Friday, May 31, 2013

Menuju Jaminan Kesehatan Nasional



GUBERNUR DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi tengah menghadapi ujian untuk mewujudkan salah satu janji kampanyenya, yakni merealisasikan kartu Jakarta sehat (KJS). Kemudahan jaminan kesehatan bagi warga miskin tersebut adalah salah satu contoh bagaimana sebuah daerah otonom semestinya dikelola.



KJS tentu adalah sebuah pertaruhan. Bukan hanya pertaruhan bagi seorang Jokowi dan Jakarta. KJS juga akan menjadi barometer bagi daerah lain di pelosok nusantara. Jika DKI yang memiliki pendapatan daerah triliunan rupiah saja gagal menjamin kesehatan warganya, tentu daerah lain dengan kapasitas fiskal minim semakin sulit memperhatikan kebutuhan dasar publik tersebut.



Belum genap setahun memimpin ibu kota, Jokowi sudah membagikan KJS. Sebagaimana sebuah program baru, masalah tentu menjadi hal yang tak mungkin absen. Ini membuat DPRD setempat ingin mengajukan hak interpelasi kepada gubernur. Interpelasi itu tentu menjadi hak lembaga legislatif yang tak perlu dibesar-besarkan. Namun, jika menganggap program KJS harus dihentikan karena banyaknya masalah, tentu hal tersebut merupakan pendapat yang terburu-buru.



Pembagian KJS membuat banyak rumah sakit yang ditunjuk kewalahan menerima pasien. Banyak warga kelas menengah, yang biasanya mudah mendapatkan layanan rumah sakit, mengalami kesulitan karena membeludaknya pasien. Di masa tertentu, tak jarang ada yang sulit mendapatkan kamar kosong.



Ini tentu memprihatinkan. Sebab, ternyata, kapasitas rumah sakit di DKI sekalipun masih belum mampu menampung kebutuhan kesehatan masyarakat. Warga miskin yang dirujuk ke rumah sakit tentunya tidak mungkin berpura-pura sakit. Mereka adalah orang-orang yang selama ini menderita sakit, namun tidak punya uang untuk berobat. Timbul pertanyaan, jika selama ini belum ada KJS, bagaimana nasib mereka?



Soal kapasitas rumah sakit dan hal teknis lain memang harus segera diselesaikan. Tetapi, program semacam KJS harus tetap dijalankan. Pada 2014, secara nasional sudah harus ada jaminan kesehatan melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Jika masalah masalah seperti di DKI tidak bisa dituntaskan, sulit berharap BPJS bisa dijalankan secara nasional.



Pada 2010, Presiden Amerika Serikat Barack Obama telah mempertaruhkan fiskal negerinya untuk mengegol­kan jaminan kesehatan bagi warga miskin. Obama ditentang oleh banyak warga kaya raya yang di sana adalah mayoritas. Sebab, bagi si kaya, program itu akan meninggikan pajak mereka. Dalam konteks lain, program Jokowi juga tidak akan membuat nyaman kelas menengah di Jakarta yang menjadi kesulitan mendapatkan layanan rumah sakit karena membeludaknya pasien.



Yang dilakukan Obama dan Jokowi mungkin memang tak sebanding. Namun, intinya, pembelaan terhadap warga miskin harus menjadi prioritas yang tidak hanya manis dalam kampanye saja. (*)

No comments:

Post a Comment