Thursday, January 10, 2013

SISTEM DAN MANAJEMEN PERLINDUNGAN TKI





"Berikan perhatian yang sangat serius pada masalah tenaga kerja kita. Mereka adalah bagian dari solusi, pahlawan devisa, wajib hukumnya bagi kita untuk memberikan perlindungan dan pelayanan bagi saudara-saudara kita itu"
(Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI)



Prahara dan problema Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sepertinya tidak pernah berhenti. Setiap tahun terus saja terjadi, bagaikan roda yang terus berputar. Apakah itu terkait dengan tenaga kerja ilegal, tindak kekerasan yang dialami para TKI ketika bekerja di negeri orang ataupun berbagai hal yang menyangkut dengan perlindungan keselamatan terhadap tenaga kerja tersebut. Para TKI yang disebut-sebut mampu memberikan masukan devisa sekitar Rp60 triliun (2009) ini belum memperoleh perlindungan yang semestinya.

Dari pengamatan saya, hal ini tak terlepas dari manajemen penempatan dan perlindungan TKI yang masih amburadul dan jauh dari praktik-praktik manajemen yang tepat dan taat azaz. Sebenarnya bila kita mempraktikkan dan mentaati manajemen penempatan dan perlindungan Tki sebagaimana diatur oleh pasal 1 UU Nomor 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, prahara dan permasalahan TKI di luar dapat diminimalisir. Soal penempatan misalkan, pasal tersebut menandaskan bahwa penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan. Sedangkan perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama maupun sesudah bekerja.

Dalam penyelenggaraan penempatan TKI ke luar negeri terdapat tiga pihak utama yang terlibat, yaitu pihak pemerintah (Kemnakertrans, Kemdagri, Kemhukham dan Kemlu), pihak pengusaha (PJTKI atau PPTKIS), dan calon TKI. Ketiga pihak mempunyai perbedaan dalam perandan tanggung jawab, juga perbedaan posisi dan kepentingan meskipun berninergi dalam mendukung berlangsungnya kebijakan pengiriman TKI ke luar negeri.

Pihak pemerintah, terutama Kemnakertrans, memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dan dan sangat vital karena kewenangannya sebagai regulator, fasilitator dan pengawas penempatan TKI ke luar negeri. Bahkan, pemerintah juga dapat bertindak sebagai pelaksana dalam proses penempatan TKI melalui pihak ketiga. Kemnakertrans sesuai dengan tanggung-jawabnya dalam masalah ketenaga-kerjaan berkepentingan agar kebijaksanaan penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Pihak pengusaha Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) atau Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) sebagai pelaksana utama pengerahan tenaga kerja ke luar sangat berkepentingan untuk kelangsungan usahanya. Karena, tersedianya sumber daya manusia yang melimpah dan meningkatnya peluang pasar global berarti potensial buat perkembangan bisnis yang menguntungkan.

Kemudian pihak calon TKI berkepentingan terhadap tersedianya pelayanan jasa yang mudah dan terjangkau. Dengan begitu, mereka dapat memperoleh pekerjaan dan perlindungan yang memadai di dalam dan di luar negeri. Namun demikian posisi tawar calon TKI paling lemah dibandingkan dengan posisi tawar dua pihak lainnya. Akibatnya, mereka cenderung memiliki risiko lebih besar daripada pihak-pihak yang lebih kuat posisinya.

Kerja sama antara pihak-pihak penyelenggara penempatan TKI dapat menimbulkan dampak positif dan negatif, tergantung pada pandangan masing-masing terhadap peran dan posisi TKI, apakah dianggap sebagai komoditi (obyek) bisnis semata atau sebagai subyek yang setara. Sebagai subyek yang memiliki hak dan kewajiban dalam memenuhi kepentingan semua pihak.

Dalam interaksi para pihak-pihak terkait sangat mungkin terjadi perbenturan kepentingan atau konflik lantaran tidak seimbangnya peran dan wewenang masing-masing pihak (Kartikasari SN, 2000). Calon TKI sebagai pihak yang paling lemah sangat potensial menjadi obyek atau sasaran kepentingan berbagai pihak baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Akibatnya, calon TKI dengan segala keterbatasan yang dimiliki mudah menjadi korban eksploitasi dan tindak kekerasan lainnya. Keadaan demikian dapat berlangsung lama, karena pemerintah kurang serius dalam mengadakan reformasi pembenahan manajemen penempatan dan perlindungan TKI. Sehingga, fungsi koordinasi dan pengawasan sangat lemah, bahkan cenderung memanfaatkan celah dari setiap peraturan untuk kepentingan masing-masing pihak.
***  

Saya melihat pihak-pihak yang terkait dengan penempatan dan perlindungan TKI belum memperlihatkan kerja sama dan koordinas yang padu guna menerapkan manajemen penampatan dan perlindungan yang taat azaz. Pemerintah belum mampu menjalankan peran dan fungsinya –baik sebagai regulator, fasilitator maupun mengawas. Bahkan, pemerintah terkesan setengah hati dalam mengatur dan memfasilitasi TKI, pemerintah hanya bersifat reaktif, parsial dan kurang integratif serta dalam melaksanakan kebijakan cenderung kurang profesional bahkan sering terjadi penyimpangan sehingga TKI tak terlindungi. Pemerintah sepertinya masih melihat TKI sebelah mata.

Saya berharap pemerintah mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menghentikan perlakuan tak manusiawi terhadap para TKI. Jika ini dibiarkan maka sangat bertentangan dengan alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan. Tataran teknis pelaksanaan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI harus terjalin sesuai komitmen nasional.

Kita telah memiliki perangkat peraturan ketenaga-kerjaan yang relatif bagus. Tercatat antara lain Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Ketenaga-kerjaan (UU Nomor 13 Tahun 2003), Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU Nomor 39 Tahun 2004) dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2002 tentang Ratifikasi Konvensi ILO. Kebijakan nasional tadi telah merumuskan proporsi peran dan tanggung jawab masing-masing pihak terkait dalam keseluruhan proses penempatan dan perlindungan TKI mulai dari proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.

