Monday, February 10, 2014

JAMINAN SOSIAL NASIONAL SEBAGAI BEBAN SEKALIGUS DANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG



Indonesia Terpuruk
Pasca krisis multidimensi yang melanda dunia pada tahun 1997, sampai kini, Indonesia belum juga mampu keluar dari krisis. Banyak hal dan peristiwa yang mengakibatkan krisis tersebut terus berlanjut. Beberapa hal yang dapat diungkapkan antara lain:
Korupsi merajalela. Transparency International Indonesia (TII) mencatat indeks persepsi korupsi di Indonesia pada tahun 2010 tidak mengalami perubahan dan stagnan dibanding tahun sebelumnya, yakni berada pada angka 2,8. Indeks persepsi korupsi di Indonesia menduduki posisi 110 dari 178 jumlah negara yang disurvei oleh lembaga terkait.
Indeks persepsi korupsi atau “Corruption Perception Index” (CPI) merupakan pengukuran tingkat korupsi berdasarkan persepsi negara di dunia. TII melakukan survei CPI berdasarkan indeks gabungan dari beberapa hasil survei yang dilakukan organisasi yang menggabungkan data terkait persoalan korupsi. Beberapa lembaga survei, antara lain, Africa Development Bank, Asian Develompment Bank, Economist Intelligence Unit, Global Insight, World Economic Forum dan World Bank. CPI menggabungkan data dari 13 survei yang dilakukan 10 organisasi di dunia dengan rentang indeks antara nol (0) yang berarti sangat korup dan 10 yang berarti sangat bersih dari praktik korupsi.
Indonesia menduduki posisi keempat dari 10 negara Asia Tenggara yang disurvei berdasarkan indeks persepsi korupsi. Seperti Singapura meraih poin 9,3, Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,4) dan Thailand (3,5).
Kondisi ini boleh dikatakan menggambarkan menjelaskan suatu tingkat korupsi yang sangat luar biasa cakupannya, termasuk di kalangan aparatur negara serta pejabat negara. Sebagai dampak dari praktik-praktik korupsi tersebut, Indonesia sampai kini mengalami krisis berkepanjangan dan ditimpa bencana secara terus-menerus silih-berganti. Negara-negara tetangga di ASEAN yang sempat terjerembab akibat krisis moneter yang melanda dunia pada tahun 1997 telah mulai menunjukkan perbaikan ekonominya. Namun, Indonesia justru semakin terperosok ke dalam krisis yang berlarut-larut bahkan bertambah menjadi krisis moral dan akhlak.
Krisis dan bencana berkepanjangan. Kondisi krisis diperparah lagi dengan munculnya berbagai bencala alam di hampir semua wilayah Indonesia. Tahun 2010 lalu misalkan, tercatat bencana banjir bandang di Wasior (Papua Barat) dan Gunung Merapi (Jawa Tengah – Yogyakarta) meletus. Lalu gempa bumi di Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Kepulauan Mentawai, dan Sumatera Utara. Belum hilang dari memori kita bencana tsunami di Aceh (Desember 2004) dan gempa bumi Sumatera Barat (September 2009). Bencana gunung api meletus, banjir bandang, dan tsunami semakin menambah penderitaan dan memperparah krisis serta menambah beban keuangan negara semakin berat.
Patut diduga bahwa akibat pembiayaan pembangunan dengan menggunakan sumber pembiayaan yang kental aroma ribawi serta APBN yang kotor maka terjadilah berbagai bencana dan krisis multidimensi. Sebagai resultante dari berbagai permasalahan tersebut, maka kemiskinan di Indonesia semakin meningkat. Data dari ILO menunjukkan bahwa jumlah warga masyarakat miskin meningkat dari 34,5 juta pada tahun 1996 menjadi 38,4 juta pada tahun 2002. Jumlah ini berkisar 18-24% dari jumlah penduduk dan kebanyakan terjadi di sektor pertanian yang mencapai 57-70%. Tahun 2010 angka kemiskinan boleh dikatakan relatif menurun ke jumlah 31,02 juta atau sekitar 13,03% dari jumlah penduduk. Dengan membandingkan kenaikan gaji buruh, besar inflasi, dan garis kemiskinan BPS dibanding dengan garis kemiskinan Bank Dunia dan juga negara-negara tetangga, jumlah kemiskinan di Indonesia sebenarnya bertambah. Karena BPS memperkecil garis kemiskinan hingga cuma US$ 0,75/hari/orang, maka kesannya jumlah rakyat Indonesia yang miskin cuma sedikit atau menurun.
