Friday, August 30, 2013

Kembali ke Khittah dan Undang-Undang Dasar 1945: Hak Setiap Warga Negara Mendapatkan Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak


PROLOG



Merdeka itu berkenaan dengan filosofi bernegara
yang menyangkut tiga hal yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan,
yakni bumi, manusia dan negara (pemerintah)

Soekarno
(Presiden Pertama Republik Indonesia)


Usia kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sudah lebih dari setengah abad. Tepatnya telah berumur 65 tahun (Agustus 1945-2010). Usia kebangkitan nasional bahkan sudah berjalan 102 tahun atau lebih dari seabad (1908-2010). Dan masa reformasi telah pula bergulir sepanjang 12 tahun atau lebih satu dasawarsa (1998-2010). Kita semua pun tentu sudah paham bahwa negara yang bernama Indonesia ini adalah negara besar yang memiliki kelimpahan Sumber Daya Alam (SDA) anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sejak dulu kala Bumi Nusantara ini dikenal dengan tanahnya yang amat subur. Demikian suburnya, kata orang, tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Bumi Pertiwi ini merupakan negeri yang gemah ripah loh jinawi.

Ironisnya, di tengah kelimpahan sumber daya alam itu, hampir separo dari penduduk di negeri ini hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam bahasa metafora, mereka bagai tikus mati di lumbung padi. Mengapa mereka jatuh miskin? Mereka hidup miskin, antara lain, karena tidak memiliki pekerjaan atau mata pencaharian yang layak dan dapat diandalkan. Lapangan pekerjaan yang terbuka di negeri ini relatif terbatas sehingga banyak pengangguran. Keterbatasan lapangan pekerjaan dan banyaknya pengangguran itulah yang membuat warga negara Indonesia banyak yang jatuh miskin sehingga harkat dan martabat mereka sebagai manusia menjadi begitu rendah. Bekerja memang bukan sekadar bernilai ekonomis untuk mencukupi kebutuhan hidup bagi diri sendiri dan keluarga, tapi juga untuk masyarakat, bangsa dan negara. Lebih dari itu, nilai hakiki dari bekerja adalah untuk mengangkat derajat, harkat dan martabat manusia. Bahkan, bagi sebagian manusia, bekerja adalah wujud rasa syukur dan bagian dari ibadah kepada Tuhan.

Dulu, saat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan, sebenarnya para pendiri negara telah meneguhkan janji bersama rakyat untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Yaitu, tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita tersebut dirumuskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 di mana menjadi kewajiban pemerintah adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih jelas lagi dalam batang tubuh konstitusi itu ditegaskan tentang hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2 UUD 1945). Kemudian, secara implementatif, konstitusi ini mengamanahkan dengan memberi kekuasaan bagi pemerintah untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam yang penting untuk dimanfaatkan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat  dan memberikan jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak terlantar (pasal 33 UUD 1945).

Menurut hemat saya, jika kita mampu bertindak konsekuen dan konsisten atas khittah kemerdekaan yang telah diproklamirkan oleh para pendiri bangsa dan negara (the founding father) ini, dengan kekayaan alam yang melimpah-ruah yang kita miliki tentu masyarakat Indonesia sudah mencapai taraf kehidupan yang makmur dan sejahtera. Dengan usia kemerdekaan yang tidak lagi belia seperti sekarang ini tidak sepantasnya bila masih begitu banyak anak bangsa ini yang terus-menerus hidup dalam kepapaan pangan, sandang dan papan. Rasanya tidaklah logis jikalau di tengah kelimpahan terdapat banyak warga negara (rakyat) yang masih kesulitan untuk sekadar memenuhi hak-hak dasar (asasi) kehidupan anak manusia. Tapi, itulah sebuah ironi negeri ini.

