Saturday, March 29, 2014

Kino yang Cerdik “Mencuri” Lubang

Bagi Anda perempuan yang pernah melewatkan umur di tahun-tahun 1970-an dan 1980-an, boleh jadi cukup akrab dengan kosmetika merek Viva. Anda barangkali terbiasa menggunakan pelembab dan pembersih wajah dalam dua botol terpisah produk Viva. Terasa repot. Zaman telah berubah. Di tengah zaman yang semakin menuntut kepraktisan, kini di era 2000-an, Anda para perempuan tak perlu lagi susah-susah menggunakan pelembab dan pembersih wajah secara terpisah. Kini telah hadir Ovale Facial Lotion Whitening yang efektif membersihkan kotoran dan sisa tata rias. Diperkaya dengan Ekstrak Lidah Buaya, Vitamin A & E, pembersih wajah produksi PT Kinocare Era Kosmetindo itu mampu merawat kehalusan dan kelembutan kulit.  Ovale cukup sukses dan produk sejenis yang lebih dulu hadir lama-kelamaan seolah sirna ditelan zaman.
Keberhasilan Ovale meramaikan pasar dan menancap kuat pada benak kaum perempuan mulai 1999 itu memacu kreativitas dan inovasi Harry Sanusi, sang pendiri dan pemimpin Kino Corporation Group yang menaungi PT Kinocare Era Kosmetindo. Di bawah bendera Kinocare, setelah Ovale (1999), lantas meluncur Ovale Maskulin, produk pembersih wajah khusus laki-laki. Inovasi tiada henti. Produk perawatan tubuh pun dibesutnya dengan menghadirkan cologne gel (2000), feminine hygiene (2000), cologne pria Master (2001), dan produk toiletries anak-anak (Kid's grooming) yang kemudian muncul dengan kemasan karakter kartun Disney (2003).
Kinocare memang tidak semata-mata menghadirkan produk pembersih wajah Ovale. Ada pula produk kosmetika Absolute dan Resik V (sabun kewanitaan), Master (gel rambut), Instan (pembersih kuman tangan), Eskulin (cologne), Ellips (vitamin rambut), Sasha (cat rambut), Sleek (perawatan bayi dan rumah tangga), dan body lotion Samantha. Sungguh komplit untuk urusan perawatan wajah dan badan seluruh anggota keluarga.
Ya, bertahun-tahun Kino telah menyambangi konsumen tidak cuma sebatas dengan menggelontorkan produk-produk kosmetika yang demikian lengkap. Kino pun menawarkan produk permen, confectionery, plus biskuit di bawah payung PT Kino Sentra Industrindo yang dibesut sejak 1997. Kemudian di tahun 1999 Kino merambah ke personal care dan household melalui PT Kinocare Era Kosmetindo dengan mengembangkan merek pembersih wajah dan perawatan tubuh. Tahun 2003 Kino melirik pasar farmasi dengan bendera PT Kino Aid Indonesia melempar produk obat flu orang dewasa merek K-100.

Originalitas Inovasi
Kinocare Era Kosmetindo, Kino Sentra Industrindo dan Kino Aid Indonesia, adalah tiga dari empat perusahaan yang bernaung di bawah bendera Kino Corporation Group yang didirikan dan dipimpin oleh Harry Sanusi. Satu lagi perusahaan yang ada di bawah kelompok ini adalah PT Duta Lestari Sentratama yang justru sebenarnya merupakan cikal-bakal kelompok usaha Kino.
Benar, Duta Lestari Sentratama adalah embrio dari Kino Group. Harry Sanusi yang kelahiran Pontianak tahun 1967 itu memulai usaha dengan menjadi distributor tunggal Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga produksi PT Sinde Budi Sentosa pada 1991 dengan mendirikan PT Duta Lestari Sentratama. Koneksi ke produsen minuman pencegah panas dalam itu diperoleh dari ayahnya yang menjadi distributor produk tersebut di Pontianak. Kegiatan itu dirintisnya dengan bantuan modal dari sang ayah sembari menempuh kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta.
