marukan tinggal di asrama pelajar asal pedalaman yang berlokasi di pinggir Sungai Arut. Di asrama itu, menurutnya, kehidupan semakin sulit karena suasana Pangkalan Bun tidak jauh berbeda dibandingkan ketika dirinya masih SMP. Selama di SMP, dia hanya merasa sulit bekerja, sedangkan makan (pagi, siang dan malam) dijamin keluarga yang ditumpanginya. Di asrama, terkadang dia sampai kehabisan beras. Orang-tuanya di Desa Bayat jarang mengirim beras. Kalaupun mengirim akan memakan waktu relatif lama. “Saya pernah sampai dua hari nggak makan. Sampai-sampai harus meminta atau menunggu penghuni kamar sebelah yang membawa makanan berbagi ke saya,” ujar Marukan penuh keharuan mengenang masa-masa SMA yang sulit dilupakan di Pangkalan Bun.
Di bawah bimbingan pastur, Marukan tidak hanya belajar soal kedisiplinan diri dan menjalankan kewajiban yang diajarkan agamanya. Secara langsung dia juga berlajar Bahasa Inggris dari sang pastur yang berasal dari daratan Eropa. Berkat intensitas berlajar Bahasa Inggris secara langsung dari sumbernya, dia jadi mahir dan menjadi modal penting berprestasi.
Kendati dalam masa-masa sulit, Marukan memang cukup berprestasi di SMA. Hal ini tercermin pada perhatian sang pastur pembimbing selama di asrama yang menyarankannya kuliah setelah lulus dari SMA Negeri 1 Pangkalan Bun tahun 1977. Sang Pastur menyarankan agar dirinya melanjutkan kuliah di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

C.   Ajaran Kejujuran dari Seorang Pastur
Selain belajar ihwal disiplin dan Bahasa Inggris, pelajaran penting yang diterima Marukan dari sang pastur adalah sikap dan nilai kejujuran. Satu cerita, setelah sang pastur menyarankan agar dia melanjutkan kuliah di Banjarmasin memberi bekal Rp2.500 untuk ongkos naik kapal ke ibukota Provinsi Kalimantan Selatan tersebut.
“Waktu saya mau ke Banjarmasin, pastur memberi uang Rp2.500. beliau berkata ‘Kamu saya dukung melanjutkan sekolah, ini surat pengantar untuk asrama dan ini surat bea siswa’. Pastur juga menekankan saya agar naik kapal saja, ongkosnya murah, Rp2500,” kata Marukan.
Namun Marukan tidak seketika itu langsung berangkat ke Banjarmasin. Dia menyempatkan diri pulang menemui kedua orang-tuanya di Desa Bayat. Dia berpamitan pada kedua orang-tuanya karena mau melanjutkan kuliah ke Banjarmasin. Karena kedua orang-tuanya tidak memiliki cukup uang, mereka lalu menjual sapi yang diatas-namakan Marukan. Waktu itu, seekor sapi atas nama Marukan laku dijual seharga Rp175.000. Dan uang hasil penjualan sapi tersebut menjadi bekal tambahan Marukan menempuh perjalanan ke Banjarmasin.   
Syahdan. Tatkala hendak berangkat ke Banjarmasin melalui pelabuhan di Pangkalan Bun rupanya suaca tengah kurang bersahabat. Ombak di Laut Jawa sedang tinggi. Marukan lantas mengurungkan niatnya menumpang kapal ke Banjarmasin. Dengan duit hasil penjualan sapi, Marukan kemudian membeli tiket pesawat terbang menuju Banjarmasin.
Marukan tidak memberi-tahukan ke pastur tentang kepergiannya ke Banjarmasin naik pesawat terbang. Apa daya, pastur pun tahu kalau dirinya naik pesawat terbang ke Banjarmasin. Sontak, sang pastur memarahi Marukan.
Lantas Marukan sedikit berbohong. Bahwa dia bisa naik pesawat terbang ke Banjarmasin setelah menerima uang dari Kepala SMA Negeri 1 Pangkalan Bun sebagai apresiasi atas prestasi yang diraihnya saat kelulusan. Tiba di Keuskupan Banjarmasin bertemu pastur di sana, dia tidak memberitahukan ihwal dirinya naik pesawat dari Pangkalan Bun.
