Thursday, October 30, 2014

Pergulatan Karir dan Rona Kehidupan Piet Inkiriwang

* DUA


Tak seorang pun pernah memperoleh kehormatan atas apa yang diterimanya. Kehormatan diperoleh sebagai imbalan atas apa yang telah diberikannya.
Calvin Coolidge, Presiden ke-30 Amerika Serikat, 1923-1929

DESA SULEWANA, awal 1960-an. Sebuah kepahitan hidup dialami oleh seorang Piet Inkiriwang. Di tengah upayanya terus bersekolah di SD yang ada di kampungnya, Desa Sulewana, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Piet kecil harus menjadi yatim lantaran ditinggal wafat ayahandanya. Pondasi perekonomian keluarganya pun goyah gara-gara ditinggalkan oleh sang tulang punggung. Ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga seolah tidak memberikan asa apa-apa.
Namun, Piet tidak lantas patah arang. Terlebih lagi, Piet kecil sempat diberkati ayahandanya. Dengan memegang kepala Piet, ayahanda berpesan, “Kau harus jadi orang yang berguna dan mengangkat martabat keluarga.” Begitulah kurang-lebih memori Piet mengingat pesan ayahanda yang sedari awal mengerti karakter seorang Piet yang disiplin dan penuh kepedulian dibandingkan saudara-saudara kandung yang lain.
Karena itu pula, dalam kondisi apapun, Piet tetap terus bersekolah. Ketika lulus dari SD di desanya, Piet mau tidak mau harus keluar desa, mengingat di desanya belum ada sekolah setingkat SMP. Dia harus bersekolah SMP di Tentena. Sehari-hari kemudian dia harus berjalan kaki pergi-pulang sekolah dengan jarak sekitar 12 kilometer. Ternyata kekuatan fisik manusia relatif terbatas, lalu Piet yang baru masuk remaja itu memilih tinggal di rumah sebuah keluarga yang tinggal tidak jauh dari SMP-nya. Meski, dengan begitu, dia harus bekerja membantu keluarga yang sehari-hari membuka kedai makan tersebut. Dia mengenal keluarga yang cukup berada itu dengan sebutan Mama Lin.  
Piet mengenang, “Saya harus tahu diri kan. Waktu itu Mama Lin membantu lima orang yang tinggal di rumahnya. Ada dua orang laki-laki tukang masak, lalu saya sebagai tukang nyuci dan nimba air. Sampai selesai kelas tiga SMP saya tinggal di situ. Mama Lin itu kenalan baik ibu saya, dan Lin sendiri teman saya sekolah di SMP. Semua itu bisa berjalan berkat Tuhan.”
Lulus dari SMP, Piet melanjutkan SMA di Poso. Jelas, Poso lebih jauh lagi dari rumahnya di Desa Sulewana. Tidak sekadar jauh, di SMA pun Piet tidak punya sepatu, bersekolah dengan telanjang kaki. Padahal, dia harus berjalan kaki relatif jauh, sekitar 12 kilometer dari tempatnya saat masih di SMP. Bersyukur, dia kemudian memperoleh tumpangan tinggal pada keluarga pengusaha es batu di Kota Poso. Dan dia tidak perlu jauh-jauh berjalan kaki dengan buku sekolah diselipkan di bagian belakang celana.
Ujar Piet mengenang lebih mendalam:
“Di SMA saya tidak punya sepatu, padahal sehari-hari harus berjalan kaki ke sekolah. Pakaian juga bukan kemeja, tapi seperti kaos berbahan karung gandum. Buku dilipat di sini (bagian belakang celana), lalu jalan kaki. Pulang sekolah terpaksa utang untuk beli sandal nilek, saya masih ingat sandal nilek. Saya harus menyadari diri sebagai orang miskin. Saya punya banyak teman pakai sepatu mahal dan bersepeda ke sekolah. Tak ada sedikitpun rasa rendah diri, karena banyak teman bertanya soal pelajaran ke saya. Dari banyak teman sekolah, cuma saya yang jadi bupati. Itu Tuhan yang atur. Waktu di SMA sempat jualan dan bikin es batu. Karena saya tinggal di orang Cina yang punya pabrik es yang istrinya orang asli sini. Di situ sampai kelas tiga.”
Kerja keras dan belajar yang tekun ternyata tidak membuahkan hasil optimal bagi seorang Piet Inkiriwang muda. Pada saat duduk di kelas tiga SMA, dia tidak bisa ikut ujian karena pecah peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S). “Kami tidak diberi ijazah karena ada dua guru kami terlibat komunis,” tutur Piet mengenang masa getir di SMA.     
Jelas, Piet kecewa berat. Mau melamar pekerjaan terpaksa hanya bermodal ijazah SMP. Apalah arti ijazah SMP untuk menggapai masa depan yang lebih berpengharapan.

