Saturday, November 30, 2013

Kondisi Lahir dan Batin setelah Melaksanakan Ibadah Haji



Diceritakan dari Abu Hurairah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan ibadah haji dan tidak mengucapkan rafats serta tidak melakukan kefasikan, maka sekembalinya dari ibadah haji, ia bak dilahirkan kembali oleh ibunya (dalam keadaan suci).” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada pahala yang paling pantas bagi ibadah haji mabrur, kecuali surga dari Allah SWT. Adapun makna haji mabrur adalah ibadah hajinya seseorang yang terhindar dari segala bentuk kemaksiatan.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Sejatinya hal ini merupakan satu dari sekian banyak keagungan dan keutamaan Allah SWT yang telah Ia berikan kepada umat Islam di muka bumi ini. Melalui ibadah haji, Allah SWT membersihkan serta menyucikan jiwa umat Islam, agar mereka semua berhak menerima ridha-Nya. Sehingga mereka dapat merasakan kenikmatan pahala yang diberikan oleh Allah SWT.
Bukan hal yang sulit bagi manusia untuk secara ikhlas mempersembahkan semua amal ibadahnya hanya kepada Allah SWT. Karena ketika jiwanya suci, manusia tentu akan terbebas dari segala bentuk kekejian, serta terhindar dari segala macam perbuatan dosa.
Kebersihan dan kesucian jiwa ini sudah selayaknya dijaga dan selalu dipertahankan sepanjang hayat. Karena Allah SWT telah menyiapkan kesempatan emas bagi para hamba-hamba-Nya, agar ia bisa memiliki derajat seperti derajat para malaikat ketika berada di sisi-Nya. Jadi sebuah kewajiban bagi umat Islam untuk selalu menjaga jiwa dan raganya agar selalu bersih dan suci selama-lamanya.
Umat Islam, ketika sudah melaksanakan semua rangkaian ibadah haji, sejatinya ia telah benar-benar bertaubat kepada Allah SWT. Ia juga telah berjanji kepada-Nya untuk tidak melanggar kembali larangan-larangan-Nya. Serta ia harus senantiasa berusaha terus berjalan di jalan yang lurus mengikuti arahan petunjuk Allah SWT. Sebagaimana jalan para hamba-Nya yang telah diberikan banyak kenikmatan. Bukan malah mengikuti jalan yang tidak dikehendaki oleh Allah SWT, atau bahkan jalannya orang-orang yang sesat dan menyesatkan.
Atas amalan taubat inilah, manusia akan dapat menyucikan batinnya. Menyucikan batin sudah seyogianya ia lakukan dengan terlebih dulu menyucikan lahiriahnya; yaitu ketika ia mandi membersihkan badan untuk ibadah ihram. Lalu untuk mensimbolkan keikhlasan lahir dan batinnya maka dikenakanlah pakaian yang indah, yaitu pakaian ihram: sehelai kain putih yang bersih dan suci, yang tidak dikotori oleh noda dosa dan najis.
Semua ini –sekali lagi– dapat ditegaskan melalui kalimat talbiyah yang selalu diucapkan selama melaksanakan ibadah haji:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ
 Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah aku memenuhi panggilan-Mu. Aku memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujaan dan nikmat adalah milik-Mu, begitu juga kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu.”
Ibadah haji ini pada dasarnya adalah ibadah yang dimulai dari prosesi pensucian lahir, batin, dan pensucian diri dari segala ucapan buruk dan dusta, menyucikan diri dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat mencederai kualitas ibadah ataupun menyakiti orang lain, bahkan hewan sekalipun.
Oleh sebab itu, sifat-sifat kebersihan dan kesucian jiwa raga ini wajib dijaga kendati ibadah haji telah usai dilaksanakan. Dengan ungkapan lain, kita senantiasa menjaga diri kita dari segala bentuk perbuatan dosa dan kemaksiatan sampai akhir hayat. Karena di dalam ibadah haji tersebut, di dalamnya terdapat suratan janji antara manusia dan Allah SWT bahwa ia akan memasrahkan dirinya kepada-Nya dengan penuh keikhlasan dan ketakwaan. Sudah sewajarnya bila umat Islam harus bisa menepatinya. Sebagaimana firman Allah SWT:
 “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji (bersumpah) dan janganlah kamu membatalkan sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. Kamu menjadikan sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (QS An-Nahl [16]: 91-92).
Perbuatan melanggar janji antar-sesama manusia merupakan salah satu tanda-tanda kemunafikan. Lalu ada apakah sehingga manusia tidak menepati janji yang telah ia sepakati; baik dengan manusia yang lain maupun dengan Tuhanya? Sementara Rasulullah Saw sendiri telah menjelaskan tanda-tanda kemunafikan kepada kita, sebagaimana sabda beliau:
 “Ada empat perkara di mana bila keempat-empatnya ada di dalam diri manusia maka ia termasuk murni orang munafik. Barangsiapa bila salah satu dari empat perkara tersebut ada dalam dirinya, maka ia adalah orang munafik sampai ia benar-benar telah meninggalkannya. Keempat perkara tersebut adalah, pertama, jika dipercaya atau diberi amanah, ia berkhianat. Kedua, bila berbicara, ia berdusta. Ketiga, jika berjanji, ia tidak menepatinya. Keempat, dan bila ia bersaing atau berdebat, ia akan membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah Bin Amru bin Ash r.a.)
Dikisahkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, pertama, jika berkata, ia berdusta. Kedua, ketika berjanji, ia tidak menepatinya. Ketiga, saat ia dipercaya atau diberi amanah, ia berkhianat.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka barangsiapa yang berjanji kepada Allah SWT lalu tidak menepatinya, dan barangsiapa yang berkata mengenai hal-hal kebaikan namun ia tidak pernah melakukannya, maka Allah SWT telah benar-benar mengancamnya melalui firman-Nya:
 