Namun sayang, penerapan kebijakan nasional tersebut belum mampu memberikan perlindungan bagi calon TKI dan TKI. Mengapa? Karena, pihak-pihak terkait seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri dan Pengusaha Jasa TKI (PJTKI) serta pihak terkait lainnya seperti asuransi dan perhubungan masih berpegang kepada ego sektoral masing-masing. Pelayanan penempatan dan perlindungan TKI ke Luar Negeri (P3TKI-LN) belum bersifat menyeluruh dan integratif, masih membedakan antara pekerja sektor informal dan formal. Memang, TKI sektor informal kurang mempersiapkan dirinya baik fisik maupun mental, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan tersendiri.

Sebagai salah seorang pelaku sejarah penempatan TKI, saya berharap terjalin koordinasi dari pihak-pihak terkait sesuai proporsi, peran dan tanggung-jawabnya baik di Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, PPTKIS/PJTKI dan sarana pendukung lainnya. Dengan demikian tercipta TKI yang berkualitas dan bermartabat. Tidak seperti saat ini, seorang TKI berangkat dan bekerja di luar negeri dengan mempertaruhkan harkat dan martabat manusia Indonesia, Bangsa, Negara dan Pemerintahan di percaturan internasional.

Seharusnya pemerintah lebih serius menjalankan fungsinya sebagai regulator, pemerintah harus menjaga dan mengawasi pihak-pihak terkait agar tetap memperhatikan perlindungan, jaminan sosial, pelatihan, tabungan dan investasi bagi TKI. Mereka diingatkan dan disadarkan jangan hanya mengejar tujuan ekonomis (keuntungan) saja, karena para TKI merupakan salah satu sumber pemasukan devisa dan pendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah serta membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Secara garis besar, ada beberapa pemikiran untuk membenahi sistem dan manajemen penempatan dan perlindungan TKI. Dimulai dari tingkat kebijakan. Untuk mengatasi kelemahan dalam kebijaksanaan dan peraturan agar dapat mencapai sasaran penegakan hak dan perlindungan bagi buruh migran diperlukan perangkat kebijakan yang dapat memberi solusi permasalahan yang dihadapi pihak-pihak terkait dan dapat menjamin perlindungan obyek intervensi baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk itu perlu menentukan suatu strategi penempatan dan perlindungan TKI yang mempunyai visi dan misi (common platform) yang jelas, sehingga mengikat semua pihak dalam satu persepsi yang sama. Visi dan misi inilah yang menjadi acuan dalam setiap kebijakan dan program penempatan tenaga kerja, sehingga dapat diterima oleh semua stakeholder terkait.

Selain itu harus ada perubahan paradigma dari orientasi yang lebih ekonomis/bisnis ke paradigma yang lebih mengedepankan perlindungan hak azazi manusia (HAM). Hal ini berarti persepsi yang menempatkan TKI sebagai sumber usaha dan sumber devisa (pahlawan devisa) semata perlu diubah dengan menempatkan TKI sebagai individu manusia yang memiliki hak-hak yang layak dihormati oleh semua pihak. Persepsi sebagai sumber usaha atau devisa memudahkan TKI diperlakukan sebagai komoditas yang patut dikomersialkan. Dengan paradigma HAM, sistem penempatan akan lebih mengutamakan keselamatan dan perlindungan terhadap pihak yang lemah posisinya, sejak dari tahap persiapan sampai dengan kepulangannya kembali ke Tanah Air.

Lihat saja, pada tahap pra-penempatan, seorang calon TKI harus menghadapi perekrutan melalui proses birokrasi dan sistem yang berbelit dan rumit. Seorang calon TKI harus mengurus keterangan terdaftar ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten/Kota,  KTP ke Kelurahan atau Kecamatan, pemeriksaan kesehatan di klinik yang ditunjuk Kementerian Kesehatan, paspor di Kantor Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, pengesahan job order dan pembelaan ke Kementerian Luar  Negeri melalui perwakilan di negara tujuan penempatan, urusan angkutan ke Kementerian Perhubungan, dan urusan keamanan ke Kepolisian Indonesia (Polri).

Panjang dan rumitnya birokrasi membuat perekrutan secara ilegal tumbuh subur. Perekrutan ilegal dilakukan oleh PPTKIS illegal (tidak memiliki SIUP), direkrut sponsor untuk dijual kepada PPTKIS resmi, direkrut dan diberangkatkan oleh calo, direkrut oleh PPTKIS resmi tetapi tidak memiliki job order. Perekrutan ilegal berakibat  terjadinya pemalsuan dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga (KK), ijazah, surat ijin keluarga. Sebagian besar TKI berangkat melalui calo.

Untuk mengurangi ketergantungan calon TKI kepada sponsor dan calo, menurut pemikiran saya, kita harus mereformasi birokrasi terutama dengan jalan menciptakan kemudahan prosedur pengurusan keberangkatan. Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan, calon TKI tidak perlu menggunakan pihak ketiga dalam mengurus semua dokumen yang diperlukan untuk bekerja ke luar negeri.

Selain itu, perlunya kejelasan dan fungsi sponsor atau calo yang merupakan para pialang resmi dari Kemnakertrans atau keterkaitannya dengan PJTKI. Untuk itu diperlukan langkah seperti identifikasi sponsor dan pilihan PJTKI sebagai induk usahanya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari proses rekrutmen. Demikian pula bagi calo yang masih dimanfaatkan PJTKI, perlu melengkapi diri dengan berbagai informasi tertulis tentang persyaratan yang harus dipenuhi seperti jenis pekerjaan, negara tujuan serta biaya yang diperlukan. Hal ini sesuai dengan peraturan dan ketentuan tata cara penempatan TKI di luar negeri yang masih berlaku. Informasi ini perlu diketahui baik oleh calon TKI maupun keluarganya, agar dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan yang mungkin terjadi baik di dalam maupun di luar negeri

Kemudian perlu partisipasi aktif Pemda dan organisasi masyarakat dalam kegiatan penyebaran informasi tentang proses penempatan TKI ke luar negeri, seperti persyaratan yang diperlukan untuk bekerja di luar negeri, cara dan tempat mendaftar, serta biaya pendaftaran. Untuk keperluan penyuluhan dapat memanfaatkan berbagai media atau kegiatan rutin di lokasi, seperti acara keagamaan, kegiatan-kegiatan sosial-budaya, media cetak dan elektronik yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan kelompok target dalam menyerap informasi.