Ceritanya, semula PT Sinde Budi Sentosa berkeinginan menunjuk distributor tetapi tidak berani karena ada kemungkinan produk tersebut tidak laku di pasaran. Ketika Harry Sanusi memperoleh tawaran untuk menjadi distributor maka hanya dalam hitungan semenit tawaran itu langsung diterimanya. Tetapi, dengan catatan ia tidak boleh mengambil provisi apoteker. Pekerjaan sebagai distributor tunggal pun dijalaninya dari akhir 1991 sampai dengan akhir 1996.
Perkembangan signifikan terjadi pada Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dari barang yang tidak laku hingga menjadi produk laris-manis setelah diiklankan melalui televisi via iklan murah meriah Spot Melati di TPI. Selanjutnya, Harry hanya fokus pada produk tersebut. Ia pun cukup agresif dalam membuka cabang-cabang dan upaya pemasaran lainnya.
Suatu saat di akhir 1996, Harry berpikir bahwa perusahaan distribusi yang cuma mengandalkan satu produk saja akan menghadapi risiko besar sebab suatu produk pasti memiliki siklus hidup tertentu. Lalu Harry mulai melirik untuk mendistribusikan barang-barang lain untuk mendukung produk tersebut. Namun, agaknya, terjadi perbedaan persepsi dengan PT Sinde Budi Sentosa yang menghendaki agar Harry tetap hanya menangani produk mereka saja. Akhirnya kontrak sebagai distributor diputus oleh Sinde Budi Sentosa.
Harry hanya bisa melongo bak anak ayam kehilangan induk. Pikiran Harry benar adanya. Putus dari Sinde Budi Sentosa (Cap Kaki Tiga), Duta Lestari Sentratama yang baru mau melirik pendistribusian barang-barang lain nyaris limbung lantaran 96% bisnisnya adalah memasarkan produk Cap Kaki Tiga.
Dalam kondisi tidak menentu sekitar awal 1997 itu, Harry Sanusi memilih banting setir ke industri permen. Ia memulai terjun ke industri permen di kota Semarang, Jawa Tengah, karena di sana ia memiliki lahan kosong di daerah Terboyo dan Sayung. Waktu itu, Harry kebingungan memilih jenis permen apa yang akan diproduksi.
Terdorong keinginan yang kuat untuk bangkit, Harry pun menganalisis situasi pasar. Teridentifikasi, selama ini, produk yang berhasil didistribusikannya justru jenis produk yang loyalitasnya rendah. Dalam pengamatannya, kesuksesan produk lebih sering karena faktor distributor yang mampu secara kontinyu memasok toko sehingga kelangsungan produk terjamin. Dan toko sendiri kerapkali tidak begitu peduli dengan merek. Yang penting, pasokan ajek mengalir.
Muncullah ide membuat permen, produk yang dikenal loyalitasnya rendah. Namun Harry sadar benar, sekalipun loyalitas produk ini rendah, perlu diferensiasi untuk jadi pemenang. Ia lantas memetakan pasar. Tampak ada tiga kategori: permen keras, permen lunak, dan permen karet. Rasanya pun dibagi tiga: buah, mint dan kopi.
Lantaran tidak berminat menggeluti permen karet rasa buah, pemetaan kemudian difokuskan pada dua kategori lain. Hasilnya terpampang, untuk rasa buah, kategori permen lunak (soft candy) didominasi Sugus, sementara Tango menguasai permen keras (hard candy). Untuk rasa mint, Mentos mengangkangi permen lunak sementara Relaxa menguasai permen keras. Nah, peluang muncul pada rasa kopi. Hard candy memang didominasi Kopiko, tapi kategori soft candy belum memiliki penguasa, bahkan belum ada pemainnya. Peluang inilah yang disergap dan kelak melahirkan Kino, permen rasa kopi kategori permen lunak.
Melalui soft candy rasa kopi, Harry Sanusi melihat ada peluang untuk melakukan klaim di pasar bahwa perusahaannya telah melakukan inovasi dari hard candy ke soft candy. Dari situlah permen Kino diperkenalkan dan menuai sukses besar.Sukses permen Kino agaknya cukup terbantu oleh situasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1998. Ketika itu harga Kopiko melambung luar biasa tinggi dan produsen Kopiko sengaja bertahan di harga tersebut karena merasa tidak memiliki saingan. Pada waktu itulah Kino masuk dengan harga lebih murah.
