Friday, August 30, 2013

NEGARA KESEJAHTERAAN, NEGARA YANG BERTANGGUNG-JAWAB






National saving is the sum of personal, government and business savings. When nation saves a great deal, its capital stock increases rapidly and its enjoy rapid growth in its potential output. When nation’s saving rate is low, its equipment and factories become obsolete and its infrastructure begin rot away.
Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, 
penulis buku Economics, 1st Edition, 1948

Kesejahteraan untuk semua dan keadilan sosial. Itulah sasaran yang ingin dituju oleh Ludwig Erhard, Menteri Federal Urusan Ekonomi Jerman, pada waktu ekonomi pasar berorientasi sosial diterapkan di Jerman pada akhir tahun 1950-an. Tata ekonomi “model Jerman” ini kemudian menjadi kisah sukses dan dicontoh banyak negara. Salah satu pilar utama kisah sukses itu adalah sistem jaminan sosial paripurna. Jaminan sosial di Jerman termasuk yang paling rapat di dunia: 26,7 persen pendapatan nasional bruto dipergunakan untuk belanja negara di bidang sosial. Sekadar perbandingan, Amerika Serikat (AS) menginvestasikan hanya 15,9 persen di bidang itu dan negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) rata-rata 20,5 persen. Di Jerman, sistem jaminan sosial lengkap yang mencakup asuransi kesehatan, purnakarya, kecelakaan, perawatan dan pengangguran telah mampu melindungi warga dari ancaman dampak finansial yang dapat mengganggu eksistensi diri. Jaminan sosial itu juga meliputi tunjangan yang dibiayai oleh pajak, seperti dana pengimbang untuk keluarga (tunjangan anak, potongan pajak) atau tunjangan yang menutup pengeluaran buat kebutuhan pokok purnakaryawan atau orang cacat tetap. Dalam konteks praktik kenegaraan, Jerman adalah negara sosial yang memprioritaskan jaminan sosial bagi semua warganya.
Sistem yang berciri negara kesejahteraan (welfare state) itu telah dikenal di Jerman sejak zaman industrialisasi. Pada akhir abad ke-19, Kanselir “Reich” Otto von Bismarck mengembangkan struktur dasar asuransi sosial yang dikelola oleh negara. Di bawah bimbingannya kemudian lahir undang-undang mengenai asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kesehatan, serta untuk jaminan terhadap keadaan tidak sanggup bekerja akibat cacat dan jaminan hari tua. Di masa itu hanya sekitar 10 persen di antara penduduk Jerman yang mendapat keuntungan dari legislasi di bidang sosial, kini hampir 90 persen telah menikmati perlindungannya.
Selama beberapa dasawarsa berikutnya, jaminan sosial di Jerman diperluas dan sekaligus dijadikan lebih spesifik. Pada tahun 1927 misalnya, ditambahkan asuransi terhadap akibat finansial dari pengangguran. Dan pada tahun 1995, jenis asuransi wajib bertambah dengan asuransi perawatan. Kini di abad ke-21 menuntut diadakannya reorientasi yang bersifat mendasar dan struktural pada semua sistem itu, terutama dalam hal kesinambungannya. Faktor-faktor seperti meningkatnya jumlah orang lanjut usia yang disertai angka kelahiran yang relatif rendah, ditambah perkembangan di pasaran kerja yang lamban, telah membawa sistem jaminan sosial ke batas kemampuannya. Dengan mengadakan pembaruan secara menyeluruh, lembaga-lembaga politik berupaya menghadapi tantangan itu dan mengamankan jaring pengaman sosial bagi generasi mendatang secara solider.
Jerman boleh dikatakan telah lama keluar dari persoalan pembangunan ekonomi nasional yang selama ini dinilai belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Pembangunan yang selama ini justru semakin meningkatkan kesenjangan dan kemiskinan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pembangunan ekonomi sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun, pembangunan ekonomi yang diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tidak akan serta merta membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa kendati mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja secara optimal, namun ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial.
Orang miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) merupakan kelompok yang kerap tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini terlempar dari fokus pembangunan gara-gara hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing), dan strukturalnya (penganggur). Mereka tidak mampu merespon secepat perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya lantas terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil. Itulah salah satu dasar mengapa negara-negara maju (salah satunya Jerman) berusaha mengurangi kesenjangan itu dengan menerapkan welfare state (negara kesejahteraan). Suatu sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga dan berkesinambungan.
Mengingat ketidak-sempurnaan mekanisme pasar itulah, peranan pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of economic and  social development. Arti kata, pemerintah tidak hanya bertugas mendorong pertumbuhan ekonomi melainkan juga memperluas distribusi ekonomi melalui pengalokasian public expenditure dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat. Selain dalam policy pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi penghargaan terhadap pelaku ekonomi yang produktif, ia menyediakan pula alokasi dana dan daya untuk menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang tercecer dari persaingan pembangunan.
Mengenai penguatan peran negara dalam pemerataan pembangunan sosial tersebut, Dosen Lund University, Swedia, Goran Adamson, menjelaskan, bagi negara kesejahteraan, konsep modernitas dimaknai sebagai kemampuan negara dalam memberdayakan warga masyarakatnya. Peran dan tanggung jawab negara menjadi begitu besar terhadap warga-negaranya karena negara akan bersikap dan memposisikan dirinya sebagai “teman” bagi warga-negaranya. Makna kata teman di sini merujuk pada kesiapan dalam memberikan pertolongan manakala warga-negaranya mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan. Birokrat merupakan alat dan garda depan negara yang secara langsung melayani warga negara. Birokrat “diharuskan” bersikap netral dengan cara tidak menjadikan latar belakang politik dan sosial warga negara sebagai dasar pertimbangan pemberian pelayanan. Penganut negara kesejahteraan percaya bila negara memberikan banyak kepada warga negara maka akan terjadi penurunan demonstrasi, kekerasan dan anarkisme yang dilakukan oleh warga masyarakat yang merasa dipinggirkan atau merasa bahwa distribusi keuntungan negara tidak berjalan secara proporsional. Terdapat minimal empat hal yang harus disediakan oleh negara kesejahteraan kepada rakyatnya, yakni menciptakan keamanan, mensuplai pelayanan sosial, mengurangi biaya sosial masyarakat dan mengontrol angka reproduksi.