Saya melihat, jangankan memiliki taraf kehidupan yang layak, sebagian rakyat Indonesia bahkan masih belum memperoleh pekerjaan yang dapat diandalkan untuk meretas kehidupan yang lebih berpengharapan. Pernyataan ini bukanlah titik simpul tanpa dasar. Lihatlah, dengan kasat mata, kita bisa menyaksikan masih demikian banyak saudara-saudara kita yang harus hidup di kolong-kolong jembatan, emperan-emperan pertokoan dan bantaran sungai. Terutama mereka yang hidup di kota-kota besar. Mereka tidak memiliki tempat tinggal untuk berlindung dari panas teriknya matahari, derasnya air hujan dan dinginnya angin malam. Ketika hari telah gelap, mereka harus tidur dengan beralaskan lembaran koran atau kardus bekas. Bahkan, tak jarang mereka terlelap tanpa bantalan apapun. Tidur mereka pun tidak bisa nyenyak lantaran dikerubungi oleh semut, lalat, nyamuk dan kecoa. Saat merebahkan diri, mereka juga dihinggapi oleh perasaan gamang lantaran sewaktu-waktu datang petugas ketertiban menggaruknya. Setiap saat mereka pun harus mewaspadai datangnya bencana alam, misalkan banjir. Sebuah kronika kehidupan yang sungguh menestapakan.

Tak salah bunda mengandung dan melahirkan di Republik ini. Mereka pun tak salah lahir dan hidup di negeri Indonesia yang ruangnya begitu luas dan tanahnya sangat subur, gemah ripah loh jinawi, ini. Sebuah negeri di Jamrud Katulistiwa yang oleh grup musik legendaris Koes Plus didendangkan ke dalam lirik tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Namun, sungguh sebuah realita yang sangat ironis jika kemudian ruang dan tanah yang mereka pijak terasa sempit, tersekat-sekat, dan layaknya bebatuan cadas keras yang menyesakkan dada serta melukai hati. Di negeri yang kaya raya ini ternyata mereka justru terhimpit dalam penderitaan lahir dan batin yang begitu mendalam. Duka kehidupan yang tak kunjung berakhir. Nestapa kehidupan yang tak kunjung tamat.

Terus terang, dalam hati, saya menangis. Kalbu ini terasa sedih dan perih menyaksikan kegetiran hidup sesama anak bangsa. Bukan maksud saya untuk mengeksploitasi air mata penderitaan hidup mereka. Saya hanya ingin menggambarkan dan mengingatkan bahwa masih cukup banyak rakyat Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan dan taraf kehidupan yang layak. Dan, terpaksa anak-anak mereka harus tumbuh dan berkembang di tempat yang kurang bermartabat dan beradab. Mereka harus tumbuh di lingkungan yang serba keras dan tidak ramah.

Mengapa hal itu sampai terjadi? Menurut saya, karena paradigma pembangunan nasional selama ini sudah salah arah --kalau tidak boleh dikatakan telah ”sesat”. Sudah jauh melenceng dari khittah kemerdekaan. Sudah keluar dari rel nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945. Sudah jauh dari keberpihakan kepada rakyat, terkhusus rakyat miskin. Pemerintah telah “membiarkan”, “lalai”, dan bahkan telah “menzalimi” rakyatnya yang sudah miskin itu.

Marilah kita kembali pahami filosofi kemerdekaan termaksud. Kata Proklamator dan Bapak Bangsa yang sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, merdeka itu menyangkut tiga hal mendasar yang saling berkait dan tidak terpisahkan. Ketiga faktor itu adalah bumi, manusia dan negara (pemerintah). Bumi yang kita pijak disebut Ibu Pertiwi. Sedangkan rakyat adalah mereka yang pernah dijajah oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan mendiami Bumi Nusantara ini. Sementara itu, negara yang didirikan oleh the founding father kita adalah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Artinya apa? Bahwa ketika negara ini berdiri dan mengumpulkan anak manusia kemudian diberi predikat rakyat atau warga negara NKRI, sesungguhnya, Negara ini telah mengikat janji kepada mereka. Karena sudah berjanji, maka kapan saja bisa diminta pertanggung-jawabannya.

