Tuesday, April 15, 2014

Minim Fasilitas Kesehatan, Peserta JKN Sulit Akses Pengobatan


Ilustrasi JKN [antara] Ilustrasi JKN [antara]


 Minim dan belum meratanya fasilitas kesehatan (faskes), khususnya tingkat pertama, yaitu puskesmas, klinik swasta, dan dokter praktek mandiri, menyebabkan sejumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak bisa mengakses layanan kesehatan.

Di sisi lain sejumlah fasilitas kesehatan justru kewalahan menghadapi lonjakan pasien.  

Masalah ini salah satu dari temuan Satgas Pelaksanaan JKN yang disampaikan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Zainal Abidin, dalam temu media tentang 100 hari operasional BPJS Kesehatan, di Jakarta, pekan lalu.

Satgas ini terdiri dari lima organisasi profesi, yaitu IDI, Ikatan Bidan Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).  

Zainal mengungkapkan, semakin lama layanan di faskes tingkat pertama pun akan semakin berkurang. Pasalnya tidak semua faskes ini berada dekat dengan tempat tinggal masyarakat,  apalagi klinik dan rumah sakit.  

Kalau pun ada, faskes ini tidak bekerjasama atau belum menjadi provider BPJS Kesehatan. Kalau pun peserta JKN kritis dan terpaksa berobat di faskes yang belum bekerjasama, harus membayar dari kantong sendiri.  

Sebab ada regulasi yang mengatur tentang reimbursement atau penggantian biaya secara perorangan kepada BPJS Kesehatan.  Di sisi lain sejumlah faskes tingkat pertama malah tidak mendapatkan pasien karena kurang penduduk.  

“Alhasil semua pasien membludak di puskesmas. Akibat lainnya, faskes yang belum jadi provider ini  menolak pasien lantaran khawatir BPJS Kesehatan tidak membayar tagihan atau klaim dari layanan tersebut,” kata Zainal.  

Padahal, kata Zainal, kesuksesan pelaksanaan JKN juga terletak pada ketersediaan faskes di tengah masyarakat.  Sudah seharusnya dibuatkan regulasi yang mengatur bahwa peserta JKN boleh berobat di mana faskes mana pun yang bisa diakses, tidak hanya provider BPJS Kesehatan.  

Akibat dari belum meratanya faskes juga dilontarkan Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar.

Menurut Indra, terjadi kasus pasien peserta JKN yang dalam keadaan kritis tidak bisa mengakses faskes provider BPJS Kesehatan lantaran jauh dari tempat tinggalnya.

Pasien dilarikan ke faskes terdekat namun karena belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, pasien harus membayar dari kantong sendiri.  

“Tentu ini merugikan bagi peserta JKN, apalagi perusahaan yang sudah membayar iuran untuk karyawannya kepada BPJS Kesehatan, tetapi harus membayar lagi lantaran faskesnya belum bekerjasama,” kata Indra.  

Selain itu, kata Indra, kebijakan mengenai penanganan medis khusus yang dirujuk dan harus dilakukan di rumah sakit tipe A dan B juga menimbulkan persoalan. Masalahnya, rumah sakit tipe A dan B ini umumnya berada kota atau provinsi.

Sementara pasien hanya bisa mengakses tipe C, dan rumah sakit yang bersangkutan mampu melakukan tindakan medis khusus tersebut. Tetapi, persoalannya, pasien harus membayar selisih biaya.  

“Daripada pasien harus jauh ke kota maupun provinsi yang kemudian menyebabkan penyakitnya semakin parah atau membayar ongkos lebih mahal, dibuatkan aturan agar di mana pun faskes yang dipakai tidak perlu membayar selisih,” kata Indra.  

Baik Zainal maupun Indra berpendapat, perlu ada solusi dalam bentuk norma atau petunjuk teknis untuk beberapa kendala tersebut di lapangan.

Semua peraturan teknis tidak harus dibuat oleh Kemkes, melainkan BPJS Kesehatan. Badan Hukum Publik ini jangan hanya menjadi operator, tetapi diberikan kewenangan penuh untuk membuat regulasi. (www.suarapembaruan.com)

No comments:

Post a Comment