Dalam negara kesejahteraan, pemecahan problematika kesejahteraan sosial –seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan ketelantaran—tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), antara lain pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, dan berbagai tunjangan (seperti tunjangan pendidikan, tunjangan kesehatan, tunjangan hari tua, dan tunjangan pengangguran).
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktikkan di Eropa dan Amerika Serikat pada abad 19. Penerapan prinsip negara kesejahteraan ini bertujuan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme. Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih dianut oleh sejumlah negara maju dan berkembang.
Dilihat dari besaran atau porsi anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model: pertama, model universal, yang dianut oleh negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Bahkan, negara menyediakan berbagai layanan gratis kepada warga masyarakatnya. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total anggaran belanja negara. Untuk mencapai porsi itu, Swedia misalkan, menetapkan angka pajak yang relatif tinggi, yakni sampai 25%.  
Kedua, model institusional, yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Tapi, kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yaitu pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga, model residual, yang dianut oleh Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan pengangguran. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
Sedikit kita tengok praktik negara kesejahteraan di Selandia Baru. Penerapan negara kesejahteraan di negeri ini boleh dikatakan lebih maju dibandingkan negara lain yang menganut model residual. Yang unik, sistem ini tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan strategi ekonomi kapitalisme. Sistem jaminan sosial, pelayanan sosial dan bantuan sosial (income support), misalkan, merupakan bagian dari strategi ekonomi neo-liberal dan kebijakan sosial yang terus dikembangkan selama bertahun-tahun.
Penerapan negara kesejahteraan di Selandia Baru dimulai tahun 1930, ketika negara ini mengalami krisis ekonomi luar biasa. Saat itu tingkat pengangguran sangat tinggi, kerusuhan memuncak dan kemiskinan menyebar di mana-mana. Kemudian sejarah mencatat, negara ini keluar dari krisis dan menjadi negara adil-makmur berkat keberanian Michael Joseph Savage, pemimpin partai buruh yang lantas menjadi perdana menteri pada tahun 1935, menerapkan konsep negara kesejahteraan yang masih dianut hingga sekarang. Sebagaimana diabadikan oleh Baset, Sinclair dan Stenson (1995:71): “The main achievement of Savage’s government was to improve the lives of ordinary families. They did this so completely that New Zealanders changed their ideas about what an average level of comfort and security should be.
Liberalisasi ekonomi dan mekanisme pasar bebas yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, sejak tahun 1980 Selandia Baru menjalankan privatisasi dan restrukturisasi organisasi pemerintahan. Namun negara ini tetap memiliki lembaga setingkat departemen (ministry of social welfare) yang mengatur urusan sosial. Anggaran untuk jaminan sosial dan pelayanan sosial juga cukup besar, mencapai 36% dari total pengeluaran negara, melebihi anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan hankam (Donald T. Brash, 1998). Setiap orang dapat memperoleh jaminan hari tua tanpa membedakan apakah ia pegawai negeri atau karyawan swasta. Orang cacat dan pengangguran, selain menerima social benefit sekitar NZ$400 setiap dua pekan, juga memperoleh pelatihan di pusat-pusat rehabilitasi sosial yang profesional.  
Kembali ke model negara kesejahteraan, keempat, adalah model minimal, yang dianut oleh negara-negara Perancis, Spanyol, Italia, Chili, Brazilia, Korea Selatan, Filipina dan Srilanka. Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10% dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan karyawan swasta yang mampu mengiur.
Konsep negara kesejahteraan sebetulnya telah termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945. Namun, dalam kenyataan, konsep negara seperti ini belum sepenuhnya diaplikasikan di Indonesia. Karena, persyaratannya cukup berat. Welfare state harus memiliki sistem pajak yang baik, social trust yang besar, serikat pekerja yang kuat, penduduknya harus homogen, dan institusi sosial yang kuat. Institusi sosial yang kuat akan membuat warga masyarakat terbiasa dengan rules of the game yang diciptakan oleh pemerintah. Institusi sosial merupakan struktur dasar masyarakat yang berperan dalam menciptakan keteraturan masyarakat.
Menurut Dosen Lund University Goran Adamson, bahwa poin homogenitas menjadi persoalan tersendiri di Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi yang tersebar di ribuan pulau. Tingkat heterogenitas ini menjadi penghalang bagi terlaksananya konsep welfare state sebagai landasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak berjalannya konsep welfare state di Indonesia, demikian penjelasan Goran Adamson, juga diakibatkan oleh orientasi ideologi dan kecenderungan pendidikan yang dimiliki oleh elit ekonom dan pengambil kebijakan Indonesia. Para ekonom dan policy maker tersebut disekolahkan di negara-negara yang menganut sistem perekonomian neo-liberal melalui program beasiswa. Dampaknya adalah konsep negara dan perekonomian Indonesia cenderung disesuaikan dengan perspektif ideologi dan keilmuan para elit pengambil kebijakan dan ekonom.
***
Terlepas dari persoalan berjalan atau belum berjalannya konsep welfare state di Indonesia, data-fakta memperlihatkan bahwa Dana Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas) Indonesia per kapita amat rendah, kurang dari Rp1 juta. Rendahnya dana Jamsosnas per kapita itu terutama disebabkan oleh dua hal. Pertama, belum dibentuknya lembaga Jaminan Sosial Nasional Dasar (Jamsosnasda) seperti yang telah diterapkan oleh banyak negara, termasuk di Singapura dan Malaysia. Kedua, Pemerintah dan DPR belum menyelesaikan kewajibannya untuk membayarkan kontribusi Jamsosnas kepada aparatur negaranya yang telah tertunda-tunda sampai puluhan tahun. Seolah-olah dengan dibayarkannya kontribusi Pemerintah cuma akan menguntungkan para aparatur negaranya (PNS dan TNI/Polri). Padahal, dampak dari tidak dibayarkannya kewajiban pemerintah ini sangat luar biasa, yaitu akan menyeret Pemerintah dan Negara kepada jurang tragedi pengangguran dan kemiskinan nasional yang meluas dan serius serta ketergantungan kepada pinjaman luar negeri.   