Selain kemiskinan, angka pengangguran tidak banyak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan penciptaan lapangan kerja tidak berjalan secara optimal dan keadaaan ini juga diakibatkan oleh adanya kendala dalam pembiayaan investasi jangka panjang. 
Indonesia tertinggal. Andrew Steer, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, melalui Harian Bisnis Indonesia edisi tanggal 13 Juni 2004, menyebutkan: “Ada kesenjangan yang cukup lebar antara Indnesia dan negara-negara tetangga di ASEAN, baik soal infrastruktur maupun sektor lainnya. Kesenjangan pembiayaan dan ekses ekonomi sebagai penyebab utama lambannya perkembangan infrastruktur di Indonesia.” Soal single identity number (SIN) misalkan, Malaysia dan Singapura telah memilikinya sejak tahun 2002. Dengan begitu, kedua negeri jiran tersebut mampu menerapkan sistem administrasi kependudukan secara terpadu dan dapat memantau perkembangan penduduk secara akurat. Kedua negeri tetangga itu pun mampu secara cepat keluar dari badai krisis yang menghantam pada tahun 1997.
Rupiah tidak stabil. Mata uang rupiah telah beberapa kali mengalami guncangan hebat sampai kemudian dilakukan devaluasi atau penurunan nilai uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang menjadi patokan. Guncangan paling hebat dirasakan sejak akhir 1997 sampai dengan awal 2002. Pada akhir 1997 nilai tukar rupiah masih sebesar Rp2.431 per US$ yang kemudian meluncur jatuh sampai pada angka Rp14.950 per US$ pada akhir Juni 1998. Bahkan, pada rentang waktu tersebut sempat muncul wacana yang sangat kuat untuk mengganti sistem nilai tukar dari managed float menjadi fixed exchange rate atau bahkan currency board system (CBS).
Gejolak mata uang rupiah terjadi dalam skala yang cukup signifikan sebagai akibat melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM) di pasaran dunia. Akibat lebih jauh, defisit anggaran pemerintah semakin meningkat lantaran beban subsidi BBM tiap tahun yang terus meningkat. Nilai tukar mata uang rupiah sampai kini tetap sulit mencapai nilai seperti sebelum tahun 1997. Nilai tukar rupiah berfluktuasi sekitar Rp8.500 sampai Rp10.000 per US$.
APBN cambur-baur. Pemerintah selaku penyelenggara negara dapat diibaratkan seperti halnya perusahaan. Dalam operasionalnya, suatu perusahaan tidak hanya bertumpu pada satu rekening tapi menggunakan berbagai rekening, sesuai dengan masing-masing jenis bisnisnya. Merujuk pada ekuivalensi tadi maka semestinya Pemerintah juga tidak cuma menerapkan rekening tunggal namun dapat menggunakan dua atau tiga rekening. Dengan hanya menggunakan rekening tunggal, maka unsur halal-haram dan riba-nonriba dapat masuk ke dalam sistem penerimaan APBN. Penggabungan penerimaan halal dengan yang masih mengandung unsur haram dapat disetarakan dengan jenis makanan yang halal dan haram dimasak dalam satu tungku yang sama. Akibatnya, unsur haram akan tercampur ke dalam jenis makanan yang halal atau setidaknya sesuai dengan peribahasa “karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Jadilah, semuanya haram untuk dimakan. 
Penerimaan negara yang bersifat haram bisa berasal dari penerimaan pajak atau cukai atas perdagangan minuman keras, peternakan babi dan sejenisnya. Selain itu masih terdapat penerimaan lain yang berada dalam kategori subhat (meragukan halal atau haram), misalkan cukai rokok yang cukup besar nilainya dalam APBN. Percampuran ketiga jenis pendapatan negara/daerah beserta konsekuensinya dapat mengakibatkan APBN tidak bersih, tidak sehat dan tidak benar.
Kebijakan Pemerintah berstandar ganda. Selama ini, selaku regulator dan pemberi kerja bagi aparatur negara, Pemerintah telah memberlakukan sistem yang berbeda antara program kesejahteraan bagi para pekerja swasta (termasuk BUMN) dan para aparatur negara. Hal ini tercermin pada berbagai indikator, antara lain: pertama, Pemerintah menetapkan dana pensiun dan THT untuk pegawai swasta dan BUMN dengan sistem pendanaan sendiri atau funded system. Sementara untuk PNS diberlakukan dengan sistem pay as you go (sepenuhnya dibiayai APBN) dan bahkan dengan current cost financing system yang sebenarnya tidak dikenal dalam sistem dana pensiun di negara mana pun.
