Sunday, August 23, 2015

Belajar dari Kesungguhan India

India tidak hanya terkenal dengan film, tarian, serta musiknya. Negara yang memiliki populasi terbesar kedua di dunia ini juga dikenal dengan kemajuan di gerakan disabilitas.
Salah satu yang patut dicontoh adalah adanya Rehabilitation Commision of India (RCI). Lembaga tingkat nasional ini dibentuk pemerintah pada tahun 1980-an, beranggotakan tokoh-tokoh penyandang disabilitas dan tokoh-tokoh masyarakat seperti pendidik, pemerhati masalah sosial, dan pembela hak asasi manusia. RCI antara lain bertugas memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengembangkan kebijakan yang berkaitan dengan penyandang disabilitas serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya.
Progresivitas gerakan disabilitas di India tak dapat dilepaskan dari peran para aktivis gerakan disabilitas serta partisipasi elemen-elemen masyarakat pendukungnya, termasuk sektor usaha.
Ian Cardoza, tokoh RCI yang mengetuai council tersebut pada pertengahan tahun 2000-an, mengatakan bahwa dalam upaya memberdayakan penyandang disabilitas ada tiga pertanyaan yang menjadi landasan pemikirannya. Pertama, apakah kita mengangap keberadaan penyandang disabilitas sebagai masalah atau prioritas? Kedua, Pemberdayaan penyandang disabilitas itu kesempatan ataukah pilihan? Ketiga, pemberdayaan penyandang disabilitas -- termasuk langkah-langkah afirmatif – tanggung jawab siapa? Masyarakat saja? Atau pemerintah saja? Ataukah keduanya?
Pemberdayaan penyandang disabilitas harus dilakukan secara “sistemik”. Hal ini harus didukung kebijakan pemerintah yang bersifat multisektoral. Meliputi bidang kesehatan, pendidikan, fasilitas dan layanan publik, ketersediaan alat bantu yang dibutuhkan, perbankan, dan sebagainya. Pada tataran implementasi, semua hal yang disebutkan itu harus melibatkan pemangku peran yang luas. Dan, India telah membuktikannya.
Kurang lebih enam tahun lalu, aku berkesempatan belajar di Tamilnadu, negara bagian di ujung selatan India. Sebagian besar penduduknya etnis Tamil yang berbahasa Tamil. Selama delapan minggu aku tinggal di kota kecil Coimbatore. Dua minggu selebihnya melakukan studi lapangan dan berkunjung ke berbagai tempat di negara bagian tersebut.
Tamilnadu adalah negara bagian yang rata-rata penduduknya hidup sederhana. Pengemis pun dapat dijumpai di mana-mana. Namun, yang sangat mengesankan, negara bagian ini dipakai sebagai proyek percontohan saat pemerintah India mengujicobakan penerapan kebijakan terkait pemberdayaan penyandang disabilitas. Sistem jaminan sosial, pendidikan untuk semua, sistem pendidikan inklusif, serta skema kredit khusus untuk penyandang disabilitas.
Jaminan Sosial Khusus Di India, jika ada bayi lahir dan dideteksi memiliki kelainan pada fungsi-fungsi organ tubuhnya, akan dirujuk ke layanan medis terkait untuk menjalani rehabilitasi medis. Jika kelainan fungsi organ tubuhnya diperkirakan bersifat permanen, rumah sakit tempat menjalani pemeriksaan dan tindakan medis akan merekomendasikan untuk mendapatkan “sertifikat” yang menyatakan si bayi mengalami “disabilitas”. Pemberian sertifikat ini merupakan bagian dari layanan “pengadilan”. Untuk mereka yang tinggal di daerah terpencil, pemerintah menyediakan mobile court. Pada sertifikat ini tertera juga di tingkat sosial ekonomi mana keluarga si bayi penyandang disabilitas. Berbekal sertifikat inilah keluarga kemudian mengakses layanan khusus bagi penyandang disabilitas dan keluarganya, yang disebut disability pension.
Bagi keluarga tidak mampu, disability pension mencakup layanan rehabilitasi medis, transportasi gratis untuk menjalani rehabilitasi medis, dana pendidikan, transportasi gratis untuk pulang pergi ke sekolah, serta alat bantu yang diperlukan untuk kemandirian hidup sehari-hari.
Terhadap penyandang disabilitas berat yang sepanjang hidupnya harus tergantung pada bantuan keluarga atau orang yang mengurusnya (care giver), tunjangan sosial juga diberikan kepada keluarga atau orang-orang yang mengurus penyandang disabilitas berat tersebut.
Langkah Afirmatif Di India, pemberdayaan penyandang disabilitas dilakukan secara proaktif, baik oleh pemerintah maupun elemen masyarakat terkait. Langkah-langkah afirmatif pun dilakukan demi akselerasi pencapaian tujuan.