Dampak dari rendahnya dana Jamsosnas ini menjadikan Cadangan Keuangan Nasional pun rendah dan lebih lanjut PDB per kapita juga rendah. Ketahanan keuangan nasional senantiasa terganggu sehingga pengangguran dan kemiskinan semakin bertambah. Akibat Pemerintah dan DPR menunda-nunda keputusan pembayaran kewajiban Jamsosnas kepada aparatur negaranya, maka Indonesia tertinggal 10-15 tahun dari negara-negara tetangga ASEAN.
Mari kita lihat salah satu program Jamsosnas, yakni Tunjangan Hari Tua (THT) dan Dana Pensiun PNS yang kini dikelola oleh PT Taspen. Pemerintah atau negara selaku pemberi kerja sudah semestinya wajib turut iur. Dengan Pemerintah turut mengiur, tentu saja THT dan Dana Pensiun PNS yang dikelola oleh PT Taspen akan menjadi lebih besar. Dengan demikian, secara korporat, Taspen akan pula menjadi perusahaan yang lebih besar. Lebih dari itu, kesejahteraan PNS juga akan meningkat lebih signifikan sehingga mereka betul-betul dapat menikmati kehidupan hari tua yang lebih indah. Sungguh Taspen bisa menjadi prototipe “rumah kesejahteraan” pekerja (PNS), sebagai bagian integral arsitektur Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Indonesia, yang merupakan salah satu pilar penyangga kemandirian bangsa-negara.
Repotnya, selama ini ada kesan dari Pemerintah dan DPR bahwa jika Pemerintah mengiur untuk Program Pensiun dan Jaminan Sosial aparatur negara maka hanya akan menguntungkan PNS, TNI dan Polri karena berdampak terhadap angka-angka dalam APBN yang menjadi sangat besar. Karena itu, Pemerintah dan parlemen tetap bersikukuh pada pola pay as you go, bukan pola fully funded. Hal ini jelas tidak benar. Beban APBN menjadi sangat besar bukan lantaran besaran iuran yang seharusnya dibayar pemberi kerja (Pemerintah), namun oleh sebab Pemerintah dan DPR selalu menunda-nunda kewajibannya selama bertahun-tahun. Sampai dengan tahun 2009 pun belum ada keputusannya. Jika diperhatikan secara seksama, maka dampak secara makro justru lebih besar daripada mikro kepentingan aparatur negaranya itu sendiri.
Jaminan sosial, dana pensiun dan asuransi sosial memiliki peran yang cukup besar bagi kesejahteraan sosial peserta khususnya dan masyarakat umumnya. Secara mikro, pengumpulan iuran (baik Peserta maupun Pemberi Kerja) berpengaruh meningkatkan kesejahteraan Peserta dan tidak memberikan beban utang luar negeri kepada Pemberi Kerja. Dan secara makro, pengaruh pengumpulan iuran sangat besar. Paling tidak terdapat sembilan manfaat, yakni membangun kemandirian suatu bangsa, mewujudkan ketahanan keuangan negara, membangun Cadangan Keuangan Nasional (National Reserve Fund), mewujudkan pembiayaan jangka panjang, menggerakkan pasar modal, menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Jadi memang harus menjadi kewajiban Pemerintah untuk membangun Jaminan Sosial dengan pola fully funded dengan iuran bersama Pemberi Kerja (Pemerintah) dan Peserta (PNS, TNI, Polri dan aparatur negara lainnya). Dengan pola fully funded, baik Peserta maupun Pemberi Kerja harus sama-sama memberikan sumbangsih. Dampak pengumpulan dananya tidak hanya menguntungkan bagi Peserta, tapi juga Pemberi Kerja dan negara (sebagai Cadangan Keuangan Nasional). Maka pilihannya adalah mau menggunakan pola pay as you go ataukah fully funded?
Pada dasarnya, ditilik dari sumber pendanaan, sistem pensiun mengenal dua pola. Pertama, pola pay as you go yang sepenuhnya menjadi beban APBN. Dan kedua, pendanaan sendiri atau pola fully funded dengan iuran bersama dari Peserta dan Pemberi Kerja (Pemerintah).
Di seluruh dunia, secara best practices, sistem pensiun diarahkan kepada sistem fully funded. Sistem pay as you go hanya diterapkan pada awal pembentukan dana pensiun dan sebagai “sistem antara” yang kemudian mulai banyak ditinggalkan setelah pendanaan untuk fully funded dibangun dan terpenuhi pendanaannya.
Perbedaan di antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ambil tabel halaman 77 buku SJSN        

Apabila digambarkan dalam diagram, dapat disimak sebagaimana skema di bawah ini:
Ambil diagram halaman 78 buku SJSN

Mari kita kupas satu per satu peran dan fungsi Jaminan Sosial, Dana Pensiun dan Asuransi Sosial bagi terwujudnya negara kesejahteraan. Pertama lita lihat dari sisi perputaran Sistem Jaminan Sosial dan Lapangan Kerja. Perputaran Sistem Jaminan Sosial dan Lapangan Kerja, oleh Pemerintah, harus senantiasa dipelihara dan dijaga secara terus-menerus keberlangsungannya. Siklus ini berpacu dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang ada di masyarakat. Semakin bertambah jumlah penduduk, maka negara harus menyediakan lapangan kerja yang semakin banyak dengan memanfaatkan dana Jaminan Sosial Nasional yang tentunya semakin besar selaras dengan bertambahnya jumlah penduduk dan penghasilannya. Pun demikian dengan semakin cepat perputarannya, tentu semakin baik karena akan berpengaruh terhadap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Semakin lambat perputarannya akan menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang tidak memperoleh pekerjaan akibat timbulnya pengangguran dan kemiskinan. Siklus ini berlangsung secara kontinyu sepanjang kehidupan negara dan masyarakat.
Jaminan Sosial dan penciptaan lapangan kerja itu ibarat dua sisi mata uang. Kedua sisi mata uang itu akan mengikuti hukum keseimbangan, keduanya mempunyai dampak positif dan bisa  pula dampak negatif terhadap suatu negara.
Bila Dana Jamsosnas cukup tersedia dalam jumlah besar maka akan berdampak bagi terbangunnya Cadangan Keuangan Nasional suatu Negara yang kuat sehingga penciptaan lapangan kerja akan semakin besar pula. Walhasil, Produk Domestik Bruto (PDB) pun niscaya akan meningkat. Sebaliknya, jika Dana Jamsosnas kecil maka Cadangan Keuangan Nasional akan mengecil dan berakibat pada kemampuan suatu negara untuk menciptakan kesempatan kerja menjadi rendah. Akibat selanjutnya dapat menambah jumlah pengangguran dan meningkatkan kemiskinan; kesejahteraan masyarakat menurun; serta PDB akan senantiasa dalam kondisi rendah.