Kedua, Gaji dan penghasilan PNS dipotong sebesar 10% untuk Dana Pensiun, THT dan dana kesehatan tapi Pemerintah selaku pemberi kerja tidak pernah mengiur. Padahal, Pemerintah menetapkan kebijakan untuk perusahaan swasta dan BUMN bahwa pemberi kerja harus mengiur. Akibatnya, THT yang diterima PNS menjadi sangat kecil.
Dan ketiga, Pemerintah selalu menekankan bahwa setiap perusahaan selaku pemberi kerja harus membayar kewajiban berupa past service liability dari setiap kewajiban menyetor iuran yang belum ditunaikan, tapi sampai saat ini kewajiban Pemerintah atas past service liability PNS untuk program pensiun belum pernah diakui dan tidak pernah dibayar.
Kerancuan perundang-undangan. Dalam persoalan kesejahteraan (terutamaPNS) ternyata selama ini telah terjadi tarik-menarik antara satu lembaga dan lembaga yang lain sebagaimana diperlihatkan dari adanya berbagai undang-undang yang mengaturnya. Namun dalam pelaksanaannya tidak pernah dituntaskan. Tercatat antara lain UU Nomor 11 Tahun 1969 Tentang Dana Pensiun; UU Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun; UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian; UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian; UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; PP Nomor 25 Tahun 1981 Tentang Asuransi Sosial PNS; dan PP Nomor 26 Tahun 1981 Tentang Taspen sebagai Persero. Dalam UU dan PP tadi terdapat berbagai variasi program kesejahteraan. Yang paling lengkap adalah UU Nomor 43 Tahun 1999 (mengatur program dana pensiun, THT, kesehatan, perumahan dan pendidikan) dan UU Nomor 40 Tahun 2004 (pensiun, THT, kesehatan, kecelakaan kerja dan kematian).
Kerancuan sistem kesejahteraan. Selaku regulator, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang melindungi para pekerja agar setiap pekerja Indonesia senantiasa dapat hidup layak dengan memberikan jaminan sosial berupa Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT). Kepada setiap perusahaan selaku pemberi kerja dituntut oleh Pemerintah untuk membentuk Dana Pensiun dan THT dengan memberikan kontribusi berupa iuran pemberi kerja yang bersama-sama dengan iuran para pekerjanya dijadikan sebagai dana untuk membiayai program kesejahteraan para pekerja di hari tua atau pada saat memasuki masa tidak produktif lagi. Dengan adanya UU Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Jamsostek maka kewajiban ini telah ditaati oleh semua perusahaan. Ironinya, sistem kesejahteraan untuk pekerja pemerintah atau aparatur negara –baik PNS maupun anggota TNI/Polri—sampai saat ini masih ditanggung mereka sendiri. Kebijakan pemerintah ini tentu sangat merugikan para aparatur negara selaku pekerja pemerintah dan menimbulkan ketidak-adilan.
PNS mensubsidi pasar. Sewaktu dipanggil Kepala Negara (saat itu) Ibu Megawati Soekarnoputri pada tanggal 10 November 2003 sekitar pukul 10.00 WIB, di hadapan Menteri Koordinator Perekonomian Prof. DR Dorodjatun Kuntjorojakti, Menteri Keuangan DR Boediono dan Menteri Sekretaris Negara  Bambang Kesowo SH.LLM, antara lain, saya telah menyampaikan bahwa eselon I hanya digaji Rp3,5 juta, sebuah jumlah yang tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta. Seharusnya berkisar Rp15 juta sampai Rp25 juta. Perbedaan antara nilai seharusnya dan Rp3,5 juta merupakan nilai subsidi eselon I kepada pasar. Adapun yang menikmati pelayanan eselon I ini termasuk para konglomerat dan pengusaha lainnya. Nilai subsidi kepada pasar seluruh PNS diperkirakan berjumlah Rp75 triliun. Bila dalam APBN 2004 dinyatakan defisit Rp24 triliun, maka defisit yang sesungguhnya adalah sebesar Rp24 triliun + Rp74 triliun = Rp99 triliun. Ketika saya menghadap Presiden Susilo Yudhoyono pada tanggal 4 November 2004, maka masalah kesejahteraan PNS dan para pensiunan telah menjadi perhatian yang serius dari beliau. Dengan begitu tinggal bergantung kepada kalkulasi pemerintah dan DPR untuk mengurangi subsidi tersebut dengan cara mendekatkan penghasilan PNS dengan pasar.
