Monday, March 10, 2014

Sesuap-sesuap

Muhamad bin Bakar al-Khuza'i meriwayatkan, "Seorang wanita mempunyai anak. Lalu anak itu menghilang cukup lama dan membuatnya putus asa. Pada suatu hari, wanita itu makan, ketika dia menghancurkan suapan dan ingin memasukkannya ke mulut, seorang peminta-minta berdiri di depan pintu minta makanan. Lalu wanita itu tidak jadi memakan suapan itu dan membawanya bersama roti lalu mensedekahkannya. Tinggalah dia dalam keadaan lapar.
Beberapa hari kemudian, anaknya datang. Dia bercerita pada ibunya tentang kejadian-kejadian besar yang telah dilaluinya. Dia bertutur, "Kejadian yang paling besar adalah beberapa hari yang lalu aku melalui hutan di sebuah daerah. Tiba-tiba muncul singa. Lalu singa itu menarikku dari atas punggung keledai yang aku tunggangi. Keledai itu melawannya, lalu cakar singa itu mengoyak tasku. Pakaian dan jubahku ada di bawahnya. Cakarnya yang besar tidak sampai ke badanku. Aku heran dan terkejut lalu dia membawaku ke dalam hutan dan dia menjilatiku.
Lalu aku melihat seorang laki-laki yang sangat besar, wajah dan pakaiannya putih. Dia datang dan menangkap singa itu tanpa senjata. Dia mengangkatnya dan membantingnya ke tanah. Dia berkata, Bangunlah. Satu suap dengan satu suap. Singa itu bangun dan lari. Aku mulai siuman, lalu aku mencari laki-laki itu, tetapi aku tidak menemukannya. Selama beberapa saat aku duduk di tempatku sampai kekuatanku pulih lantas aku melihat keadaan diriku. Aku mendapati diriku baik-baik saja. Kemudian aku berjalan sampai aku berjumpa dengan rombonganku. Mereka merasa heran ketika melihatku, lalu aku ceritakan semuanya. Aku tidak tahu makna ucapan laki-laki tersebut, Sesuap dengan sesuap. Wanita itu memandang, lalu dia mengeluarkan suapan dari mulutnya dan dia menyedekahkannya.[1]

Munajat dan Permintaan
Ibnu al-Syaizhami berkata, "Aku menunaikan ibadah haji saat kemarau. Ketika aku sedang melakukan thawaf, tiba-tiba aku melihat seorang jariyah (budak perempuan) yang sangat cantik bergelayutan di dinding Ka'bah sambil berkata, Tuhanku, aku umatmu yang asing, peminta-Mu yang miskin. Tangisku tidak tersembunyi dari-Mu. Keadaanku yang buruk tidak tertutup dari-Mu. Kebutuhan telah menyingkap hijabku, kemiskinan telah membuka niqabku. Kau melihat wajah yang lembut saat dihina dan hina saat meminta. Demi keagungan-Mu, apa yang ditutupi oleh air kekayaan amatlah panjang, dilindungi oleh air malu. Telapak tangan-tangan orang kaya telah membeku padaku, hati makhluk telah sempit denganku. Siapa yang menolakku, aku tidak mencacinya dan siapa yang menyambung silaturrahim denganku, aku serahkan balasannya pada rahmat-Mu karena Kau adalah sebaik-baiknya yang memberi rahmat."[2]

Di Antara Penduduk Surga
Suatu hari, Imran bin Hithan mendatangi istrinya. Imran adalah seorang yang jelek dan pendek. Saat itu istrinya yang sangat cantik telah berhias. Ketika Imran melihatnya, di matanya istrinya terlihat bertambah cantik dan dia tidak bisa tidak terus memandangnya. Istrinya bertanya, "Kenapa kau?" Dia menjawab, "Demi Allah, engkau bertambah cantik." Lalu istrinya berkata, "Aku beri kabar gembira. Aku dan kau akan berada di surga." Imran bertanya, "Tahu dari mana?" Istrinya menjawab, "Karena kau dianugerahi orang sepertiku, lalu kau bersyukur dan aku diberi orang sepertimu, lalu aku bersabar. Bukankah orang yang bersyukur dan orang yang sabar itu berada di surga?"

