Saturday, August 31, 2013

Menjadi Preman Jalanan Kota Kupang



Di dalam rumah tangga banyak sekali kekerasan sebagai alat orang tua guna mendisiplinkan anak-anaknya. Padahal, kedisiplinan itu bukan hanya bagian bagaimana kesiapan fisik. Tapi, juga kemampuan melakukan pengendalian (self control). Apalah artinya anak-anak bersikap patuh di hadapan orang tua, namun di belakangnya mencuri, membohongi, atau melakukan penyimpangan
Erlangga Masdiana, kriminolog

Kupang, 1970-an. Di penghujung 1960-an, tepatnya tahun 1969, dengan landasan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Nomor 17 Tahun 1969 tanggal 12 Mei 1969, lahirlah sebuah wilayah kecamatan yang diberi nama Kecamatan Kota Kupang. Sebuah wilayah kecamatan yang ketika itu menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Kupang yang terlebih lahir (1958).
Sepanjang dekade 1970-an, Kecamatan Kota Kupang mengalami perkembangan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Kemudian pada tahun 1978 status Kecamatan Kota Kupang ditingkatkan menjadi Kota Administratif (Kotif) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 1978, yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 18 September 1978. Pada waktu itu Drs. Mesakh Amalo dilantik menjadi Walikota Administratif yang pertama dan kemudian diganti oleh Letkol Inf. Semuel Kristian Lerik pada tanggal 26 Mei 1986 sampai dengan perubahan status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang.
Perkembangan Kota Administratif Kupang sangat pesat selama 18 tahun, baik di bidang fisik maupun non fisik. Rakyat Kupang pun ingin status kotanya meningkat lagi, menjadi Kotamadya. Dengan dukungan penuh rakyat, Pemerintah Kota Admnistratif Kupang mengusulkan perubahan dan peningkatan status tersebut. Setelah melalui sejumlah persidangan dan pemantauan aspirasi, pada 20 Maret 1996, DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang disahkan menjadi Undang-Undang. Dan Presiden Republik Indonesia lalu mengesahkan UU Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang sebagaimana tertuang pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632 Tahun 1996. Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang diresmikan oleh Mendagri Mohammad Yogi Suardi Memed pada tanggal 25 April 1996. Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999, maka Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang berubah menjadi Kota Kupang.
Kota Kupang yang multi-etnis –di dalamnya terdapat suku Timor, Rote, Sabu, Flores, sebagian kecil Tionghoa, pendatang dari Ambon dan beberapa suku lain-- itu sepanjang 1970-an memang dapat dikatakan lumayan pesat perkembangannya. Warna masyarakat multi-etnis menandakan Kota Kupang cukup menarik minat bagi banyak orang. Jumlah penduduk pun terus bertambah. Tak pelak, wilayah kota semakin mekar dan tumbuh.
Perkembangan dan pertumbuhan Kota Kupang di antara tampak dari Pelabuhan Kupang yang pada dasawarsa 1970-an sudah mampu melayani kapal-kapal barang maupun penumpang. Di masa itu dermaga pelabuhan ini sering melayani kapal penumpang menuju Pante Makasar, Ruteng, Baa, Dili, Kalabahi dan lain-lain. Kemudian Pelabuhan Udara Penfui (sekarang dikenal sebagai Bandara El Tari) di pertengahan 1970-an ditingkatkan dari Pelabuhan Udara kelas III menjadi Pelabuhan Udara Sipil Kelas II untuk menampung arus lalu-lintas penumpang dan barang yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Dari sisi transportasi darat terlihat pula denyut kota yang terus berderak dan berdetak. Sistem transportasi darat Kota Kupang mulai dilayani oleh minibus angkutan kota yang biasa disebut bemo. Ada pula layanan taksi dan beberapa rute dilayani oleh bus kota. Sebagian besar rute dalam kota dilayani oleh bemo yang menghubungkan beberapa terminal seperti Terminal Kupang, Terminal Oepura dan Terminal Oebobo. Untuk keberangkatan jalan darat ke luar kota dilayani di Terminal Oebobo.