Pemerintah harus menyadari permasalahan utama pra-penempatan adalah keberadaan sponsor dan calo yang sangat berperan dalam proses rekutmen calon TKI. Calon TKI sangat tergantung kepada para sponsor dan calo baik dalam hal pengurusan dokumen sebagai persyaratan administrasi yang dibutuhkan maupun masalah finansial. Ketergantungan ini sangat berpotensi terjadinya penipuan, sehingga saya tidak heran jika para TKI telah menjadi korban penipuan. Bahkan, mereka bukannya memperoleh uang dari bekerja di luar negeri, malah terjerat rentenir di desa asal, cukup banyak calon TKI menjadi lebih miskin karena harta benda yang dimiliki harus dijual untuk membayar hutang.

Sebab itu perlu dicari terobosan untuk kemudahan memperoleh dana dari bank tertentu bagi calon TKI yang telah mendapat kepastian untuk bekerja di luar negeri. Bank dimaksud dapat menjadi sentral lalu lintas keuangan TKI, sehingga biaya untuk keberangkatan calon TKI dan remitan TKI ke daerah asal dapat disalurkan dan dipertanggung-jawabkan untuk melindungi hak TKI. Hal ini dapat menghindarkan TKI sebagai obyek pemerasan dari berbagai pihak seperti dialami selama ini.

Setelah perekrutan lengkap secara administrasi, calon TKI masuk ke penampungan milik PJTKI atau mengikuti pelatihan di BLK-LN buat bekal bekerja dan meningkatkan kualitas diri. Repotnya, pada masa penampungan ini seringkali dijadikan tempat “stok manusia” untuk “diperjual-belikan” sehingga lebih dikenal sebagai penyekapan calon TKI. Dalam kondisi tidak memperoleh perlakuan baik, calon TKI tidak bisa berbuat banyak karena calon TKI terikat kepada perjanjian yang telah ditanda-tanganinya di mana bila calon TKI membatalkan keberangkatan diwajibkan membayar ganti rugi. Bahkan lebih jauh, calon TKI juga dikenakan pungutan dan pemotongan gaji oleh PPTKIS atau Agency di luar negeri.

Pada masa pelatihan (terutama bahasa, budaya dan keterampilan kerja) dan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) juga terjadi berbagai penyimpangan. Akomodasi tempat penampungan atau BLK-LN milik PPTKIS maupun mandiri belum memenuhi standar kelayakan pelatihan, sehingga pelatihan yang seharusnya dilakukan secara intensif dan aplikatif dalam waktu yang relatif panjang telah dikebiri menjadi sekadar syarat dan formalitas saja. Dengan demikian saya tidak heran bila banyak TKI yang tidak mampu memahami isi perjanjian penempatan, perjanjian kerja dan tidak memegang foto copy perjanjian kerja (PK), paspor, serta kartu asuransi.

Calon TKI umumnya tinggal di tempat penampungan milik PJTKI bersangkutan, sedangkan PJTKI mengurus berbagai keperluan mereka seperti pengurusan dokumen perjalanan, pelatihan, menandatangani perjanjian kerja. Mereka memiliki masa tinggal di penampungan berdasarkan aturan maksimal tiga bulan sejak diperolehnya KITKI (Keterangan identitas TKI).

Untuk menghindari pelatihan formalitas, sudah saatnya dikembangkan BLK-LN standar sebagai pusat pelatihan semua calon TKI, baik dengan melakukan reposisi BLK-LN yang sudah ada (milik pemerintah dan PJTKI), maupun membentuk BLK-LN baru yang memayungi BLK-LN PJTKI sekarang, khususnya yang menjaga kualitas pelatihan. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mendukung pengembangan BLK-LN standar adalah perlunya penerapan manajemen pengelolaan di bawah kendali badan pengelola independen, penyesuaian kurikulum pelatihan badan pengelola independen, penyesuaian kurikulum pelatihan dengan tuntutan pengguna, perlunya dilakukan uji keterampilan dan sertifikasi oleh BLK-LN standar.

Peninjauan kembali kegiatan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP), terutama apabila ide pembentukan BLK-LN standar dapat direalisir secepatnya. Dalam hal ini jika setiap PJTKI (tidak ada perkecualian) secara konsisten melaksanakan pelatihan sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan pengguna tenaga kerja di negara tujuan, maka keberadaan PAP tidak diperlukan lagi. Namun demikian substansi penyelenggaraan PAP perlu dimasukkan dalam agenda kegiatan BLK-LN, yaitu melakukan penyegaran materi yang relevan dengan perlindungan dan pemberdayaan calon TKI di luar negeri pada tahap persiapan akhir pemberangkatan.

Satu hal yang juga perlu dilakukan adalah upaya penegakan hukum yang konsisten melalui sanksi yang tegas terhadap PJTKI yang melakukan pelanggaran dalam pelatihan, misalkan pencabutan akreditasi. Peningkatan mutu pelatihan dilakukan dengan perbaikan kurikulum dan mekanisme sertifikasi yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan independen.

Kemudian dalam konteks pengurusan dokumen, pengembangan sistem pelayanan yang terkonsentrasi dapat dilakukan melalui penguatan peran dan fungsi Badan Koordinasi Penempatan TKI (BKPTKI) dan memperluas fungsinya sebagai badan pengawas.

Perlu pula dilakukan reformasi birokrasi dengan menyederhanakan dan memudahkan pengurusan dokumen. Antara lain dengan cara, pertama, mengurangi persayaratan pengurusan berantai menjadi sistem yang pararel dengan sistem pelayanan satu atap. Kedua, membedakan prosedur pengurusan dokumen antara calon TKI dan TKI yang pernah bekerja sebelumnya ke luar negeri. Bagi TKI yang memperpanjang dokumen, harus dibedakan dengan pengurusan dokumen seperti calon TKI baru. Sistem  ini selain dapat memberikan pelayanan yang cepat, juga akan mengurangi praktik KKN dan pemalsuan dokumen.