Sementara itu makna (esensi dan hakikat) kemerdekaan adalah bebas dari belenggu penjajahan, bebas dari rasa ketakutan dan bebas dari kemiskinan. Lalu tujuan kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam sila kelima dasar negara kita, Pancasila, adalah “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan kata lain, warga negara memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Apa saja hak-hak dasar itu? Yang paling utama adalah tersedinya lapangan pekerjaan yang layak. Dengan demikian pangan, sandang dan papan akan secara otomatis mengikuti. Baru kemudian, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Saya memandang pekerjaan itu memiliki posisi yang sangat stategis. Karena inilah pintu masuk utama guna menggapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup. Kalau kesejahteraan sudah terpenuhi, sesungguhnya, rakyat Indonesia sudah menjadi manusia seutuhnya sebagaimana yang selama ini sama-sama kita dambakan. Dan, menyangkut pemenuhan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, the founding father juga meletakkan landasan dan dasar-dasar pemikiran yang cukup memadai. Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 secara tegas telah ditandaskan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Jadi, pekerjaan dan penghidupan yang layak dapat dimaknai sebagai hak setiap warga negara (Indonesia). Dengan kata lain, setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Itulah sebabnya, bila negara atau pemerintah belum mampu menyediakan, memfasilitasi dan membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi rakyat, terutama warga masyarakat miskin, sudah seharusnya pemerintah berterima kasih kepada mereka yang tidak pernah mengeluh apalagi meminta ketersediaan kesempatan kerja. Bahkan, semestinya pemerintah memberikan property award kepada pada pengusaha atau wirausahawan. Terutama kepada para pengusaha PJTKI, yang dengan gigih di tengah keterbatasan modal ekonomi, tapi tetap berupaya sekuat tenaga mencarikan lapangan pekerjaan bagi warga negara Indonesia. Apalagi, mereka tidak meminta bantuan kepada pemerintah sepeser pun.

Sedikit kilas baik. Kerusuhan sosial yang terjadi di berbagai kota di Tanah Air pada tahun 1998 yang menghancurkan sendi-sendi perekonomian itu semestinya dapat kita jadikan cermin. Harus disadari bahwa masalah pengangguran yang segaris dengan kemiskinan itu bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Bagai bara dalam sekam. Karena frustasi dan kekesalan bertumpuk-tumpuk terhadap pemerintah yang selama ini “membiarkan”, ”melalaikan” dan bahkan ”menzalimi” mereka, menjadikan mereka gampang tersulut bara amarah. Mereka mudah terprovokasi untuk bertindak anarkis sebagai simbol perlawanan terhadap otoritas pemerintah. Itulah sesungguhnya salah satu yang bisa kita petik dari peristiwa kerusuhan dan penjarahan yang terjadi pada 1998. Sebuah peristiwa yang merupakan ujung gunung es pengangguran dan krisis ekonomi.

Seiring dengan perjalanan waktu dari satu orde  pemerintahan ke orde pemerintahan berikutnya mulai dari era kepemimpinan Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono dapat dikatakan cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat tersebut masih jauh panggang dari api. Dengan melihat kondisi riil di masyarakat sejauh ini belum nampak atau belum ada jejak sejarah kapan masyarakat dapat segera menikmati kesejahteran yang adil dan merata.

Kembali kepada konstitusi yang telah mengamanatkan pemerintah untuk memenuhi kesejahteraan sosial bagi masyarakat, ternyata, sampai sekarang hasilnya masih mendekati nihil. Penanganan masalah sosial masih bersifat parsial dan belum menyentuh pada akar persoalan mendasar. Program bantuan seringkali salah sasaran, penarikan pajak yang tinggi tanpa dibarengi dengan akuntabilitas dan alokasi penggunaannya secara baik. Pasca krisis, angka pengangguran cenderung mengalami peningkatan dari 8,1% (2001) menjadi 9,9% (2004), 10,3% (Februari 2005), 10,5% (Feb 2006),  7,87% (2009) dan Februari 2010 mencapai 7,41% atau sekitar 8,59 juta orang. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi pada 2009 rata-rata cuma 4,5 %. Akibatnya penyerapan angkatan kerja baru dan pengurangan angka pengangguran tidak signifikan serta kesenjangan pendapatan masyarakat semakin melebar.
                                                                                        
Mewujudkan sebuah negara yang sejahtera, adil dan makmur di mana warga negaranya mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak bukanlah pekerjaan yang mudah. Tujuan didirikannya Republik Indonesia ini, sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara, antara lain adalah untuk memberikan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara Indonesia. Dengan penghidupan yang layak, harkat dan martabat mereka terangkat. Sebab itu, negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan bagi seluruh warga negara Indonesia. Hanya saja, lantaran negara tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi semua warga negara, di antaranya, kemudian banyak anak bangsa yang harus melanglang buana ke segala penjuru dunia sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Mereka mencari nafkah bagi kelangsungan hidup diri sendiri dan keluarga, bahkan mampu menghidupkan denyut perekonomian masyarakat, bangsa dan negara.