Setelah agak lama menunggu, Marukan disambut langsung seorang pastur di keuskupan tersebut. Dengan ramah, pastur menerima kedatangan Marukan, bahkan menyebut-nyebut nama Marukan seolah telah lama kenal. Lalu dia pun menyerahkan surat pengantar dari pastur di Pangkalan Bun. Apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan Marukan. Dia langsung tidak boleh tinggal di asrama khusus orang-orang tidak mampu yang ada di lingkungan keuskupan. Dia disuruh menginap di hotel atau tinggal kos berbayar.
Marukan berkisah tentang pengalamannya yang teramat pahit secara agak mendalam:
“Sampai di keuskupan Banjarmasin, saya menunggu agak lama. Uskup sendiri yang membukakan pintu dan menerima kedatangan saya. Uskup langsung bertanya, ‘Marukan ya?’ Ya, uskup. Senang sekali rasanya Uskup langsung tahu nama saya. Namun apa yang saya dapatkan kemudian, Uskup langsung mengucap: ‘Marukan, kamu anak orang kaya, tidak berhak tinggal di sini, tinggal di hotel saja’. Rupanya Uskup Banjarmasin sudah dapat kabar dari Pastur Pangkalan Bun yang mengatakan bahwa saya orangnya tidak jujur, berbohong, pura-pura miskin. Pastur Pangkalan Bun menelepon agar Uskup membatalkan izin tinggal Marukan di Keuskupan karena dinilai sebagai orang yang tidak baik. Saya menangis luar biasa. Memang kemudian saya dibukakan pintu masuk ke Keuskupan namun hanya boleh tidur satu malam, besoknya harus pindah. Saya disuruh makan tapi nggak bisa makan karena sudah tahu apa yang akan terjadi besok. 
Saya langsung tidur saja dan esok harinya saya sengaja telat bangun. Ternyata tepat jam enam pagi, pintu kamar saya sudah diketuk Uskup. ‘Marukan bangun, ini sudah jam enam, segera pindah dari sini, cari tempat lain. Bersyukur saya dikasih nomor telepon seorang kawan yang sudah lebih dulu bersekolah di Banjarmasin. Saya telepon kawan tersebut dan kebetulan nyambung. Saya minta tolong jemput di Keuskupan. Akhirnya saya dijemput juga. Di Banjarmasin kemudian ditampung di kerabat kawan saya tersebut. Sampai waktunya kemudian saya mendaftar di Universitas Lambungmangkurat.”    

Setelah agak lama berada di Banjarmasin, barulah Marukan tahu bahwa, sesaat dirinya berangkat ke Banjarmasin, pastur pembimbingnya di Pangkalan Bun langsung mengecek dan menghubungi Kepala SMA Negeri 1 Pangkalan Bun yang dikatakannya memberi uang sebagai apresiasi atas prestasi kelulusan. Lantaran memang tidak memberikan uang, Kepala SMA Negeri 1 berterus-terang bahwa dirinya tidak memberikan uang sepeser pun kepada Marukan. Pastur lalu berkesimpulan Marukan sudah tidak jujur alias berbohong. Sontak pastur Pangkalan Bun menelepon Uskup Banjarmasin untuk memberitahukan apa-apa yang telah dilakukan oleh Marukan terhadap dirinya. Rupanya Marukan tidak tahu apa yang dilakukan pastur pembimbingnya yang menyelidik ihwal dari mana dia memperoleh ongkos naik pesawat terbang.
Nilai kejujuran menjadi demikian penting ditanamkan oleh sang pastur kepada anak bimbingannya. Sebagaimana tercermin dari pengalaman Marukan yang telah berbohong menerima hadiah dari Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Pangkalan Bun. Memang kebohongan yang dilakukan Marukan tidak merugikan sang pastur. Tapi, sekali berbohong akan ditutup kebohongan pula. “Saya benar-benar terkesan dengan ajaran kejujuran yang ditanamkan oleh pastur yang membimbing saya di Pangkalan Bun. Ajaran nilai kejujuran dari pastur itu terus melekat sampai sekarang. Dan, itu saya terapkan juga dalam memimpin Kabupaten Lamandau sekarang ini,” ujar Marukan Hendrik yang kini menapaki periode kedua (2013-2018) memimpin Kabupaten Lamandau.

