Saturday, January 24, 2015

Pemerintah Diminta Beri Penjelasan Soal Gugatan UU BPJS


OJK bersikap pasif mengenai gugatan ini lantaan yang menggugat adalah sejumlah perusahaan asuransi.

Pemerintah Diminta Beri Penjelasan Soal Gugatan UU BPJS
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, Firdaus Djaelani (kiri). Foto: RES
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) enggan banyak komentar mengenai digugatnya UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terlebih lagi, para penggugat terdiri dari sejumlah perusahaan asuransi yang beroperasi di Indonesia.

"Itu hak mereka, kita pasif saja. Meski OJK mengawasi BPJS dari sisi keuangan, sedangkan dari sisi program ada DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani di Jakarta, Rabu (21/1).

Meski begitu, Firdaus mencoba menerka titik permasalahan yang digugat sejumlah perusahaan asuransi. Menurutnya, jika yang menjadi masalah adalah dugaan terjadinya kewajiban mendaftar BPJS memicu monopoli dalam industri asuransi, hal tersebut harus dijawab oleh pemerintah dengan jelas.

"Harus dijawab oleh pemerintah. Gugatan itu adalah UU di-challange dengan UUD," kata Firdaus.

Ia menjelaskan, salah satu alasan kehadiran BPJS adanya keinginan pemerintah yang untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi kalangan masyarakat tidak mampu. Setidaknya, terdapat 86 juta masyarakat tidak mampu yang bisa disubsidi oleh pemerintah melalui program BPJS.

Dengan cara itu, keinginan pemerintah agar program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kepada masyarakat bisa memiliki perlindungan dasar di bidang kesehatan dapat terpenuhi. Menurutnya, cara ini hanya bisa ditempuh melalui tangan pemerintah. Jika melalui swasta, akan sulit teralisasikan pemberian subsidi kepada masyarakat tidak mampu.

"Dulu pemikiran pemerintah, mensubsidi masyarakat yang tidak mampu sekitar 86 juta orang melalui Penerima Bantuan Iuran (PBI). Kalau swasta pasti tidak bisa membayarkan," katanya.

Menurutnya, permasalahan ini harus segera diatasi oleh pemerintah. Salah satunya bisa dengan cara coordination of benefit (COB) antara BPJS dengan perusahaan asuransi. "Bisa jadi barangkali ada penyempurnaan di UU BPJS," kata Firdaus.

Sebelumnya, Rabu (7/1) lalu, para pemohon yakni PT Papan Nirwana, PT Cahaya Medika Health Care, PT Ramamuza Bhakti Husada dan PT Abdiwaluyo Mitrasejahtera (perusahaan asuransi), serta Sarju dan Imron Sarbini mempersoalkan 6 pasal dalam UU BPJS. Ketentuan yang disasar yaitu Pasal 15 ayat (1); Pasal 16 ayat (1) dan (2), Pasal 17 ayat (1) dan (2) huruf c, (4); dan Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU BPJS terkait kewajiban memilih BPJS.

Para pemohon menganggap kewajiban mendaftarkan ke BPJS menyebabkan pemberi kerja (Pemohon I dan Pemohon II) tidak bisa memilih penyelenggara jaminan sosial lain. Padahal, jaminan sosial lainnya nyata-nyata lebih baik dari BPJS. Terlebih, adanya sanksi administratif kepada pemberi kerja apabila tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS seperti diatur Pasal 17 ayat (1) dan (2) huruf c, dan ayat (4), UU BPJS. Tetapi, penyelenggara negara tidak dikenai sanksi administratif bila tidak mendaftarkan BPJS bagi pekerja/pegawainya.

Menurut pemohon, adanya kewajiban memilih BPJS sebagai penyelenggara jaminan sosial pekerja menyebabkan monopoli dalam penyelenggaraan  jasa layanan jaminan sosial yang berimbas langsung bagi penyedia jasa layanan kesehatan lainnya (perusahaan asuransi lainnya) seperti yang dialami Pemohon III dan Pemohon IV. Mereka menganggap pasal-pasal itu karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 28H ayat (3) UUD 1945.
 (www.hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment