Saturday, August 31, 2013

Titik Balik Kehidupan




Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berupayalah menjadi manusia yang berguna.
Albert Einstein, penerima Nobel Fisika tahun 1921

Kehidupan memang penuh dengan perjuangan untuk mencapai suatu cita-cita, angan dan asa. Sampai-sampai terkadang kita menjadi manusia yang rakus harta, kita menjaga harta bagai harimau menjaga santapan di kala kelaparan. Apalagi bila si anak manusia itu semula hidup dalam kepapaan.
Dalam kepapan, acapkali si anak manusia menjadi beringas, menjadi serigala bagi manusia yang lain. Dalam keserba-kekurangan, banyak orang menjadi liar dan sampai-sampai berkubang dalam perilaku serba boleh (permisif). Serba boleh memalak, serba boleh mengutip, serba boleh menumpahkan darah.
Barangkali inilah sepenggal episode perjalanan kehidupan si anak manusia bernama Semuel Haning yang akrab disapa Sam. Lahir dengan 10 bersaudara dari pasangan John Haning – Elizabeth di Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang, bukanlah perkara mudah buat menjalani kehidupan yang layak. Terlebih sang ayah John Haning cuma seorang sopir yang pegawai kecil-kecilan di Dinas Peternakan Provinsi NTT. Terbayang betapa sukar kehidupan keluarga besar ini.
Lantaran kesulitan dalam kepapaan itulah, Semuel Haning sempat terperosok ke jalanan lembah hitam dan dunia gemerlap malam nan kelam. Bersama Geng Scorpion, Sam sempat malang-melintang di jalanan utama Kota Kupang –ditakuti banyak orang, dijadikan bumper anak-anak orang kaya, dan dekat dengan dunia yang menyimpang. Sam memasuki dunia yang serba boleh karena takut tidak bisa hidup sebagaimana layaknya kehidupan anak pada umumnya. Dia takut berkubang dalam rantai kemiskinan dan serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Padahal, kehidupan bagaikan air sumur, air sumur kehidupan, di mana setiap orang sudah mempunyai sumur masing-masing, di mana besar sumur setiap orang sudah barang tentu berbeda-beda, dan bahkan besar mata airnya pun pasti tidak sama --ada yang cuma berupa rembesan dan ada pula yang memancar deras. Kita paham bahwa setiap sumur mempunyai level tertentu, dia mempunyai batas tertinggi dan batas terendah. Hal ini akan silih berganti di antara musim hujan dan musim kemarau.
Air sumur bilamana hanya dipakai oleh satu orang, airnya tidak akan meluber sampai ke atas. Dan apabila dipakai oleh satu kampung, barangkali dia memang akan menurun namun pada pagi harinya sumur telah kembali seperti semula, bagaikan tidak pernah dipakai. Pun demikian dengan air kehidupan, jikalau kita memakai sendiri kekayaan kita akan tetap segitu, tidak akan mungkin sampai meluber, kecuali yang mempunyai sumber air kehidupan melimpah, yang sudah pasti mengalir seperti sungai, di mana darma sosialnya mengalir ke mana-mana tanpa terbendung.
Sam menyadari air sumur kehidupannya di jalanan dan dunia malam memang mengalir tapi sulit mengalir bagai sungai yang amat berguna dan bermanfaat bagi banyak orang. Dia hendak mengubah sumurnya menjadi sumur kehidupan yang mengalir pada sungai yang jernih yang bermanfaat bagi khalayak, bukan sungai dengan air keruh yang dibenci dan disumpahi banyak orang.

A.   Petrus yang Membuka Hati
Kehidupan jalanan dan dunia gemerlap malam jelas penuh risiko. Selain dibenci dan disumpahi banyak orang, dunia yang satu ini sangat rentan dihabisi para aparatur penegak keadilan hukum –baik dengan cara kekerasan maupun melalui proses meja hijau. Kendati hidup di dunia yang keras, Sam rupanya sedikit ciut nyali kalau sampai-sampai dirinya dihabisi aparatur penegak keadilan hukum secara kekerasan sebagaimana terjadi terhadap banyak pentolan preman dan Gabungan Anak Liar (Gali) pada awal sampai pertengahan dekade 1980-an di beberapa kota, antara lain Yogyakarta, Semarang dan Jakarta. Sungguh mencekam dan membuat banyak preman tiarap, termasuk seorang Sam Haning.
Gambarannya secara sekilas, pada awal dekade 1980-an suasana Kota Yogyakarta sekonyong-konyong berubah mencekam. Para preman yang di masa-masa itu mengelompokkan diri sebagai Gabungan Anak Liar (Gali) dan menguasai berbagai wilayah operasi tiba-tiba diburu oleh Tim Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang di kemudian hari populer sebagai fenomena Penembak Misterius (Petrus). Ketika Petrus beraksi, tidak jarang suara letusan senjata api mereka terdengar dan terasa meneror warga masyarakat sehingga suasana bertambah mencekam. Mayat para korban penembakan atau pembunuhan misterius itu pada umumnya mengalami luka di kepala serta leher dan dibuang di lokasi-lokasi yang gampang dijumpai penduduk. Saat ditemukan, si mayat biasanya langsung dikerumuni penduduk dan menjadi berita utama media massa yang terbit di Kota Pelajar itu.
Berita ihwal terbunuhnya para pentolan Gali itu pun sontak heboh dan menjadi bahan pembicaraan hangat di semua wilayah DIY hingga ke pelosok-pelosok kampung. Kendati merupakan fenomena pembunuhan misterius, hampir semua warga Yogya saat itu paham bahwa pelaku atau eksekutornya adalah aparat militer dan sasarannya para Gali terkenal. Disebut sebagai Gali terkenal lantaran mereka merupakan pentolan di jagat kejahatan yang secara terang-terangan menguasai satu lokasi, memungut uang dari lokasi yang menjadi kekuasaannya, bisa seenak hati menganiaya orang yang dianggap melawan, merampok atau melakukan kejahatan lainnya secara terang-terangan, dan kadang-kadang polisi setempat tidak berani bertindak mengingat pengaruh si pentolan Gali yang begitu besar. Terbunuhnya para pentolan Gali secara misterius sebetulnya membuat warga masyarakat senang tapi para Gali yang cuma memakai status itu sebagai ajang gagah-gagahan menjadi sangat ketakutan.
Aparat keamanan di Yogya memang mengakui bahwa pihaknya waktu itu melakukan OPK (Operasi Pemberantasan Kejahatan) terhadap para Gali. Tapi, siapa anggota Tim OPK yang menjalankan tugas tersebut tidak pernah diungkap ke permukaan dan hingga sekarang masih tetap saja gelap. Aparat militer di Yogya saat itu terpaksa turun tangan untuk melakukan pembersihan mengingat tindak kejahatan para Gali sudah keterlaluan --bahkan sebagian besar warga masyarakat cenderung lebih takut kepada para Gali dibandingkan aparat kepolisian. Turunnya pasukan militer dalam operasi OPK itu diakui sendiri oleh Letkol M. Hasbi yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 yang juga merangkap Kepala Staf Garnisun Yogyakarta. Walaupun cara kerja Tim OPK itu tidak pernah diumumkan, modus operandinya gampang ditebak. Tim OPK melakukan briefing terlebih dulu, menentukan sasaran yang akan disikat, melaksanakan penyergapan pada saat yang paling tepat, dan saat korban berhasil ditemukan langsung ditembak mati atau dibawa ke suatu tempat lantas dieksekusi. Mayat korban yang tewas biasanya langsung dimasukkan ke dalam karung atau dilempar ke lokasi-lokasi yang mudah ditemukan. Hari berikutnya Tim OPK bisa dipastikan akan mengecek hasil operasinya lewat surat kabar yang terbit hari itu sambil memberikan penilaian terhadap kehebohan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat.
Aksi OPK melalui modus Petrus itu secara cepat menimbulkan ketegangan dan teror bagi para pelaku kejahatan secara nasional lantaran korban OPK di kota-kota lain juga mulai berjatuhan. OPK yang berlangsung secara rahasia itu secara psikologis rupanya mampu menekan angka kriminalitas yang dilaksanakan terang-terangan. Di tingkat nasional, operasi rahasia untuk menumpas para bromocorah itu sebenarnya dapat dirunut secara jelas meski pelakunya tetap misterius. Pada tahun 1982 misalkan, Presiden (waktu itu) Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya (saat itu) Mayor Jenderal Pol Anton Soedjarwo berkat keberhasilannya membongkar sejumlah aksi perampokan yang meresahkan warga masyarakat. Selain mampu membongkar aksi perampokan, Anton Soedjarwo juga dinilai sukses dalam menjalankan aksi OPK.
Pada bulan Maret tahun yang sama, pada acara khusus yang membahas masalah pertahanan dan keamanan, Rapat Pimpinan (Rapim) ABRI, Presiden Soeharto bahkan meminta kepada Polri (waktu itu masih menjadi bagian dari ABRI) untuk mengambil langkah pemberantasan yang efektif dalam upaya menekan angka kriminalitas. Keseriusan Soeharto agar Polri/ABRI menggencarkan operasi yang efektif untuk menekan angka kriminalitas sampai-sampai kembali diulangi dalam pidato kenegaraan yang berlangsung pada tanggal 16 Agustus 1982. Karena permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat serius. Permintaan Soeharto itu sontak disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta yang berlangsung di Markas Komdak Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat yang membahas tentang keamanan di Ibukota itu lalu diputuskan untuk melaksanakan operasi guna menumpas kejahatan bersandi “Operasi Celurit” di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi yang lain. Tak pelak, para korban Operasi Celurit pun berjatuhan.