Setelah semua persyaratan administrasi dan pelatihan lengkap, sebelum berangkat, calonTKI harus dinyatakan sehat baik jasmani maupun rohani oleh Kementerian Kesehatan Indonesia. Untuk itu, si calon TKI wajib menjalani pemeriksaan kesehatan dan psikologi di klinik yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang. Tapi, penyimpangan sering terjadi dalam mengeluarkan sertifikat hasil pemeriksaan kesehatan. Pemalsuan sertifikat masih banyak terlihat, banyak calon TKI yang seharusnya belum layak berangkat kerja, dengan sertifikat aspal (asli tapi palsu) bisa bersangkat karena telah dinyatakan sehat jasmani dan rohani. Sekali lagi, mesti ada perbaikan birokrasi klinik-klinik yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan.
Para calon TKI dengan berbagai problematikanya di masa pra-penempatan, akhirnya dinyatakan siap berangkat bekerja di luar negeri dalam kurun waktu tertentu sesuai kontrak atau perjanjian kerja (masa penempatan). Dalam menjalani masa penempatan, seorang TKI belum tentu dapat melaluinya dengan mudah dan baik. Kelengkapan dokumen, kesiapan fisik dan mental menjadi salah satu kunci keberhasilan masa penempatan, jika tidak maka masa penempatan akan menjadi malapetaka. Seorang TKI terkadang mengalami kenyataan terjebak menjadi pelacur di daerah transit atau menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja (PK), diperjual-belikan antar-agency di luar negeri, jam kerja melampaui batas tanpa uang lembur, dilarang berkomunikasi dengan orang lain dan keluarga, memperoleh akomodasi dan makanan yang tidak memadai, gaji tidak dibayar, disiksa, dianiaya, diperkosa dan dipenjara akibat rekayasa tuduhan, bahkan PHK sepihak atau dipulangkan tanpa diberikan hak-haknya.

Bila seorang TKI mengalami berbagai kejadian seperti di atas tanpa kesiapan dan kelengkapan dokumen maka si TKI tidak berdaya melawan keadaan. Semua pihak akan saling melempar tanggung jawab dengan berbagai alasan. Misalkan pihak KBRI/KJRI beralasan PPTKIS tidak melaporkan/tidak mendaftarkan kedatangan TKI ke KBRI/KJRI, sehingga KBRI/KJRI yang bersangkutan tidak bisa memantau keberadaan TKI. Sebenarnya, untuk mengatasi persoalan ini Pemerintah telah membuat aturan yang mewajibkan setiap TKI diikut-sertakan dalam program asuransi. Namun, tidaklah mudah mengajukan klaim asuransi TKI.

Saya melihat sistem dan manajemen asuransi perlindungan TKI di Indonesia belum menyentuh substansi permasalahan. Perusahaan dan broker asuransinya tidak memiliki ijin usaha di luar negeri. Padahal, pihak pengusaha PJTKI/PPTKIS telah membayar premi asuransi selama TKI bekerja di luar negeri. Dan, kondisi ini telah dipertanyakan oleh PJTKI pada masa Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi Erman Soeparno. Tapi sampai tongkat estafet Menakertrans diserah-terimakan kepada Muhaimin Iskandar, permasalahan ini belum mendapat tanggapan.

Sebenarnya sistem dan aturan mengenai asuransi perlindungan TKI sudah gamblang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) Nomor 104 A/MEN/2002, TKI yang bekerja di luar negeri harus diasuransikan melalui lembaga asuransi di negara tempat TKI bekerja dan bekerja sama dengan konsultan hukum di negara TKI bekerja. Peraturan demikian sudah dipraktikkan oleh Pemerintah Filipina untuk melindungi tenaga kerja migrannya. Pemerintah Filipina melalui kedubesnya menjamin dan melindungi tenaga kerja migrannya dengan asuransi. Dengan begitu, bila ada masalah dengan tenaga kerjanya, Pemerintah Philipina dengan mudah mengatasinya.

Saya berharap Menkertrans menunjuk perusahaan asuransi TKI benar-benar mempunyai perwakilan di luar negeri. Jika terjadi permasalahan pada diri TKI, seperti yang terjadi selama ini, dapat terlindungi oleh asuransi. Para TKI bermasalah atau meninggal di luar negeri akan secara mudah kepada siapa dia meminta pertanggung-jawaban. Tidak seperti selama ini, banyak mayat TKI dipulangkan ke Indonesia tanpa memperoleh apapun dan siapa yang bertanggung-jawab.

Berbagai penyimpangan atau kejadian saat penempatan disebabkan oleh koordinasi pihak-pihak terkait yang tidak berjalan, belum lagi ditambah oleh kelalaian TKI untuk melaporkan keberadaannya ke kantor perwakilan Indonesia terdekat. Sementara, secara prosedur setiap penempatan TKI wajib dilaporkan, tetapi banyak kasus bahwa mitra Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) tidak peduli terhadap kewajiban melapor. Jika ini dibiarkan terus maka pemerintah melalui kedubesnya akan mengalami kesulitan monitoring TKI. Pemerintah akan sangat kesulitan dalam mengatasi permasalahan TKI jika ditambah dengan terjadinya penahanan identitas TKI, putus komunikasi, dan memperjuangkan hak-hak TKI ketika tidak bisa menyelesaikan kontrak kerjanya.

Saya tidak habis pikir, permasalahan terus mengikuti TKI mulai berangkat dari kampung halaman sampai kembali ke kampungnya lagi. Sungguh ironis. Jadi TKI berjuang mulai akan berangkat hingga pulang. Seharusnya ketika seorang TKI kembali ke kampung halaman, dia tinggal menikmati hasil kerja kerasnya. Tapi apa yang terjadi, seorang TKI harus berjuang mempertahankan haknya hingga ke kampung halaman ketika berakhirnya kontrak kerja (masa purna kerja) atau sebab lainnya. Mereka seringkali mengalami pemerasan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung-jawab. Hal itu terlihat nyata di fasilitas pemulangan TKI di Terminal IV Selepajang Bandara Soekarno-Hatta yang dibangun pemerintah untuk melindungi dan melayani TKI menuju kampung halamannya.

Sarana dan prasarana pemulangan TKI di Bandara Soekarno-Hatta justru menjadi tempat pemerasan. Awalnya pembangunan Terminal IV untuk menjadi tempat perlindungan tapi yang terjadi justru menjadi tempat berlangsungnya berbagai pelanggaran hukum, aturan, etika, moral bahkan sampai penghilangan nyawa TKI. Sekali lagi, saya katakan pemerintah harus lebih mengawasi sepak terjang para jajarannya dalam menjalankan peraturan dan perundang-undangan. Pemerasan terhadap TKI di Tanah Air sangat menggugah rasa keadilan, mereka diperas untuk membayar beban biaya di luar standar seperti penukaran uang, harga tiket, dan pungutan dalam perjalanan darat selama perjalanan dari Terminal IV Soekarno-Hatta ke daerah asal.

Sekali lagi, di sini tidak ada koordinasi antar-instansi terkait dan pengawasan lintas sektoral. Untuk mengatasi kelemahan koordinasi dan pengawasan lintas sektoral, saya pikir perlu dibentuk badan/forum independen dengan melibatkan stakeholder terkait,  di bawah koordinasi pihak yang netral dan memiliki kewenangan mengatur lintas sektoral/stakeholder. Selain fungsi koordinatif, fungsi lain dapat diperluas sesuai kebutuhan (seperti penyusunan sistem sertifikasi, pengawasan dan melakukan akuntabilitas publik). Beberapa stakeholder terkait adalah pihak pemerintah (Kemnakertrans, Kemlu, Kantor Imigrasi, dan Kemkeu), pengusaha (asosiasi pengusaha, pengusaha), masyarakat (DPR, LSM) dan media massa/elektronik yang peduli terhadap upaya perlindungan TKI. Pengawasan terpadu juga dapat diperluas dengan pembentukan pos-pos pengaduan atau kotak pos di berbagai tempat yang potensial merugikan TKI dalam proses penempatannya (seperti di kelurahan, di daerah potensial asal TKI, di lokasi BP2TKI, tempat penampungan PJTKI, Bandara, pelabuhan dan lokasi lain yang relevan). 
***

Selain berbagai pemikiran dan langkah perbaikan sistem dan manajemen penempatan dan perlindungan TKI yang telah saya sampaikan tadi, saya memandang harus ada konsistensi menjaga dan meningkatkan kualitas SDM TKI. Harus ada standarisasi untuk mengukur kesiapan dan kelayakan TKI bekerja ke luar negeri. Tentunya ini harus ditopang dengan penyelenggaraan sosialisasi, rekrutmen terkontrol, pelatihan dan PAP yang melibatkan pihak-pihak yang berkompeten. Jika pengusaha melakukan penyimpangan maka tidak cukup hanya mencabut izin usaha pengusaha PJTKI, perlu ada hukuman secara pidana untuk memunculkan efek jera.

Sosialisasi kepada calon TKI harus optimal agar kesiapan TKI menjadi tinggi dan TKI ”melek” akan hak dan kewajibannya. Hal ini perlu disadari bahwa sebagian besar calon TKI berasal dari pedesaaan dan didominasi kalangan ekonomi lemah dengan tingkat pendidikan rendah. Jika tidak disadari dan dibenahi kondisi ini akan memicu terjadinya penyimpangan hak perlindungan bagi TKI dan terjadi di setiap tahapan, yaitu pra penempatan, saat penempatan dan paska penempatan.

Aneh memang, sudah lebih dari 30 tahun menempatkan dan mengirim TKI ke luar negeri, persoalan bukan berkurang tapi justru semakin kompleks. Berbagai kelengkapan dipenuhi seperti Lembaga Uji Keterampilan TKI (Luki), konsorsium asuransi perlindungan, dan on line system, dengan tujuan memberi perlindungan kepada TKI tak kunjung terlihat tetapi malah membebani TKI. TKI tidak pernah menikmati kenaikan upah. Sementara itu, tenaga kerja Filipina, India, Vietnam dan Bangladesh dapat menikmati kenaikan gaji berkala.

Saya telah mengikuti perjalanan penempatan TKI sejak awal. Kini Indonesia boleh dikatakan mengalami kemunduran dalam memberikan perlindungan kepada TKI. Pemerintah Indonesia pernah cukup solid menerapkan kebijakan, pemerintah, pengusaha, asosiasi dan pihak-pihak terkait saling bekerja sama. Di masa Menakertrans Sudomo, penempatan dan perlindungan TKI terlihat lebih terarah dan tegas. Larangan atau perintah yang dikeluarkan pemerintah pasti ditaati oleh semua pihak. Pada masa Jacob Nuwawea sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pemerintah mempunyai bargaining position yang kuat. Sementara masa Erman Suparno, pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk memberikan pelayanan cepat, mudah dan murah.

Sekarang di masa Mankertrans Muhaimin Iskandar, saya melihat pemerintah hampir-hampir tidak memiliki posisi tawar di mata asing. Jika presiden berbicara, pihak-pihak terkait seolah tidak mendengar. Pemerintah juga tidak melibatkan para pengusaha TKI atau kata lain menganggap PJTKI tidak ada. Pemerintah tidak sadar bahwa mereka sudah malang melintang di dunia usaha jasa penempatan dan pengiriman TKI selama 30 tahun lebih.

Penglihatan dan pengamatan saya, sistem dan manajemen perlindungan TKI tidak dijadikan syarat utama dalam proses pengiriman TKI ke luar negeri. Seharusnya pemerintah melakukan, pertama, pembaharuan SIUP Naker (Tenaga Kerja). Kedua, selesaikan jatah/kendali alokasi untuk seluruh PJTKI agar terukur calon TKI yang direkrut dan terukur pula besaran daya tampung BLK/penampungan serta dana yang diperlukan. Ketiga, bentuk sistem/Badan Perlindungan TKI di luar negeri selain KBRI atau KJRI guna melindungi TKI yang tersebar di puluhan kota dalam satu negara. Keempat, bentuk Tim Penguji Independen agar pemerintah mengetahui bahwa yang dikirim adalah TKI berkualitas. Kelima, realisasikan master agreement antar PJTKI dan PJTKA yang sesuai dengan aturan hukum kedua negara. Keenam, kembalikan Poliklinik Medical Check Up pada Kementerian Kesehatan, dan kewajiban asuransi dikembalikan kepada Kementerian Keuangan. Jika keenam hal di atas terselesaikan secara proporsional dan profesional, mudah-mudahan akan membawa hasil yang lebih baik dan menggembirakan.