Bisnis inti Kino Group yang sesungguhnya adalah produk konsumsi (consumer goods). Pada 1999, Kino Group memasuki bisnis toiletries dengan memperkenalkan merek Ovale. Dalam waktu setahun sejak diluncurkan, produk pembersih wajah miliknya itu mampu merebut 12% pangsa pasar pesaing yang bermain di kategori tersebut yakni Viva, Sari Ayu dan Pond's. Tahun kedua, Ovale mampu tumbuh sampai 16,5%. Konsep produk Ovale ini memang tampak inovatif. Selama ini, pembersih wajah selalu menggunakan dua produk: krim pembersih (face cleansing cream) dan penyegar (face toner). Ovale tampil dengan konsep all in one yang menggabungkan pembersih dan penyegar sekaligus pelembab dalam satu kemasan.
Adalah Harry Sanusi yang menggagas produk pembersih wajah dalam satu kemasan tersebut. Selama ini, secara tradisional, produk pembersih muka selalu terdiri dari rangkaian lotion pembersih muka dan penyegar muka. Terbersitlah gagasan menggabungkan dua produk itu agar memudahkan konsumen. Penggunaannya lebih nyaman dan praktis sementara hasil pemakaiannya lebih bersih dan hemat. Pematangan gagasan itu memakan waktu sekitar 12 bulan terhitung dari penemuan ide, pelaksanaan riset lapangan dan riset konsumen, pengembangan formulasi, uji stabilitas, pengembangan desain kemasan dan desain label, sampai dengan produk jadi yang siap dipasarkan ke konsumen.
Inovasi produk dilanjutkan dengan meluncurkan Ovale Maskulin, produk pembersih khusus laki-laki. Kemudian diikuti dengan cologne gel (2000), feminine hygiene (2000), cologne pria Master (2001) dan produk toiletries anak-anak Eskulin yang kemudian muncul dengan karakter kartun Disney (2003). Besar royalti pemakaian karakter kartun Disney sekitar 3-5% dari omset penjualan. Dengan melakukan co-branding lewat karakter kartun Disney dan Warner Bross untuk produk-produk kids grooming pada merek Eskulin dan B&B, Kino mampu menguasai 15% pangsa pasar dalam dua tahun.
Kino Group kemudian meramaikan pasar minuman energi (energy drink). Hal itu terjadi setelah Kino mengakuisi merek Panther dari Sungai Putih Group yang dikenal sebagai produsen tepung beras Rose Brand. Saat Kino Group ingin masuk ke segmen energy drink, terdapat dua pilihan, yakni masuk dalam kemasan sachet yang murah ataukah segmen botolan yang lebih mahal.
Harry lalu menyimpulkan bahwa retail price yang tepat adalah Rp1.500. Sebab itu, lantas diciptakan Panther dalam kemasan botol plastik yang dilepas dengan banderol Rp 1.000 ke pengecer dan sekitar Rp 1.500-Rp 2.000 ke konsumen. Harga ini lebih murah dibandingkan harga produk sejenis dari pemain lain.
Selain energy drink, Kino Group juga melirik minuman isotonik dengan mengeluarkan produk inovatif Kino Sweat. Minuman isotonik bersifat tawar yang rasanya "asin tidak asin, manis tidak manis". Kino Group berusaha menerobos pasar ceruk minuman isotonik --yang telah terlbih dulu dikuasai Pocari Sweat-- dalam bentuk kemasan sachet. Tingkat konsumsi minuman ini masih sangat rendah. Dengan begitu masih ada peluang untuk meningkatkan frekuensi minumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada akhirnya orang akan memilih minuman isotonik dengan cita rasa yang lebih enak. Dan Kino Sweat dengan cita rasa yang lebih enak berupaya masuk ke ceruk pasar yang masih terbuka lebar.  
