Tuesday, August 5, 2014

Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan


Ribuan korban lumpur, terutama dari golongan keluarga miskin (gakin) semakin nelangsa. Mereka harus pontang-panting mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi ini terjadi karena mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. 


Padahal ancaman kesehatan mereka semakin besar, seiring lamanya semburan lumpur Lapindo.

Harwati, korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, menyebut ada ribuan warga korban lumpur Lapindo yang tidak tercover jaminan kesehatan. 

“Alasan Dinas Kesehatan lucu. Kami dianggap terlambat mendaftar. Padahal kami sama sekali tidak pernah dapat sosialiasi,” kata Harwati, Senin (26/5/2014).

Perempuan 43 tahun itu mengaku sudah berjuang bersama para tetangganya sejak 2011. Ketika jaminan kesehatan masih bernama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Mulai tahun ini, jaminan kesehatan itu berganti menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Herwati menceritakan, awalnya, dia dan korban lumpur meminta didaftarkan Jamkesmas, namun gagal.

Sebelumnya, nama-nama mereka juga gagal masuk ke Jamkesda dengan alasan terlambat mendaftar. Berbagai instansi mereka datangi. Mulai dari kelurahan, kecamatan, DPRD sampai Pemkab Sidoarjo.

Jawaban yang didapat Harwati sangat normatif. Isinya lebih banyak janji. Harwati menilai, janji itu sampai saat ini belum terealisasi.

Beberapa warga memang kemudian  mengurus surat keterangan miskin (SKTM) ke kelurahan.

Surat ini bisa menjadi pengganti bagi warga miskin yang tidak memiliki kartu Jamkesmas untuk mendapatkan pengobatan gratis. Tapi tidak sedikit warga yang frustrasi karena merasa dipingpong.

“Kalau mengingat dipingpong-pingpong ini,  kami merasa kok seolah-olah orang miskin seperti kami ini dilarang sakit. Ya Allah, kok tega-teganya memperlakukan kami begitu,” tutur Herwati. 

Pendataan Korban Lumpur Lapindo Awut-awutan 

Cerita sedih disampaikan oleh Novik Akhmad, korban lumpur Lapindo asal Jatirejo. Dia mengeluh karena tidak pernah diikutkan dalam program jaminan kesehatan. Padahal mereka menderita karena bencana tersebut 

“Dulu ada jamkesmas, ada juga jamkesda. Tapi kami tidak pernah diikutkan program itu. Padahal kami korban lumpur yang setiap hari menghirup gas beracun dari semburan lumpur,” keluh pemuda 32 tahun itu.

Novik yang merasa sangat membutuhkan jaminan kesehatan, kemudian mendaftarkan kedua orangtuanya sebagai peserta BPJS secara mandiri. Premi ditanggungnya sendiri setiap bulan, Rp 90.000.

Pemuda bertubuh kurus itu mengaku tidak memiliki uang lagi untuk menambah anggota keluarga masuk sebegai perserta BPJS. Pasalnya, untuk menambah peserta, dia harus kembali membayar premi.

Untuk kelas III, premi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 25.000, sedangkan kelas II, ditetapkan Rp 45.000.

Dia menilai, pemerintah lalai dalam menjamin kesehatan warganya, terutama warga korban lumpur. Ada ribuan warga lain yang sama sekali tidak pernah tahu ada program jaminan kesehatan dari negara.

Selama ini, hanya warga yang kritis saja yang mendapatkan akses informasi.

Menurut Novik, kisah pilu warga itu terjadi karena pendataan yang dilakukan terhadap korban lumpur awut-awutan.

Ia lalu merujuk data Pemkab Sidoarjo melalui Basis Data Terpadu PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial).

Di situ tercatat hampir 90 persen warga korban lumpur tidak tercatat sebagai sasaran Jamkesmas atau BPJS.

Bahkan di Desa Renokenongo, data rumah tangga sasaran tercatat nol persen. Padahal ada ratusan KK yang semestinya masuk kategori keluarga miskin (Gakin).

Begitu juga di Desa Jatirejo, yang tercatat sebagai penerima jaminan kesehatan cuma 31 KK. Kemudian Desa Kedungbendo hanya 6 keluarga dan Siring 36 keluarga.

“Saya tidak tahu, bagaimana pemerintah melakukan pendataan. Yang jelas, ribuan warga lain tidak pernah didata. Alasan pemerintah daerah sih warga korban lumpur hidup terpencar. Jadi mereka kesulitan mendata.
Padahal, pemerintah bisa kok mendata warga saat foto dan pengurusan e-KTP lalu. Tetapi itu tidak dilakukan,” kritik Novik.

Warga korban lumpur sendiri selama ini tidak sempat mengurus masalah itu. Mereka terlalu disibukkan dengan alotnya pelunasan ganti rugi dan tempat tinggal sementara.