Kedua, sisi tabungan jangka panjang. Dana Jaminan Sosial yang merupakan kumpulan iuran bersama antara warganegara/pegawai/pekerja dan pemberi kerja (pemerintah/perusahaan/badan usaha) akan menjadi dana yang sangat besar sebagai “tabungan nasional”. Dengan begitu, dapat dijadikan untuk sumber Dana Investasi dalam suatu negara yang bersifat jangka panjang. Sistem yang membangun terkumpulnya dana ini akan menjadikan suatu negara mempunyai kekuatan finansial yang kuat. Dana yang terkumpul digunakan untuk dana investasi, baik di sektor keuangan maupun di pasar modal; untuk membangun pabrik dan infrastruktur yang kemudian diharapkan akan mendatangkan sumber keuangan bagi negara berupa pajak badan. Sedangkan bagi setiap individu sebagai tenaga kerja akan memperoleh penghasilan yang juga akan menghasilkan pendapatan bagi negara berupa pajak perseorangan.
Ketiga, sisi Cadangan Keuangan Nasional. Dana Jaminan Sosial yang terkumpul dan terakumulasi dari tahun ke tahun akan menciptakan suatu Cadangan Keuangan Nasional bagi suatu negara. Dana ini dapat digunakan oleh negara untuk menggerakkan perekonomian dan industrinya melalui pengeluaran obligasi negara.
Kebutuhan keuangan negara dalam bentuk tunai dapat dipenuhi dengan adanya obligasi negara yang pada saatnya nanti tentu akan dikembalikan melalui pembayaran kembali hutang-hutang negara/pemerintah. Dengan begitu, kebutuhan tambahan dana tidak perlu meminta bantuan dari IMF, World Bank, ADB atau lembaga donor luar negeri. Semua kebutuhan pembiayaan dapat dipenuhi dari dalam negeri sendiri sehingga akan memperkuat ketahanan keuangan nasional, yang karenanya juga memperkuat ketahanan nasional negara.
Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus dalam bukunya yang berjudul Economics (1st Edition, 1948) menyatakan: “National saving is the sum of personal, government and business savings. When nation saves a great deal, its capital stock increases rapidly and its enjoy rapid growth in its potential output. When nation’s saving rate is low, its equipment and factories become obsolete and its infrastructure begin rot away.” Negara dengan Cadangan Keuangan Nasional yang besar dan kuat itu mencerminkan bahwa kesejahteraan bangsa dan negara tersebut semakin baik dan makmur. Itulah yang terjadi pada Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya.
Cadangan Keuangan Nasional yang kuat harus pula ditunjang dengan nilai mata uang yang kuat. Untuk Indonesia, jika nilai mata uangnya lemah, tentu Cadangan Keuangan Nasional-nya menjadi lemah dan semakin susut karena nilai Cadangan Keuangan Nasional tergerus oleh melemahnya nilai mata uang Rupiah. Peranan mata uang Rupiah sangat menentukan dalam mengukur Cadangan Keuangan Nasional dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Merujuk pada siklus jaminan sosial, Cadangan Keuangan Nasional pun merupakan sisi mata uang dengan wajah kesejahteraan suatu bangsa. Bila Cadangan Keuangan Nasional kuat, maka akan berdampak terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan negara yang menjadi kuat. Sebaliknya, jika Cadangan Keuangan Nasional lemah maka kesejahteraan bangsa ini menurun dan melemah pula. Apapun alasannya, hal itu telah dialami oleh Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu, dari mulai Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi kini. Dan bahkan hingga pemerintahan berikutnya kalau tidak mau melakukan reformasi atas sistem Jaminan Sosial masyarakat. Ini memang menjadi tugas bagi Pemerintahan periode 2009-2014 yang tidak boleh ditunda-tunda tapi harus dituntaskan.
Keempat, sisi Sumber Dana Pasar Modal. Dana Jaminan Sosial Nasional yang terakumulasi dalam jumlah yang terus membesar dan agar bisa didayagunakan secara lebih efektif, dapat dipergunakan untuk investasi di pasar modal (capital market) dengan menempatkannya di saham atau instrumen keuangan lainnya yang ada di pasar modal. Kebutuhan para pabrikan, pemegang saham yang menginginkan tambahan dana untuk modal kerjanya, atau untuk meningkatkan kapasitas pabriknya, dapat dipenuhi dengan mengeluarkan saham baru atau instrumen keuangan lainnya yang kemudian dibeli oleh Institusi Pengelola Jaminan Sosial. Begitu pula dengan Pemerintah, jika memerlukan dana untuk membangun sarana dan prasarana publik dapat memanfaatkan melalui penerbitan obligasi yang dibeli oleh Lembaga Pengelola Jaminan Sosial Nasional. Dengan meningkatnya kapasitas pabrik atau bertambahnya pabrik-pabrik di masyarakat, dan juga semakin tersedianya prasarana yang dikelola oleh suatu badan usaha, maka Pemerintah pun akan mendapatkan manfaat dengan memperoleh pajak dari badan-badan usaha tersebut.
Investasi yang terjadi dengan pemanfaatan dana Jaminan Sosial akan kembali melalui output yang diterima oleh Pemerintah, antara lain berupa pajak penghasilan dari karyawan perusahaan yang memanfaatkan dana Jaminan Sosial; pajak badan dari perusahaan yang memanfaatkan dana Jaminan Sosial; penerimaan negara yang lain berupa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak ekspor (jika komoditi yang dihasilkan diekspor), pajak-pajak lain dan cukai; peningkatkan daya beli masyarakat karena berkurangnya pengangguran; dan inflasi terkendali.