Kino Group terus mengasah inovasi. Kali berikutnya, Februari 2003, inovasi melalui produk tablet obat flu K-100 yang berisi 4 kaplet, yakni 3 kaplet untuk pagi, siang, sore berwarna putih yang tidak menimbulkan kantuk dan 1 kaplet berwarna merah untuk malam hari karena membuat kantuk. Sayangnya, produk ini mengalami kegagalan di pasar. Pangkal sebabnya, perilaku konsumen di Indonesia tidak teratur dalam mengonsumsi obat. Misalnya, tablet yang dalam sehari harus dikonsumsi empat kali ternyata hanya dikonsumsi dua kali saja. Selain itu, masih ada kendala perilaku penjual obat eceran dengan cara menggunting-gunting dan kecenderungan konsumen memilih kaplet yang berwarna merah sehingga pemakaian kaplet kacau-balau. Sementara penjual juga tidak mau rugi bila ada kaplet yang tidak laku. Dalam persepsi orang Indonesia, obat flu yang manjur adalah bilamana memiliki efek mengantuk. Keyakinan yang membara saat mengeluarkan produk K-100 pun perlahan pupus dan produk dihentikan.
Perjalanan inovatif Kino Group memang tidak selamanya berjalan mulus. Dalam jejak jalan sejak tahun 1997, produk-produk inovatif Kino Group dapat dimasukkan dalam tiga golongan: produk sukses, dalam perjuangan dan produk gagal. Termasuk produk sukses adalah Kino Sweat, Ovale, Permen Kino, Master, Resik-V (cairan pembersih bagian rahasia wanita), Absolut (pembersih wanita), Eskulin (kids grooming),  B&B (kids grooming) dan Sleek (household cleaning). Kemudian produk dalam perjuangan di pasar, yaitu Panther (energy drink) dan Instan (hand sanitizer). Sedang yang tergolong produk gagal adalah kaplet obat flu K-100 dan Extra White (pemutih wajah) ---akibat salah produksi.

Cerdik “Mencuri” Lubang
Kino Group dan Harry Sanusi tak mau berlama-lama meratapi kegagalan produk obat flu K-100  dan pemutih wajah Extra White. Harry terus mengobarkan spirit The Innovator --julukan sekaligus moto Kino Group—kepada segenap sumber daya manusia (SDM) yang mengawaki seluruh kelompok usaha Kino. Perusahaan ini amat gencar meluncurkan produk baru, dan hebatnya, merupakan produk-produk yang belum atau enggan digarap oleh pemain lain. Tak banyak perusahaan yang mampu menemukan peluang dengan produk-produk baru yang inovatif untuk menjaga ritme kelangsungan dan kelanggengan usaha. Manajemen Kino Group tampaknya sadar betul bahwa pengembangan produk baru merupakan salah satu kunci pokok menjaga pertumbuhan perusahaan. Disadari pula, bukan pekerjaan gampang membuat keajekan daur hidup sebuah produk. Sebuah produk acapkali ‘habis’ dimakan waktu.
Dari sejumlah analisis, sebuah kategori produk hanya bertumbuh maksimal 15% setiap tahun. Jika pemain lain hadir di kategori produk yang sama, pertumbuhannya bisa mengecil bahkan stagnan. Itulah alasan mengapa Kino Group sangat aktif meluncurkan produk-produk baru untuk mempertahankan biduk usaha dan, bahkan, tampil menjadi pemenang di era global.
Bagaimana upaya Kino menghadirkan produk-produk baru? Di antaranya dengan kiat membaca tren pasar. Caranya, mengidentifikasi pasar yang ada dengan melihat produk per kategori. Sekadar contoh kategori pembersih wajah. Biasanya, Kino Group mempelajari terlebih dulu produk-produk yang beredar dan berapa merek yang telah eksis di pasar. Selanjutnya, secara seksama mempelajari segmentasi produk yang telah terbentuk oleh merek-merek tadi --baik dari segi usia maupun kelas ekonomi.