Operasi di Yogyakarta. Selama sebulan OPK di Yogyakarta, paling tidak enam pentolan penjahat tewas terbunuh. Para korban OPK yang ditemukan tewas itu rata-rata dengan luka tembak mematikan di kepala dan leher. Dua di antara korban OPK yang berhasil diidentifikasi adalah mavat Budi alias Tentrem (29) dan Samudi Blekok alias Black Sam (28). Mayat Budi yang dulu ditakuti dan dikenal lewat Geng Mawar Ireng ditemukan dalam parit di tepi jalan di daerah Bantul, selatan Yogyakarta, tepat pada awal tahun 1985. Sedangkan mayat Black Sam diketemukan tergeletak di semak belukar di kawasan Kotagede yang tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta. Dari cara membuang mayatnya, jelas ada semacam pesan yang ditujukan kepada para bromocorah di Yogya, agar segera menyerahkan diri atau menemui ajal seperti rekan-rekan mereka. Selama OPK, minimal ada 60 orang bromocorah Yogya yang menjadi korban Petrus. Sebagian besar tewas tertembak dan beberapa di antaranya terbunuh oleh senjata tajam. Sejumlah korban (ironinya) diumumkan oleh aparat keamanan tewas akibat dikeroyok massa. Salah satu korban yang diklaim aparat keamanan tewas akibat dikeroyok massa adalah bromocorah bernama Ismoyo.
Salah satu modus untuk melumpuhkan penjahat yang dilaksanakan oleh Tim OPK adalah menyuruh preman yang sudah ditangkap untuk lari dan kemudian baru ditembak. Preman yang lari kadang diteriaki “maling” sehingga otomatis menjadi sasaran amuk massa.
Selama hidupnya Ismoyo dikenal sebagai Gali elit lantaran dia adalah sarjana lulusan Fakultas Sosial Politik UGM dan berstatus PNS. Sebagai ketua kelompok preman yang sering memalak angkutan kota di daerah kekuasaannya, Gali elit ini lalu diambil oleh aparat keamanan untuk diinterogasi. Namun, menurut versi aparat, Ismoyo mencoba lari dan kemudian tewas dikeroyok massa. Modus menyuruh bromocorah lari lantas diteriaki maling atau kemudian malah dihujani tembakan merupakan cara standar bagi tim OPK untuk menuntaskan tugas membereskan buruannya. Cara lain untuk memberikan shock therapy kepada kaum bromocorah adalah dengan menembak korbannya puluhan kali. Cara ini diterapkan tim OPK saat menghabisi pentolan Gali Yogya, Slamet Gaplek. Berdasarkan informasi, Slamet konon kebal peluru. Slamet Gaplek sempat mencoba melarikan diri dengan cara mematahkan borgol namun akhirnya tersungkur setelah diterjang lebih dari 20 peluru di tubuhnya. Korban yang tewas dengan cara mengenaskan itu kemudian dibuang di tempat yang mudah ditemukan dan esok harinya langsung menjadi berita besar di surat kabar sehingga efek shock therapy-nya dapat berpengaruh secara maksimal.
OPK di Semarang. Operasi Pemberantasan Kejahatan yang berlangsung di Semarang (1983) dapat menunjukkan bahwa para preman yang dulu pernah diorganisir untuk kepentingan politik, seperti sebagai pendukung partai politik tertentu, ternyata tetap menjadi sasaran Petrus ketika dianggap sudah tidak berguna. Salah satu contoh adalah pentolan preman bernama Bathi Mulyono. Di dunia hitam, mantan preman yang pernah malang-melintang di Kota Semarang ini sudah sangat populer dan saat keluar dari penjara, Bathi langsung menduduki jabatan Ketua Yayasan Fajar Menyingsing. Organisasi massa itu menghimpun ribuan residivis dan pemuda yang berada di wilayah Jawa Tengah. Yayasan Fajar Menyingsing (secara politik) cukup berpengaruh dan di-beking oleh para pejabat tinggi Jawa Tengah waktu itu seperti Gubernur Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno Widjojo. Berkat restu para elit penguasa daerah itu Bathi bisa menjalankan bisnisnya secara lancar mulai dari jasa broker keamanan sampai menguasai lahan parkir di wilayah Jawa Tengah. Walau mantan bromocorah, Bathi bisa hidup makmur dan sehari-hari mengendarai mobil jip Toyota Hardtop.
Hubungan yang dibangun antara elit dan para preman pun bergerak lebih jauh dan tidak sekadar relasi bisnis. Para elit politik mulai menggunakan jasa para preman yang sudah terbiasa berkecimpung di dunia kekerasan. Para preman dari Fajar Menyingsing pun mulai dimanfaatkan sebagai kelompok-kelompok milisi yang diberdayakan pada saat musim kampanye pemilu tiba. Golongan Karya (Golkar) sebagai generator politik Orde Baru (Orba) banyak menggunakan jasa para preman buat menggalang massa dan mengamankan jalannya kampanye. Peran Bathi dan kawan-kawan terutama terlihat dalam kampanye Pemilu 1982. Tugas Bathi dan rekannya adalah memprovokasi massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, agar muncul kerusuhan. Insiden kekerasan pun pecah dan sejumlah korban berjatuhan. Beberapa orang yang dianggap sebagai perusuh ditangkap namun Bathi dan sejumlah rekannya berhasil lolos. Insiden itu sampai-sampai membuat Presiden Soeharto marah dan menyalahkan petinggi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) waktu itu, Ali Moertopo.
Modus untuk melumpuhkan pentolan Gali kadang dilaksanakan di tempat, misalkan eksekusi saat si "Gali" sedang nongkrong di warung. Eksekusi semacam itu cuma bisa dilakukan oleh penembak terlatih dan berpengalaman.
Berkat perlindungan para elit politik, Bathi merasa aman, bahkan ketika OPK mulai berlangsung di Kota Semarang. Namun, rasa aman Bathi mulai memudar tatkala OPK yang digelar di Kota Lumpia itu ternyata menyasar pada rekan-rekan dekatnya sesama pengurus Yayasan Fajar Menyingsing. Rekan-rekan Bathi yang kemudian hilang secara misterius dan diyakini sebagai korban Petrus antara lain Edy Menpor dan Agus TGW. Rasa aman Bathi betul-betul buyar pada suatu malam di bulan Juli 1983, ketika sedang mengemudikan mobilnya melintas di Jalan Kawi, Semarang, tiba-tiba dua sepeda motor mendahului sambil melepaskan tembakan. Dua peluru yang berhasil menembus mobil tak sampai mengenai tubuh Bathi. Sadar bahwa dirinya telah menjadi target OPK, Bathi segera tancap gas melarikan diri dan kemudian bersembunyi di kawasan Gunung Lawu. Bathi baru berani turun gunung setelah OPK mereda. Bathi menjadi salah satu target OPK yang masih hidup hingga sekarang.
Selama dalam pelariannya, Bathi sempat mengalami kejadian konyol yang berkaitan erat dengan OPK. Suatu kali Bathi menyetop kendaraan pick-up terbuka dan kemudian duduk di antara sejumlah karung yang tergeletak di lantai bak mobil. Sejumlah orang tampak duduk di belakang dan dalam diam. Secara tak sengaja Bathi sempat duduk di salah satu karung dan betapa kaget setengah mati gara-gara mendengar suara mengaduh dari dalam karung itu. Bathi mulai berpikir tentang suara mengaduh dari dalam karung dan merasa yakin bahwa mobil pick-up sedang membawa korban yang menjadi target OPK. Bathi merasa mujur lantaran orang-orang yang berada di dalam pick-up tak mengenali dirinya. Sebelum jati dirinya terungkap, Bathi minta turun lalu menghilang ke dalam hutan sambil sesekali melihat pergerakan mobil pick-up tersebut. Tak lama berselang Bathi mendengar serentetan tembakan dan merasa yakin para eksekutor tengah menghabisi sasarannya.
Jakarta dan kola lainnya. Korban OPK di kota Jakarta tidak kalah banyak dibandingkan kota-kota lain karena mayat-mayat korban pembunuhan yang ditemukan di berbagai tempat terus saja menjadi berita utama surat kabar dan buah bibir warga Ibukota. Mayat yang tewas dalam kondisi kepala atau dada ditembus peluru itu memiliki tanda khusus berupa sejumlah tato di tubuhnya. Ciri khas mayat yang ditemukan di Jakarta adalah mengambang di dalam karung yang hanyut di sungai dan saat dibuka korban pasti terikat tangannya serta memiliki tato di tubuhnya. Penemuan mayat-mayat korban OPK terjadi pula di kota-kota besar lainnya dan fakta ini menunjukkan bahwa OPK memang dilancarkan secara nasional. Dilihat jejak dari para korban OPK yang ada, dapat dikatakan Operasi Celurit untuk menumpas angka kejahatan relatif berhasil.
Dari segi jumlah, Operasi Celurit yang notabene merupakan aksi Petrus itu, pada tahun 1983 berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal. Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembak. Tahun 1984 korban OPK yang tewas sebanyak 107 orang, namun hanya 15 orang yang tewas dengan luka tembak. Kemudian tahun 1985, tercatat 74 korban OPK tewas dan 28 di antaranya tewas karena tembakan. Secara umum para korban Petrus saat ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat. Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung dan ditinggal di tepi jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, hutan dan kebun. Yang pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau bersusah-payah membuang korbannya lantaran bila mudah ditemukan efek shock therapy yang disampaikan akan lebih efektif. Sedangkan pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal atau dijemput aparat keamanan. Akibat berita yang begitu gencar ihwal OPK yang berhasil membereskan ratusan penjahat, para petinggi negara akhirnya angkat bicara. Kendati sejumlah petingi negara telah melontarkan pendapatnya, toh Petrus yang beraksi secara rahasia itu tetap saja tidak tersibak misterinya.
Ketika pada 3 Mei 1983 di Jalan Sunan Kalijaga, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, terdengar suara letusan pistol pertama disusul tumbangnya dua penjahat Sulisno (23) dan Baginda Siregar (26) lalu disusul tewasnya Solichin di daerah Ciputat akibat tembakan orang tak dikenal, berita yang esoknya terpapar di surat kabar belum begitu mengejutkan massa. Tapi manakala berita serupa hampir tiap hari muncul di seantero Jakarta dan massa mulai membicarakan masalah penembakan misterius, Benny Moerdani sebagai Panglima Kopkamtib (seusai menghadap Presiden Soeharto) lalu memberi pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi mungkin timbul akibat perkelahiaan antar-geng bandit. “Sejauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat terhadap penjahat yang ditangkap,” ujar Jenderal Benny. Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu berani melanjutkan pertanyaan kepada Jenderal yang dikenal sangat tegas dan garang itu.
Kepala Bakin saat itu, Yoga Soegama, pun memberikan pernyataan yang bernada enteng bahwa masyarakat tidak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius. Tapi, pernyataan yang dilontarkan mantan Wapres H. Adam Malik justru bertolak belakang sehingga membuat kasus penembakan misterius tetap merupakan peristiwa serius dan harus diperhatikan oleh Pemerintah RI yang senantiasa menjunjung tinggi supremasi hukum. “Jangan mentang-mentang penjahat dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik sambil menekankan, “Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran.”
Tindakan tegas OPK pada akhirnya memang menyulut pro dan kontra di tengah masyarakat. Pendapat yang pro, OPK pantas diterapkan kepada target yang memang jelas-jelas penjahat. Sebaliknya, pendapat yang kontra menyatakan keberatannya jika sasaran OPK cuma penjahat kelas teri atau mereka yang hanya memiliki tato namun bukan penjahat beneran. Pendapat atau komentar yang cukup kontroversial datang dari Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek, yang secara kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun 1984. Setelah bertemu dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara mengejutkan berharap bahwa pembunuhan yang telah memakan korban jiwa sebanyak 3.000 orang itu pada waktu mendatang harus diakhiri dan Indonesia diharapkan pula dapat melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum. Menlu Mochtar sendiri menjawab bahwa peristiwa pembunuhan misterius itu terjadi akibat meningkatnya angka kejahatan yang mendekati tingkat terorisme sehingga masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri.
Atas pernyataan Menlu Belanda itu, Benny Moerdani yang merasa kebakaran jenggot sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi. Dia kembali menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian antar-geng. “Ada orang-orang yang mati dengan luka peluru, tapi itu gara-gara melawan petugas. Yang berbuat itu bukan pemerintah. Pembunuhan itu bukan kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya. Namun persoalan penembakan itu akhirnya tidak lagi misterius meskipun para pelakunya hingga saat ini tetap misterius dan tidak terungkap. Beberapa tahun kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian tentang latar belakang permasalahannya.
Tindakan keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan setelah aksi kejahatan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan makin meluas. Seperti tertulis dalam bukunya Benny Moerdani halaman 512-513, Pak Harto berujar, “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.”
Betul-betul sebuah shock therapy yang membuat seorang Semual Haning pun ikut ciut nyali, berpikir ulang untuk tetap menjalani kehidupan jalanan dan dunia gemerlap malam yang penuh risiko dan penyimpangan. Semuel tak ingin mati sia-sia di tangan penembak misterius yang datang sewaktu-waktu tanpa permisi.

B.    Petrus Sebagai Titik Balik
Ada banyak pengalaman hidup yang membuat anak manusia bertekad kuat melepaskan diri dari dunia hitam yang telah lama diselami. Ada sebuah titik balik di mana seseorang berbalik arah ke sisi putih si anak manusia. Mantan preman Anton Medan (Muhammad Ramdan Efendi) sekadar contoh, merasa memperoleh bimbingan dari Tuhan ketika menikmati siraman rohani di balik jeruji besi nan dingin mencekam. Jalan bimbingan mencari Tuhan, baik dari rohaniwan yang didatangkan dari luar penjara maupun teman sesama narapidana (terutama narapidana politik-agama). “Selama tujuh tahun saya mempelajari agama yang membuat batin saya tenang. Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan, misalkan teman-teman yang terkena kasus Cicendo. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya, saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama,” tutur Anton Medan suatu waktu setelah keluar dari penjara. Kasus Cicendo cukup populer di tahun 1980-an karena melibatkan Komando Jihad pimpinan Imran bin Muhammad Zein dan keterkaitannya dengan kasus pembajakan Garuda (Peristiwa Woyla) di Bangkok, Thailand, 28-31 Maret 1981.   
Kembali ke Semual Haning. Dalam perjalanan hidupnya yang sempat berada di lembah hitam dunia preman jalanan Kota Kupang, Sam tidak sampai harus melewatkan sebagian alur hidupnya di balik hotel prodeo. “Kalau satu atau dua malam menginap di Garnisun Kupang lalu harus berjalan di hamparan kacang hijau itu biasa sebagai pembinaan. Di tahun 1970-an, itulah bentuk pertanggung-jawaban saya. Pada prinsipnya kami melakukan tindakan-tindakan yang tidak selalu menumpahkan darah orang lain yang tidak bersalah. Memang terkadang kami tidak segan-segan menumpahkan darah, tapi secara umum kami tidak boleh melakukan pencurian dan perbuatan-perbuatan asusila. Tetap ada rambu-rambu yang mesti dipatuhi oleh semua anggota geng,” ujar Sam mengenang perannya sebagai pentolan Geng Scorpion di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dunia gangster –sekecil apapun gangster-- tetap saja hitam-kelam. Namun, sekejam-kejamnya penjahat rupanya tetap saja memiliki rasa takut –terutama takut mati. Takut mati kalau-kalau tidak sempat bertobat. Takut mati kalau-kalau jadi korban penembakan penuh misteri. Kematian tragis pentolan-pentolan Gali (preman) di berbagai kota di Indonesia pada dekade 1980-an itu pula yang kemudian memantik rasa takut seorang Semuel (Sam) Haning. Sam merasa resah. Rasanya tinggal menunggu giliran waktu untuk menjadi sasaran Petrus yang boleh jadi segera datang ke Kota Kupang. “Wah, saya pikir, saya dan kawan-kawan pasti kena. Terus terang saya merasa khawatir dan was-was melihat perkembangan fenomena Petrus yang menasional,” kata Semuel Haning. Dia tidak ingin menemui kematian sia-sia seperti jalan kematian pentolan-pentolan Gali di Yogya, Semarang dan Jakarta.
Tak mau berkubang pada rasa was-was yang terus-menerus, Sam diam-diam mengumpulkan seluruh anggota Geng Scorpion yang sempat merajai jalanan Kota Kupang sejak awal 1970-an sampai akhir 1980-an. Kepada segenap anggota gengnya, selaku pentolan geng, Sam menyatakan secara sadar dirinya segera membubarkan Geng Scorpion yang selama ini dikenal sebagai “bumper” anak-anak orang kaya.
Sam memberi kebebasan pilihan kepada bekas anak buahnya di Geng Scorpion. Setelah keputusan itu, bekas anak buah Sam yang berjumlah puluhan orang itu berpencar mencari jalan hidup sendiri-sendiri. Ada yang melanjutkan sekolah formal, ada pula yang bekerja serabutan, dan ada lagi yang tetap memilih hidup di jalanan Kota Kupang.
“Saya bersyukur, banyak di antara anggota Geng Scorpion yang kini bisa jadi orang, bahkan ada yang jadi  polisi dan Pegawai Negeri Sipil (PNS),” kata Sam.
Sam sendiri ketika itu masih berada di jalanan Kota Kupang. Namun, dia tidak lagi menjalankan aktivitas kepremanan. Selama masih memimpin Geng Scorpion, Sam banyak berkenalan dengan sopir-sopir angkutan kota di jalanan Kota Kupang. Dari perkenalan itu, Sam acap coba-coba belajar menyetir kendaraan angkutan kota.
“Di luaran kehidupan geng jalanan, saya banyak berkenalan dengan sopir angkutan kota, saya mulai ikut belajar setir mobil di jalanan. Jadi, saya bisa setir mobil karena belajar di jalan-jalan dari para sopir angkutan kota. Meskipun bapak saya juga sopir, namun saya bisa nyetir bukan belajar dari bapak saya. Setelah bisa nyetir, banyak sopir angkutan kota mempercayai sebagai menjadi sopir lepas atau sopir tembak,” papar Sam Haning.