Khusus untuk angkutan bemo, memiliki ciri khas tersendiri. Rute setiap bemo ditandai oleh warna dan angka yang terdapat pada bagian atas depan bemo. Aksesoris bemo yang sangat banyak ditambah dengan dentuman musik yang sangat keras. Selain itu terdapat juga jasa layanan transportasi roda dua yang lebih dikenal dengan ojek yang banyak dijumpai di setiap sudut Kota Kupang.
Melalui jalan darat pula dilayani bus antar-kota dalam provinsi ke SoE, Kefa dan Atambua, serta antar-negara, yakni ke Dili, Timor Leste. Bus ini disediakan oleh berbagai penyedia layanan termasuk DAMRI. Layanan imigrasi Indonesia-Timor Leste dilaksanakan di Tasifeto Timur-Batugade.

A.   Menghimpun Anak Jalanan Membentuk Geng Scorpion
Sebagaimana umumnya kehidupan kota-kota yang tengah dan terus menggeliat, Kota Kupang pun tidak terhindar dari problematika sosial perkotaan antara lain kehadiran anak jalanan, pengemis dan –kadang—gelandangan. Apalagi banyak warga kota yang hanya hidup pas-pasan dengan tanggung anak yang acap kelewat banyak. Seperti yang dihadapi pasangan suami-isteri John Haning – Elizabeth, kedua orang tua Semuel Haning.
John Haning yang pegawai rendahan di Dinas Peternakan Pemerintah Provinsi NTT terasa sulit mesti menghidupi 10 orang anak. Untuk menambah penghasilan, di luar waktu-waktu dinas, John menjadi sopir oto di Kota Kupang. Dunia angkutan umum (kota) yang serba keras dapat dikatakan berpengaruh terhadap karakter dan keseharian John Haning dalam mendidik dan memperlakukan anak-anaknya.
Semuel Haning yang mulai beranjak remaja pun tumbuh dalam tradisi dan kultur pada dunia yang serba keras. Dimulai dari memasuki hobi olah raga yang mengendalkan kekerasan otot, antara lain tinju dan karate. Ditambah lagi, di luar pengawasan kedua orang-tuanya, Semuel ‘lari’ dari rumahnya lalu berkelana di jalan-jalan utama Kota Kupang. Dari terminal ke terminal, dari satu klub ke klub yang lain.
Kata Semuel mengenang masa silamnya, “Saya menyukai olah raga keras seperti tinju dan karate. Selain karena lingkungan pergaulan, juga tidak terlepas dari didikan orang tua yang demikian keras. Lingkungan pergaulan dan lingkungan sekolah memberi kesempatan saya untuk menekuni olah raga yang mengandalkan otot. Terlebih lagi di pertengahan 1970-an itu saya sudah sering hidup sehari-hari di jalanan, tentu saja --minimal— harus membekali diri dengan ilmu beladiri.”
Sejak pertengahan 1970-an, Semuel Haning menghabiskan malam-malamnya di keremangan jalanan utama Kota Kupang. “Ini sudah saya lakoni sejak usia kelas 1 SMP di Kupang, menjelang akhir 1970-an. Ayah saya sangat keras dalam mendidik anak-anaknya. Kalau mereka sudah tidur, saya baru keluar ke dunia malam. Saya memang kepala batu dan termasuk anak nakal. Saya akui, ayah saya mendidik secara keras memang untuk kebaikan kami anak-anaknya. Efeknya, saya kerap berontak seperti keluar malam setelah mereka tidur,” papar lelaki kelahiran Kota Kupang tahun 1964 ini.