Penerimaan negara dan surplusnya (kalau tidak defisit) tentu akan digunakan oleh Pemerintah --dengan persetujuan DPR-- untuk biaya pembangunan sarana dan prasarana Pemerintah/Negara, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, pembayaran gaji dan emolumen aparatur negara dan pejabat negara, dan peningkatan daya beli aparatur negara dan pejabat negara. Juga untuk membangun Jaminan Sosial bagi masyarakat dan aparatur negara yang meliputi bantuan sosial dengan berbagai bentuknya (bantuan sembako, bantuan kesehatan, bantuan perumahan dan bantuan pendidikan); jaminan dan pelayanan kesehatan; pembayaran kontribusi Jaminan Sosial dari Pemerintah berupa iuran sebagai kewajiban negara selaku pemberi kerja aparatur negara; pembayaran kontribusi Jaminan Sosial dari Pemerintah Pusat berupa iuran kepada Jamsosnasda, selaku penyelenggara negara yang wajib memberikan Jaminan Sosial kepada warga negara; dan pembayaran unfunded liability yang terkait dengan Jaminan Sosial.
Kelima, sisi Penciptaan Lapangan Kerja. Dengan adanya peningkatan kapasitas pabrik dan kehadiran pabrik-pabrik baru serta sarana dan prasarana baru, maka akan memerlukan tambahan tenaga kerja dengan berbagai keahlian. Lapangan kerja baru tersedia bagi warga masyarakat yang membutuhkan. Bagi angkatan kerja, baik yang baru lulus dari sekolah umum maupun keahlian teknis tertentu, akan dapat tertampung dengan terbukanya lapangan kerja baru sehingga dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Jadi, sedari dulu sistem dan dana Jaminan Sosial itu sangat Pro-growth, Pro-poor dan Pro-job sebagaimana yang kini dikampanyekan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Terlebih, lapangan kerja baru tentunya juga untuk menampung mereka yang memiliki kemampuan dan skill yang lebih tinggi sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat. Penambahan tenaga kerja sebelumnya juga akan dialami oleh perusahaan konstruksi yang membangun dan merancang fasilitas pabrik-pabrik serta sarana dan prasarana baru, selain mereka yang bekerja di pasar modal. Jadi, multiplier effects pendayagunaan dana Jaminan Sosial terhadap penciptaan lapangan kerja memang besar dan beragam.
Keenam, sisi Mengatasi Pengangguran. Dana Jaminan Sosial Nasional yang masuk pasar modal akan diserap oleh badan usaha yang mengelola sarana dan prasarana masyarakat, termasuk jasa. Boleh jadi badan usaha itu membangun pabrik-pabrik baru. Dengan berkembangnya pabrik-pabrik baru  maupun peningkatan kapasitas dan perluasan area pabrik, akan pula membuka pekerjaan dan jabatan baru yang dapat menampung para pencari kerja sehingga dapat mengatasi terjadinya pengangguran di masyarakat. Inilah yang kini populer disebut dengan strategi Pro-job, yakni membuka lapangan kerja dan mengurangi angka pengangguran.
Ketujuh, sisi Mengurangi Kemiskinan. Dana Jaminan Sosial yang terkumpul dalam jumlah besar akan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lantaran angkatan kerja yang ada dapat tertampung dalam lapangan kerja yang semakin luas. Sehingga, masyarakat dapat memperoleh penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan meningkatkan taraf kesejahteraannya.
Semakin banyaknya dana Jaminan Sosial yang diinvestasikan dan mengalir ke pasar modal akan menambah jumlah lapangan kerja dan mampu menyerap tenaga kerja yang ada sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan di masyarakat. Di pihak lain, akan pula tersedia produk dan jasa yang dibutuhkan warga masyarakat. Tersedianya produk dan jasa yang cukup ini bisa mencegah laju inflasi.
Pendek kata, pengaruh dana Jaminan Sosial terhadap upaya untuk mengurangi kemiskinan sangatlah besar. Dalam kasus Amerika Serikat, pakar ekonomi Peter F. Drucker mengungkapkan bahwa 50-60 persen dana yang berputar dalam masyarakat berasal dari Jaminan Sosial pekerja. Demikian pula dengan negara-negara yang tergolong negara maju, secara umum kemakmuran masyarakatnya ditunjang oleh besarnya Cadangan Keuangan Nasional yang berasal dari iuran dana Jaminan Sosial. Tapi, manakala output dana Jaminan Sosial tidak dimanfaatkan sesuai maksud dan tujuan dibentuknya dana tersebut, maka akan menimbulkan pengangguran dan kemiskinan seperti yang saat ini terjadi di Amerika Serikat. Maklum, karena akumulasi dana Jaminan Sosial AS bukan digunakan untuk kemaslahatan masyarakatnya, namun banyak digunakan oleh Presiden George Bush untuk perang dan menjajah Kuwait, Irak, Afganistan dan lainnya. Kini, Presiden Barack Obama terpaksa harus mencuci “piring kotor” yang ditinggalkan oleh George Bush itu.
Kedelapan, sisi Meningkatkan Kesejahteraan Bangsa. Dengan terakumulasinya dana  Jaminan Sosial yang dapat disalurkan untuk investasi maka dana masyarakat menjadi berputar. Selanjutnya, hal itu dapat memberikan lapangan kerja bagi warga masyarakat sehingga pengangguran dan kemiskinan pun berkurang serta wajah kesejahteraan secara makro akan membaik. Kesejahteraan masyarakat dan bangsa secara makro ini pun mempunyai sisi lain dari suatu mata uang dengan Cadangan Keuangan Nasional. Jika Cadangan Keuangan Nasional kuat maka kesejahteraan dan kemakmuran negara itu akan meningkat pula. Sedangkan bila Cadangan Keuangan Negara rendah maka kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat juga rendah. Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, maka ada cukup dana untuk menambah iuran dan Jaminan Sosial yang berupa tabungan untuk Jaminan Sosial, dana pensiun atau program asuransi lainnya.
Kesembilan, sisi Meningkatkan Kesejahteraan per Kapita Masyarakat. Secara perorangan, kesejahteraan warga masyarakat pun akan meningkat. Dengan tersedianya pekerjaan, seseorang bisa mengasah keahliannya sehingga penghasilannya akan meningkat pula. Sebaliknya, bagi yang belum bekerja maka akan terbebas dari menganggur karena memperoleh pekerjaan dan juga akan memperoleh penghasilan. Dengan penghasilan orang-perorangan yang meningkat selanjutnya kesejahteraan orang-perorangan pun akan meningkat. Pengaruh berikutnya, seseorang itu akan meningkatkan kemampuannya dalam membayar pajak perserorangan serta kontribusinya kepada Pemerintah dan masyarakat yang antara lain berupa zakat, infaq, dan shadaqah (bagi warga masyarakat yang beragama Islam).