Uang Ganti Rugi Lumpur Lapindo Sudah Habis untuk Berobat 

Delapan tahun sudah berlalu bencana lumpur Lapindo. Para korban masih mengeluhkan susahnya mengurus mengurus layanan kesehatan . 

Salah satu korban, Novik Akhmad, mengatakan, menurut data PPLS, ada 90 persen warga korban lumpur yang tidak tercatat sebagai sasaran Jamkesmas atau BPJS. Menurutnya, pendataan tidak dilakukan dengan baik Simak penuturan warga lainnya.


Penuturan senada  disampaikan korban lumpur lainnya, Khoiri. Sejak lima tahun silam, istrinya divonis mengidap kanker serviks. Warga asli Siring itu pun bingung bukan kepalang karena tidak memiliki ongkos untuk biaya pengobatan.

Awalnya, Khoiri bisa membiayai pengobatan istrinya dengan uang ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Tahun pertama, Khoiri sudah menghabiskan Rp 100 juta.

Sebagian besar uang itu dihabiskan untuk biaya kemoterapi. Kemudian dia harus menjual rumah di kawasan Pandaan.

Khoiri jatuh miskin. Dia tidak memiliki biaya untuk proses penyembuhan selanjutnya.

Tabungannya saat itu hanya menyisakan Rp 5 juta. Berbagai instansi pemerintah dia datangi.


Dia hanya ingin istrinya terdaftar di dalam jamkesmas atau sejenisnya. Dia mendatangi kecamatan dan Dinkes Sidoarjo. Namun tidak ada hasil.

Oleh seorang dokter, Khoiri dan istrinya disarankan mengurus SKTM.

“Alhamdulillah setelah itu kemoterapinya gratis,” kata Khoiri.

Namun dia tetap harus menyediakan uang jutaan rupiah untuk menebus obat yang tidak masuk dalam daftar tanggungan negara. Meski begitu, dia bersyukur nyawa istrinya tertolong.

Saat ini, kondisi istrinya sudah membaik. Tapi masih  kontrol ke dokter. Nah untuk kebutuhan kontrol ini Khoiri merasakan sulitnya hidup tanpa jaminan kesehatan.

Ia terpaksa telat tiga bulan dari jadwal kontrol yang ditentukan dokter.

Tiap kontrol, Khoiri harus mengeluarkan minimal Rp 500.000. Butuh waktu dan kerja keras untuk mengumpulkan uang itu.

Ia harus menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai kuli bangunan yang memang tidak seberapa. Apalagi pekerjaan kuli bangunan itu tidak selalu ada.

Biasanya, bila sedang tidak order bangunan, Khoiri mencoba menganis rejeki dengan mengojek.

Itupun dilakukan dengan was-was karena kondisi kesehatan Khoiri sendiri rawan gangguan.

Dua kali kecelakaan saat nguli menjadi penyebab. Dokter menyarankan agar dia tidak bekerja terlalu berat.

“Saya hampir mati karena terlindas truk saat nguli,” ujarnya lirih.

Khoiri sangat berharap, ia dan keluarga terdaftar sebagai peserta BPJS

Dinas Kesehatan Tak Tahu Jumlah Warga Lapindo yang Terdaftar 

Warga korban lumpur Lapindo mengeluh karena meski sudah delapan tahun bencana itu berlalu, namun mereka tak mendapatkan jaminan kesehatan hingga saat ini  
Padahal, sebagai warga miskin yang kemudian menjadi korban bencana, mereka tak mampu untuk berobat dengan biaya sendiri. Kalaupun ada uang ganti rugi yang diterima, itu tak cukup 

Diduga, pendataan korban dilakukan dengan buruk 


Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sidoarjo, Ika Harnasti mengaku tak tahu persis jumlah warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang telah terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan.

Menurutnya, data tersebut sepenuhnya ada di tangan BPJS Kesehatan sendiri.

“Saya hanya PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) untuk Dinas Kesehatan yang tugasnya untuk pemberian pelayanan kesehatan saja,” kata Ika, Kamis (27/5/2014).

Dia hanya memastikan, untuk korban lumpur yang memang memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau dinyatakan miskin, biaya pengobatannya akan ditanggung oleh pemerintah.

Terkait syarat kepesertaan BPJS Kesehatan bagi korban lumpur Lapindo, juga tidak ada perbedaan dengan syarat kepesertaan masyarakat yang lain.

Yang paling utama, dalam BPJS, penyakit-penyakit atau bahaya kesehatan yang termasuk dalam KLB atau kejadian luar biasa, tidak dicover.

Dengan demikian, untuk penyakit-penyakit yang tergolong KLB, sepenuhnya menjadi beban pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkab Sidoarjo.

“Dan kalau memang belum terdaftar ke dalam BPJS, harus dilihat dulu apakah yang bersangkutan tergolong mampu atau tidak. Kalau mampu, pengobatan di puskesmas ya bayar. Sebaliknya kalau tidak mampu, ya gratis,” lanjutnya. (dari: 
http://www.indonesiamedia.com/)

No comments:

Post a Comment