Lantas, mulai pertengahan 1970-an itu pula, anak ketiga dari 10 bersaudara ini mengenal teman-teman sebaya yang ‘hidup’ di jalanan Ibukota Provinsi NTT tersebut. Mula-mula satu, dua, tiga, seterusnya sampai mencapai puluhan anak-anak yang sama-sama menapak usia remaja. Sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk sosial, mereka menjadi saling tergantung dan mengelompok. Saban malam pun mereka kongkow-kongkow bersama di sudut-sudut Kota Kupang.
Sampailah pada suatu ketika, Semuel mengajak teman-teman sebaya untuk membentuk kelompok atau istilah lainnya: geng. Geng yang beranggotakan anak-anak muda jalanan Kota Kupang. Soal aktivitas yang akan mereka positi ataukah negatif, itu urusan nanti. Yang penting membentuk geng dulu, geng anak-anak senasib, geng anak-anak satu kebiasaan.
Di dekade 1970-an, di mana hitam-putihnya jalannya pemerintan di tangan rezim Orde Baru, banyak muncul geng anak muda –terutama mereka yang berasal dari barak militer di Ibukota Jakarta. Geng di Jakarta yang paling ditakuti adalah mereka yang berada di barak militer ini. Mereka dikenal sangat kuat, paling kompak dan paling dikenal suka tawuran, belum lagi dengan menggunakan senjata dan mobil yang dimiliki oleh orang tua mereka yang tentara.
Terlepas dari sepak terjang mereka yang cenderung negatif, satu hal menarik adalah ihwal penamaan geng. Sekadar contoh adalah Geng Berlan, sekelompok anak muda yang ayahnya adalah tentara KNIL berpangkat rendah, mereka berkumpul di kawasan Matraman, Jakarta Timur, yang dikenal dengan Barenlaan. Daerah ini melahirkan sekelompok anak muda yang disebut dengan “Bearland Boys” atau disebut pula “Berland Boys”. Hal serupa juga terjadi pada anak-anak dari tentara berpangkat menengah yang tinggal di asrama Jalan Siliwangi dekat dengan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Mereka menamakan dirinya sebagai “Siliwangi Boys Complex”. Lalu di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, terdapat geng yang menamakan diri “Radio Dalam Club” (RDC) yang merupakan geng berbasis di kawasan kompleks angkatan laut.
Kemudian, masih di kawasan elit Kebayoran Baru juga ada geng sendiri yang disebut dengan “Legos” (Lelaku Goyang Senggol). Anggota “Legos” secara terbuka melibatkan dirinya ke dalam dunia politik praktis. Anggotanya, termasuk Mangara Siahaan, yang kemudian dikenal sebagai seorang politisi senior PDI-P di bawah kepemimpinan Megawati. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, dia menjadi seorang aktor film yang mumpuni, dengan berperan sebagai seorang bandit dan gangster di beberapa film. Menurut Loren Ryter (Pengajar dan Peneliti di Centre for Southeast Asian Studies, Universitas Michigan) dalam tulisannya yang berjudul Jago, Preman & Negara, Yulius Usman, yang kemudian dikenal menjadi salah satu pengurus partai politik PUDI --sebuah partai kecil di akhir periode Orde Baru – juga bergabung dengan para anggota Legos di kawasan Blok M, Kebayoran Baru. Meskipun, jelas Loren Ryter, Yulius Usman sempat menolak bahwa dia pernah menjadi anggota aktif di dalamnya.
Masih dalam paparan Loren Ryter, anggota “Legos” yang lain adalah, Leo Tomasoa, yang menjadi salah satu tangan kanan komando operasi Ali Moertopo, dan kemudian menjadi politisi Golkar.
