Wednesday, October 30, 2013

Bahagia dengan Asuransi

* Rudy Wanandi
Presiden Direktur PT Wahana Tata, 1983

Banyak suka duka yang dialaminya selama 30 tahun lebih mengelola bisnis asuransi yang unik dengan persaingan sangat keras. Bahkan lebih keras dari bank. Kepercayaan nasabah dinilainya sebagai suatu hal yang sangat membahagiakan. Banyak teman yang mengajaknya berbisnis di sektor lain. Namun selalu dia tolak. Karena dia sudah cinta dengan asuransi.


Di jajaran industri asuransi nasional, nama Rudi Wanandi tidak asing lagi. Pembawaannya low profile, bicaranya ceplas-ceplos dengan logat Padang yang masih kental, senyumnya tak lekang dari bibir, mempunyai catatan panjang dalam bisnis yang unik ini.

Perkenalannya dengan dunia asuransi dimulai ketika dia bekerja di Maskapai Asuransi Madijo tahun 1974, yang setahun kemudian berganti nama menjadi Asuransi Wahana Tata. Di perusahaan ini sejak 1983 hingga kini dia dipercaya menjadi Direktur utama. Jalan menuju ke puncak itu dilaluinya setelah terbukti dia mampu.

Di tengah persaingan bisnis asuransi yang semakin tajam, dia sanggup mengangkat citra Wahana Tata di jajaran papan atas industri asuransi nasional. Lihat saja, di tengah terjadi pro-kontra mengenai risk based capital/RBC) sebagai ukuran kesehatan keuangan asuransi, tahun 2001 Wahana Tata membukukan angka RBC 200 persen. Angka ini begitu signifikan, karena jauh di atas ketentuan pemerintah yang mematok 40 persen.

Selain itu, perkembangan penting yang dicapai adalah kemampuan perusahaan meningkatkan modal setor. Tahun 2000 lalu modal disetor sebesar Rp 100 miliar. "Keberhasilan ini kami capai melalui kerja keras seluruh jajaran Wahana Tata, karena perusahaan ini kami kelola melalui team work," katanya.

Bukan cuma itu. Dari data keuangan yang belum diaudit, per Nopember 2001, Wahana Tata membukukan total asset lebih dari IDR sebesar Rp 300 miliar. Investasi Rp 200 miliar, modal sendiri Rp 150 miliar. Premi bruto lebih dari Rp 275 miliar. Perusahaan mencatat hasil underwriting lebih dari Rp 70 miliar dengan laba bersih Rp 35 miliar.

Banyak suka duka yang dialaminya selama 30 tahun lebih mengelola bisnis yang unik, persaingan yang sangat keras. Bahkan lebih keras dari bank. Kepercayaan nasabah dinilainya sebagai suatu hal yang sangat membahagiakan. Jadi, kalau disuruh memilih pekerjaan, dia lebih memilih kerja diasuransi. Karena dengan fax saja dia bisa mendapatkan satu juta dolar AS, tanpa mengunakan akte notaris atau tanpa apa-apa.

Banyak teman yang melirik atas keberhasilkannya itu, kemudian mengajaknya berbisnis. Semua dia tolak. "Karena saya sudah cinta sekali dengan asuransi. Saya sudah bahagia dengan asuransi ini. Walaupun pimpinan pemerintahan ganti-ganti, kami tetap bahagia," katanya memberi alasan.

Kiat yang membuatnya sukses adalah keterbukaan dan saling percaya, yakni kepercayaan manajemen terhadap anak buah, maupun kepercayaan pemegang saham terhadap manajemen. Kemudian bekerja secara team work. Jangan mengatakan rasa pesimis kepada karyawan, karena hal itu dapat menurunkan semangat bekerja mereka.

Kalau kemudian muncul masalah di cabang, pusat siap membantu. "Dengan segala latar belakang yang berbeda, kami bisa memberikan keputusan yang sama," katanya.

Rudy bukan tukang ramal. Tapi, jika ditanya soal asuransi, keyakinannya bisa mengalahkan paranormal. Menurut analisanya, dalam perdagangan bebas dunia (World Trade Organitation/WTO) dan ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA) 2003, persaingan bisnis asuransi di Indonesia semakin tajam.

Masuknya industri asuransi kelas dunia dengan modal dan teknologi yang kuat, dan saat inipun keberadaannya mulai menggigit, adalah suatu konsekuensi yang harus dihadapi.

Yang akan keluar sebagai pemenang adalah perusahaan yang dapat membangun keunggulan kompetitif. Kalau tidak, industri asuransi nasional akan tertinggal di belakang, dan harus puas hanya sebagai 'tukang jahit'.

Namun demikian, katanya, perdagangan bebas bukan hal yang perlu ditakuti, tapi harus disikapi. Caranya, dengan membangun keunggulan kompetitif tadi. Karena ada kecenderungan pasar asuransi akan terus berubah. Nasabah mengharapkan para penanggung asuransi dan regulator untuk lebih transparan. Mereka perlu mengetahui kekuatan keuangan, kesanggupan untuk membayar klaim, pelayanan yang lebih baik, pemanfaatan dan keamanan yang lebih baik.