Dari semua kajian tersebut, terlihatlah apakah masih ada ceruk pasar yang baru. Jika masih ada ceruk pasar, maka lebih lanjut Kino memperhitungkan apakah ceruk itu layak digarap. Sebab, Kino tidak ingin terjebak ke dalam bumerang bilamana ceruk baru tersebut ternyata tidak sebesar nilai investasi yang hendak ditanamkan alias merugi. Hal ini bisa saja terjadi, karena besar kemungkinan konsumen tidak membutuhkannya dengan berbagai pertimbangan. Berikutnya, dilakukan analisis produk yang akan dibuat, segmen yang dituju, harga jual kemasan dan strategi komunikasi yang akan dijalankan.
Contoh sederhana langkah tersebut dapat kita lihat ketika akhir tahun 2005, Harry Sanusi (Kino) meluncurkan produk hair vitamin dengan mengusung merek Ellips. Kino membuat inovasi produk vitamin rambut dalam bentuk kapsul. Selama ini, produk perawatan rambut –termasuk vitamin rambut – tersaji dalam bentuk cairan. Kino memberikan dua pilihan varian: kemasan blister berisi 6 kapsul yang dibanderol Rp4.500/blister dan kemasan jar berisi 50 kapsul seharga Rp45 ribu/jar. Ada dua macam produk Ellips, masing-masing Ellips kapsul orange (aloe vera) dan kapsul pink (jojoba oil). Tampilan Ellips ini cukup eye catching. Bila dilihat dari atas, bentuk kapsulnya mirip kura-kura tanpa kaki. Sekali puntir kepalanya maka cairan vitaminnya langsung keluar dan bisa dioleskan ke rambut. Memuntir kepalanya juga cukup gampang karena kapsul Ellips ini lunak sekali.
Sejatinya, produk Ellips bukan ide orisinal Harry Sanusi dan Kino. Gagasan meluncurkan produk hair vitamin berbentuk kapsul ini “meniru” produk serupa keluaran Cina. Ide menelurkan Ellips muncul sekitar tahun 2004 dari bincang-bincang santai di kantor Kino. Saat itu Harry Sanusi mengobrol dengan beberapa stafnya, lalu terucap, “Produk Cina saja bisa laku, kenapa kita tidak bikin dengan branding sendiri.” Tak mau membuang-buang waktu, ide tersebut langsung ditembuskan ke bagian pemasaran untuk dipelajari lagi pasar ceruk (niche market)-nya dan kebutuhan konsumen. Dilanjutkan ke bagian riset dan pengembangan (R&D) untuk diterjemahkan ke dalam bentuk produk. Jadilah Ellips yang sekarang ini. Keunggulan Ellips  terletak pada kemasan yang terjaga higienitas, legalitas dan kualitasnya. Berbeda dengan produk sejenis buatan Cina yang dijual per satuan, sehingga higienitas dan legalitasnya tidak terjamin.
Yang lebih penting lagi, citra Kino yang sudah dikenal sebagai perusahaan yang mengkhususkan pada produk perawatan yang berkualitas dalam kemasan yang cantik dan menarik. Ellips mampu menembus pasar hair vitamin yang sebelumnya dikuasai produk Cina, karena Kino mencari pasar ceruk pada kualitas dan finishing touch-nya. Ellips dibuat menarik, kemasannya dipoles lebih cantik. Kue pasarnya pada branding dan kemasan.
Ekspansi Kinocare Era Kosmetindo (KEK) di hair vitamin karena melihat potensi besar kebutuhan perempuan akan produk perawatan rambut dan belum ada pemain yang fokus. Apalagi perempuan zaman sekarang sering menata rambut mereka mengikuti tren rambut. KEK mengambil kesempatan ini untuk menjadi pemain pertama kategori hair vitamin untuk mass market. Ellips yang bahan-bahannya masih 100% impor ini memang sengaja diciptakan untuk pasar massal.
Distribusinya ditargetkan mampu menjangkau pasar di seluruh Nusantara. Kini Ellips telah masuk ke supermarket, salon-salon, dan toko-toko kelontong. Untuk pasar modern, produk Ellips dapat dijumpai di Carrefour, Hero, Indomaret, Alfamart, dan Hypermarket. Produk ini membidik segmen menengah-bawah. Untuk pasar premium, Kino berusaha menggarap dengan merek yang berbeda.