Di masa awal sampai akhir 1970-an itu, geng yang paling ditakuti di Jakarta adalah “Siliwangi Boys Complex”, yang bermarkas di kompleks Siliwangi, Jakarta Pusat. Jelas Loren Ryter, bahwa geng ini menjadi spesial karena dipimpin oleh seorang Yapto Soerjosoemarno, yang kemudian menjadi seorang pemimpin Pemuda Pancasila (PP), sebuah posisi yang digenggamnya lebih dari dua kali. Semua anggotanya merokok Dji Sam Soe, yang berlambang 2-3-4, lalu geng ini dikenal pula sebagai geng 234-SC. Mereka sangat antusias terhadap gelombang komunikasi radio dimana masing-masing anggotanya mempunyai gelombang radio (handie talkie). Geng ini kemudian dienyahkan oleh Try Sutrisno yang pada waktu itu memang tidak suka dengan geng-geng berlindung di ketiak tentara.
Kembali ke kisah perjalanan hidup seorang Semuel Haning yang mulai menghimpun anak-anak jalanan Kota Kupang. Aksinya memang tidak sekuat geng-geng yang cukup menakit di Ibukota Jakarta. Aksinya tidak seangker Geng 234-SC pimpinan Yapto atau Geng Legos yang melahirkan sosok Mangara Siahaan. Satu hal yang menginspirasi adalah nama-nama yang muncul di balik geng, nama yang seolah asal memberi nama.
Di benak kemudian Semuel muncul sebuah ide penamaan geng anak-anak jalanan Kota Kupang yang telah dihimpunnya. Dia mencetuskan sebuah nama Scorpion alias kalajengking. Scorpion dikenal sebagai sebuah grup musik cadas yang cukup populer di masa itu.
Mengapa Semuel memilih nama Scorpion atau Kalajengking? “Kalau kita lihat scorpion itu kan begitu menggigit orang jadi sakit. Scorpion ini satu lambang yang benar-benar mengayomi dan lambang filosofi bahwa saat sesuatu menyerang kita ya balas kita serang balik. Pada prinsipnya kita tenang, begitu ada yang menyerang kita, kita siap serang balik. Dan pada prinsipnya kita membela kebenaran. Jaga diri dengan cara menggigit. Naluri menggigit dari scorpion ini yang menjadi filosofi,” jelas Semuel ihwal penamaan geng bentukannya dengan tajuk Scorpion.
Lanjutnya, “Saya yang punya ide. Waktu kita senang hal yang menyengat dan mengingatkan. Geng ini anggotanya ratusan anak muda. Mereka terdiri dari berbagai komunitas pemuda, terutama komunitas olah raga yang mengandalkan kekuatan otot. Ada aliran tinju, aliran bela diri, pokoknya macam-macam.  Anggota itu sampai 275 orang.”
Kendati mengandalkan naluri menggigit, Semuel tak ingin Geng Scorpion yang dipimpinnya asal gigit. Dia tidak ingin asal gigit seperti kalajengking dalam kisah Kalajengking & Kura-kura.
Alkisah. Pada suatu hari, karena tak mampu berenang, seekor kalajengking meminta seekor kura-kura agar memberinya tumpangan di punggung untuk menyeberangi sungai. "Apa kamu gila?" teriak kura-kura sambil meneruskan kalimatnya, "Kamu akan menyengatku pada saat aku berenang dan aku akan tenggelam."
Kalejengking tertawa sambil manjawab, "Kura-kura yang baik hati, jika aku menyengatmu, kamu akan tenggelam dan aku juga akan ikut tenggelam bersamamu. Kalau begitu, apa gunanya? Aku tidak akan menyengatmu karena ini berarti kematianku sendiri."
Beberapa saat kura-kura itu berpikir tentang logika jawaban sang kalajengking. Kemudian si kura-kura berkata, "Kamu benar... naiklah!"
Kalajengking itu lalu naik ke punggung kura-kura tadi. Namun, baru setengah jalan, sang kalajengking menyengat kura-kura itu dengan sengit. Kura-kura yang kesakitan dan sekarat mulai perlahan-lahan tenggelam menuju dasar sungai bersama dengan kalajengking di atas punggungnya. Si kura-kura mengerang pedih, "Kamu kan sudah berjanji, tapi sekarang kamu menggigitku! Mengapa? Sekarang kita sama-sama celaka."