Sampai kini kemauan untuk mendekatkan penghasilan PNS dengan pasar boleh dikatakan masih jauh dari harapan. Gaji PNS golongan IV-e misalkan, hanya berkisar Rp4 juta. Bila seorang PNS golongan IV-e memiliki jabatan struktural eselon satu maka ia masih memperoleh tunjangan struktural Rp5,5 juta. Dan mengacu pada APBN 2011, gaji terendah TNI/Polri Rp2.625.000, PNS Rp2.000.000, dan Guru Rp2.654.000. Tampak jelas masih jauh dari harapan untuk menggapai kesejahteraan di tengah-tengah harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung.
Nasehat IMF dan Konsultan Asing yang salah. Akibat krisis ekonomi dan moneter yang sangat hebat sejak tahun 1997, Presiden Soeharto (waktu itu) setuju meminta bantuan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF). Melalui perjanjian yang disepakati, IMF setuju memberikan paket pinjaman bersyarat senilai US$36 miliar selama 1997-2003. Sesuai dengan surat kesanggupan atau letter of intent yang ditanda-tangani, Indonesia harus menjalani reformasi dan pembatasan-pembatasan yang ketat, mulai dari penutupan bank, penjualan aset BUMN sampai menaikkan suku bunga. Ternyata banyak nasehat IMF --yang di dalamnya diperkuat banyak konsultan asing—yang salah arah.
Dalam pemberitaan surat kabar Kompas dan koran Tempo (edisi tanggal 14 November 2003), Asisten Direktur IMF untuk Asia Pasifik Charles Adams menyatakan, “Kami mengakui telah melakukan kesalahan selama menangani krisis di Asia. Tidak semua orang sependapat dalam hal apa pastinya kesalahan-kesalahan itu.” Pada koran Tempo edisi 24 Juni 2004, Lembaga Pengawas Independen IMF (The Independent Evaluation Office) dalam laporannya menyebutkan bahwa IMF telah gagal memahami problem utama krisis yang dihadapi Indonesia pada 1997. IMF juga telah melakukan kesalahan dengan memberikan nasehat dan jalan keluar yang kurang tepat bagi Indonesia untuk mengatasi krisis ekonominya. 
Dengan melihat fakta-realita yang telah saya paparkan tadi, Indonesia pun menjadi negara yang tidak bersih, tidak sehat dan tidak benar. Indonesia terus terpuruk. Keterpurukan yang sulit diperkirakan kapan dapat diakhiri itu tidak terlepas dari kesalahan kebijakan di masa lalu.

Kesalahan Masa Lalu
Tidak memikirkan dan mewujudkan SIN. Sejak Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 sampai sekarang (hampir 66 tahun), Pemerintah belum pernah mewujudkan adanya single identity number (SIN) bagi setiap penduduk. SIN merupakan sebuah nomor identitas unik yang terintegrasi dengan gabungan data dari berbagai macam instansi pemerintahan dan swasta. SIN dapat digunakan di berbagai instansi yang dirancang bisa menggantikan semua macam nomor identitas. SIN sangatlah penting untuk menghitung jumlah pasti penduduk. Dengan berbekal SIN akan secara mudah dihitung berapa jumlah pasti penduduk, jumlah pensiunan dan jumlah PNS. Tanpa SIN akan sulit menentukan jumlah penduduk yang tepat benar, jumlah PNS dan perencanaan kependudukan yang akurat.
Tidak memahami Jaminan Sosial Nasional dan Amandemen UUD 1945. Sejak mula Indonesia merdeka, Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar (UUD) yang dikenal sebagai UUD 1945. Sejak masa merdeka sampai sekarang, UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan seiring dengan dilakukannya amandemen. Masing-masing: amandemen pertama disahkan pada 19 Oktober 1999, amandemen kedua pada 18 Agustus 2000, amandemen ketiga pada 10 November 2001 dan amandemen keempat pada 10 Agustus 2002.
Baru pada amandemen keempat, UUD Indonesia secara tegas mengakomodasi sistem jaminan sosial. Secara sederhana memang telah diakomodasi pada amandemen kedua dengan rumusan: “Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” (Bab X pasal 28H-3 amandemen kedua)
Lalu, dari amandemen keempat Bab XIV pasal 34-2 tertulis, “Negara mengembangkan sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Masih di Bab ini, pasal 34-3 menyebutkan, “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.”