Sayangnya, banyak orang masih memandang remeh dan sinis terhadap eksistensi TKI –mereka yang tergolong Tenaga Kerja Wanita (TKW). Padahal menjadi TKI pada hakikatnya adalah pekerjaan yang begitu mulia, bukan pekerjaan yang hina dan nista. Bahkan, mereka pantas disebut sebagai pahlawan keluarga dan pahlawan devisa. Namun, mengapa para TKI yang sudah berjibaku dan berjuang untuk kepentingan kehidupan ekonomi diri sendiri dan keluarga, serta masyarakat, bangsa dan negara itu belum memperoleh perlindungan yang serius dari pemerintah (negara). Padahal, sudah terbukti, berkat kontribusi dan sumbangsih ekonomi (devisa) dari mereka yang begitu besar, negeri ini mampu keluar dari krisis multidimensi (1997-1998) dan krisis tenaga kerja akibat pengangguran dari tahun ke tahun yang terus meningkat itu.

Yang pasti, para pahlawan keluarga dan pahlawan devisa itu juga terbukti mampu berperan penting dalam menyelamatkan bangsa Indonesia dari hantaman badai krisis tenaga kerja akibat angka pengangguran dan kemiskinan yang membludak selama berlangsung krisis multidimensi 1997-1998. Pengangguran memang terkait erat dengan kemiskinan dan kepapaan. Akibat banyak orang menganggur maka akan berimbas pada semakin banyak orang tidak berkemampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari atau jatuh miskin. Dan, pengangguran itu sendiri disebabkan terbatasnya kesempatan kerja. Dalam mata rantai lebih jauh, hanya mereka yang berkemampuan yang akan memenangkan persaingan memperebutkan lapangan kerja.

Krisis multidimensi, yang didahului oleh krisis ekonomi dan moneter tahun 1997, memang datang begitu cepat. Datang bak gelombang tsunami yang kemudian meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat, serta bangsa dan negara, dalam waktu sekejap. Kondisi krisis ekonomi di Indonesia sendiri dapat dikatakan yang terburuk di Asia. Diawali oleh krisis sektor properti (kredit macet), kemudian merembet ke krisis finansial (perbankan), lalu dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi. Lantas berlanjut menjadi krisis sosial (kerusuhan dan penjarahan massal), hingga ke krisis multidimensi yang begitu memilukan dan menyengsarakan banyak orang. Dapat dikatakan, selama berlangsung krisis multidimensi yang dampaknya masih dapat dirasakan hingga sekarang ini, tak satu pun sektor usaha yang kebal terhadap krisis. Semua hancur berantakan menjadi onggokan puing-puing berserakan. Bahkan, kursi kepresidenan yang telah lebih dari 30 tahun begitu kokoh diduduki oleh Presiden Soeharto, akhirnya tumbang (1998) dengan cara yang tragis akibat kehilangan kepercayaan masyarakat.

Perusahaan dan industri besar (konglomerat) yang sebelumnya mampu menyerap banyak tenaga kerja pun turut rontok. Jutaan buruh dan karyawan harus di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Pemerintah sendiri tidak bisa berbuat banyak untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru lantaran keuangan negara yang juga ikut terpuruk. Pengangguran terus bertambah. Kriminalitas pun meningkat. Selama krisis multidimensi 1997-1998 dapat dikatakan sebagai kondisi tersulit bagi bangsa dan negara tercinta Indonesia ini.

Di tengah keterpurukan itu, bersyukur sektor jasa penempatan dan pengiriman TKI justru bertumbuh. Sejumlah negara maju, terutama negara-negara di Timur Tengah, banyak yang meminta tenaga kerja asal Indonesia, mulai dari tenaga  penata laksana rumah tangga (PRT), tenaga kesehatan (perawat), sopir sampai teknisi. Melihat peluang yang terbuka lebar itu, pemerintah tidak menyia-nyiakannya. Sejumlah PPTKIS dengan  dukungan perizinan dan dukungan pemerintah mengirim dan menempatkan jutaan TKI ke berbagai negara yang membutuhkan. Walhasil, pundi-pundi triliunan rupiah berhasil dikirimkan oleh para TKI ke Bumi Pertiwi Indonesia. Artinya, para TKI ternyata mampu menjadi salah satu ”penyelamat” bangsa dan negara Indonesia dari keterpurukan gara-gara krisis multidimensi 1997-1998 yang menyesakkan dada.