Pendekatan komunikasinya, KEK memilih menempuh jalur konservatif, yakni beriklan di media televisi. Sejak akhir Januari 2006, program promosi ini mulai digeber. Iklan Ellips dibuat standar saja. Mengingat respons pasar cukup baik, KEK berupaya memperbaiki tampilan iklan. KEK telah menghabiskan anggaran untuk iklan sebesar Rp3 miliar pada tiga bulan pertama peredaran Ellips. KEK optimistis Ellips mampu melejit, karena sudah terasa switching user dari memakai hair vitamin produk Cina ke Ellips.
Dengan langkah-langkah seperti itu, wajarlah Kino Group demikian gencar menghadirkan produk baru sekaligus merajai merek di kategorinya. Sebagai perusahaan yang punya kompetensi inti di bisnis consumer goods, Kino piawai membaca ceruk pasar dan berani memasuki wilayah pasar yang belum disentuh pemain lain. Core Kino bukan pada distribusi seperti anggapan banyak orang, Kino justru merasa masih punya banyak kekurangan di jalur distribusi.
Menemukan kompetensi inti bukanlah mudah. Diistilahkan Harry sebagai “sebuah seni” yang tidak hanya memakai teori tapi juga feeling plus intuisi berdasarkan pengalaman dan pengamatan. Harry mencontohkan dirinya yang harus terjun langsung ke lapangan untuk membaca peluang berikut hambatan yang sedang dan kemungkinan akan terjadi. Semua itu dilakukan untuk mencari masukan, karena Kino dan Harry Sanusi menginginkan mimpi menjadi kenyataan.
Kino Group memang harus cerdik membaca tren pasar jika ingin memenangkan persaingan. Sebagai pemain baru, Kino tentu saja tidak hanya bermodal berani. Melainkan, mesti pula diiringi banyak pertimbangan. Harry punya istilah untuk langkah pengembangan produk Kino Group sebagai “mencuri lubang”. Maksudnya, cerdik mencari lubang peluang pasar untuk digarap, ketika pemain lain lengah atau enggan memasukinya.
Berdasarkan pengalaman Kino, strategi “mencuri” ini mampu menekan biaya investasi lebih murah dan relatif gampang dibanding harus berhadapan langsung dengan dua gajah kompetitor utamanya: Wings dan Unilever. "(Kami) bisa habis jika berhadap-hadapan langsung dengan mereka," Harry mengakui. Dalam hal beriklan, misalnya, Kino yang hanya mampu melakukannya dua kali tayang sehari, bakal kelojotan jika mencoba menghadapi Unilever atau Wings yang iklannya ditayangkan puluhan kali sehari.

Mengembangkan Divisi Memperluas Distribusi
Kino Group, sampai tahun 2006, mengakui masih memiliki kekurangan dalam distribusi. Sebab itu, di tahun 2006 itu pula, Kino Group merombak bagian penjualan dan pemasaran dari satu divisi menjadi lima. Divisi yang semula menjadi satu, kemudian dipisah. Jika sebelumnya Kino cuma memiliki divisi personal care & household, kini dipecah dan dilebarkan sayapnya menjadi lima divisi: kosmetik & toiletris, herbal medicine, minuman, household, dan mainan.
Upaya pemecahan divisi ini merupakan hal yang wajar. Untuk pengembangan bisnis, jelas  sebagai sebuah keniscayaan. Apalagi tiap merek mempunyai karakter berbeda. Tujuannya agar masing-masing produk dapat dikelola lebih bagus dan mudah branding-nya. Namun perlu diingat bahwa pembentukan divisi baru tidak ada artinya bila tidak memiliki sumber daya dan infrastruktur yang kompeten. Semisal saluran distribusi yang kuat, kemampuan manajerial, atau piawai membangun citra.
