Monday, February 10, 2014

Evaluasi BPJS Kesehatan, Masalah Obat Paling Dikeluhkan

Kartu BPJS Kesehatan
Kartu BPJS Kesehatan (sumber: Antara)





Sudah satu bulan lebih Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dijalankan, namun masih banyak persoalan dalam pelaksanaan teknis di lapangan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat masih banyak keluhan masyarakat, terutama soal obat.
Direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Purnawarman Basundoro, mengemukakan beberapa peserta JKN mengeluhkan masih dibebani pembelian obat. Juga beberapa peserta mengeluhkan hanya diberikan obat untuk 3-5 hari pada kasus penyakit yang kronis. Padahal pada program sebelum JKN, obat diberikan untuk 30 hari.
"Memang lebih banyak pengaduan ke kami adalah soal layanan obat, terlebih obat untuk penyakit kronis, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan kemoterapi. Tetapi dengan adanya Surat Edaran Menkes semoga menjadi solusi," kata Purnawarman pada temu media terkait evaluasi sebulan pelaksanaan JKN, di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Jumat (7/2).
Terkait hal ini, Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 32/2014 yang mewajibkan seluruh fasilitas kesehatan lanjutan, yaitu rumah sakit, agar dalam masa transisi tidak boleh membebani pembelian obat pada pasien. Dalam Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan tidak mengatur adanya iuran biaya bagi peserta. Apabila RS masih iuran biaya, akan diklarifikasi dan diberi teguran keras.
Purnawarman menjelaskan, di dalam paket Indonesia Case Based Groups (Ina CBGs) sudah termasuk pelayanan obat dengan acuan Formularium Nasional (Fornas). Fornas adalah daftar obat yang disusun Kementerian Kesehatan (Kemkes) yang menjadi acuan pelayanan obat di RS.
Kalau pun obat yang dibutuhkan pasien tidak ada dalam Fornas, menurut Purnawarman, RS harus menyiasati agar obat tersebut tetap diberikan kepada pasien, bukan disuruh membeli sendiri.
Kemkes sendiri sudah mengeluarkan kebijakan agar obat-obat yang tidak terdaftar di Fornas, tetapi sangat dibutuhkan peserta JKN. Maka tetap diberikan atas persetujuan komite atau direktur RS yang bersangkutan.
"RS bisa menyiasati ketersediaan obat ini dalam tarif Ina CBGs," katanya.
Tetapi untuk menjamin ketersediaan obat yang tidak masuk dalam Fornas ini, BPJS Kesehatan mempertimbangkan untuk menggunakan kembali pola Daftar Plafon Harga Obat (DPHO), yang dulu pernah digunakan oleh Askes. Sejumlah pihak mengusulkan agar pasien boleh membeli obat sendiri, lalu di-reimburse (diganti) oleh BPJS Kesehatan.
Namun, menurut Purnawarman, pola tersebut tidak bisa berlakukan karena BPJS Kesehatan sendiri tidak menggunakan sistem reimburse. Berdasarkan SE Menkes tersebut, RS juga diwajibkan memberikan resep obat penyakit kronis di luar paket Ina CBGs sesuai dengan indikasi medis sampai kontrol berikutnya apabila penyakit belum stabil. Resep tersebut dapat diambil pada depo farmasi atau apotik yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan pun telah mengeluarkan SE, yang intinya menjelaskan bahwa pemberian obat untuk penyakit kronis dapat langsung diberikan untuk kebutuhan 30 hari. Bagi peserta dengan penyakit kronis yang telah dinyatakan dalam kondisi stabil oleh dokter spesialis atau sub spesialis yang merawat, maka peserta tersebut dapat mengikuti program rujuk balik.
Pelayanan program rujuk balik dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, yaitu puskesmas atau klinik pratama atau dokter praktek umum sesuai dengan peresepan obat yang diberikan oleh dokter spesialis atau sub spesialis untuk kebutuhan 30 hari.
Untuk pemberian obat kemoterapi, thalasemia, dan hemofilia, selain dapat diberikan di faskes tingkat III, juga bisa di faskes tingkat II dengan mempertimbangkan kemampuan fasilitas kesehatan dan komptensi tenaga.
Obat untuk kemoterapi, thalasemia, dan hemofilia dapat diberikan dalam pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Pada masa transisi, obat kemoterapi baik rawat jalan maupun rawat inap ditagihkan secara fee for service di luar paket Ina CBGs.(www.beritasatu.com)

No comments:

Post a Comment