Sang kalajengking yang ikut tenggelam itu menjawab, "Aku tidak dapat menahan diri. Memang sudah tabiatku untuk menyengat."
Secara psikologis, dalam kisah Kalajengking & Kura-kura itu bahwa kalajengking melukiskan bagaimana setiap makhluk hidup memiliki kekuatan. Sengatan adalah kekuatan alami kalajengking. Walaupun ada upaya membatasi, kekuatan tak akan hilang begitu saja. Kekuatan itu akan mencari jalan untuk menampilkan diri. Sebuah kekuatan alami akan mencari jalannya sendiri.
Semuel Haning tidak ingin anak-anak muda Geng Scorpion menjadi kalajengking yang tak tahu diuntung ketika diberi tumpangan oleh kura-kura untuk menyeberangi sungai. Dia ingin anak-anak muda Geng Scorpion tampil sebagai makhluk yang mampu menampilkan kekuatan alami dengan jalannya sendiri. Jalan itu adalah penuh kasih seperti seorang pendeta Budha dari India yang menolong kalajengking yang akan tenggelam di kolam.
Syahdan. Seorang pendeta Budha dari India melihat seekor kalajengking mengambang berputar-putar di sebuah kolam. Lalu dia memutuskan untuk menolong kalajengking itu keluar dengan mengulurkan jarinya, tapi kalajengking itu justru menyengatnya. Pendeta itu masih tetap berusaha mengeluarkan kalajengking tersebut keluar dari air, namun binatang itu lagi-lagi menyengat dia.
Seorang pejalan kaki yang melihat kejadian itu mendekat dan melarang pendeta Budha itu menyelamatkan kalajengking yang terus saja menyengat orang yang mencoba menyelamatkannya. Pendeta Budha India itu berkata, "Secara alamiah kalajengking itu menyengat. Secara alamiah saya ini mengasihi. Mengapa saya harus melepaskan naluri alamiah saya untuk mengasihi gara-gara kalajengking itu secara alamiah menyengat saya? Jangan berhenti mengasihi, jangan menghentikan kebaikan Anda. Bahkan sekalipun ketika orang-orang lain menyengat Anda."
Ya, walau memakai nama Scorpion, Semuel menekankan bahwa anggota gengnya adalah manusia yang dikarunia rasa kasih, kasih kepada sesama manusia, kasih pada sesama makhluk di muka bumi. “Pada prinsipnya kita tenang, begitu ada yang menyerang kita, kita siap serang balik. Dan pada prinsipnya kita membela kebenaran dengan penuh kasih,” ujar lelaki yang di masa-masa 1970-an itu akrab dengan sopir-sopir angkot Kota Kupang.

B.    Jejak-jejak Geng Scorpion di Kota Kupang
Dengan mengusung nama Geng Scorpion, Semuel dan kawan-kawan lantas malang-melintang di keremangan malam dan jalanan Kota Kupang. Satu etika yang tetap dipegang teguh Semuel dan kawan-kawan adalah menjaga diri jangan sampai ‘menumpahkan darah’ orang-orang yang tidak bersalah. Pendek kata, meski aksinya kerap mengundang ketakutan warga terhadap kejahatan (fear of crime) namun Semuel and the gang berusaha bertindak sopan dan santun pada siapa saja yang mereka jumpai di jalanan.