Artinya apa? Bahwa para TKI telah terbukti mampu mengangkat harkat dan martabat keluarga dan menjadi salah satu penggerak perekonomian pedesaan, serta perekonomian masyarakat, bangsa dan negara. Mereka mampu mengubah potret keluarga yang miskin dan masa depan suram menjadi keluarga yang relatif berkecukupan, serta memiliki lapangan usaha (sawah, toko kelontong, salon kecantikan dan lain-lain). Mereka mampu meretas secercah asa buat menyongsong masa depan yang jauh lebih baik daripada masa sebelumnya. Melalui usaha-usaha yang diciptakan dengan modal uang kiriman para TKI, kondisi pedesaan yang sebelumnya termasuk tertinggal menjadi pedesaan yang maju. Dan, melalui devisa yang disumbangkan para TKI, terbukti menjadi modal  bangsa dan negara Indonesia untuk membangun dan menggaji para pejabat atau aparatur pemerintah. Lebih dari itu, efek ganda (multiplier effects) dari bisnis jasa penempatan dan pengiriman TKI juga terbukti telah membuat banyak pengusaha atau perusahaan lain menjadi kaya. Mulai dari usaha biro perjalanan, penerbangan, asuransi, sarana kesehatan sampai jasa pemulangan.

Kini, tercatat sekitar 6 juta orang TKI bekerja di luar negeri dengan menyumbang devisa sebesar US$20,75 miliar (2009). Sungguh sebuah berkah. Dengan kontribusi sebesar itu, sekarang ini, para TKI bukan hanya dapat dikatakan sebagai “penyelamat” bagi bangsa dan negara Indonesia dari krisis multidimensi, mereka telah pula menjelma sebagai salah satu soko guru atau urat nadi bagi pembangunan ekonomi keluarga dan masyarakat pedesaan, serta bangsa dan negara. Jadi, menjadi TKI sejatinya bukan pekerjaan yang hina dina. Menjadi TKI adalah pahlawan keluarga dan pahlawan devisa negara.

Sekadar sebuah gambaran, misalkan setiap TKI menghidupi rata-rata 3 orang (katakanlah istri/suami dan dua orang anak). Berarti, tercatat 18 juta orang yang tergantung dan bergantung kepada ‘keringat’ TKI. Angka itu tentunya menjadi bertambah apabila ditambah dengan mereka yang bekerja di berbagai kegiatan usaha bermodal kiriman dari para TKI. Dari kiriman uang para TKI, diperkirakan lebih dari 20 juta orang yang taraf hidupnya bisa ditingkatkan (Warta Kowani, Maret 2008).

Sekarang, semua orang telah mengakui bahwa para TKI bukan saja mampu berperan penting sebagai penyangga kelangsungan kehidupan ekonomi keluarga (pahlawan keluarga), tapi juga sebagai urat nadi dan salah satu soko guru perekonomian nasional (pahlawan devisa) yang signifikan. Lebih dari itu, multiplier effects yang ditimbulkan dari bisnis jasa pengiriman dan penempatan TKI pun sangat luas dan beragam. Mulai dari bidang kependudukan, kesehatan (medical check-up), bidang ketenagakerjaan (Balai Latihan Kerja, BLK), imigrasi, hingga transportasi. Mengingat skala ekonominya sangat besar dan luas, bisnis  jasa penempatan dan pengiriman TKI harus ditangani secara lintas institusi atau lembaga (baik pemerintah maupun swasta) serta lintas negara. Dengan kata lain, sistem dan manajemen bisnis jasa penempatan dan pengiriman TKI sudah menjadi semacam industri dengan skala ekonomi yang sangat besar dan melibatkan banyak pihak.