Pada pasal 32-4 tadi, negara mengembangkan sistem Jaminan Sosial untuk seluruh rakyat. Pertanyaannya, rakyat yang mana? Dalam pemahaman rakyat, ada yang warganegara Indonesia dan ada pula yang bukan warganegara Indonesia atau warganegara asing. Apakah kedua-duanya  dicakup oleh sistem Jaminan Sosial?
Setiap orang yang menjadi penduduk Indonesia terdiri dari warganegara dan orang yang mempunyai profesi. Dengan demikian Jaminan Sosial harus mencakup warganegara dan profesi yang terdiri dari PNS, TNI/Polri, pegawai BUMN dan pegawai swasta. Selama ini, nyaris tidak ada pemikiran dan peraturan yang mengakomodasi sistem Jaminan Sosial yang paripurna semacam ini.
Selain amandemen UUD 1945 tersebut, muncul pula pemberlakuan UU Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. UU ini menegaskan bahwa kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketenteraman lahir-batin yang memungkinkan setiap warganegara memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial secara sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi kewajiban dan hak asasi manusia yang sesuai dengan falsafah Pancasila. Dari beberapa amandemen UUD dan penetapan UU tadi kemudian muncul istilah-istilah perlindungan sosial, bantuan sosial, kesejahteraan sosial, jaminan sosial, sistem jaminan sosial, dana pensiun, asuransi sosial dan asuransi.
Lalu mengenai penyelenggaraan Jaminan Sosial, kita masih relatif terbatas. Kita memang telah memiliki PT Taspen yang menyelenggarakan dana pensiun dan THT para PNS. Kemudian ada PT Asabri yang mengurus dana pensiun dan THT para anggota TNI/Polri. Dan PT Jamsostek yang mengelola dana pensiun dan THT para karyawan swasta. Kita belum memiliki lembaga yang mengurus jaminan sosial dasar dan sektor informal sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 5 ayat 4 harus dibentuk BUMN tersendiri.
Dana Pensiun dan THT aparatur negara tidak sesuai dengan best practices. Dalam sistem dana pensiun, Pemerintah menekankan perlunya setiap perusahaan menerapkan sistem pendanaan penuh melalui pembayaran iuran yang ditanggung bersama pekerja dan pemberi kerja. Namun, untuk PNS, Pemerintah justru tidak menerapkan sistem pendanaan penuh tersebut. Bahkan, sistem pay as you go yang saat ini diberlakukan juga tidak murni lagi, karena dana hasil akumulasi iuran pensiun dari peserta yang sekarang dikelola PT Taspen (Persero) telah pula digunakan untuk membayar sebagian beban pembayaran pensiun PNS atau dikenal dengan istilah current cost financing.
Penerapan sistem pay as you go terhadap alokasi beban Pemerintah dalam APBN untuk biaya pembayaran pensiun yang semakin membesar. Hal ini dapat berakibat terjadinya suatu kondisi ketidak-seimbangan di mana biaya rutin yang harus ditanggung Pemerintah guna membayar pegawai yang sudah pensiun akan melebihi jumlah yang mesti dibayar buat pegawai yang masih aktif.
Pemerintah pun tidak iur. Akibatnya, tabungan nasional jangka panjang menjadi rendah. Tabungan nasional yang rendah menyebabkan cadangan keuangan nasional (national reserve fund) Indonesia rendah pula. Dengan pengelolaan dana pensiun (dan dana jaminan sosial umumnya) yang tidak sesuai dengan best practices maka kemiskinan dan pengangguran meningkat lantaran lapangan kerja yang tersedia terbatas. Secara makro, Indonesia senantiasa terjerat utang luar negeri.
Sebagaimana dalam penerapan program dana pensiun bagi PNS, sistem Tabungan Hari Tua (THT) bagi PNS juga belum dilaksanakan berdasarkan pola contribution sharing dari pekerja dan pemberi kerja. Dalam sistem THT, hanya PNS sendiri yang menanggung pembiayaannya, yaitu sebesar 3,25% yang dipotong dari penghasilan per bulan. Sedangkan Pemerintah belum memberi kontribusi apapun. Akibatnya, THT yang diterima para pensiunan PNS menjadi kecil.