Langkah ini diawali sejak tahap “identifikasi”, yaitu mencari dan menemukan warga negara yang menyandang disabilitas dari berbagai kelompok dan tingkatan. Identifikasi ini kemudian diikuti dengan langkah sertifikasi seperti diuraikan di atas. Untuk melakukan identifikasi, pemerintah distrik – tingkat pemerintahan di bawah pemerintah negara bagian -- adalah ujung tombaknya. Pada umumnya mereka mengerahkan pekerja sosial, special teacher atau guru pendamping khusus siswa penyandang disabilitas, serta tenaga relawan.
Sebagai anggota PBB yang turut menandatangani pencanangan Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1989, pemerintah India telah secara kreatif menempuh langkah-langkah afirmatif untuk mengakselerasi pencapaiannya.
Sadar bahwa pendidikan untuk semua harus mencakup anak-anak dengan disabilitas. Disadari pula India adalah negeri yang sangat luas, dan sebagian keluarga pemilik anak dengan disabilitas tinggal di daerah terpencil, dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan untuk anak disabilitas belumlah menjadi prioritas keluarga.
Untuk memotivasi keluarga dengan tingkat ekonomi rendah yang tinggal di daerah terpencil agar mau membawa anak dengan disabilitas ke sekolah, pemerintah India memberikan “insentif khusus” kepada keluarga tersebut. Pada praktiknya, banyak orang tua dari keluarga tidak mampu menyekolahkan anak dengan disabilitas mereka hanya karena ingin mendapatkan “insentif khusus” tersebut. Ini tak jadi soal. Lebih penting adalah “hasil akhir” yang dicapai. Secara perlahan, India berasil meningkatkan jumlah anak penyandang disabilitas yang memenuhi wajib belajar pendidikan dasar.
Guna menampung anak-anak penyandang disabilitas di sekolah, tak cukup hanya di sekolah khusus atau sekolah luar biasa, yang sudah tentu biaya penyelenggaraannya mahal. Untuk mengatasinya, sistem pendidikan inklusif yang memberikan hak kepada anak dengan disabilitas menempuh pendidikan di sekolah umum pun dikembangkan. Mulai dari sistem layanan utama di sekolah, sistem layanan pendukung oleh lembaga yang disebut “pusat sumber”, hingga sistem “layanan tambahan“ yang biasanya diberikan oleh lembaga rehabilitasi sosial dan lembaga medis.
Konsekuensi dari ini semua, kebutuhan akan guru khusus atau special teacher pendamping anak-anak dengan disabilitas di sekolah umum pun meningkat. Ini menjadi lapangan kerja baru bagi generasi muda India, yang pada praktiknya lebih diminati kaum perempuan. Lembaga pendidikan yang menghasilkan guru khusus pun mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik anggaran maupun fasilitas.
Dengan langkah afirmatif semacam ini, keberadaan anak disabilitas di sekolah umum menjadi pemandangan biasa di India. Tidak hanya di kota, tapi juga di desa-desa. Meski dengan fasilitas yang masih terbatas, guru-guru sekolah umum tetap bersemangat mengajar anak-anak dengan disabilitas dalam satu kelas bersama anak-anak lainnya. Pada kunjunganku di beberapa desa di sekitar kota Madurai, yang masih sangat kekurangan guru, bahkan ada seorang guru yang harus mengajar beberapa kelas sekaligus, dan di antara murid-murid di kelasnya ada anak dengan disabilitas, tunanetra, dan tunarungu.
Skema Kredit Khusus Langkah afirmatif juga dilakukan untuk mengentaskan penyandang disabilitas dari kemiskinan. Dan kewirausahaan adalah solusinya. Untuk mendorong tumbuhnya wirausahawan dari kalangan penyandang disabilitas, pemerintah India menciptakan “skema kredit khusus” untuk mereka.
Sebuah bank pemerintah ditunjuk untuk menyediakan kredit khusus ini, dengan bunga yang sangat rendah. Lembaga swadaya masyarakat yang akuntabel dipercaya membina penyandang disabilitas untuk merintis usaha. Umumnya mereka berkelompok, beranggotakan beberapa kategori disabilitas; tunanetra, tunarungu dan tunadaksa. Bidang usaha yang ditekuni adalah sesuatu yang dekat dengan keseharian mereka. Misalnya keperluan beribadah. Setelah mendapatkan pembinaan dari lembaga pemberdaya penyandang disabilitas, kelompok usaha ini dapat memulai usaha, dengan memanfaatkan skema kredit khusus tersebut, di bawah pengawasan lembaga yang membina mereka. Bunga yang dibayarkan dari angsuran kredit ini oleh bank sebagian didedikasikan kepada lembaga pembina penyandang disabilitas untuk biaya operasional mereka.
Upaya pemerintah India mungkin belum sepenuhnya sempurna. Namun, Indonesia patut belajar dari "kesungguhan" mereka.
*Aria Indrawati

No comments:

Post a Comment