Ironis dan kontradiktif sungguh. Penanganan dan perlindungan TKI belum juga memperlihatkan tata kelola yang baik dan benar. Tapi, itulah kenyataan yang ada. Dari waktu ke waktu, dari orde pemerintahan yang satu ke pemerintahan berikutnya, dari pemerintahan yang terpusat ke pemerintahan desentralisasi (otonomi daerah), perlindungan terhadap para TKI ternyata tidak banyak berubah. Bahkan terasa kian memprihatinkan. Berbagai praktik penyimpangan, mulai dari pendataan dokumen calon TKI, proses dan pola perekrutan, pengiriman, penempatan, hingga kepulangan TKI tampak semakin penuh silang sengkarut. Sistem dan manajemen bisnis jasa TKI telah pula menjadi semacam “lahan subur” bagi banyak kepentingan untuk mengeruk keuntungan dan memperkaya diri. Akibatnya, perlindungan terhadap para TKI terlihat terabaikan dan bahkan diabaikan. Karena perlindungan terhadap mereka begitu lemah, maka banyak permasalahan menimpa para TKI. Mulai dari upah tidak dibayar, dianiaya atau disiksa, dilecehkan secara seksual sampai diperkosa hingga dibunuh atau membunuh majikan yang menyiksa.

Yang terasa begitu terasa menyesakkan dada, apabila terjadi permasalahan TKI di luar negeri, yang selalu disalahkan dan dijadikan kambing hitam adalah para pengusaha jasa penempatan dan pengiriman TKI. Padahal, mereka --para pengusaha jasa penempatan TKI itu-- selama ini sudah melakukan peran dan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai pencipta pahlawan devisa. Meski harus diakui pula bahwa di antara mereka memang masih ada saja yang “nakal”. Dan, secara jelas pula, di dalam konstitusi, negara berkewajiban melindungi segenap bangsa (warga negara) Indonesia. Kapan dan di manapun warga negara Indonesia berada. Jadi, secara substansial, secara hukum dan moral serta etika kerjasama antar-bangsa, pemerintah (negara) berkewajiban dan bertanggung-jawab atas segala permasalahan TKI dan harus menyelesaikan kasusnya secara government to government (G to G).

Tapi, bagai berteriak di padang gersang. Pemerintah (negara) tak jarang lepas tangan melihat pentas drama “Tragedi TKI” yang penuh kepiluan. Pemerintah (negara) tampak kurang peduli dan kurang mencoba mawas diri. Pemerintah (negara) menganggap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan TKI di luar negeri. Padahal, mereka menangis, merintih dan menderita lantaran teraniaya dan terdzolimi oleh para majikan tempat mereka bekerja tanpa ada yang membela dan melindungi. Kalau pun pemerintah (negara) turun tangan, maka hal itu karena sudah banyak pihak yang “berteriak”.

Mari kita renungkan, tujuan didirikan negara ini oleh the founding fathers sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara (UUD 1945), sesungguhnya sangat mulia. Di antaranya adalah untuk melindungi segenap bangsa (rakyat) dan seluruh tumpah darah dan memberikan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesuai harapan the founding fathers, tujuan yang mulia itu seharusnya diwujudkan dengan jalan yang mulia pula. Berkenaan dengan keberadaan TKI, jalan yang mulia itu, antara lain, bahwa pemerintah (negara) harus melindungi mereka yang benar-benar bekerja untuk kepentingan keluarga, bangsa dan negara, kapan dan di mana pun di belahan dunia ini. Permasalahan TKI sejatinya adalah menyangkut harga diri bangsa. Kalau pemerintah (negara) tidak mampu memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan, pengiriman dan penempatan TKI ke luar negeri lebih baik dihentikan saja sehingga tidak lagi menimbulkan berbagai permasalahan seputar TKI.

Begitu memilukan nasib para TKI. Pemerintah (negara), selama ini, semoga tidak berlebihan, telah memperlakukan mereka seperti ”sapi perah”. Dan, memang, begitulah sikap kurang beradab yang tampak mengiringi perilaku dan kebijakan para pemimpin bangsa ini. Mereka begitu senang ”memerah keringat” anak bangsa sendiri. Tidak peduli dengan nasib mereka yang terus-menerus hidup dalam derita-nestapa. Selama secara materi menghasilkan, maka keringat mereka akan terus ”diperah” hingga tiada tersisa.