Dengan peningkatan kesejahteraan orang-perorangan yang berasal dari penghasilannya maka mereka juga mempunyai kesempatan untuk meningkatkan iuran dan kontribusi jaminan sosialnya. Orang itu bisa menempatkannya pada institusi yang sama atau pada perusahaan atau institusi pengelola lainnya berupa iuran tambahan maupun produk asuransi lainnya. Walhasil, akumulasi dana Jaminan Sosial terus pula membesar. ***    

Boks:
Bercermin pada Negara Lain, Pemerintah Turut Iur

Pada kongres ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di Balikpapan, Kalimantan Timur, tahun 2007, para ekonom yang tergabung dalam ISEI ini bersepakat memasukkan materi social security (jaminan sosial) sebagai salah satu pokok bahasan. Kalangan anggota ISEI pun mulai bahwa memahami Jaminan Sosial merupakan salah satu sumber pembiayaan potensial bagi pembangunan nasional untuk mencapai dan membangun kemandirian bangsa. Sejalan dengan UU Nomor 40 Tahun 2004, Pemerintah sebenarnya sudah mulai meretas jalan Jaminan Sosial sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional. Namun, lantaran yang duduk di Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) adalah orang-orang yang tidak memahami praktik sistem Jaminan Sosial secara utuh dan kurang memperoleh dukungan dari Kementerian Keuangan maka realisasinya terkatung-katung.
Untuk itu ada baiknya kita bercermin atau belajar pada negara-negara tetangga (ASEAN) yang telah berhasil membangun negara dan ketahanan keuangannya melalui sistem Jaminan Sosial. Kita mulai dari negeri jiran Malaysia. Sebagai negara kerajaan berbentuk federasi yang berlandaskan kepada syariah Islam dan mayoritas penduduknya beragama Islam, Malaysia membangun keuangan nasional dengan bertumpu pada sumber-sumber dana dalam negeri. Bahkan, peranan Jaminan Sosial, donasi (zakat, infaq dan shadaqah) dan tabungan haji sangat menonjol selain sumber konvensional seperti fiskal dan moneter.
Dana yang berhasil dikumpulkan dari sumber Jaminan Sosial di tahun 2010 sudah mencapai sekitar Rp930 triliun atau Rp38,75 juta per kapita. Jelas, hasil pengumpulan yang sangat luar biasa bagi negara berpenduduk sekitar 24 juta jiwa itu. Dana inilah yang kemudian ikut mendorong investasi di berbagai proyek, dari lapangan terbang, jalan tol, perumahan, industri, bursa saham sampai ke obligasi pemerintah. Begitu besar peran dana jaminan sosial dalam pembangunan. Di Malaysia sistem jaminan sosial dianggap sebagai "engine of development". Demikian juga di saat krisis ekonomi tahun 1997, Malaysia telah tertolong dari badai krisis, antara lain dari besarnya dana jaminan sosial yang dimiliki.
Malaysia memiliki sistem Jaminan Sosial untuk warga negara (Social Security Organization, Socso), untuk Pegawai Negeri Sipil (Kumpulan Wang Amanat Pencen, KWAP), untuk Angkatan Bersenjata (Lembaga Tabungan Angkatan Tentara, LTAT), dan untuk para pekerja swasta (Kumpulan Wang Simpanan Pekerja, KWSP) yang masing-masing merupakan lembaga tersendiri. Semuanya tertata dalam sistem yang saling mendukung dan ditaati secara baik oleh peserta (PNS, Tentara dan karyawan) dan pemberi kerja (pemerintah dan majikan/perusahaan).
Tahun 1951 Malaysia memulai program wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Atas dasar ordonansi itu, seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri wajib mengikuti program ini. EPF semula merupakan lembaga penyelenggara jaminan sosial yang memberi jaminan hari tua/pensiun. Selain itu, Malaysia pun membangun sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (Socso) atau Perkeso (Pertumbuhan Keselamatan Sosial) yang didirikan pada tahun 1971. Perkeso memberi jaminan sosial untuk kecelakaan kerja, meliputi santunan medik dan santunan di saat tidak bekerja, kecacatan permanen, santunan kematian, santunan rehabilitasi dan santunan bagi keluarga. Perkeso juga memberi dana pensiun, apabila pekerja mengalami kecacatan permanen. Perkeso bekerja berdasarkan mekanisme asuransi sosial. Kini, cakupan program EPF sudah meluas, termasuk untuk membiayai rumah sakit, pendidikan, pembelian rumah, sampai ke pinjaman buat pembelian personal computer (Sulastomo, 2004).
Filipina bahkan lebih dahulu lagi dibandingkan Malaysia. Pengembangan program jaminan sosial di negara ini sudah dimulai sejak tahun 1948. Tahun 1992 semua pekerja informal sudah wajib ikut program jaminan sosial, dan di tahun 1993 pembantu rumah tangga juga diwajibkan untuk mengikuti program jaminan sosial, yang disebut Social Security System (SSS) dan dikelola oleh suatu badan di bawah Departemen Keuangan. Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari angkatan kerja, termasuk di antaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002).
Lalu Singapura. Semula, Singapura merupakan bagian dari Kerajaan Malaysia yang sebelumnya adalah daerah jajahan Inggris. Tahun 1965, Singapura memisahkan diri menjadi sebuah negara republik yang tetap menerapkan administrasi Inggris. Demikian pula dalam kaitannya dengan Jaminan Sosial, Singapura mengaplikasikan prinsip-prinsip yang dilakukan oleh Inggris. Dengan jumlah penduduk yang relatif kecil, sekitar 4 juta jiwa, Singapura memiliki Sistem Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas) untuk seluruh warga negara dengan menerapkan iuran bersama antara penduduk dan pemerintah. Program jaminan sosial diselenggarakan oleh CPF (Central Provident Fund). CPF memberi jaminan untuk pensiun/jaminan hari tua, perumahan dan kesehatan (medisave), perlindungan keluarga (family protection) dan upaya peningkatan aset keluarga (asset enhancement). Nilai dana yang dimiliki setiap anggota CPF adalah sesuai dengan jumlah tabungan wajib ditambah hasil pengembangannya, yang selalu lebih besar dibandingkan kalau dana itu disimpan sebagai deposito pribadi di bank. Hasil pengembangan CPF adalah sebesar 2,5 persen per tahun, sementara bunga deposito hanya 1 persen. Dengan demikian, meskipun bersifat wajib, peserta dapat menarik manfaat yang besar dari kepesertaannya dalam CPF, oleh karena hasil pengembangan dana CPF lebih besar daripada bunga deposito. Hal ini dijamin oleh undang-undang, sehingga tidak ada keraguan bagi peserta CPF. Besarnya tabungan wajib adalah sebesar 28 persen dari gaji/upah, 13 persen di antaranya merupakan kewajiban Pemberi Kerja.
Dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Sistem Jamsosnas Singapura adalah yang terkuat. Akumulasi dana CPF dari sekitar 3,3 juta peserta telah mencapai S$166,8 miliar atau setara dengan Rp1.167 triliun. Dana Jaminan Sosial per kapita mencapai lebih dari Rp350 juta, yaitu Rp368 juta.  Hal ini berdampak terhadap tingginya PDB per kapita Singapura, yang mampu meningkatkan kemandirian dan ketahanan ekonomi dan keuangan “Negara Kota” ini.
Kemudian Vietnam. Salah satu negara anggota ASEAN yang baru tumbuh membangun social security-nya adalah Vietnam. Sistem Jaminan Sosial dibangun dengan iuran bersama antara warga negara, pemerintah (pusat-daerah) dan pemberi kerja (perusahaan dan majikan). Yang menarik, iuran peserta hanya 8%, sedangkan iuran pemerintah (pusat-daerah) dan pemberi kerja sebesar 16% atau dua kali lipat dari iuran peserta. Dapat dibayangkan, 10 tahun berselang nanti negara ini akan lebih mandiri dan lebih maju kesejahteraan penduduknya dibandingkan Indonesia, karena ditopang oleh kemandirian keuangan nasionalnya yang kuat dengan dana Jaminan Sosial sebagai salah satu pilarnya.
Ada satu cerita menarik saat penulis berada di Vietnam dalam rangka ASSA Boarding Meeting. Dulu, ketika Vietnam baru merdeka, Pemerintah sangat memperhatikan pendidikan masyarakatnya. Sekadar contoh, begitu merdeka semua anggota militer dikerahkan untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada rakyat Vietnam. Setelah beberapa tahun berjalan dan keadaan masyarakat dirasa cukup memperoleh pendidikan, para tentara itu diperbolehkan tidak menjadi guru lagi. Mereka diberi kesempatan untuk memilih pekerjaan sesuai dengan keinginannya, namun terlebih dulu dilakukan pelatihan untuk kejuruan dan kompetensi yang akan dipilih.
Sepengetahuan penulis, pola ini juga dilakukan Amerika Serikat. Bagi prajurit yang telah selesai melakukan pengabdian militer dan memutuskan tidak melanjutkan karir ketentaraan, mereka diperbolehkan memilih kompetensi tertentu pada pekerjaan non-militer dengan terlebih dulu diberikan pendidikan umum dan spesialis di berbagai universitas yang telah ada.
Dari Vietnam mari kita melanglang ke negerinya Pangeran Charles, yakni Inggris. Ketika mengikuti workshop Dana Pensiun yang bertema Pension Schemes: Security Diversity and Choice, The UK Experience di Inggris pada tanggal 27 September sampai 1 Oktober 2004 silam, penulis memperoleh informasi dari sejumlah narasumber bahwa Inggris dalam Retirement Plan mengembangkan kebijakan dengan program pensiun dengan empat strata Dana Pensiun, yaitu: Basic Pension (Compulsary), State Pension (Compulsary), Professional (Non-compulsary) dan Individual Pension (Non-compulsary).
Inggris memulai dengan mengembangkan pola pensiun yang wajib atau compulsary terlebih dulu yang merupakan pensiun dasar untuk seluruh penduduk yang inisiatifnya datang dari Pemerintah sebagai Pilar Kesatu. Pilar Kedua masih dikembangkan Pemerintah untuk aparatur negaranya. Pilar Ketiga untuk para profesional yang bersifat non-compulsary. Dan Pilar Keempat untuk pensiun individual yang diselenggarakan secara non-compulsary.
Sebelum belajar ke China, ada baiknya kita menengok program jaminan sosial di Korea Selatan. Negeri Ginseng ini memulai program jaminan sosial dengan mengembangkan asuransi kesehatan wajib pada tahun 1976. Pada saat ini seluruh penduduk Korea sudah memperoleh jaminan kesehatan dan pensiun. Jaminan kesehatan memang sering menjadi pintu masuk jaminan sosial untuk semua. Korea Selatan juga telah mengembangkan jaminan sosial untuk guru-guru swasta. Korea memulai program jaminan sosial di saat pendapatan per kapita sekitar US$100 dan kini telah memiliki akumulasi tabungan dana pensiun sebesar US$240 miliar.
Selanjutnya mari kita belajar ke Negeri China. Ada pelajaran menarik dari Negeri Tirai Bambu itu. Bahkan, penulis senantiasa menganjurkan hendaklah kita mencontoh Negeri China dalam membangun sistem Jaminan Sosial Nasional. Janganlah kita berkiblat ke negara-negara Barat yang telah dibangun sejak ratusan tahun silam. China merupakan suatu negara yang masih awal melakukan pembangunan nasional. Yang menarik, dalam politik, China menganut paham sosialis, sedangkan ekonominya berpaham kapitalis. Kedua paham ini saling berlawanan. Tapi, tidak demikian halnya di China. Kedua sistem yang dianggap saling berlawanan itu ternyata dapat berjalan seiring sejalan dalam rangka membangun negara untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Negeri Panda ini layak menjadi benchmark karena beberapa alasan. Di antaranya, China menganut sistem negara kesatuan yang terdiri dari provinsi sebagaimana praktik kenegaraan di Indonesia. Mereka memiliki lebih dari 45 provinsi. Negeri berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu juga melakukan kebijakan otonomi daerah. Ekonomi China merupakan gabungan sosialis dan kapitalis yang mirip dengan ekonomi Pancasila. Dan China secara serius membangun sistem Jaminan Sosial untuk warga-negaranya mulai tahun 1997 dengan mengikuti pola dari Bank Dunia. Yakni, Three Pillar System yang terdiri dari Pilar Kesatu Government Run Basic Pension (State), Pilar Kedua Individual Account Pension (Occupational), dan Pilar Ketiga Voluntary Employee/Individual Savings (Private).