Selain sebagai sopir lepas, Sam terkadang juga menjadi kondektur mobil-mobil angkutan kota, terutama Oto Lampu-1 yang melayani trayek dari Terminal Kupang, kawasan Oepura, Jalan Sudirman, Jalan Soeharto, lalu kembali ke Terminal Kupang.
Di luar aktivitas kehidupan angkutan kota yang teramat keras, Sam juga mencoba peruntungan dengan bekerja memungut ikan-ikan kecil di pantai Kota Kupang. Hasil perburuan ikan itu kemudian dijual ke pasar. Kadang pula Sam membantu berjualan kue-kue bikinan ibunya. “Kadangkala ibu saya resah, kue-kuenya habis sementara tidak ada uang masuk karena kuenya habis saya makan,” ujar Sam setengah berseloroh.
Sam terus berusaha betul-betul lepas dari dunia preman jalanan. Terutama setelah berkeluarga, isteri menjadi pendorong utama dirinya untuk kembali ke jalan yang benar. Selain isteri, orang yang juga turut membimbing Sam memasuki kembali jalan kehidupan yang normal adalah rohaniwan –Kristen dan Islam.
Setelah membubarkan Geng Scopion, Sam aktif pula menjalin pertamanan dengan kalangan rohaniwan. “Ada seorang habib di Kupang yang tahu betul bagaimana temperamen keras saya, namun beliau begitu lembut menyapa saya. Dia tahu masa lalu saya. Dari pertemanan dengan beliau, saya tergerak untuk terus memperbaiki diri. Terlebih lagi saat memasuki dunia kampus, banyak teman-teman baik mewarnai perjalanan hidup saya berikutnya,” aku Semuel Haning.

C.   Merajut Mimpi Membangun Masa Depan     
Perjalanan nan pahit membuat Sam Haning berusaha menggapai kehidupan masa depan yang harus lebih baik. Rasanya tak mungkin Sam berlama-lama dalam kubangan kehidupan dunia angkutan kota yang keras dan cenderung membentuk pribadi yang sulit diatur. Dia ingin melanjutkan sekolahnya yang sempat tersendat di bangku kelas tiga SMP Negeri 1 Kupang. Karena banyak menjalani kehidupan malam dan panasnya kehidupan jalanan, kendati sekolah terus berjalan, Sam sempat dua kali gagal lulus dari SMP Negeri 1 Kupang di awal tahun 1980-an. Dia terpaksa pindah sekolah ke SMP Negeri yang lain dan baru lulus pada tahun ajaran 1982-1983.
Selepas SMP yang sempat tersendat, Sam memasuki SMA dengan mendaftarkan diri ke SMA PGRI Kupang. Di sini, berkat tempaan kerasnya kehidupan jalanan, Sam sempat dipercaya menjadi Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Bukan sesuatu yang tanpa alasan, karena di masa itu tawuran antar-pelajar juga sudah kerap terjadi. “Kalau sampai terjadi tawuran antar-sekolah, kami sebagai pengurus OSIS biasa dilibatkan sebagai bumper, untuk menengahi agar tawuran tidak berkembang lebih luas,” jelas anak lelaki dari pasangan John Haning – Elizabeth ini. Sam lulus dari SMA PGRI pada tahun ajaran 1986-1987.
Anak ketiga dari 10 bersaudara ini berkisah lebih jauh bahwa di masa-masa SMA itu, dia pun kemudian menekuni olahraga keras, terutama tinju dan karate. Sampai kemudian dia memperoleh berbagai apresiasi dari ring tinju saat mengikuti berbagai even olah raga yang mengandalkan kekuatan pukulan tangan itu. Namun, Sam tidak ingin terlampau lama berada di ring tinju. Ketika masih duduk di bangku SMA, tahun 1986, dia telah memilih mengundurkan diri dari ring tinju (sebagai petinju) lalu menekuni kepelatihan tinju.
Nama Sam sebagai petinju sempat cukup populer di mata masyarakat Kota Kupang. Setamat SMA itu, Sam kadang-kadang masih suka hidup bebas di jalanan. “Bayangkan saja, bilamana seorang Sam Haning masuk diskotik-diskotik di Kota Kupang, petugas sekuriti sudah pada tahu dan tidak perlu membayar sendiri,” kenang Sam ihwal sepenggal jalan hidupnya menjelang akhir 1980-an itu.
Sam tak hendak berlama-lama lagi hidup bebas di jalanan dan dunia gemerlap malam. Dia menyadari hidup betapa terus-menerus di dunia yang keras seperti ini tidak bakal menguntungkan. Sam merasa dirinya harus cepat-cepat mengubah citra diri untuk menjadi pribadi yang lebih ramah sosial, jauh dari kebencian masyarakat.