A.   Dari Jantung Rimba Jadi Polisi
Piet punya kemauan keras untuk maju. Poso tanah kelahirannya langsung dia tinggalkan. Mendayung sampan sampai ke daerah Tojo. Di tempat itu biasanya ada kapal milik ABRI yang singgah tiga bulan sekali untuk mengantar logistik. Dengan menumpang kapal itulah, Piet sampai pula di Manado, Sulawesi Utara.
Hanya menyandang predikat lulusan SMP tampaknya tidak mudah buat menaklukkan Manado, kota terbesar di Sulawesi Utara. Di tengah kegalauan, dia teringat pada pesan ibunda bahwa dirinya mesti mampu mengangkat derajat keluarga dengan cepat-cepat bekerja, cukuplah sang ibunda yang hidup serba susah. Tanpa banyak berpikir, dia lantas mendaftarkan diri ke Sekolah Angkatan Kepolisian (SAK) yang berada di Jalan Sam Ratulangi Nomor 322 Kelurahan Karombasan, Kecamatan Wanea, Kota Manado. Bersyukur Piet dapat diterima masuk menjadi salah satu siswa SAK Karombasan pada tahun 1965.
“Bayangkan saya ini orang ndeso, asli Desa Sulewana yang artinya jantung rimba. Hidup di tengah-tengah rimba sejak kecil. Kemudian bisa masuk di sekolah polisi. Tidak terbayangkan sebelumnya. Mengapa saya masuk polisi, karena kehidupan yang susah waktu itu,” tutur Piet yang kini mengemban amanah sebagai Bupati Poso (2005-2010 dan 2010-2015).
Piet muda pun mengikuti pendidikan selama enam bulan di Sekolah Angkatan Kepolisian—sekarang dikenal sebagai Sekolah Polisi Negara (SPN) Manado. Usai pendidikan, resmilah Piet menjadi polisi dengan pangkat Brigadir Polisi Tingkat II.
Lalu di mana Brigadir Polisi Piet bertugas? Secara kebetulan, ujar Piet, ada orang Poso yang punya kewenangan menempatkan para lulusan sekolah angkatan kepolisian di Manado tersebut. “Kebetulan yang ngatur-ngatur di sana itu orang asal Poso. Saya sampaikan ke dia bahwa saya harus bekerja untuk meringankan beban ibu dan saya juga harus merawat ibu. Waktu itu saya mau dikirim ke Sangihe, wilayah perbatasan dengan Filipina. Untung tidak jadi ke sana. Akhirnya saya ditempatkan di Poso. Saat di Poso saya ketemu dia lagi dan kemudian saya melapor ke dia selaku atasan di Markas Polres Poso,” tutur Piet penuh kenangan. Di Polres Poso, Piet ditempatkan sebagai Anggota Sub-Detasemen P2U.
Cukup dua tahun (1965-1967) Piet menempati pos di Sub-Detasemen P2U Polres Poso. Kemudian (1967-1969) dia ditugaskan pada Denpos di Desa Kuku, masih di wilayah kerja Polres Poso. Dan tahun 1969-1971, dia menjadi Polisi Lalu-lintas Polres Poso.
Bertugas di Poso di masa-masa pertengahan 1960-an yang ditandai peristiwa tragedi G-30-S itu rupanya mendatangkan apresiasi tersendiri bagi seorang Piet. Di tenggang dua tahun, 1965-1967, Piet betul-betul bekerja keras ikut aktif memberantas gerakan berdarah yang sangat menggores di ingatan rakyat Republik Indonesia itu. Berkat kerja kerasnya, dia memperoleh penghargaan Satya Lencana Penegak. Sedikit pengetahuan, Satyalencana Penegak adalah sebuah tanda kehormatan yang dikeluarkan dan diberikan kepada anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang secara aktif sedikit-dikitnya selama 30 hari sejak 1 Oktober 1965 sampai tanggal yang ditentukan oleh Menteri Utama Bidang Pertahanan Keamanan dalam gerakan pembersihan dan pemberantasan G-30-S PKI.
Tahun 1972, Piet harus meninggalkan Poso yang dicintainya. Dia diberi kesempatan untuk mengikuti Sekolah Lanjutan Brigadir Khusus Instruktur di Candi, Semarang, Jawa Tengah. Sepulang dari Semarang, Piet tidak lagi ditugaskan di Polres Poso. Dia langsung mendapat tempat sebagai instruktur di Sekolah Polisi Negara (SPN) Karombasan, Manado. Sampai sekitar tahun 1982 di sana dengan jabatan terakhir Kepala Sub-Detasemen Provoost.