Ketika itu, mendekati penghujung dasawarsa 1990-an, saat dunia tengah menghadapi krisis keuangan, China memanggil beberapa orang pakar ekonominya dari Wallstreet Amerika Serikat agar pulang kampung. Mereka diminta mengembangkan sistem Jaminan Sosial buat seluruh penduduk dengan mendirikan lembaga non-departemen bernama National Social Security Fund (NSSF) di tahun 2000. NSSF dimaksudkan untuk mengkoordinir kegiatan Social Security yang menyangkut Jaminan Sosial Dasar (Pilar Kesatu dari konsep Bank Dunia). Kemudian tahun 2005 Bank Dunia merekomendasikan dua pilar tambahan sehingga menjadi lima pilar. Tambahan dua pilar itu masing-masing: Pilar Keempat Informal Sources of Support Including Housing and Helath Care dan Pilar Zero Non-Contributory Poverty Alleviation.  
Pelaksanaan Pension Reform di China diarahkan kepada tiga tujuan, yaitu Reduce pension expectation, Cost burden to be shared by emplorer and employee, dan Move towards prefunding. Dalam horizon yang lebih jauh, reformasi di bidang kepensiunan itu bertujuan untuk memelihara stabilitas di bidang ekonomi dan sosial di Negeri Panda itu.  
Keseriusan China mengembangkan sistem social security-nya secara optimal juga tercermin pada pola kepemimpinan lembaga yang menangani program tersebut. NSSF dipimpin oleh seorang mantan Menteri Keuangan RRC, Xiang Huaicheng, sehingga lembaga ini cukup powerful. Selain itu, Social Security Fund diposisikan sebagai Strategic Reserve Fund bagi Pemerintah dengan tugas utama untuk memberikan dukungan finansial dalam membangun Social Security di China. Keberadaan NSSF itu sangat berperan dalam mengembangkan Sistem Lembaga Keuangan dan Pasar Modal di China serta membantu dalam proses reformasi perbankan negara. Chairman NSSF Xiang Huaicheng pernah menyampaikan bahwa ada sebagian dana lembaga itu yang dipakai oleh Pemerintah dan ada kebijakan untuk mengembalikan.
Kesadaran bahwa dana pensiun, asuransi sosial dan jaminan sosial merupakan National Reserve Fund telah melekat pada roda pemerintahan dan jalan pikiran para pejabat China. Sosialisasi dan pelebaran operasionalnya  ke seluruh provinsi di China dilakukan secara bertahap. Di sini barangkali Indonesia bisa belajar dari China. Negeri sosialis tapi ekonominya kapitalis, yang penting rakyatnya dapat menikmati kemakmuran. Kuncinya adalah terselenggaranya social security atau jaminan sosial yang baik untuk seluruh warga masyarakatnya.
Dana pensiun, asuransi sosial dan jaminan sosial yang dikelola dengan funded system, compulsary dan pooling menjadikan dana yang berasal dari akumulasi iuran dan premi dapat difungsikan sebagai cadangan keuangan nasional (national reserve fund). Selanjutnya dana yang bersifat jangka panjang tersebut dapat digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang pada gilirannya akan membuka lapangan kerja atau menimbulkan employment creation. Dengan demikian akan mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta akan meningkatkan kesejahteraan setiap pekerja atau warga negara yang terlibat dalam proses pembangunan. Pada tahap selanjutnya akan meningkatkan pendapatan warga dan sekaligus menambah iuran dan premi atau tabungan nasional.
Lembaga NSSF memiliki peran sangat sentral dalam proses pembangunan di China dengan cara membiayai berbagai proyek infrastruktur dan industri, baik dengan penyertaan langsung maupun melalui Pasar Modal dengan pembelian saham serta obligasi pemerintah dan perusahaan. NSSF bersama Pemerintah juga menyediakan berbagai sarana yang diperlukan masyarakat/peserta social security.
Setelah beberapa tahun beroperasi, NSSF sudah berhasil mengelola dana yang cukup besar. Jumlah akumulasi dana yang dikelola NSSF sampai tahun 2004 telah mencapai RMB 153,864 miliar atau setara dengan US$19,2 miliar atau Rp190,08 triliun, dengan peserta sebanyak 150 juta orang. Akumulasi dana yang cukup besar itu minimal berasal dari tiga sumber, yakni kontribusi peserta sebesar 8%, kontribusi pemberi kerja sebesar 20%, dan subsidi pemerintah (pusat-daerah) masing-masing Y50 miliar (Rp61,8 miliar) dan Y10 miliar (Rp12,37 miliar).
Kehadiran NSSF yang baru beberapa tahun ternyata telah mampu menggalang dana Jaminan Sosial sebesar US$20 miliar yang berasal dari dua provinsi dan beberapa kota besar. Bisa dibayangkan bila seluruh 48 provinsi bergabung, tentu akan menghasilkan tersedianya dana Jaminan Sosial yang besar luar biasa. Ketika mengikuti Konferensi Jaminan Sosial di Beijing, penulis dengan seksama mendengarkan penjelasan dan uraian langsung dari pengurus NSSF. Betapa penulis terhenyak, membayangkan bahwa dalam tempo 10-25 tahun kemudian China akan tampil menjadi negara dengan kekuatan luar biasa –baik dari segi keuangan maupun teknologi—dan akan meninggalkan negara-negara maju manapun di dunia.
Apa yang penulis bayangkan kini telah terbukti. Saat ini pula Amerika Serikat sudah merasa khawatir melihat kemajuan yang dicapai China, termasuk semakin menguatnya mata uang China, Yuan. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan pinjaman bagi anggotanya, Dana Moneter Internasional (IMF) mulai meminjam dari China. Kehadiran NSSF juga telah menumbuhkan berbagai megaproyek antara lain proyek jembatan di atas laut terpanjang di dunia, stadion sarang burung, pembangunan sarana satelit dan menerbangkan roket beserta awaknya ke angkasa luar. Kemandirian keuangan nasional telah  meningkatkan kemampuan Negeri Tirai Bambu ini untuk mengejar ketertinggalannya di berbagai bidang, termasuk riset dan teknologi, dari Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. ***

No comments:

Post a Comment