Ada hal lain yang bermasalah dalam pengelolaan dana pensiun ini yaitu terkait dengan para PNS yang berhenti sebelum waktu pensiun atau diberhentikan secara tidak hormat, ternyata, iuran pensiunnya tidak dikembalikan sedangkan iuran THT-nya dikembalikan berdasarkan nilai tunai asuransinya. Di Malaysia, bagi mereka yang berhenti tidak karena pensiun, iuran peserta dan hasil pengembangannya dibayarkan kembali kepada peserta sementara iuran pemberi kerja dan pengembangannya tetap diakumulasikan kepada Dana Pensiun. Baru pada tahun 2008, melalui Permenkeu Nomor 71 Tahun 2008, para PNS yang berhenti sebelum waktunya pensiun memperoleh hak pensiun. Masih soal dana pensiun, penempatan uang dana pensiun ternyata dikenai pajak dan dividen. Ini tidak sesuai dengan best practices dan baru pada tahun 2003 dibebaskan dari pajak.
Tax ratio rendah. Para pakar dan analis kerapkali menyatakan bahwa tax ratio (kemampuan suatu negara mengumpulkan dan mengelola pajak) Indonesia masih sangat rendah, hanya 12,8%. Sementara itu Malaysia dan Singapura mampu mencapai di atas 20%. Menurut Dosen STAN Gunawan Setiyaji, dalam tulisannya berjudul “Ruwetnya Urusan Tax Ratio”, banyak permasalahan yang dihadapi dalam penghitungan tax ratio, baik mengenai faktor pembilang maupun unsur pajak mana saja yang harus diperhitungkan. Misalkan adanya pemberian fasilitas keringanan pajak oleh anggota DPR dan perhitungan PDB yang bisa mengarah ke politis. Banyak hal yang dapat dibenahi oleh Pemerintah, namun kesemuanya akan menjadi sia-sia bila DPR yang berkolaborasi dengan Pemerintah dalam menyusun ketentuan perundang-undangan perpajakan kurang mengerti dan memahami urgensi harmonisasi kebijakan dengan kebutuhan pendapatan negara dalam penguatan APBN.

Kinerja Indonesia Selama 65 Tahun
Keterpurukan Indonesia dan sejumlah kesalahan kebijakan di masa lalu telah berdampak terhadap kinerja perekonomian Indonesia yang lemah. Hal ini tampak pada Produk Domestik Bruto (PDB) yang rendah, tax ratio rendah (12,8%), cadangan keuangan nasional yang rendah (sekitar 160 triliun), jaminan sosial kurang dari Rp1 juta per kapita, dan belum mampu memanfaatkan tabungan haji umat. Selain itu, rasio Anggaran Pendidikan terhadap PDB  juga rendah, rasio Anggaran Pendidikan terhadap APBN pun rendah (kurang dari 20%), dan daya saing global Indonesia terendah baik ekonomi maupun bisnis. Keadaan tersebut dapat digambarkan dalam dua tabel berikut: 
Negara        Penduduk     PDB      Tax ratio    Dana Jamsosnas   Tabungan Haji
                        Juta             $/cap       %            Tr rp /cap (jt rp)            Tr rp
Singapura            4 jt        29.663     22,44          650 / 168                  na
Malaysia            24 jt        10.882     21,17          800 /33,3                 75,0
Thailand            64 jt           8.677    17,28          153 /2,3                    ----      
Philipina            83 jt           5.137    13,68            63 /0,758                ----
Indonesia        220 jt           3.843    12,8            150 /0,680                ----
(diolah dari berbagai sumber tahun 2003)


Negara        Penduduk     PDB      A.Dik/PDB   A. Dik/APBN  Daya Saing Global
                        Juta             $/cap       %                   %            ec.       business    
Singapura            4 jt        29.663      na                    19            4              6
Malaysia            24 jt        10.882      5,2                    23          32           39
Thailand            64 jt           8.677      5,0                   22          10           55      
Philipina            83 jt           5.137      3,4                   20          65           46
Indonesia        220 jt           3.843      1,4                     9          49           73
(diolah dari berbagai sumber tahun 2004)
_____________________
(ditulis oleh Achmad Subianto, Ketua Umum Komunitas Jamsosnas Indonesia/KJI)
Tulisan disampaikan dalam “Seminar Sistem Jaminan Sosial Nasional” yang diselenggarakan oleh Komunitas Jamsosnas Indonesia di Ballroom Hotel Shangrila Jakarta, 2 Mei 2011










No comments:

Post a Comment