Masyarakat
Korea memiliki kesadaran tinggi terhadap asuransi. Bahkan, mereka merasa rugi
bila tidak memilikinya. Inilah kunci sukses Korea Selatan mengembangkan jaminan
sosial kesehatan.
Lisa, seorang warganegara Kanada, merasa nyaman ketika jatuh
sakit di perantauannya di Negeri Ginseng Korea Selatan. Lisa, yang di tahun
2009 pernah sakit dan mendapat perawatan di Korea, menggambarkan bahwa
pelayanan kesehatan yang ia terima jauh lebih baik daripada yang bisa diperoleh
warga masyarakat di negaranya sendiri. Ia mendapat pelayanan kesehatan dan medical check up tanpa harus susah payah
mengurus berbagai persyaratan.
Senada dengan Lisa, beberapa orang yang ditemui oleh Dr. Luqman Hakim,
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA Unbraw), saat mengikuti co-teaching di Hankuk
University of Foreign Studies (HUFS) di tahun 2010. Beberapa orang yang
dijumpainya di Seoul dan Daejon menyatakan bahwa pelayanan kesehatan publik di
negaranya jauh lebih baik ketimbang negara maju seperti Amerika Serikat. "Karena
itu, banyak warga Korea mencibir Paman Sam ketika ide reformasi pelayanan
kesehatan yang diintrodusir Presiden Obama mengundang pro-kontra yang
berkepanjangan," kata Luqman Hakim.
Kunci sukses Korea dalam pelayanan publik ini, menurut Luqman,
adalah keberhasilan negara tersebut mewujudkan jaminan sosial kesehatan yang
dapat diperoleh warga dengan cara membayar premi terlebih dulu.
"Masyarakat sempat berpikir mengenai asuransi ketika proses pembangunan
ekonomi yang semakin cepat dikhawatirkan membawa efek negatif berupa
pengangguran," ujar Luqman.
Ketika hal tersebut dikhawatirkan mendorong orang malas bekerja,
warga masyarakat Korea segera memilih membuat jaminan sosial kesehatan tenaga
kerja. "Bisa dikatakan sistem jaminan sosial kesehatan ini berhasil karena
etos kerja yang tinggi Bangsa Korea Selatan," kata dia.
Proses-proses terbentuknya jaminan sosial kesehatan di Korea
Selatan relatif sangat cepat, hanya sekitar dua dekade, sekitar pertengahan
1970-an hingga akhir 1980-an. Sebagaimana yang dilakukan Jepang, Jerman, dan
banyak negara lain di dunia, Korea Selatan memulai jaminan sosialnya dengan
mengembangkan asuransi kesehatan wajib di tahun 1976 setelah selama 13 tahun
gagal mengembangkan asuransi kesehatan sukarela. Asuransi kesehatan wajib
dimulai dari pemberi kerja yang memiliki banyak pekerja. Ketentuan jumlah
pekerja itu terus diturunkan dan sekarang pemberi kerja yang hanya memiliki dua
pekerja pun diwajibkan ikut asuransi kesehatan.
Pada tahun 1989 seluruh penduduk telah memiliki asuransi
kesehatan yang diselenggarakan oleh lebih dari 300 lembaga nirlaba. Kini
seluruh badan penyelenggara dijadikan satu badan penyelenggara yaitu National Health Insurance Corporation
(NHIC), yakni suatu lembaga semi-pemerintah yang independen dengan cakupan
praktis seluruh penduduk (Park, 2002).
Selain jaminan sosial kesehatan, Korea Selatan juga berhasil
mengembangkan jaminan pensiun atau hari tua yang baru dilaksanakan 1988 dengan
wewajibkan pemberi kerja dengan 10 karyawan atau lebih mengiur dana jaminan
pensiun. Dan pada tahun 2003, seluruh pemberi kerja dengan satu atau lebih
pegawai diwajibkan ikut program pensiun yang dikelola oleh National Pension Corporation (NPC).