Pemerintah harus memberikan ''kompensasi'' yang riil berupa perlindungan hak-hak jiwa para TKI dari ancaman fisik majikan atas nama pribadi atau perusahaan yang mempekerjakan. Majikan harus mentaati persyaratan ketat berkonsekuensi hukum jika melanggar. Dan, para TKI perlu didampingi oleh penasehat hukum selama proses penyelidikan atau pengadilan agar memperoleh keadilan hukum tanpa berimplikasi kepada wilayah politik kedua negara. PJTKI harus mendukung dan melaporkan data TKI yang sebenarnya. Sedangkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dituntut menjalankan atau mengawasi adanya pendidikan dan pelatihan calon TKI. Sementara itu, Imigrasi juga harus segera ditertibkan. Pendek kata, semua pihak kembali kepada peran dan fungsi masing-masing. Dengan begitu, sistem dan manajemen penempatan dan perlindungan TKI akan berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah manajerial yang apik dan baik.

Pemerintah harus benar-benar sadar bahwa 80% persoalan TKI berada di dalam negeri di tahap pra-penempatan. Mereka diatur oleh regulasi atau hukum Indonesia
seperti Kepmen Nomor 138 tahun 2000 tentang Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN). Juga, oleh hukum internasional seperti Konvensi Wina 1961, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, Konvensi PBB tentang perlindungan hak seluruh buruh migran dan anggota keluarganya, dan instrumen hukum internasional lainnya yang terkait dengan perlindungan pekerja migran dan HAM serta hubungan kerjasama bilateral dan subjek hukum negara penempatan.

Indonesia seharusnya mulai menetapkan bahwa perlindungan buruh migran sebagai salah satu fokus utama politik luar negerinya. Dan memiliki UU Perlindungan Buruh Migran dan membentuk atase perburuhan dan mendirikan crisis center di negara-negara penempatan buruh migran. Tidak seperti sekarang, Indonesia hanya fokus pada pengaturan mekanisme operasional penempatan buruh migran, mulai dari tata cara pendirian PJTKI, struktur pembiayaan, dan persoalan-persoalan teknis lainnya.

Pemerintah harus mulai mengatur hak-hak dasar TKI yang harus dihormati baik oleh warga negara penerima TKI maupun aparat penegak hukum. Juga harus membuat ketentuan tentang kesamaan kedudukan para TKI di depan hukum, layaknya warga setempat. Hak TKI untuk dihormati martabatnya sebagai manusia dan kehidupan pribadinya. Selain itu, mengatur hak TKI untuk mendapatkan putusan dari otoritas yang mempunyai kewenangan memeriksa sengketa kontrak kerja. Namun demikian, upaya perlindungan TKI di luar negeri tentu harus diiringi dengan pembenahan pengelolaan TKI di dalam negeri.

Dalam upaya memperkuat citra politik, pemerintah perlu membentuk Badan Penempatan TKI di Luar Negeri (Indonesia Foreign Employment Board) yang diketuai oleh Presiden atau Wakil Presiden. Perlu dibentuk Atase Perburuhan untuk ikut membantu mengawasi dan mengatasi aneka masalah TKI di luar negeri sesuai dengan kebutuhan. Dan, TKI diwajibkan mengirimkan sebagian penghasilannya (dalam persentasi tertentu) kepada keluarga/sanak saudaranya yang ditunjuk.

Singkat kata, meminjam ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, “Berikan perhatian yang sangat serius pada masalah tenaga kerja kita. Mereka adalah bagian dari solusi, pahlawan devisa, wajib hukumnya bagi kita untuk memberikan perlindungan dan pelayanan bagi saudara-saudara kita itu.”

Mereka harus memperoleh perhatian sebaik-baiknya, menyitir pernyataan Perdana Menteri (PM) China Wen Jiabao saat berpidato di depan pekerja migran di Beijing pada 14 Juni 2010, generasi baru ini ingin memperbaiki taraf hidupnya sehingga mereka rela meninggalkan desanya. Generasi baru ini tidak ingin bernasib sama dengan orang tua mereka yang memikul beban hidup terlalu berat. Wen mengingatkan bahwa kesejahteraan dan pembangunan kita merupakan hasil jerih payah dan keringat mereka. Pemerintah dan semua lapisan masyarakat, katanya, seharusnya memperlakukan buruh migran seperti mereka memperlakukan anak sendiri. ***


Artikel pendukung:

TKI di Penampungan Timur Tengah Terus Bertambah

Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di penampungan beberapa KBRI negara-negara Timur Tengah terus bertambah. Selain banyak TKI yang memang habis masa kontraknya, juga sebagai dampak liburan musim panas.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar membenarkan kondisi tersebut. ''Ternyata, menjelang bulan Agustus, hasil monitoring kami, jumlah TKI yang minta perlindungan di penampungan terus meningkat," ujarnya, Kamis (12/8/2010).

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) saat ini sedang melakukan monitoring penyebab pasti peningkatan penampungan TKI. Pemantauan meliputi penampungan TKI di KBRI Jordania, Jeddah, Uni Emirat Arab, dan Riyadh.

Meskipun biasanya menjelang musim libur di berbagai negara menjadi faktor peningkatan ini, satuan tugas Kemnakertrans tetap mencari tahu korelasi hal tersebut. Apalagi, dikhawatirkan adanya penambahan TKI yang bermasalah.

Plt Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kemnakertrans, Malik Harahap, menjelaskan, jumlah TKI yang ditampung di negara penempatan Timur Tengah mencapai ribuan. Salah satunya dipicu liburan musim panas. "Dalam waktu dekat kami akan mencari solusi atas persoalan ini," katanya.