Semuel tidak menampik kalau anggota gengnya mau tak mau terjebur ke dalam aktivitas yang menumbuhkan fear of crime di benak khalayak Kota Kupang. “Soal memalak, saya katakan yang wajar-wajar saja. Misalkan kalau ada angkot lewat, tolong dulu recehan Rp100 – Rp200 atau Rp1.000 sampai Rp2.000. Dulu, uang segitu kan sudah besar nilainya. Untuk apa uang itu? Ya, untuk minum-minum dan mabuk di jalanan. Pada tahun 1970-an sampai 1980-an, kalau rombongan kami lewat jalan-jalan menuju pesisir untuk makan, biasanya kami tidak bayar alias gratis-gratis saja. Mulai dari Jalan Sudirman sampai beberapa jalan protokol lainnya yang kami lewati, hampir semua warung tahu diri. Mereka sudah tahu karakter kami,” papar Semuel Haning penuh kenangan.
Semuel and the gang lalu menguasai urusan kutip-mengutip orang timer angkot di terminal angkutan umum. Dari sana lah Semuel dan kawan-kawan memobilisasi dana buat kelangsungan geng dan terus membesarkan pengaruhnya di jagat premanisme di Kota yang lahir pada 23 april 1886 tersebut. Tidak hanya premanisme di terminal angkot, sepak terjang Geng Scorpion merambah pula ke warung-warung kuliner di seputaran Kota Kupang sampai Pantai Lasiana.
Pantai Lasiana merupakan destinasi wisata yang mulai dibuka untuk umum sekitar tahun 1970-an. Dan sejak Dinas Pariwisata Provinsi NTT memoles dengan membangun berbagai fasilitas pada tahun 1986, Pantai Lasiana ramai dikunjungi turis asing dan uris lokal. Sesuai rencana pengembangan Pemkot Kupang, Pantai Lasiana dijadikan Taman Budaya Flobamora, yakni sebutan yang mengacu pada keseluruhan suku bangsa di dekat Pantai Lasiana, antara lain, Flores, Sumba, Timor dan Alor. Di pantai ini banyak didapati lopo-lopo yang berderet. Lopo-lopo adalah sebutan lokal untuk pondok yang dibangun menyerupai payung dengan tiang dari batang pohon kelapa atau kayu dan beratapkan ijuk, pelepah kelapa atau lontar, dan alang-alang. Bisa juga beratapkan seng yang bagian luarnya dilapisi ijuk, pelepah kelapa atau lontar dan alang-alang. Dari lopo-lopo ini banyak muncul warung kuliner dan sejenisnya. Inilah yang juga tidak terlepas dari jamahan aksi yang kurang terpuji dari Geng Scorpion.
Dengan cara memalak para sopir angkot dan pemilik warung kuliner seperti itu, Semuel and the gang dapat makan enak dan mabuk-mabukan. Sesuatu yang mustahil mereka peroleh dalam keseharian di rumah. “Kebanyakan dari anggota geng kami ini adalah orang-orang susah, orang tua mereka hanya pegawai rendahan atau sopir angkot yang sudah barang tentu tidak memungkinkan untuk hidup dengan makan enak,” lanjut Semuel.
Sebagaimana dunia preman jalanan pada umumnya, kehadiran Semuel dan Geng Scorpio tidak terlepas dari benturan dan tawuran. Bahkan, kerapkali harus berbenturan dengan aparatur penegak hukum. Tawuran dengan geng lain yang juga muncul di Kota Kupang acap tidak terelakkan. Namun, terang Semuel, tawuran atau konflik antar-geng di Kupang di masa itu tidak sampai memakan korban jiwa pada pihak-pihak yang terlibat.
           
C.   Romantika Preman Jalanan
Di mana saja, aksi-aksi premanisme jalanan seringkali menampilkan dua wajah: menakut-nakuti warga dan memberi perlindungan pada kelompok tertentu yang membutuhkan perlindungan a la preman. Pun demikian yang dialami oleh Geng Scorpion di bawah kepemimpinan Semuel Haning di jalanan Kota Kupang. Cerita tentang Geng Scorpion ditakuti warga sudah umum melanda warga Kota Kupang di penghujung 1970-an, sepanjang 1980-an dan awal 1990-an. Geng ini seperti menjadi momok tersendiri bagi warga Ibukota Provinsi NTT itu.
