Kurniasih Miftakhul Jannah
Jurnalis
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menentang keras rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan rencananya berlaku 1 April dan tertulis dalam dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Ketua Apindo Haryadi Sukamdani menuturkan, ada beberapa hal yang membuat Apindo menolak rencana kenaikan tersebut, antara lain klaim rasio Peserta Penerima Upah (PPU) khususnya sektor swasta hanya 70 persen.
Dengan tingkat klaim yang rendah tidak adil jika iuran dinaikkan. Sementara klaim Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) sekitar 300 persen, Peserta Penerima Upah (PPU) PNS 100 persen, dan Peserta Bantuan Iuran (PBI) 80 persen.
"Belum efektifnya kinerja BPJS Kesehatan dalam meningkatkan peserta mandiri. Praktis yang ikut, yang sakit. Kalau sembuh keluar lagi. Peserta mandiri belum dimaksimalkan," paparnya di Jakarta, Kamis (24/3/2016).
Di sisi lain, dirinya tidak setuju dengan keputusan pemerintah menaikkan pagu batas atas bagi PPU sektor swasta dari awalnya Rp4,72 juta menjadi Rp8 juta. Dengan kenaikan tersebut, lanjutnya, beban perusahaan semakin berat karena menanggung pekerja dengan gaji Rp8 juta per bulan.
"Kami ini mengikuti persentase pekerja penerima upah. Persentase perusahaan 4 persen, pekerja 1 persen. Pekerja mandiri nilainya absolut," tegasnya.
Haryadi menyebut wacana kenaikan iuran tidak tepat. Sebab defisit yang dialami BPJS Kesehatan tidak bisa serta merta dibebankan kepada pengusaha.
"Inti daripada Perpres 19 sebetulnya respon terhadap dana yang dikelola. Jadi BPJS uangnya tekor, defisit karena itu dikeluarkan Perpes 19 untuk mengatasi defisitnya BPJS Kesehatan," tambahnya.
Apalagi pelayanan BPJS Kesehatan juga belum memadai. "Dulu Jamsostek tidak seperti ini, bisa terprediksi bahwa orang berobat ringan masih bisa kembali perusahaan itu," tukasnya.(http://economy.okezone.com/)
No comments:
Post a Comment