Monday, December 31, 2012

Belajar Historis Sebelum Merger BPJS


Oleh Achmad Mochtarom
Staf Pengajar Sistem Jaminan Sosial di STIA LAN Jakarta

Kekisruhan Pemerintah dan DPR dalam pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) semakin pelik dan rumit. Dalam penjelasannya, Pemerintah justru menginginkan adanya perubahan UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN. Padahal, tahun 2011 tidak diagendakan adanya revisi UU SJSN. Lalu, apakah pengesahan RUU BPJS harus ditunda terlebih dulu menunggu revisi UU SJSN?

Perselisihan BPJS tidak pernah berhenti, sejak UU SJSN ditetapkan justru pemerintah daerah dan badan pelaksana pemeliharaan kesehatan masyarakat menguji (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alhasil, UU SJSN pasal 5 ayat (2), (3) dan (4) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Putusan MK ini menyatakan bahwa Jamsostek,Taspen, Asabri dan Askes bukanlah BPJS yang dimaksud UU SJSN.

Namun, karena pasal 52 –yang memerintahkan keempat BUMN jaminan sosial itu untuk melakukan penyesuaian masih berlaku—maka BUMN tersebut hingga kini dikejar-kejar untuk menyesuaikan diri dengan UU SJSN. Putusan yang kontradiktif ini tentu menimbulkan ketidak-pastian hukum terhadap bentuk badan hukum, program yang dikelola dan kepesertaan dari Jamsostek, Taspen Asabri dan Askes dalam penyelenggaraan jaminan dan asuransi sosial bagi pekerja sektor swasta, PNS, pejabat negara, dan TNI-Polri. Sebelum memformat Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes, terlebih dulu Pemerintah dan DPR mesti memahami aspek historis terbentuknya keempat BUMN tersebut.

Jamsostek misalnya, BUMN ini mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security. Program jaminan sosial tenaga kerja sektor swasta ini dibiayai dari iuran peserta dan pemberi kerja atau majikan. Berdirinya Jamsostek berawal dari amanat UU No.2/1951 tentang Kecelakaan Kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang Pengatruan Bantuan untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh, PMP No.15/1957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS).

Jaminan atau asuransi sosial tenaga kerja dirilis sejak diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Tepatnya pada tahun 1977, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.33/1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Sekalipun hanya PP, peraturan ini mewajibkan semua pemberi kerja atau pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikut-sertakan pekerjanya dalam program Astek.
Dalam rangka penyelenggaraan Astek tersebut, Pemerintah mengeluarkan PP No.34/1977 untuk membentuk sebuah BUMN berbadan hukum Perum yaitu Perum Astek. 

Penyelenggaraan Astek terus mengalami perbaikan sehingga terbitnya UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Perubahan asuransi sosial menjadi jaminan sosial didukung dengan perubahan bentuk badan hukum dari Perum menjadi Persero. Berdasarkan PP No/36/1995 PT Jamsostek ditunjuk sebagai BPJS tenaga kerja.
Kemudian Taspen. Seluruh kepala urusan kepegawaian dari seluruh departemen yang ada di Indonesia melakukan konferensi kesejahteraan aparatur negara pada tanggal 25-26 Juli 1960 di Jakarta. Konferensi memandang perlu adanya program kesejahteraan sosial bagi aparatur negara, yang kemudian ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pertama RI No.380/MP/1960 tanggal 25 Agustus 1960.

Hasil konferensi ditindak-lanjuti Pemerintah selaku pemberi kerja dengan menerbitkan PP No.9/1963 tentang Tabungan Asuransi Pegawai Negeri dan PP No.13/1963 pada tanggal 17 April 1963 sebagai dasar pembentukan badan penyelenggara dengan nama Perusahaan Negara Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri atau PN Taspen.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No.749/MK/IV/11/1970, pada tanggal 18 November 1970, PN Taspen berubah bentuk hukumnya menjadi Perum. Menyeimbangkan kemampuan kinerjanya maka pada tanggal 30 Juli 1981 Perum Taspen diangkat bentuk badan hukumnya menjadi perseroan PT Taspen berdasarkan PP No.26/1981.

Lalu Taspen ditunjuk menyelenggarakan Asuransi Sosial bagi Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No.25/1981. Program asuransi sosial PNS yang diselenggarakan PT Taspen hanya meliputi Tabungan Hari Tua (THT) dan Dana Pensiun.

Selain itu, PNS dan pejabat negara juga memperoleh program asuransi kesehatan PNS dari PT Askes. Program pemeliharaan kesehatan mulai diberlakukan kepada Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS dan ABRI) beserta anggota keluarganya sejak diterbutkan Keputusan Presiden (Keppres) No.22/1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi PNS, Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluargnya.

Namun sejak diterbitkan PP No.69/1991, kepsertaan pemeliharaan kesehatan diperluas pada veteran dan perintis kemerdekaan beserta keluarganya. Selain program wajib tersebut, program pemeliharaan kesehatan ini juga dapat diikuti secara sukarela bagi pegawai-pegawai badan usaha dan badan lainnya.

Program pemeliharaan kesehatan ini semula diselenggarakan oleh Menteri Kesehatan melalui Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang merupakan unit di lingkungan Departemen Kesehatan. Penyelenggaraan kesehatan tersebut dipisahkan dari Departemen Kesehatan ke Perusahaan Umum Husada Bhakti yang dibentuk berdasarkan PP No.23/1984. Untuk mendorong kemandirian penyelenggaraan maka Pemerintah mengeluarkan PP No.6/1992 yang mengubah status Perum menjadi Persero.

Sebagai wujud kepedulian Pemerintah terhadap kesejahteraan prajurit ABRI maka Pemerintah menerbitkan PP No.44/1971 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata. Untuk menyelenggarakan Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata tersebut, berdasarkan PP No.43/1971, pada Agustus 1971 Pemerintah membentuk sebuah BUMN dengan bentuk badan hukum Perum, yaitu Perum Asabri.

Seiring dengan kinerja perusahaan, Pemerintah menerbitkan PP No.68/1991 yang mengubah status Perum menjadi Persero. Saat ini PT Asabri menyelenggarakan program pensiun dan THT bagi jajaran TNI, Polri dan PNS di lingkungan Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Menyimak historis masing-masing BUMN penyelenggara jaminan sosial tersebut, menurut hemat penulis, ada sedikit kekeliruan dalam praktik. Hasil usaha (laba) selain digunakan untuk mencukupi pendanaan, sebagian disetor dalam bentuk deviden ke negara dan sebagian lagi dipergunakan untuk meningkatkan modal perseroan. Untuk mengatasi kekeliruan ini, Pemerintah dapat mengubah status perseroan menjadi Perum atau menjadi provider Pemerintah.

Hal tersebut sangat mungkin, karena secara bisnis BUMN perseroan hanya akan menerima management fee atas penyelenggaraan administrasi dan pelayanan serta pengelolaan dana (fund management). Bila permasalahan BPJS sudah teridentifikasi dan teratasi, maka saat ini Pemerintah dan DPR harus memikirkan agenda yang tidak kalah urgen, yakni membentuk BPJS bagi warganegara yang hingga kini belum tersentuh jaminan sosial. Bukan berupaya merger Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes dalam sebuah BPJS yang justru akan menghimpun masalah besar yang tidak pernah akan terselesaika. Untuk urusan rakyat, jangan pernah mencoba-coba. ***

No comments:

Post a Comment