Di SPN Karombasan, Piet berusaha banyak belajar kepada atasannya. Atasan yang paling dia idolakan adalah AKBP A. Sujuti Mappasiata. Piet banyak belajar dari AKBP Sujuti yang menjadi Kepala SPN Karombasan pada 1983-1987.  “Sekali waktu beliau panggil saya, beliau berpesan bila kau nanti memimpin maka tulislah agendamu tiap hari, apa yang akan dikerjakan hari ini, besok dan seterusnya. Begitu masuk kantor langsung sudah melihat apa yang harus dikerjakan. Jadi kerja tidak semrawut. Kami susun rencana bulanan, rencana mingguan, dan rencana harian. Kalau tidak ada itu, maka akan sulit bekerja. Kita tidak akan tahu apa yang mesti kita kerjakan. Sebagai pemimpin, juga harus berani menegur bila ada bawahan yang bersalah,” tutur Piet yang memegang prinsip selalu belajar dari pengalaman. Arti kata, ketika menjadi bawahan dia belajar pada atasan, dan tatkala menjadi atasan maka dia tidak segan-segan belajar dari bawahan yang langsung berada di ujung tombak pelayanan masyarakat.  
Usai mengemban jabatan Kepala Sub-Detasemen Provoost SPN Karombasan, 1983, Piet memperoleh promosi menjadi Kepala Satuan Lalu-lintas (Kasatlantas) Polres Bolmong, Polda Sulutteng. Hanya dalam hitungan bulan dia menyandang jabatan Kasatlantas.
Masih di tahun 1983, Kapolda Sulutteng mencari polisi muda untuk dijadikan ajudan. Piet bercerita, “Kapolda Sulutteng waktu itu, Pak Boby Rama, tengah mencari ajudan, beliau menugaskan beberapa perwira untuk menyeleksi beberapa polisi yang layak menjadi ajudan, beliau ingin laki-laki yang tinggi dan gagah. Dari beberapa orang, saya lah yang kemudian terpilih. Jadi nasib saya di situ. Sebelum-sebelumnya tidak ada ajudan yang tinggal di rumah dinas Kapolda. Waktu itu usai menikah, saya bawa isteri tinggal di rumah dinas Kapolda. Urusan Kapolda dan ibu, semua kami yang atur. Saya diberi kepercayaan penuh. Sampai urusan jahit baju, isteri saya yang menjahit. Kebetulan isteri saya penjahit. Kapolda memberi banyak pelajaran. Saya belajar dari beliau soal kepemimpinan. Beliau katakan ‘kau punya bakat jadi pemimpin, kau ada bakat tersembunyi’. Namun saya katakan saya belum pernah ikut Sespim. Beliau hanya berpesan ‘lihat apa yang saya perbuat’.”
Sekitar dua tahun Piet Inkiriwang menjadi ajudan Kapolda Sulutteng. Lalu, 1987-1988, dia kembali bertugas di lapangan. Kali ini dipercaya menjadi Kepala Polsek di salah sudut Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sebagai orang lapangan, karirnya lumayan bagus. Akhir 1988 dia kembali dipromosikan dan menjadi Kepala Satuan Reserse Kepolisian Wilayah (Kasatserse Polwil) Sulteng. Sampai tahun 1989 dia mengemban tugas sebagai Kasatserse.
Kembali ke Manado. Dan kembali menjadi guru atau instruktur. Begitulah tapak karir Piet Inkiriwang memasuki kalender tahun 1989. Dia kembali masuk ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Karombasan, Manado, dengan posisi sebagai Kepala Korps Siswa (Kakorsis). Berkat kesetiaannya sebagai guru atau instruktur, dia memperoleh apresiasi Satya Lencana Dwidiasista (pengabdian sebagai instruktur atau guru).
Sekali lagi sebagai orang lapangan, setelah sekitar tiga tahun menjadi Kakorsis SPN Karombasan, Piet kemudian dipromosikan lagi menjadi Kepala Pusat Komando Pengendalian dan Operasional (Kapuskodalops) pada Polresta Manado. Selama kurang-lebih tiga tahun pula dia berada di kursi ini.