Kedua lembaga penyelenggara jaminan sosial (NHIC dan NPC) berada
di bawah pengawasan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan, bukan badan usaha
yang di Indonesia kita kenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Berbeda
dengan NHIC yang mengelola hampir seluruh penduduk, kecuali militer aktif dan
penduduk miskin yang hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk, NPC hanya
mengelola jaminan pensiun bagi pegawai swasta dan sektor informal. Pensiun bagi
pegawai pemerintah, tentara, guru sekolah, pekerja tambang, dan petani dikelola
terpisah dari NPC (Ha-Young dan Hun-Sang, 2003).
Manfaat yang diberikan oleh NHIC adalah jaminan kesehatan
komprehensif yang mencakup pelayanan kesehatan, medical check up, penggantian uang tunai pada kondisi tertentu
seperti dalam keadaan darurat, santunan penguburan, dan penggantian biaya
protese. Setiap peserta wajib membayar co-payment
yang besarnya bervariasi antara jenis pelayanan, fasilitas kesehatan, dan
kelompok peserta. Rata-rata besarnya co-payment
bisa mencapai 40-50% dari biaya berobat, kecuali penduduk tertentu (tua, tidak
mampu, atau di daerah terpencil). Pelayanan kesehatan diberikan melalui
fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta (lebih dari 90%) dengan sistem
klaim. Klaim harus terlebih dulu diperiksa oleh suatu lembaga independen lain (HIRA,
Health Insurance Review Agency)
sebelum NHIC membayar fasilitas kesehatan. Manfaat program pensiun bervariasi
sesuai dengan lamanya mengiur yang diatur dengan formula tertentu (defined benefits) dengan maksimum
pensiun sebesar 60% dari upah terakhir untuk yang sudah mengiur selama 40
tahun. Selain pensiun karena mancapai usia pensiun, NPC juga membayarkan
pensiun karena cacat, pensiun ahli waris, dan pembayaran lumpsum bagi peserta yang belum memilki masa kualifikasi pensiun
(10 tahun).
Iuran untuk program kesehatan bagi tenaga kerja di sektor formal
ditetapkan sebesar 3,63% yang ditanggung bersama antara pekerja dan pemberi
kerja. Sedangkan untuk sektor informal, UU mengatur tingkat-tingkat penghasilan
pada masing-masing kelompok dan besarnya iuran ditetapkan tersendiri untuk
tiap-tiap kelompok penghasilan. Sementara itu iuran buat program pensiun kini
sebesar 9% dari upah yang dibayar bersama-sama antara pemberi kerja dan pekerja
masing- masing sebesar 4,5%. Pada tahap awal, iuran besarnya hanya 3%, kemudian
secara bertahap ditingkatkan hingga mencapai 9%. Selain pekerja, NPC melayani pula
penduduk yang secara sukarela, secara perorangan atau pekerja sektor informal,
mendaftarkan diri dengan iuran saat ini sebesar 7%, yang juga akan ditingkatkan
hingga sebesar 9%.
Dosen FIA Unbraw Dr. Luqman Hakim menilai masyarakat Korea
memiliki kesadaran tinggi terhadap asuransi. Mereka bahkan merasa rugi jika
tidak memilikinya. "Membangun kesadaran ini tidak sekali jadi. Dengan
inisiatif dari pemerintah, program ini sempat jatuh bangun dan pernah gagal,"
jelasnya.
"Keberhasilan Korea Selatan dalam mengelola jaminan
pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya merupakan pelajaran berharga bagi
Indonesia," kata Luqman. Menurutnya, ada suasana berbeda antara Indonesia
dan beberapa negara yang jaminan kesehatannya berjalan seperti Korea Selatan
dan Eropa. "Di negara-negara tersebut tuntutan jaminan kesehatan dibarengi
dengan kesediaan membayar premi asuransi, sedangkan di Indonesia tanpa dibarengi
kesediaan membayar," tandas Luqman. Kita memang harus banyak belajar dari
Korea Selatan yang baru merdeka di tahun 1948 ini. ***
No comments:
Post a Comment