D.   Kejujuran sebagai Modal Utama dan Prasasti Kehidupan
Biasanya, jujur cenderung hanya diartikan sebatas mengatakan apa yang sebenarnya. Dengan kata lain tidak berkata bohong. Padahal kejujuran mempunyai banyak aspek.
Kejujuran adalah perkataan yang tidak membutuhkan penegasan. Sebagaimana tersurat dalam, “Jika Ya, hendaklah kamu katakan Ya. Jika Tidak, hendaklah kamu katakan Tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5:3-7)
Jujurlah dalam segala hal. Orang tua selalu senang melihat anak mereka belajar pentingnya kejujuran sebagai pondasi kehidupan. Demikian pula Bapak surgawi kita, ”Allah kebenaran”. (Mazmur 31:5) Sewaktu mengamati kita bertumbuh ke kematangan rohani, Ia senang melihat kita berupaya jujur. Karena kita ingin menyenangkan Dia dan tetap berada dalam kasih-Nya, perasaan kita sama seperti yang dinyatakan rasul Paulus, ”Kami ingin bertingkah laku jujur dalam segala perkara.” (Ibrani 13:18) Tapi, terkadang kita mungkin merasa sangat sulit untuk jujur dalam beberapa bidang kehidupan.
Jujur kepada diri sendiri. Kesulitan pertama adalah belajar jujur kepada diri sendiri. Sebagai manusia yang tidak sempurna, kita mudah sekali menipu diri. Misalnya, Yesus memberi tahu orang Kristen di Laodikia bahwa mereka telah membohongi diri dengan berpikir bahwa mereka kaya, padahal kenyataannya mereka ”miskin, buta, dan telanjang” secara rohani—keadaan yang sungguh menyedihkan. (Penyingkapan 3:17) Dengan menipu diri, situasi mereka justru semakin berbahaya.
Kita mungkin juga mengingat peringatan sang murid Yakobus, ”Jika seseorang menganggap dirinya orang yang beribadat namun tidak mengekang lidahnya, tetapi terus menipu hatinya, bentuk ibadat orang ini sia-sia.” (Yakobus 1:26) Jika kita berpikir bahwa ibadat kita akan tetap diperkenan Yehuwa sekalipun kita menggunakan lidah dengan tidak sepatutnya, maka kita sebenarnya menipu hati kita. Ibadat kita kepada Yehuwa akan sia-sia, sama sekali tidak berguna.
Dalam ayat-ayat yang lain, Yakobus menyamakan kebenaran firman Allah dengan sebuah cermin. Ia menasihati kita agar meneliti hukum Allah yang sempurna dan membuat penyesuaian yang dibutuhkan. (Yakobus 1:23-25) Alkitab dapat menuntun kita untuk jujur kepada diri sendiri dan melihat apa yang perlu kita lakukan untuk memperbaiki diri. (Ratapan 3:40; Hagai 1:5) Kita juga bisa berdoa kepada Yehuwa dan meminta-Nya memeriksa kita, membantu kita melihat apakah ada kesalahan serius, lalu mengakuinya dan memperbaiki diri. (Mazmur 139:23, 24)
Ketidakjujuran adalah kelemahan yang tidak kentara. Dan pandangan kita tentang hal itu harus sama dengan pandangan Bapak surgawi. Amsal 3:32 berkata, ”Orang yang belat-belit memuakkan bagi Yehuwa, tetapi Ia akrab dengan orang-orang yang lurus hati.” Yehuwa dapat membantu kita memiliki perasaan yang sama dengan perasaan-Nya dan melihat diri sendiri seperti Ia melihat kita. Ingatlah perkataan Paulus, ”Kami ingin bertingkah laku jujur.” Kita tidak dapat menjadi sempurna sekarang, tetapi kita dengan tulus ingin dan sungguh-sungguh berupaya jujur.