Penyebab dari berbagai masalah TKI itu, tak lain dan tak bukan, adalah sistem dan manajemen bisnis TKI yang hingga sekarang ini masih amburadul, semrawut dan tumpang tindih. Mulai dari hukum, kelembagaan hingga teknis yang belum sistemik dan belum sesuai dengan kaidah-kaidah manajemen bisnis jasa pengiriman dan penempatan TKI yang baik dan benar. Sistem dan manajemen bisnis jasa pengiriman dan penempatan TKI belum memihak kepada perlindungan dan kepentingan (harkat dan martabat) para TKI. Para TKI belum ditempatkan pada posisi terhormat sebagai pahlawan keluarga dan pahlawan devisa. Mereka masih dijadikan obyek penderita. Para TKI belum dianggap sebagai salah satu subyek pembangunan ekonomi yang patut dihormati dan dibanggakan.

Dengan kekuatan potensial sebagai penyumbang devisa, apabila terjadi kasus penganiayaan dan kedzoliman terhadap mereka di negara penempatan, maka pemerintah (negara) semestinya tampil ke depan. Nasionalisme yang tinggi harus mewarnai kebijakan pemerintah (negara) dalam rangka memberikan perlindungan kepada TKI di luar negeri. Lantaran didudukkan oleh pemerintah (negara) dalam posisi yang terhormat dan perlindungannya terjamin, mudah-mudahan akan semakin banyak TKI yang bekerja di luar negeri. Dengan demikian, secara kalkulasi matematis-ekonomis, ke depan, devisa negara dari kontribusi mereka akan semakin bertambah besar. Harkat dan martabat mereka juga dijunjung tinggi.

Memang betul, bahwa berbagai masalah yang menimpa para TKI bukanlah semata-mata kesalahan mereka. Sebab, keinginan dan harapan para TKI sebenarnya tidaklah muluk-muluk. Seperti warga negara Indonesia pada umumnya, mereka cuma ingin memperoleh dan memiliki pekerjaan layak agar harkat dan martabatnya sebagai manusia diakui oleh masyarakat serta demi kelangsungan kehidupan ekonomi keluarga. Arti kata, pemerintah (negara) yang tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan, seharusnya menaruh rasa  hormat dan bangga kepada mereka. Bukan justru sebaliknya, menjadikan mereka sebagai “sapi perah” dan ajang memperebutkan kepentingan pribadi atau kelembagaan sehingga membiarkan harkat dan martabat mereka terus ternista-nestapakan di negeri orang.

Pada akhirnya, tujuan pendirian negara ini oleh founding fathers sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara (UUD 1945), antara lain, adalah untuk melindungi segenap bangsa (rakyat) dan seluruh tumpah darah, dan memberikan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara tegas dalam batang tubuh UUD 1945, Pasal 27 ayat (2) dinyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak bagi kemanusiaan.” Artinya, secara konstitusional, pemerintah (negara) memang berkewajiban memberikan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warganya. Tentunya dengan tetap memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap mereka yang sedang mencari kehidupan yang lebih layak di mana pun mereka berada baik di dalam maupun di luar negeri.

Melihat realita gambaran kemiskinan dan pengangguran yang berkait kelindan dan belum jelas arahnya serta perlindungan bagi rakyat yang jauh panggang dari api, para pemimpin bangsa ini haruslah segera sadar. Sadar untuk kembali ke khittah kemerdekaan. Mengayomi dan melindungi, terutama bagi rakyat miskin, melalui penataan sistem dan manajemen yang baik disertai pengawasan yang ketat, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika sudah sadar, kita tinggal menjabarkan nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945 dalam peraturan dan kebijakan yang tepat dan realistis serta dengan tindakan nyata.

Dengan kata lain, rakyatlah yang harus dilayani pemerintah. Jangan biarkan rakyat (terutama TKI/TKW) terjebak dalam angan-angan pungguk merindukan rembulan. Saya yakin, jika pemimpin bangsa sudah menyadari kekeliruan yang ada, maka rakyat akan turut serta. Dan, dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, problematika pengangguran, termasuk masalah kemiskinan, akan dapat dipecahkan. Jadi, kita harus melakukan introspeksi terhadap kesesatan yang selama ini kita lakukan. Seperti dikatakan tokoh nasional Roeslan Abdulgani, kita harus belajar dari masa lalu guna menatap masa depan yang lebih baik. Life should be understood backward, but it should be lived forward.  


No comments:

Post a Comment