Sementara itu, kalangan pengusaha yang bergerak di bidang penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) pesimistis terhadap kinerja pemerintah dalam menyelesaikan kasus TKI bermasalah di Timur Tengah. Semisal yang diungkapkan Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani yang baru saja kembali dari Arab Saudi. "Saya masih menyaksikan puluhan WNI, sebagian besar perempuan, terlantar di bawah jembatan layang di Jeddah. Mereka menanti untuk bisa dipulangkan. Perwakilan Indonesia di Saudi seperti KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah, tidak berbuat apa-apa," keluhnya.

Namun demikian, Yunus menaruh apresiasi kalau informasi dan data yang disampaikan Atase Tenaga Kerja KBRI di Riyadh, Arab Saudi, Mustafa Kamal, yang menyebutkan 98 persen kasus TKI di Arab Saudi selama 2009 berhasil dituntaskan. "Ini baru satu-satunya atase yang semula dinilai tidak berpengalaman tentang permasalahan TKI, tetapi kurang dari satu tahun sudah bisa menyelesaikan ribuan (98 persen) TKI bermasalah," ujarnya.

Jika kondisi ini benar adanya, juga akan menguntungkan konsorsium asuransi perlindungan TKI di dalam negeri, karena tidak ada lagi yang kembali ke Tanah Air dengan membawa masalah. " Jika tidak, maka dia melakukan kebohongan publik,” cetus Yunus.

Himsataki banyak menerima pengaduan, baik dari TKI maupun PJTKI, tentang permasalahan yang dihadapi di Arab Saudi. Biasanya permasalahan itu meliputi  kondisi penempatan dan perlindungan TKI. Dari percakapan dengan sejumlah tokoh Indonesia di Saudi, ujar Yunus, diharapkan perwakilan Indonesia tidak berpangku tangan dan menyerahkan masalah pemulangan TKI kepada Pemerintah Arab Saudi. "Kita bangsa bermartabat, punya tanggung jawab, punya asuransi," tegasnya.
(Sumber: Republika.co.id, 12 Agustus 2010)



7 Perusahaan Penyalur TKI Diskors

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menjatuhkan sanksi skors terhadap tujuh perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang terbukti melakukan pelanggaran dalam proses pemberangkatan TKI. Sanksi itu berupa penghentian sementara, sebagian, atau seluruh kegiatan penempatan TKI ke luar negeri.

Demikian diungkapkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar di Jakarta, Minggu (4/4/2010). Ketujuh perusahaan yang dijatuhi sanksi skors itu masing-masing PT Amanitama Berkah Sejati, PT Aqbal Duta Mandiri, PT Tritama Megah Abadi, PT Karya Pesona Sumber Rejeki, PT Duta Ampel Mulia, PT Abdi Bela Persada, dan PT Dasa Graha Utama.

“Sanksi skors ini merupakan salah satu upaya Kemnakertrans untuk meningkatkan standar pelayanan dalam perlindungan dan penempatan TKI serta melakukan pengawasan yang lebih ketat dan selektif terhadap perusahaan PPTKIS,” kata Muhaimin.

Dijelaskan, sanksi skors dijatuhkan karena perusahaan-perusahaan PPTKIS itu di antaranya tidak memenuhi standar penampungan yang diatur Peraturan Menakertrans Nomor PER 07/MEN/IV/2005 tentang Standar Tempat Penampungan Calon Tenaga Kerja Indonesia.

Berdasarkan hasil sidak Satuan Tugas (Satgas) Pemantauan dan Pengawasan Penempatan dan Perlindungan TKI, beberapa perusahaan bahkan tidak menyediakan tempat pelatihan, tempat makan, sarana MCK (mandi, cuci, kakus), serta tempat tidur yang layak.

Ditambahkan, pelanggaran lain yang dilakukan PPTKIS itu sudah masuk dalam kategori pelanggaran berat dan memasuki ranah tindakan kriminal. “Beberapa di antaranya terbukti melakukan pemalsuan tanda tangan pejabat KBRI dalam perjanjian kerja serta tidak memiliki sertifikat pelatihan calon TKI,” kata Menakertrans.

Untuk menindak-lanjuti permasalahan ini, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan bekerja sama dengan Polri dan aparatur hukum. Sementara untuk meningkatkan perlindungan dan penempatan TKI, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menetapkan sertifikasi pelatihan CTKI.

Sebelumnya, Ketua Himpunan Pengusaha TKI (Himsataki) Yunus Moh. Yamani menilai, pemerintah tidak memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan kualitas TKI. Hal itu terkait menduanya kebijakan pelatihan.

Dia mengatakan, banyak pihak menyebut 90 persen permasalahan TKI informal berawal di dalam negeri, di antaranya rendahnya pendidikan dan kurang terlatih. “Kita setuju. Karena itu kita merancang pelatihan selama 200 jam,” kata Yunus.

Namun, kini ada indikasi kebijakan itu mulai goyah. Setiap hari organisasi PJTKI menerima komplain dari anggota bahwa PJTKI tertentu bisa menempatkan tanpa harus melatih.

“Jika kondisi demikian terus dibiarkan, maka TKI dan PJTKI dirugikan. Nama Indonesia juga akan tercemar karena kasus TKI bermasalah di luar negeri tak pernah berakhir,” katanya.

Bagi TKI, kata Yunus, jika tak terlatih maka akan menjadi korban. Jika bertemu majikan yang baik, mereka akan dipulangkan dan jika yang tidak baik, maka akan disiksa. Sementara bagi PJTKI, kondisi ini akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat karena tak ada sistem penempatan yang bisa dijadikan acuan.

(Sumber: KARIR-UP.com, 5 April 2010)


Dualisme Penempatan TKI
Harus Diakhiri Karena Merugikan Tenaga Kerja

Dualisme dalam penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) diharapkan segera diakhiri karena merugikan TKI. Dualisme itu tercermin dari pelayanan TKI yang dilakukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2-TKI) dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans).

"Kondisi dualisme seperti sekarang ini membutuhkan perhatian serius dari Komisi IX DPR," kata Sekjen Apjati Rusdi Basalamah di Jakarta, akhir pekan lalu. Diharapkan, dualisme dan semua permasalahan TKI dapat dibahas dalam rapat gabungan semua pemangku kepentingan (stakeholders) penempatan TKI yang diselenggarakan Komisi IX DPR.