Kejujuran dalam keluarga. Kejujuran hendaknya menjadi ciri khas keluarga Kristen. Karena itu, suami dan istri harus terbuka dan jujur kepada satu sama lain. Dalam perkawinan Kristen tidak boleh ada perbuatan najis yang menyakiti hati seperti menggoda lawan jenis, memupuk hubungan gelap melalui Internet, atau menggunakan pornografi dalam bentuk apa pun. Ada orang Kristen yang sudah menikah yang melakukan perbuatan salah seperti itu dan menyembunyikannya dari teman hidupnya. Dengan berbuat demikian ia tidak jujur. Perhatikan kata-kata Raja Daud yang setia, ”Aku tidak duduk dengan orang-orang yang tidak benar; dan dengan orang yang menyembunyikan siapa diri mereka, aku tidak bergaul.” (Mazmur 26:4) Jika kita sudah menikah, jangan sekali-kali melakukan sesuatu yang bisa membuat kita tergoda untuk menyembunyikan keadaan kita yang sesungguhnya dari teman hidup.
Kejujuran dalam sidang. Pergaulan dengan rekan-rekan Kristen memberi kita banyak kesempatan untuk mengembangkan kejujuran. Kita perlu berhati-hati dalam menggunakan karunia berbicara, khususnya di antara saudara-saudari rohani kita. Obrolan ringan bisa dengan begitu mudah berubah menjadi gosip yang berbahaya, bahkan fitnah. Kalau kita meneruskan cerita yang sumbernya tidak jelas, kita mungkin membantu menyebarkan dusta, sehingga jauh lebih baik untuk menahan bibir kita. (Amsal 10:19)
Sebaliknya, kita mungkin mengetahui sesuatu itu benar, tapi tidak berarti bahwa hal itu layak dibicarakan. Contohnya, masalah itu mungkin bukan urusan kita atau mungkin tidak pengasih untuk membicarakannya. (1 Tesalonika 4:11) Ada orang yang menganggap bahwa ucapan yang kasar sama dengan kejujuran, tapi kata-kata kita hendaknya selalu menyenangkan dan pengasih. (Kolose 4:6)
Sangatlah penting untuk jujur kepada mereka yang mengambil pimpinan di sidang. Orang yang melakukan perbuatan salah yang serius akan memperparah problemnya kalau ia mencoba menutup-nutupi dosanya dan berdusta kepada para penatua sidang sewaktu ia ditanya. Orang seperti itu bahkan mulai bermuka dua, berpura-pura melayani Yehuwa padahal terus melakukan dosa serius. Malah, haluan tersebut menjadi pola hidup seseorang. (Mazmur 12:2) Yang lain lagi, tidak memberitahukan seluruh fakta kepada para penatua tapi menyembunyikan fakta-fakta penting. (Kisah 5:1-11) Orang berlaku tidak jujur sering kali karena mempercayai dusta yang disebarkan oleh setan.