“Pada prinsipnya kami tidak melakukan tindakan-tindakan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah. Walaupun kadang tidak bisa dihindari, orang tidak bersalah kami tumpahkan darahnya. Itu tidak terlepas dari keegoisan kami ketika itu. Kami harus akui, kami memang tidak segan-segan melakukan tindakan yang tidak manusiawi,” jelas Semuel Haning.
Karakteristik pelaku kekerasan di jalanan, seperti keberadaan geng di perkotaan, telah jelas. Para kriminal jalanan in rerata tidak memiliki kekuatan politis, ekonomi dan hukum, maka dalam merefleksikan sikap individualnya yang peling rendah adalah dengan ancaman kekerasan secara fisik. Pun demikian kelompok-kelompok yang berasal dari strata sosial bawah. Puncak kekelaman ekspresi ego kelompok juga diwujudkan dalam bentuk kekerasan yang bentuk optimalnya adalah kekerasan kolektif. Wujud kekerasan ini bermacam-macam, mulai dari menyulut tawuran antar-kelompok, mengeroyok beramai-ramai kelompok lain, sampai kekerasan kolektif yang sulit didamaikan.
Pada sisi yang lain, geng atau kelompok kriminal terkadang menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh kalangan tertentu. Sisi inilah yang ditangkap oleh Semuel Haning selaku pimpinan Geng Scorpion. Sam and the geng merasa ada kelompok tertentu yang membutuhkan kehadirannya.
“Sebagai kelompok yang disegani dan ditakuti, kami biasa menjadi ‘bumper’ anak-anak sekolah yang orang-tuanya kaya raya. Artinya, kami menjadi sekuriti yang mengamankan mereka dari berbagai ancaman, terutama kemungkinan ancaman pelajar dari sekolah lain,” papar Semuel Haning.
Dari jasa menjadi bumper anak-anak orang kaya, Semuel Haning dan kawan-kawan dapat menikmati berbagai fasilitas yang biasanya cuma dinikmati oleh anak-anak orang kaya. Sekadar contoh makan di cafe-cafe yang cukup sohor di Kota Kupang.
Dalam perjalanan selanjutnya, Semuel menyadari bahwa dirinya tidak bisa selamanya berkubang dalam dunia hitam preman jalanan. Dia tetap harus melanjutkan sekolah. Di masa-masa jayanya memimpin Geng Scorpion, Semuel tidak lupa sekolah dan menjalin hubungan dengan orang-orang yang sekiranya mampu dijadikan batu loncatan keluar dari lembah hitam preman jalanan.
Pada sela-sela aktivitas kepremanan, Semuel juga belajar otodidak menyetir mobil. Diam-diam dia berteman dengan sopir dan kondektur angkutan kota di Kota Kupang. Dia sempat menjadi kondektur Oto Lampu Satu yang melayani rute Oepura, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Soeharto dan Terminal Kupang. Bahkan, dia sempat belajar menyetir dan keterampilannya menyetir ini menjadi modal ketika dirinya memasuki dunia kerja yang sah.
Semuel merasa menikmati benar romantika dunia preman jalanan di berbagai sudut Kota Kupang. Ada kalangan harus berlaku keras mendekati tidak manusiawi, ada kalanya penuh kasih menjadi bumper anak-anak orang kaya, dan ada saatnya menampah bekal keterampilan agar tidak tersesat manakala memansuki dunia kerja yang legal.
Dia menyadari benar suatu waktu kehadiran preman pasti akan memantik aparatur penegak hukum untuk bergerak. Dan, benar, di awal sampai pertangahan dekade 1980-an, muncul aksi penembak misterius (Petrus) yang menyasar kalangan Geng Anak Liar (Gali) dan preman-preman jalanan –terutama di kota-kota besar di Jawa. ***  
  

No comments:

Post a Comment