Dari sekitar 237,5 juta jiwa penduduk Republik Indonesia, ada
sekitar 117 juta jiwa (49,2%) yang belum dapat menikmati jaminan kesehatan.
Kehidupan mereka jelas jauh dari kata sejahtera (terlepas dari segala macam
gangguan). Ketika jatuh sakit, mereka takut ke rumah sakit karena harus
menyediakan segepok rupiah buat membayar uang muka. Tak salah bila kemudian
muncul anekdot “orang miskin dilarang sakit”.
Bukan hanya mikro jaminan kesehatan kita yang relatif kecil.
Secara makro, dana jaminan sosial per kapita masyarakat kita juga relatif kecil
bila dibandingkan dengan dua negara tetangga (Malaysia dan Singapura). Dana
jaminan sosial Singapura mencapai Rp168 juta, Malaysia Rp33,3 juta, dan
Indonesia cuma Rp680 ribu per kapita.
Dana jaminan sosial Indonesia per kapita yang rendah terutama
disebabkan oleh tiga hal. Pertama,
belum dibentuknya lembaga JAMSOSNASDA (Jaminan Sosial Nasional Dasar)
sebagaimana telah diterapkan oleh dua negara tetangga tadi. Kedua, Pemerintah dan DPR belum
menyelesaikan kewajibannya untuk membayarkan kontribusi Jamsosnas kepada
aparatur negaranya yang telah tertunda-tunda selama puluhan tahun. Seolah-olah
dengan dibayarkannya kontribusi Pemerintah hanya menguntungkan para aparatur
negaranya (PNS dan TNI/Polri). Padahal, dampak dari tidak dibayarkannya
kewajiban Pemerintah ini sangat luar biasa, yaitu akan menyeret Pemerintah dan
Negara kepada jurang pengangguran dan kemiskinan nasional yang meluas dan
serius serta ketergantungan kepada utang luar negeri. Kini tunggakan itu
diperkirakan mencapai Rp300 triliun, sebuah jumlah yang cukup berarti untuk
melepaskan banyak warga masyarakat kita dari kemiskinan dan pengangguran. Dan ketiga, para pekerja belum seluruhnya
ikut berpartisipasi dalam jaminan sosial tenaga kerja.
Bila para pekerja semakin banyak yang berpartisipasi dalam
jaminan sosial tenaga kerja dan Pemerintah menyelesaikan kewajibannya maka akan
terakumulasi dana jaminan sosial dalam jumlah yang demikian banyak. Belum lagi
jika kita menerapkan jaminan sosial nasional dasar pada setiap warganegara
dengan sistem kegotong-royongan. Akumulasi dana jaminan sosial tentu akan terus
membesar.
Dengan terakumulasinya dana jaminan sosial yang relatif besar
tersebut kemudian dapat disalurkan untuk investasi. Selanjutnya, investasi di
berbagai sektor tentu dapat membuka lapangan pekerjaan bagi warga masyarakat.
Efek berikutnya, pengangguran dan kemiskinan pun berkurang serta wajah
kesejahteraan secara makro akan membaik.
Kesejahteraan masyarakat dan bangsa secara makro ini juga akan
berdampak pada peningkatan cadangan keuangan nasional. Jika cadangan keuangan
nasional menguat maka kesejahteraan dan kemakmuran negara akan meningkat pula. Dengan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat, akan ada cukup dana untuk menambah iuran
dan jaminan sosial yang berupa tabungan untuk jaminan sosial, dana pensiun atau
program asuransi lainnya.
Secara perorangan, kesejahteraan warga masyarakat juga akan
meningkat. Dengan tersedianya pekerjaan, seseorang bisa mengasah keahliannya
sehingga penghasilannya ikut bertambah. Setidaknya, bagi yang belum bekerja akan
terbebas dari menganggur. Dan, mereka akan memperoleh penghasilan.
Pun penghasilan orang-perorangan yang meningkat akan membawa
pengaruh bagi meningkatnya kesejahteraan. Peningkatan kesejahteraan seterusnya
berdampak pada kemampuan warga masyarakat membayar iuran retribusi, pajak, dan
kewajiban-kewajiban sipil lainnya. Rakyat yang sejahtera akan menjadikan negara
bertambah kuat. Begitulah siklus jaminan sosial dan kesejahteraan masyarakat
yang saatnya kini harus mulai digulirkan. ***
No comments:
Post a Comment