B.    Bawa Mama ke Lautan Luas
Di sela-sela tugasnya ke Polresta Manado, ibunda memanggil Piet. Memang dia demikian dekat dengan ibunda. Banyak nasehat dan curahan hati ibunda yang kemudian seolah menjadi guratan tapak karir Piet di dunia kepolisian.   
Memasuki tahun 1995, Piet tour of duty dari Polresta Manado ke Polres Bolmong, masih di wilayah Polda Sulut. Dari Kapuskodalops, dia kemudian diberi tanggung jawab sebagai Wakil Kapolres Bolmong. Ya, dia menjadi orang nomor dua di Markas Polres Bolmong.
Satu waktu di tahun 1997, Piet dipanggil ibunda yang ingin menyampaikan curahan hati. Sampai sekarang dia masih ingat benar apa yang disampaikan ibunda, karena curahan hati ibunda seolah menjadi titian karir yang tidak pernah diimpikannya. Tutur Piet penuh kenangan:
“Sebelum jadi Kapolres Sangihe-Talaud, beliau panggil saya. Beliau sampaikan, kamu ini mau bawa mama ke lautan yang sangat luas. Lho mau ke mana? Mama belum pernah lihat itu daerah, di situlah kau akan sampai di satu pulau. Sampai kemudian turun surat keputusan Kapolri, saya diangkat jadi Kapolres Sangihe dari Wakapolres Bolmong. Setelah beberapa waktu menjadi Kapolres Sangihe, beliau panggil saya lagi. Katanya beliau ingin lihat laut, tapi merasa ramai sekali. Beliau bilang banyak uang di situ. Berapa pekan kemudian saya ditelepon staf Kapolri yang menyampaikan surat keputusan perihal pengangkatan saya menjadi Kapolres Bitung. Dibandingkan Sangihe, Bitung jelas lebih ramai karena Polres Bitung termasuk Polres tipe A sedangkan Polres Sangihe tergolong tipe C. Sepertinya beliau sudah tahu ke depan dalam doanya. Di lain waktu beliau juga memberi tahu bahwa saya jadi orang baik, jadi pemimpin. Belum dua tahun di Bitung, saya pulang ke rumah (Manado), jadi Kepala Sekolah Polisi Negara (SPN) Karombasan setelah  keluar SK pengangkatan dari Kapolri.”
Tatkala menjabat sebagai Kepala Polres Sangihe-Talaud, Piet Inkiriwang sempat menorehkan prestasi yang cukup membanggakan. Ketika itu, bersama jajarannya, dia memperoleh tugas mengungkap jaringan terorisme yang masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui laut Filipina Selatan (Moro). Di bawah komando Piet, tim dari Polres Sangihe berhasil menangkap delapan orang kader terlatih. Bermula dari pantauan radio, kode SOS berasal dari tengah laut, sebuah kapal dibajak kelompok bersenjata. Piet berusaha menindak-lanjutinya namun apa daya Polres Sangihe tak punya kapal laut. Dia berupaya meminjam ke beberapa perusahaan perikanan tapi nihil hasil. Akhirnya, dengan menggunakan kapal nelayan seadanya, sambil terus mendayung, dia dapat tiba di kapal yang dibajak kelompok bersenjata.
Terjadilah perlawanan, namun Piet berhasil meringkus –kendati ada beberapa orang mampu melarikan diri. Kelompok teroris tersebut semula tidak bersedia mengakui di mana mereka menyembunyikan senjata-senjatanya. “Di tempat penyimpanan ikan, senjata-senjata canggih milik mereka kami temukan. Semua senjata otomatis, kami saja yang aparatur kepolisian ketika itu belum menggunakan senjata seperti itu,” kenang Piet.