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS Ash-Shaf [61]: 2-3).
Jika umat Islam dapat menyucikan dirinya melalui ibadah haji, lalu senantiasa menjaga kesucian tersebut meskipun telah selesai melaksanakan ibadahnya, maka ia akan mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki. Ia akan mendapatkan kebahagiaan duniawi, karena Allah SWT akan menanggung semua kebutuhan hamba-hamba-Nya yang senantiasa berlindung hanya kepada-Nya. Allah SWT juga akan memberikan hidayah kepada mereka yang selalu bertakwa. Dengan selalu dalam ketakwaan, Allah juga akan memberikan kenikmatan dan ketenteraman hidup kepada mereka. Sebagaimana janji-Nya:
 “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl [16]: 97).
Allah SWT telah berjanji akan menanggung semua kebutuhan hamba-hamba-Nya yang benar-benar bertakwa hanya kepada-Nya. Dan Allah SWT akan memberikan rezeki kepada para hamba-Nya yang bertakwa dari sumber yang tidak disangka-sangka, bahkan tidak terduga. Sebagaimana dalam firman-Nya:
 “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Dan Dia telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS Ath-Thalâq [65]: 2-3).
Dan barangsiapa merahasiakan ibadah-ibadahnya hanya kepada Allah SWT dan tidak dipamerkan kepada siapapun, serta senantiasa memohon ampun kepada-Nya, maka Allah SWT akan membalasnya dengan limpahan nikmat-Nya yang datang tak terduga. Adapun awal mula manusia berserah diri kepada Allah SWT diawali dengan permintaan ampunan kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT:
 “Maka aku katakan kepada mereka, Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat; melimpahkan harta dan anak-anakmu; dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS Nuh [71]: 10-12).
Dan sebagaimana firman Allah SWT dalam cerita Nabi Hud a.s.:
 “Dan (dia berkata), ‘Wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa’.” (QS Hûd [11]: 52).
Ini adalah janji Allah SWT untuk menjaga para hamba-Nya di dunia. Demikian juga bahwa kepedulian dan kebijaksanaan Alah SWT tidaklah hanya sebatas pada kehidupan duniawi semata. Melainkan pada kehidupan akhirat kelak. Di akhirat nanti, Allah SWT akan memberikan pahala yang sangat besar bagi para hamba-Nya yang bertakwa dan berpegang teguh pada ketauhidan; bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT, juga Allah SWT akan melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka di hari kiamat nanti. Hal ini sebagaimana tersurat dalam firman-Nya:
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan. Dan sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar. Wahai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu pertolongan. Dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS Al-Anfâl [8]: 28-29).

Penutup
Sebagai kalam akhir, manusia yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah mereka yang senantiasa bertakwa hanya kepada-Nya semata. Makna dari kalimat “yang paling bertakwa” adalah manusia yang selalu bersuci dan senantiasa menjaga diri agar tetap suci --baik lahir maupun batin. Allah SWT juga tidak akan pernah menyia-nyiakan para hamba-Nya yang bertakwa. Karena Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Sebagaimana dalam firman-Nya:
 “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik daripada mereka. Jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Janganlah suka mencela dirimu sendiri (sesama Muslim) dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman (semisal panggilan fasik, kafir dan lainnya). Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurât [49]: 11-14).

Alhamdulillah …

No comments:

Post a Comment