Kabar Gembira untuk Rabi’ah al-Adawiyah
Dari Abdah binti Abdi Syawwal –dia termasuk hamba Allah yang paling baik dan dia membantu Rabi'ah– dia berkisah, "Rabi'ah melakukan shalat sepanjang malam. Ketika terbit fajar, dia tidur sebentar sampai fajar menyingsing. Aku pernah mendengar dia berkata ketika dia meloncat dari tempat tidurnya dalam keadaan sedih, Wahai nafsu, berapa lama kau tidur? Sampai kapan kau bangun? Aku takut kau akan tidur lalu tidak bangun lagi kecuali saat mendengar teriakan pada hari kiamat."
Abdah berkata, "Itulah pekerjaannya sepanjang waktu sampai dia wafat. Ketika dia akan wafat, dia memanggilku dan berkata, Wahai Abdah, jangan kau beri tahu seseorang tentang kematianku, kafanilah aku dengan jubahku ini. Jubah dari bulu yang dia pakai kalau dia dalam suasana senang.
Lanjut Abdah, "Lalu kami mengkafani dengan jubah itu dan kerudung dari bulu domba yang dipakainya. Setelah satu tahun atau lebih, aku melihat dalam mimpi dia mengenakan pakaian dari sutra hijau dan selendang dari sutra hijau yang tidak pernah sekalipun aku melihat yang lebih bagus daripada itu. Lalu aku bertanya, ‘Wahai Rabi'ah, apa yang kau lakukan dengan jubah dan selendang bulu domba yang dulu kami pakai buat mengkafanimu?’ Rabi'ah menjawab, ‘Allah telah mencabutnya dariku dan telah menggantinya dengan yang kau lihat tadi. Lalu kain kafanku dilipat, diberi stempel, lalu diangkat ke Iliyyiin untuk menyempurnakan pakaianku pada hari kiamat.’ Aku bertanya padanya, ‘Untuk inilah kau beramal di dunia.’ Rabia'h menjawab, ‘Ini adalah kemulian Allah untuk para Wali-Nya.’ Aku bertanya, ‘Lalu apa yang diperbuat oleh Abdah binti Abi Kilab?’
Rabi'ah menjawab, Bagaimana mungkin, jauh sekali! Demi Allah, dia telah mendahului kami ke derajat yang paling tinggi. Aku bertanya, Dengan apa? Bukankah kau lebih mulia darinya menurut manusia? Rabi'ah menjawab,"Dia tidak pernah peduli pada urusan dunia.
Aku bertanya, Apa yang dilakukan Abu Malik? Yaitu seekor singa. Rabi'ah menjawab, Dia mengunjungi Allah  kapan saja dia mau.
Aku bertanya lagi, Apa yang dilakukan Bisyr bin Manshur? Rabi'ah menjawab, Demi Allah, dia diberi di atasku apa yang dia harapkan.
Aku berkata, Perintahkanlah aku dengan satu perbuatan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT? Rabia'ah menjawab, Banyaklah menyebut-Nya, kau akan bergembira dalam kuburmu dengan dzikir itu."[3]



[1]Al-Tanukhi,  Akhbar al-Mudzakarah (2/16).
[2]Ibn al-Jauzi, Al-Adzkiya' (251, 252).
[3]Khabar shahih, HR Ibnu Abi Dunya dalam “al-Manâmât” (51), Ibn al-Jauzi dalam “Shifat al-Shafwah” (4/29,30) dan Ibnu al-Qayyim dalam “Al-Rûh” (30).

No comments:

Post a Comment