Kelewat banyak
Perusahaan asuransi di Indonesia boleh dibilang seperti industri perbankan. Selain jumlahnya yang kelewat banyak, sebagian besar di antaranya dianggap kurang kokoh untuk menghadapi pesaing dari mancanegara yang kini terus 'bergerilya' di negeri ini. Kelemahan yang dialami rata-rata menyangkut permodalan, teknologi, tenaga ahli, manajemen dan keterampilan. Sampai tahun 2000, di Indonesia kini beroperasi 107 perusahaan asuransi umum, 24 di antaranya berstatus joint venture, 61 asuransi jiwa, 4 perusahaan reasuransi professional, dan 2 asuransi sosial.

Jumlah perusahaan ini termasuk banyak. Tapi dari segi perolehan premi, Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara sekitar. Di Jepang misalnya, hanya ada sekitar 20 perusahaan, tetapi perolehan preminya sangat jauh lebih besar dari Indonesia. Dibanding dengan Singapura yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit, perolehan premi kitapun masih kalah. Masyarakat masih kurang merasakan pentingnya asuransi," katanya.

Dalam kondisi perekonomian nasional yang belum kondusif, Rudy menggaris-bawahi dua hal yang bisa membuat industri asuransi hidup dan bertahan. Pertama, pemerintah harus konsekuen dalam menjalankan undang-undang maupun peraturan menyangkut bisnis ini. Dalam aturan mainnya pemerintah tidak merubah-rubah peraturan seenaknya saja. Karena hal ini membuat pusing pihak asuransi. Kedua, pemerintah harus konsisten dalam penegakan supremasi hukum.

Bisnis asuransi adalah bisnis janji. Jadi, dasar hukumnya harus kuat. Tidak jauh berbeda dengan bank. Kalau bank dengan jaminan, sedangkan asuransi jaminannya perjanjian. Dalam konteks ini pemerintah harus tetap konsisten dengan rules of the game. "Kalau salah harus disalahkan, kalau mesti bayar harus bayar, jangan dimain-mainkan. Kalau masalah hukum kita baik, maka asuransi menjadi bisnis yang menjanjikan," ujarnya.

Konsisten dengan rules of the game yang dimaksudkan Rudy adalah, karena banyak institusi pemerintah yang terkait dalam bisnis ini. Salah satunya adalah pihak kepolisian sebagai institusi penegak hukum yang sangat terkait dengan proses klaim. Rudy mengharapkan agar pihak kepolisian bekerja secara professional. Konsisten dengan aturan main yang telah dibuat. Karena bisnis asuransi ini bisa berjalan dengan baik apabila didukung institusi yang terkait. "Saya ingin polisi itu sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dan jujur," katanya.

Menurut penilaiannya, pihak kepolisian perlu meningkatkan profesionalismenya. "Dalam hal ini kami mohon agar pemerintah tegas. Kalau dibiarkan terus akan merusak image asuransi," katanya.

"Bisnis asuransi sangat memerlukan kondisi kepastian hukum. Unsur kepercayaan yang menjadi salah satu dasar penting bisnis asuransi bersentuhan sekali dengan aspek moralitas, yang dalam berbagai kasus atau kesempatan dapat mengarah pada tindakan criminal, atau kejahatan asuransi baik dari sisi perusahaan asuransi maupun nasabah dan dapat berdampak sangat destruktif. Oleh sebab itu, sangat urgen bagi industri asuransi untuk tumbuh dalam kondisi kepastian hukum. Perlu ada ketegasan sikap dari pemerintah dan aparat. Kalau tidak, akan merusak image dunia usaha asuransi," ujarnya.

Apalagi bisnis asuransi sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat, hingga kini tidak mengenal program rekapitalisasi seperti dinikmati perbankan.

Rudy berbagi keberhasilannya di dunia asuransi, dengan cabang olahraga. Sudah 15 tahun dia duduk sebagai Pengurus Ikatan Anggar Seluruh Indonesia (IKASI). Tahun ini dia diangkat lagi sebagai wakil ketua, yang dalam waktu dekat akan dilantik oleh Ketua KONI.

"Sebenarnya bekerja di organisasi sosial lebih letih dibanding kerja di asuransi yang aturan mainnya tegas, salah dimarahi atau bahkan dipecat. Diorganisasi sosial jauh lebih longgar. Jadi lebih enak di asuransi," ujar penggemar olahraga renang, tenis dan golf ini.

Dulu suka nonton bola. Saya pernah bilang, dalam kondisi ekonomi Indonesia seperti sekarang ini, mengurus asuransi seperti mengurus bola. Artinya, bisa bertahan saja sudah berarti menang.


Sumber: http://www.tokohindonesia.com

No comments:

Post a Comment