C.   Apresiasi dari Gus Dur Lalu Jadi Kepala SPN Karombasan
Berkat torehan prestasi tersebut, Piet memperoleh apresiasi dari Presiden (saat itu) Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tak seberapa lama setelah keberhasilan penangkapan kelompok bersenjata dari Moro tersebut, dia menerima sambungan telepon dari Presiden Gus Dur. Berikut sekilas petikannya:
“Saya Gus Dur, apakah saya berbicara dengan Bapak Kapolres?” suara terdengar dari seberang telepon.
“Siap perintah Bapak Presiden,” Piet menjawab tegas.
“Saya mendengar bahwa kamu berhasil menumpas kelompok teroris yang akan masuk ke Indonesia. Saya ucapkan selamat. Sudah berapa lama kamu menjadi Kapolres?” Gus Dur bertanya dalam gayanya yang santai.
“Siap, sudah dua tahun Bapak Presiden,” Piet kembali menjawab.
 “Ah sudah lama, kamu mau minta jabatan apa?” Gus Dur memberikan tawaran.
“Siap, sebagai prajurit, saya siap ditugaskan di mana saja Bapak Presiden, terserah pimpinan saya Bapak Kapolda dan Kapolri,” jawab Piet.
“Bilang saja kamu mau jabatan apa, orang lain sampai minta-minta jabatan, kamu ditawarin kok malah menolak,” sergah Gus Dur.
Berselang beberapa waktu, Piet Inkiriwang yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel (sekarang istilahnya Komisaris Besar) Polisi menerima Surat Keputusan dari Kapolri ihwal penugasan dirinya sebagai Kepala Sekolah Polisi Negara (SPN) Karombasan. Dia menjadi kepala sekolah yang ke-10 yang bertugas pada rentang tahun 2001-2002.
Sekadar catatan historis, SPN Karombasan merupakan salah satu Lembaga Pendidikan Polri yang ada di Provinsi Sulawesi Utara yang terletak di Jalan Sam Ratulangi Nomor 322 Manado, dengan luas keseluruhan baik lingkungan pendidikan maupun asrama/perumahan seluas 28 Ha (280.000 meter persegi) dengan sertifikat dari Badan Pertahanan Nasional Provinsi Sulawesi Utara Nomor 18 tgl 22 September 2000. Lokasi SPN Karombasan terletak di salah satu pemukiman masyarakat Kota Manado, tepatnya di Kelurahan Karombasan, Kecamatan Wanea.
SPN Karombasan didirikan pada tahun 1961 dengan nama semula Sekolah Kepolisian Negara dan sebagai Direktur/Kepala Sekolah adalah Komisaris Polisi Tingkat II Jep Torpedo, di mana sekolah ini mendidik siswa kepolisian menjadi Agen Polisi Angkatan Pertama dengan jumlah siswa 240 dan berada di Wilayah Kecamatan Sario, Manado.
Pada tanggal 16 Mei 1963 berubah nama menjadi Sekolah Angkatan Kepolisian (SAK). Dan dalam perkembangan selanjutnya, tanggal 11 Agustus 1964 Sekolah Angkatan Kepolisian SAK berubah menjadi Deplat 019 Karombasan dan Kompol Tingkat I Imam Wahono sebagai Dan Deplat. Kemudian pada tahun 1979 nama Deplat 019 berubah menjadi Dodiklat 015 dan sebagai Kepala Dodiklat adalah Letkol Pol Sujuti Mappasiata BSc.
Pada tahun 1985, nama Dodiklat berubah menjadi Sekolah Kepolisian Negara (SPN) yang mendidik siswa Kepolisian menjadi Anggota Polri yang berpangkat Brigadir II Polisi. Seiring dengan perkembangan Polri, maka mulai tahun 2012 sampai dengan sekarang Kepala Sekolah Polisi Negara Karombasan (Kepala SPN) dijabat oleh AKBP Satake Bayu, SIK,MSi. SPN Karombasan mengusung filosofi pendidikan Polri “Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum” dengan motto “Disiplin adalah kunci kesuksesan”.
Tercatat nama-nama yang pernah membangun dan menggawangi sebagai Kepala SPN Karombasan:

NO
Nama
Pangkat
Periode
1
Victor Pantow
LETKOL POL
1972-1979
2
Drs. A.F Abast
LETKOL POL
1979-1983
3
A Sujuti Mappasiata
LETKOL POL
1983-1987
4
Drs. Soekarji
LETKOL POL
1987-1990
5
Drs. Irwan Sumarno
LETKOL POL
1990-1993
6
Drs. Setyono P
LETKOL POL
1993-1995
7
Drs. A.A Mapparessa
LETKOL POL
1995-1997
8
Drs. Heru Purnomo
LETKOL POL
1997-1999
9
Drs. Edi Sugianto
LETKOL POL
1999-2001
10
Piet Inkiriwang, MSi
LETKOL POL
2001-2002
11
Drs. Yohanes Wardoyo
AKBP
2002-2004
12
Drs. I Nyoman S, Jaya
AKBP
2004-2006
13
Drs. Daniel Pasaribu
AKBP
2006-2007
14
Drs, Yadi Suryadinata, MSi
AKBP
2007-2009
15
Drs. H Sesmawan Putra, MH
AKBP
2009-2010
16
Rio Permana, SH,MH
AKBP
2010-2012

Mengakhiri masa pengabdian sebagai Kepala SPN Karombasan, 2002, Piet sudah memasuki umur 55 tahun. Sebuah usia mendekati masa pensiun. Dia pun memilih untuk segera pensiun dari dunia Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Terlebih lagi dia sudah mengantongi penghargaan Bintang Bhayangkara Nararya dari Kapolri. Penghargaan ini diberikan kepada polisi yang tidak memiliki cacat selama bertugas. Dia juga sudah menyabet penghargaan Satyalencana Kesetiaan 24 tahun. Pendek kata tidak ada lagi mimpi-mimpi yang lebih tinggi. Dia mengakui sebagai rakyat jelata dari jantung rimba, cukuplah sampai di titik karir Kepala SPN Karombasan.

D.   Memikul Kayu Beserta Akar-akarnya
Benar, Piet Inkiriwang memilih pensiun lebih cepat dari batas waktu yang diberikan oleh negara. Ya, di seputaran tahun 2002, dia memasuki masa pensiun. Beberapa saat sebelum mengajukan pensiun lebih awal daripada waktunya, dia bersua ibunda dan nasihat pun keluar dari mimik ibunda yang sarat petuah nan menyejukkan.  
Tutur Piet Inkiriwang ihwal nasehat ibunda terakhir kalinya:
“Nasehat terakhir, mama lihat saya akan pikul kayu yang sangat berat. Berat sekali kayu tersebut, karena berupa pohon yang masih ada akar-akar dan cabang-cabangnya, berat untuk dipikul. Kata ibu saya, tangan kiri saya menjinjing karung yang sangat berat. Tapi kau tetap jalan sampai di suatu batas tidak ada lagi pohon dan tidak ada lagi karung. Itu nasehat terakhir mama saya yang meninggal dunia tahun 2009. Setelah bernasehat usai saya mendekati pensiun, mama tidak pernah ngomong apa-apa lagi. Nasehat mama saya luar biasa. Begitu beliau meninggal, tidak ada lagi orang yang beri nasehat ke saya. Mama saya ini sumber nasehat.”
Pensiun dari kepolisian, Piet tidak berhenti mengabdi kepada bumi pertiwi. Dia memilih terjun ke jagad politik praktis sampai kemudian terpilih menjadi Anggota DPRD Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Provinsi Sulawesi Utara. Bahkan Piet yang maju ke pemilihan legislatif lewat Partai Demokrat ini sempat didaulat sebagai Wakil Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Minsel.
Sebagai kader Partai Demokrat, pada tahun 2004 Piet memperoleh amanah sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional Gabungan Lintas Partai Capres/Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla (SBY-JK). Dan dia berhasil “memberikan” suara terbanyak buat pasangan SBY-JK untuk wilayah pemilihan Sulawesi Utara.
Ya, Piet Inkiriwang telah memberikan banyak hal kepada institusi pengabdiannya, kepada parta politik, dan kepada rakyat yang diwakilinya. Dia telah pula memperoleh berbagai apresiasi dan penghargaan dari pemerintah dan berbagai lembaga. Bahkan ladang pengabdiannya bertambah luas, merambah pada ranah agama yang dianutnya. Dia sempat menjadi Ketua Pemuda GPdl Pakowa, Kodya Manado; Ketua Rukun Keluarga Besar Inkiriwang; Ketua Rukun Kemurahan Masyarakat Karombasan, Kodya Manado; Pelaksana Gembala GPdl Sulawesi Utara; dan Ketua Bidang Penginjilan GPdl Jemaat Sam Ratulangi Kota Manado.

Dan saatnya apresiasi dari rakyat-masyarakat segera tiba, saat memikul kayu beserta akar-akarnya dan tangan menjinjing karung yang berat. (*)      

No comments:

Post a Comment