“Jujur saya katakan, bahwa hidup di dunia yang keras begini tidak menguntungkan bagi kami. Yang ada justru dibenci banyak orang. Sebab itu, kira-kira dua tahun usai tamat SMA, saya minta kawan-kawan agar kami mengubah citra yang dulu cenderung di luar karakter sosial, menjadi orang baik-baik, silakan kalian mau kuliah, mau jadi polisi, atau mau jadi pengusaha. Yang penting jangan lagi masuk ke jalanan dan dunia gemerlap malam yang keras dan cenderung dibenci orang,” papar lelaki kelahiran Kota Kupang tanggal 9 September 1964 ini.
Sam Haning memilih melamar menjadi calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Universitas Nusa Cendana (Undana) –satu-satunya perguruan tinggi negeri di Kota Kupang. Di penghujung dasawarsa 1980-an itu, Sam pun diterima menjadi PNS di Undana. Dia ditempatkan sebagai sopir kendaraan dinas universitas kebanggaan warga masyarakat Nusa Tenggara Timur ini.
Sebagai sopir kendaraan dinas Undana, Semuel Haning bertugas mendistribusikan beras buat para PNS universitas yang berkampus di Jalan Adisucipto, Penfui, Kota Kupang, tersebut. Dia mesti mengirimkan beras kepada sekitar 800 dosen dan ratusan PNS non-dosen yang tinggal tersebar di Kota Kupang dan sekitarnya.
Setelah mengabdi sekitar delapan tahun, Sam dipercaya sebagai Pelaksana Harian (Plh) Kepala Seksi dan terakhir ditugaskan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Undana. Sebagai PNS kecil-kecilan yang rasanya sudah mentok karir, benak Sam terpantik untuk memperbaiki diri agar mampu berkiprah lebih luas lagi di dunia pendidikan. Untuk itu dia memutuskan melanjutkan kuliah dengan bekal ijazah SMA PGRI Kupang.
Untuk itu, Sam mengundurkan diri dari Undana. Padahal, di Undana, Sam bersua dengan orang-orang yang demikian mengasihi dan seakan menjadi pelita bagi kecerahan perjalanan hidup selanjutnya. “Ada teman-teman yang selalu mendukung saya. Ada mantan dekan saya, pimpinan saya di Undana. Beliau selalu memberi motivasi ke saya. Saya keluar dari Undana, beliau ini meneteskan air mata,” ujar Semuel Haning penuh kenangan.  
Untuk melanjutkan kuliah, Sam tidak memilih mendaftarkan diri ke Undana, perguruan tinggi negeri (PTN) di Kupang, karena biasanya PTN membatasi diri tahun lulusan SMA yang bisa diterima. Sekitar tahun 1996, di saat usianya telah mencapai 32 tahun, Sam mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas PGRI NTT. Tanpa banyak aral, dia langsung diterima di Universitas PGRI yang baru berdiri tanggal 18 Juli 1996 itu. Kemampuan intelektual Sam cukup bagus. Terbukti, tahun 2002, sebagai mahasiswa angkatan pertama, dia telah berhasil menyelesaikan studi Strata-1 dan berhak menyandang gelar Sarjana Hukum (SH).
Repotnya, banyak orang tidak percaya kalau Sam Haning berhasil menuntaskan kuliahnya di FH Universitas PGRI NTT. Terutama orang-orang yang mengenal betul sepak terjang Sam di jalanan Kota Kupang. “Oh ...kapan itu Sam kuliah? Hidup di jalanan kok bisa selesai kuliah. Terus terang saya sedih mengingat masa lalu,” ucap Sam menirukan sejumlah komentar warga Kota Kupang sembari sedikit terisak dan meneteskan air mata haru.
Ibarat anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, Sam tak terlalu hirau pada komentar miring dari sebagian besar warga Kota Kupang. Tekadnya cuma satu: memperbaiki citra diri tahap demi tahap. Dari kampus, Sam berusaha belajar bagaimana mengubah citra diri dengan dukungan dunia akademis dan masyarakat ilmiah.
Usai menamatkan pendidikan S-1 di FH Universitas PGRI NTT, Sam mengundurkan diri dari Universitas Nusa Cendana. Dia memilih untuk mengabdikan dirinya di bekas almamaternya, FH Universitas PGRI. Gayung bersambut, pimpinan Universitas yang berdiri pada tanggal 18 Juli 1996 itu dengan tangan terbuka menerima kehadiran Semuel Haning guna memperkuat jajaran staf pengajar, sebagai calon staf pengajar (dosen). Usaha Sam untuk terus memperbaiki citra diri semakin terbuka lebar. Langkah Sam untuk dapat lebih bermanfaat bagi banyak orang bertambah meluas. ***   

No comments:

Post a Comment