Oleh Djoko Santoso
Wakil dekan II FK Unair (
drdjokosantoso@yahoo.com )
MUKTAMAR
VII AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia) di Manado baru
saja berakhir. Temanya Health System Based Medical Education. Tema itu jelas
dikaitkan dengan rencana pemerintah tahun depan yang melaksanakan Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Menkes
berbicara tentang tantangan kesehatan dan Mendikbud, lewat keynote speech yang
dibacakan utusannya, berbicara soal antisipasi sistem pendidikan nasional dalam
menghadapi era SJSN. AIPKI melalui pengembangan kurikulum yang klop dengan layanan
SJSN diharapkan bisa meringankan beban pemerintah sekaligus mendorong
peningkatan layanan kesehatan.
Sampai
sekarang pendidikan kedokteran kita menganut konsep pengobatan ilmiah dan
spesialisme profesional. Sayangnya, penerapannya belum sepenuhnya memenuhi
pendekatan ilmiah yang lebih terintegrasi. Untuk memahami kesehatan dan
penyakit, idealnya menggabungkan informasi tentang pengalaman psikososial
individu dan konteks keluarga, kebudayaan, serta lingkungan dan kesehatan
fisiologis dan anatominya (Engel, 1977).
Berdasar
topografi pengorganisasian perawatan kesehatan, layanan kesehatan dibagi
menjadi tiga. Pertama, perawatan primer yang meliputi layanan kesehatan umum
dan preventif (vaksinasi) sebagai aktivitas utama.
Kedua,
perawatan sekunder yang meliputi layanan yang membutuhkan keahlian klinis
terspesialisasi seperti perawatan RS. Ketiga, perawatan tersier, yang berada di
puncak piramida organisasional, yang meliputi penanganan kelainan yang kompleks
dan jarang seperti tumor hipofisis dan kelainan kongenital.
Negara
harus mampu mewujudkan struktur perawatan primer-sekunder-tersier dengan rapi
dan teratur. Jumlah dokter umum harus lebih banyak daripada dokter spesialis,
setidaknya 60:40 (Grumbach dan Fry, 1993).
Konsep yang
perlu dipertimbangkan, pertama, pelayanan di tingkat perawatan primer dikomando
dokter umum dan tanggung jawab utamanya adalah perawatan ambulatoir serta
program preventif.
Kedua, di
tingkat perawatan sekunder, yang mengisi adalah dokter spesialis seperti
penyakit dalam, anak, saraf, jiwa, obstetrik dan ginekologi, serta bedah umum.
Mereka berlokasi di klinik RS dan berperan sebagai konsultan pasien rujukan
dokter umum dan melayani rawat inap. Pada giliranya, mereka mengembalikan
pasien tersebut ke dokter umum untuk kebutuhan pera- watan yang terus-menerus.
Ketiga, ada
subspesialis perawatan tersier seperti ahli bedah jantung, ahli imunologi, dan
ahli hematologi anak. Perawatan Primer Retak Sistem yang ada saat ini masih
sangat tidak teratur. Ketika banyak puskesmas yang tidak punya dokter, RS
menjamur dengan dukungan teknologi modern, yang bergerak cepat hingga makin
merebut porsi pelayanan tersier.
RS itu
berlomba lebih menawarkan perawatan terspesialisasi seperti bedah dan prosedur
obstetrik yang berisiko tinggi. Saya meyakini, pola itu mengakibatkan angka
mortalitas lebih tinggi jika dibanding ketika prosedur suatu tindakan dilakukan
secara regionalisasi.
Belum lagi,
pasien terbiasa datang langsung ke layanan spesialis dan perawatan tersier.
Padahal, akuntabilitas perawatan yang menyeluruh masih rendah karena
masing-masing spesialis berfokus memikirkan penanganan satu sistem organ. Lebih
parah, masing- masing spesialis itu memberikan layanan perawatan berkualitas
tinggi.
Kondisi
tersebut sangat membebani pemerintah. Sebab, perawatan berbasis spesialisasi
dengan teknologi tinggi lebih bersifat kuratif dan individualistis. Itulah yang
membuat perawatan terpecah dan tidak terkoordinasi.
Akibatnya,
layanan perawatan primer dasar seperti pencegahan penyakit dan dukungan
perawatan untuk pasien penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan
terpinggirkan.
Dari segi
biaya, sistem yang bertumpu pada perawatan spesialis itu berbiaya tinggi (bagi
konsumen) dan berarti menjanjikan pendapatan tinggi (bagi dokter dan
manajemen). Akibatnya fatal, terjadi tren mahasiswa kedokteran yang makin tidak
tertarik untuk memi- lih perawatan primer sebagai karir.
Bahaya
lainnya adalah munculnya industri kesehatan swasta berskala besar yang dari
tahun ke tahun makin menjamur dan makin kuat memaksakan pengaruhnya. Kondisi
itu makin meng- kikis profesi kedokteran sehingga oto- nomi dan otoritasnya
bisa terancam.
Sistem saat
ini cenderung membuat jutaan orang bergerak sendiri-sendiri, pertumbuhan dan
pluralismenya tidak terkontrol hingga menjurus ke anarki. Pasien merasa
terbiasa diperiksa langsung oleh dokter spesialis yang mereka pilih sendiri.
Peran dokter di lini primer menjadi kurang jelas. Tak heran jika makin sulit
mencari dokter umum karena berebut menjadi spesialis.
Rentetan
masalah tersebut memunculkan celah di perawatan primer sehingga beberapa dokter
spesialis dari tingkat perawatan tersiernya juga ber- peran sebagai dokter
keluarga primer. Jadilah perawatan primer itu tempat praktik bagi banyak dokter
spesialis dengan peran yang tumpang tindih.
Kondisi
tersebut banyak terjadi di daerah surplus ekonomi dan padat penduduk. Sementara
itu, di daerah miskin, mendapatkan dokter saja masih sulit. Bisa dikatakan,
fondasi perawatan primer kita sedang terancam retak. Ini masalah mendesak.
Pemerintah perlu secepatnya menata ulang sitem layanan primer-sekunder-tersier.
Kita tidak ingin SJSN ruwet, bukan? (sumeks.co.id)
No comments:
Post a Comment