Menurut Rusdi, dualisme dalam proses penempatan TKI sangat merugikan TKI yang diberangkatkan ataupun perusahaan penempatan TKI swasta (PPTKIS). Itu karena pekerja yang dikirim tidak sesuai kualitas yang dibutuhkan dan pelaku usaha menjadi saling curiga. "Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya harus serius memperhatikan sistem penempatan TKI yang sesuai ketentuan perundangan yang berlaku tetapi juga menindak tegas jika terjadi pelanggaran," katanya.

Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat juga menginginkan dualisme itu dituntaskan. "Kami menunggu upaya konkret Panja Komisi IX DPR RI mengatasi dualisme pelayanan TKI ini," katanya.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz mengatakan, rapat gabungan semua pemangku kepentingan dalam penempatan dan perlindungan TKI perlu digelar karena hingga saat ini tidak ada penyelesian menyeluruh atas berbagai permasalahan TKI.

"Rapat gabungan itu sebagai satu upaya untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi berbagai permasalahan TKI, mulai dari rekrutmen hingga pemulangan TKI ke daerah asal," katanya. Dikatakan, penempatan TKI sektor formal ataupun informal perlu perbaikan, sehingga Komisi IX DPR mendesak para pemangku kepentingan, termasuk PPTKIS, untuk membangun sistem komprehensif dan integratif.

"G to G"
Irgan mengakui, belakangan ini banyak bermunculan permasalahan TKI, mulai dari sertifikat kompetensi calon TKI yang asli tetapi palsu hingga pekerja yang tewas saat mereka bekerja di luar negeri. Rencananya Komisi IX DPR juga akan membentuk panja (panitia kerja) TKI pada masa sidang III/2010.

Komisi IX minta agar dikumpulkan semua bukti permasalahan penempatan, mulai dari proses rekrutmen sertifikasi kompetensi calon TKI hingga masalah asuransi perlindungan yang merugikan TKI. Menurut Ketua Himpunan Pengusaha TKI (Himsataki) Yunus M. Yamani, pihaknya secepatnya akan mengumpulkan semua data mengenai permasalahan TKI kepada anggota dewan agar mereka mengetahui masalah sebenarnya untuk mencari solusi.

Yunus juga akan melaporkan kinerja BNP2TKI yang seharusnya hanya melakukan kegiatan penempatan untuk government to government (G to G), tetapi pada kenyataannya melegalkan penempatan TKI layaknya yang dilakukan PPTKIS.

Sementara itu, Saleh Alwaini, mantan Ketua Umum Apjati, menilai mencari pasar TKI ke luar negeri juga harus diutamakan agar peluang kerja dapat dimanfaatkan dengan baik dan benar.

(Sumber: Batavia.co.id, 26 April 2010)



Butuh Konsep Jelas untuk Atasi Masalah TKI

Pemerintah dinilai harus memiliki konsep yang jelas untuk mengatasi masalah penempatan dan perlindungan TKI, jika tidak maka kasus yang sama akan terus berulang tanpa penyelesaian yang komprehensif dan menyeluruh.

Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati) dan Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani di Jakarta, Kamis (3/9/2009), mengatakan pada banyak kasus, lemahnya koordinasi antar-instansi dan pejabat pemerintah, justru menjadikan penyelesaian kasus TKI berlarut-larut dan berpotensi menjadi komoditas politik.

Pemerintah yang dimaksud adalah instansi terkait dalam menangani masalah TKI, seperti Depnakertrans, BNP2TKI, Deplu, Imigrasi, Depdagri dan Pemerintah Daerah.

Sebelumnya Menakertrans Erman Suparno mengatakan saat ini terdapat 1.678 TKI dan WNI bermasalah di sejumlah penampungan di sejumlah KBRI dan KJRI di luar negeri. Di Arab Saudi terdapat 257 orang TKI dan WNI bermasalah, di Yordania 404 orang, di Kuwait 506 orang, di Qatar 35 orang, di Malaysia 276 orang, di Singapura 113 orang, di Hongkong 6 orang, di Brunei Darussalam 44 orang, dan di Taiwan 37 orang.

Meski demikian, berdasarkan data yang dimiliki Depnakertrans, terjadi penurunan jumlah TKI bermasalah. Misalnya Data Kepulangan WNI melalui Tarhil (rumah imigrasi di Jeddah) pada tahun 2007 berjumlah 24.834 orang, tahun 2008 menjadi 23.921 orang, tahun 2009 turun menjadi 13.839 (data per-Juni 2009).

Umumnya, masalah muncul karena TKI bekerja secara ilegal atau non-prosedural. Hal ini terjadi karena: bekerja dengan tidak menggunakan visa kerja, yaitu menggunakan visa umrah/haji, visa kunjungan, visa belajar, impresariat, kabur dari majikan, disalurkan melalui perusahaan liar, calo dan sponsor.

Erman mengatakan solusinya, dalam jangka pendek, diperlukan koordinasi dengan lintas instansi, seperti dengan Deplu, Depkum dan HAM, Polri, Dephub, Depsos dan Kantor Meneg PP.

Di sisi lain, pemulangan TKI bermasalah di luar negeri juga sering kali tidak mudah karena terkendala pada sulitnya mendapat izin keluar (exit permit) dari pemerintah negara penempatan, seperti yang terjadi di Kuwait, Arab Saudi, dan Yordania.

Penyebabnya, sebagian besar TKI yang berada di penampungan KBRI/KJRI memiliki masalah hukum seperti gaji belum dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, kasus pidana dan lain sebagainya. Kendala lainnya adalah berupa minimnya anggaran untuk memulangkan para TKI bermasalah di luar negeri.

Pada jangka panjang, menurut Menteri, harus ada keputusan politik untuk mencegah warga negara Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri secara non-prosedural dengan cara mempertajam kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI, seperti revisi Undang-Undang 39 tahun 2004.

Upaya lain, meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah Provinsi dan Kab/Kota sesuai kewenangannya dalam otonomi daerah, sehingga harus mendata semua warga yang akan pergi ke luar negeri baik untuk bekerja/magang, kunjungan/wisata, belajar, umrah/haji maupun untuk misi kebudayaan, dan lainnya.

(Sumber: Media Indonesia, 4 September 2009)

No comments:

Post a Comment