Ketika bagian penjualan dan pemasaran hanya memiliki satu divisi: personal care & household –yang dibidani oleh manajer penjualan & pemasaran Kino– setiap produk ditangani orang yang berbeda. Akibatnya, sistem ini banyak menyulitkan awak distribusi saat hendak menghubungi orang-orang yang terkait dengan produk yang dituju. Contoh, di sebuah area penjualan ada bagian yang menangani penjualan produk personal care, tetapi orang itu hanya memegang beberapa produk. Tentu saja hal itu bakal mengganggu kelancaran tugas tim distribusi. Mengapa? Betapa repot awak distribusi harus menemui orang yang berbeda di satu divisi.
Kelemahan lain dari sistem lama Kino: kinerja tim penjualan kurang fokus. Pasalnya, tim ini mesti mengurusi jenis pasar yang berbeda, yaitu tradisional, modern dan institusi. Jelas ini merepotkan dan tidak efektif lantaran karakter segmen di tiap pasar tersebut berlainan, namun harus dikelola oleh satu tim.
Prinsipnya, bagian penjualan Kino hanya mengurusi ketersediaan produk. Untuk itu, perannya mirip distribusi, sedangkan urusan penjualan ditangani bagian pemasaran. Sebelum perombakan, penyebaran produk berdasarkan cakupan area. Dulu terdapat dua area, yaitu wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Sementara itu, untuk channel distribusi ada seorang general manager yang menampung semua produk yang dikelola manajer pemasaran. Nah, dari sini dibagi lagi menjadi tiga jaringan distribusi: pasar tradisional, modern dan institusi.
Berangkat dari latar belakang seperti itulah sejak awal 2006 Kino membenahi sistemnya. Langkah pertama adalah mengubah bagian penjualan dan pemasaran. Alasannya, penjualan dan pemasaran adalah ujung tombak perusahaan agar memudahkan penjualan bila kelak ditelurkan produk-produk anyar.
Berikutnya, mengubah jalur distribusi. Jika sebelumnya distribusi masih berdasarkan area, maka kini mengacu pada channel yang digunakan. Alhasil, untuk mengecek penjualan bisa langsung melihat di masing-masing channel di daerah. Berbeda dengan dulu, karena untuk mencocokkan data saja repot.
Dengan pembagian distribusi seperti ini, performa Kino terasa menjadi lebih baik. Sebab, tipikal penanganan gerai selalu berbeda-beda. Misalnya, di channel tradisional, penampilan tim penjualan tidak boleh terlalu perlente, sebab nanti penjual grogi. Sementara di pasar modern, pendekatannya perlu komunikasi dengan baik dan tampil necis. Lain lagi dengan pendekatan untuk pasar institusi, timnya wajib piawai melobi. Selain itu juga harus sabar, karena buat memperoleh satu gerai di korporat perlu waktu hingga dua bulan.
Kino menugaskan seorang salesman rata-rata mendatangi 270 gerai atau toko. Kunjungan salesman per hari ditargetkan 15 toko. Dari 15 toko itu ditargetkan sebanyak 30% harus terjadi transaksi. Katakanlah jika Kino mempekerjakan 10 salesman, berarti harus ada 2.700 toko yang dikunjungi. Dengan demikian, persentase terjadinya transaksi bakal lebih mudah dihitung. Dari masing-masing transaksi akan terlihat berapa nilai nominalnya. Pada gilirannya, kalkulasi dan penetapan target berikutnya dapat dihitung lebih cepat. Kemudian, barulah ditemukan sebuah formulasi angka atau target yang dianggap paling masuk akal untuk suatu produk.
Guna melakukan perombakan divisi, Kino tidak merekrut tenaga luar. Bagi Harry Sanusi, kendati seseorang belum berpengalaman membidani divisi tertentu, tidak masalah. Yang penting, yang bersangkutan memiliki potensi. Meski menggunakan SDM internal, bukan berarti perombakan bebas hambatan. Pada awal transisi, banyak karyawan yang kaget dengan penerapan sistem baru hasil perombakan. Sebab, dari yang biasanya hanya memegang beberapa stock keeping unit (SKU), sekarang harus mengelola ratusan SKU. Tetapi pada dasarnya juga terjadi pengurangan, bila dulunya memegang tiga channel distribusi, maka sekarang hanya satu channel. Sekadar contoh, dulu orang yang menangani pasar tradisional dan modern, sekarang cukup satu: tradisional atau modern saja. Namun, apabila sebelumnya orang tadi menangani divisi household, sekarang harus bertanggung jawab atas semua kategori produk. Jadi, ada pengurangan tanggung jawab, sekaligus menambah beban tanggung jawab.