Yang juga penting adalah jujur kepada organisasi Yehuwa pada waktu kita menjawab pertanyaan secara tertulis. Misalnya, apabila melaporkan kegiatan kita dalam pelayanan, kita tidak akan memalsukan fakta. Demikian pula, ketika mengisi formulir permohonan untuk hak istimewa dinas tertentu, kita sama sekali tidak boleh memberikan gambaran yang tidak benar tentang keadaan kesehatan kita yang sesungguhnya atau aspek lain dari kehidupan kita. (Amsal 6:16-19)
Pun kita perlu jujur kepada rekan-rekan seiman dalam soal bisnis. Kadang-kadang, saudara dan saudari Kristen mungkin melakukan bisnis bersama. Mereka hendaknya berhati-hati, memisahkan hal itu dari ibadat yang mereka lakukan di Balai Kerajaan atau dalam pelayanan. Kegiatan bisnis bisa berupa hubungan antara majikan dan karyawan. Jika kita mempekerjakan seorang saudara atau saudari, kita tentu akan memperlakukan mereka secara jujur, membayar gaji mereka tepat waktu, sesuai dengan kesepakatan, dan disertai uang tunjangan yang telah diatur atau dituntut oleh hukum. (1 Timotius 5:18; Yakobus 5:1-4) Sebaliknya, bila kita menjadi karyawan seorang saudara atau saudari, kita akan bekerja sebaik mungkin sehingga layak menerima gaji kita. (2 Tesalonika 3:10) Kita tidak mengharapkan perlakuan istimewa karena hubungan rohani kita, seolah-olah majikan kita wajib memberi kita waktu bebas kerja, tunjangan, atau keuntungan lain yang tidak diberikan kepada karyawan lain. (Efesus 6:5-8)
Kejujuran di lingkup sekuler. Kejujuran seorang Kristen tidak terbatas pada lingkup sidang. Paulus mengatakan, ”Kami ingin bertingkah laku jujur dalam segala perkara.” (Ibrani 13:18) Berkenaan dengan masalah bisnis, Pencipta kita sangat berminat akan kejujuran. Dalam buku Amsal saja, ada empat ayat yang menyebutkan tentang timbangan yang tidak benar. (Amsal 11:1; 16:11; 20:10, 23) Pada zaman dulu, timbangan dan anak timbangan lazim digunakan dalam transaksi bisnis untuk menimbang barang yang dibeli dan uang yang digunakan untuk membelinya. Pedagang yang tidak jujur menggunakan dua macam anak timbangan dan timbangan yang tidak akurat untuk menipu dan mencurangi pelanggan mereka. Yehuwa membenci perbuatan seperti itu. Agar tetap berada dalam kasih-Nya, kita dengan tegas menjauhi segala macam ketidak-jujuran dalam bisnis.
Karena Setan adalah penguasa dunia ini, kita tidak heran bahwa ketidak-jujuran ada di mana-mana. Setiap hari kita bisa menghadapi godaan untuk tidak jujur. Pada waktu menulis riwayat hidup untuk melamar pekerjaan, orang umumnya berdusta dan membesar-besarkan fakta, mengarang-ngarang surat rekomendasi dan melebih-lebihkan pengalaman mereka. Sewaktu mengisi formulir imigrasi, pajak, asuransi, dan formulir lain yang serupa, mereka umumnya memberikan jawaban yang tidak benar demi mendapatkan apa yang diinginkan. Dan, ketika berurusan dengan para pejabat yang korup, orang sering memberikan uang suap untuk memperoleh apa yang diinginkan. Kita mengantisipasi perilaku semacam itu di dunia yang penuh dengan ’pencinta diri sendiri, pencinta uang, dan orang yang tidak mengasihi kebaikan’. (2 Timotius 3:1-5)
Orang Kristen sejati bertekad untuk tidak melakukan hal-hal itu. Yang adakalanya mempersulit orang untuk jujur ialah bahwa orang yang tidak jujur tampaknya sukses dan bahkan maju di dunia dewasa ini. (Mazmur 73:1-8) Sementara itu, orang Kristen barangkali menderita kemiskinan karena ingin tetap jujur ”dalam segala perkara”. Apakah pengorbanan tersebut ada gunanya? Tentu.
Dalam kehidupan, tidak ada hal yang bisa dianggap lebih berharga daripada reputasi sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya. Dan, coba pikir—siapa pun dapat membangun reputasi seperti itu. Hal ini tidak bergantung pada bakat, kekayaan, penampilan, latar belakang sosial, atau faktor lain apa pun di luar kendali Saudara. Meskipun demikian, banyak orang gagal memperoleh harta berupa reputasi yang baik. Hal itu sesuatu yang langka. (Mikha 7:2)
Kejujuran benar-benar merupakan pondasi kehidupan yang amat berharga. Dan Marukan Hendrik sangat menjunjung tinggi prinsip dan nilai kejujuran dalam menapaki titian kehidupannya, baik dalam diri sendiri, dalam keluarga, dalam pelayanan rohani maupun dalam urusan pelayanan pemerintahan (duniawi). Dia meyakini benar kejujuran adalah modal utama kehidupan yang harus terus dirawat agar memperoleh reputasi terbaik. (*)

No comments:

Post a Comment