Perlu diketahui, dari lima divisi baru Kino, kosmetik & toiletris paling banyak produknya, yaitu 11 merek dan 300-an SKU. Sementara divisi herbal medicine cuma ada 1 merek dan 1 SKU. Lantas, divisi household memiliki 1 merek dan 25 SKU.
Selain itu, agar kesamaan visi manajemen dan karyawan makin menyatu, manajemen Kino Group juga membuat slogan tematis. Umpamanya tahun 2010 dikampanyekan tulisan Let's Go Beyond yang menghiasi semua sudut ruang kantor Kino Group. Makna slogan itu, dengan perekonomian makro yang membaik, Kino tidak hanya ingin sekadar tumbuh, tapi berharap lompatan besar. Bila rata-rata pertumbuhan perusahaan mencapai 20% per tahun, maka tahun itu ditargetkan naik 30%.
Apa hasil dari perombakan itu? Yang pasti perusahaan lebih efisien dan efektif karena kerja tim menjadi fokus. Contoh: tim penjualan hanya mengurusi penyebaran produk, seperti gerai. Jika sekarang Kino memiliki 100 ribu gerai dan target tahun berikutnya bertambah 30 ribu gerai, bagaimana caranya agar tim ini mencapai target tersebut.
Perombakan juga merangsang lahirnya sejumlah produk paling gres dari tiap divisi baru. Beberapa program mulai diluncurkan untuk merangsang kreativitas, seperti Kino Star. Program ini semacam kuis untuk para kepala divisi agar bisa menyumbangkan gagasan inovasi produk. Hadiahnya berupa paket jalan-jalan ke luar negeri, uang tunai, promosi jabatan atau peningkatan karier lainnya.

Tumbuh Kembang Cepat
Perkembangan Kino Group terus membaik dan bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Kino mampu menjadi merek lokal sebagai tuan di negeri sendiri. Bahkan, Kino sekarang telah berhasil mengepakkan sayapnya ke kawasan Asia dan Afrika. Dengan memainkan semua peluru marketing mix yang dimiliki mulai dari product, price, place sampai promotion dan perombakan sistem distribusi, produk-produk Kino kini sudah merambah 15 negara yakni negara-negara ASEAN, Afganistan, Pakistan, Korea, Rusia, Afrika dan negara-negara Timur Tengah. Sejak 2003 Grup Kino melakukan ekspansi ke Filipina dengan mendirikan perusahaan patungan Kino Consumer Philiphine Inc. Harry Sanusi semakin mumpuni dengan portofolio produk yang dimilikinya.
Untuk meramaikan pasar seluas itu, saat ini Kino menghamparkan tak kurang dari 500 item produk yang terdiri dari 16 merek. Produk itu tersebar dari jenis makanan dan minuman (food and beverages) hingga yang di luar itu, seperti produk toiletris, kosmetik, dan mainan anak-anak.
Dengan pasar yang luas dan produk yang senantiasa inovatif, Kino group kini menuai hasil penjualan yang cukup signifikan. Harry Sanusi mengungkapkan bahwa tahun 2011 lalu penjualan Kino Corporation mencapai sekitar Rp1,5 triliun sampai Rp2 triliun, atau naik 30% dibandingkan penjualan 2010. “Minuman ringan seperti Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga, Liang Teh Panda dan Panther mencapai 35% dari penjualan kami, tahun ini (2012) juga masih seperti itu,” kata Harry Sanusi. Ia optimis penjualan perusahaannya mampu tumbuh sekitar 30% sampai 35% per tahun. Apalagi produk feminine hygiene Kino mampu menguasai sekitar 45% terhadap total produk feminine hygiene. ***


No comments:

Post a Comment