Friday, August 30, 2013

HARAPAN YANG TELAH TERCAPAI, HARAPAN YANG BELUM TERGAPAI






Dosa terbesar adalah ketakutan. Rekreasi terbaik adalah bekerja. Musibah terbesar adalah putus harapan. Keberanian terbesar adalah kesabaran. Dan guru terbaik adalah pengalaman.
Nasihat Ali Bin Abi Thalib

Harapan. Secara morfologis, harapan mengandung makna keinginan akan tercapainya sesuatu. Dalam bahasa yang lebih mudah, harapan berarti cita-cita atau tujuan yang ingin digapai. Adalah musibah terbesar dalam hidup ini bilamana kita putus harapan dalam menatap hari depan. Dengan secercah harapan, kita akan mampu menjalani kehidupan penuh semangat karena ada sesuatu yang hendak atau ingin digapai. Tak terkecuali, sebuah institusi yang berjalan tanpa harapan tentulah tak akan berumur panjang. Hanya dengan merumuskan harapan (visi) yang jelas, sebuah institusi –terutama perusahaan— akan mampu berkembang menuju kehidupan yang lebih berkualitas dan berpengharapan.   
Begitu pula PT Taspen yang berharap segera ingin menjadi perusahaan kelas dunia (world class company). Sebab itu, ketika memasuki tahun 2004, dalam upaya meraih harapannya tadi, PT Taspen melakukan langkah transformatif secara lebih esensial. Di antaranya, manajemen menetapkan visi dan misi baru PT Taspen yang dirumuskan bersama dengan Komisaris, Direksi, Manajer Utama, seluruh Kepala Cabang dan perwakilan karyawan. Sekaligus mencanangkan “Program Transformasi Taspen “ (PTT) menuju World Class pada tahun 2010.
Visi lama PT Taspen menyebutkan: “Menjadi Perusahaan Asuransi dengan layanan dan produk yang prima”. Kemudian visi lama tersebut dipertajam dalam bahasa yang lebih implementatif, yaitu: “Menjadikan PT Taspen sebagai Pengelola Dana Pensiun dan THT yang Bersih, Sehat dan Benar, dengan Pelayanan yang Tepat Orang, Tepat Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Tempat dan Tepat Administrasi”. Sedangkan misinya, yang lama menyebutkan: “Meningkatkan kesejahteraan Peserta (PNS dan Pegawai BUMN-BUMD); Meningkatkan Pelayanan kepada Peserta; dan Menumbuh-kembangkan Kepercayaan Peserta bahwa Perusahaan Berkemampuan dalam Memenuhi Kewajibannya”. Misi itu lalu diperbarui dalam bahasa yang lebih simpel dan fokus pada sasaran, yakni: “Mewujudkan Hari-Hari yang Indah bagi Peserta Melalui Pengelolaan Dana Pensiun dan THT secara Profesional dan Akuntabel dengan Berlandaskan Etika serta Integritas yang Tinggi”.
Kendati mengubah  visi dan misi perusahaan, namun manajemen PT Taspen tetap mempertahankan logo PT Taspen yang dianggap memiliki jiwa dan sejarah yang tinggi. Selain itu, logo PT Taspen yang berwarna biru muda dalam lingkaran, juga menunjukkan sebuah kematangan, langkah yang dinamis dan performa yang lebih profesional. Tema dan makna logo itu jelas semakin sinergis dengan pencanangan visi dan misi baru PT Taspen tadi.
Waktu itu, penggantian logo PT Taspen tidak dinilai penting karena walau penggantian logo dapat dilakukan dengan alasan dicari-cari seperti “budaya baru” dan tekad baru, sesungguhnya merupakan langkah pemborosan (sisi negatif). Dan pemborosan merupakan perbuatan tidak baik dan para pemboros adalah sekutunya setan. Berapa banyak uang keluar untuk ongkos mengganti kop surat, stempel, baju dinas, papan nama, kartu nama dan lain-lain. Manajemen PT Taspen di bawah kepemimpinan Achmad Subianto (waktu itu) tetap mempertahankan logo PT Taspen yang mempunyai “daun lima” karena dianggap sudah tepat.
Manajemen hanya mengubah kaidah perusahaan yang semula empat prinsip dijadikan lima prinsip menyesuaikan logo PT Taspen, dengan menambahkan “Tepat Administrasi” sehingga menjadi “5 Tepat”, yaitu Tepat Orang, Tepat Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Tempat dan Tepat Administrasi. Sungguh, Achmad Subianto sebagai pemegang pucuk pimpinan waktu itu tidak aji mumpung dengan serta merta mengubah logo perusahaan. Bukan begitu. Yang ditempuh justru melakukan harmonisasi antara logo, kaidah-kaidah, moto dan prinsip-prinsip yang sesungguhnya telah menjadi keyakinan perusahaan dan para karyawannya. Itu, antara lain, yang kemudian dikristalisasi dalam visi dan misi baru PT Taspen yang lebih tajam.
Visi dan misi baru PT Taspen kian mempertegas titik sasaran bagi manajemen dalam bertindak. Ini mengingatkan kami pada perkataan pakar manajemen korporat ternama Patricia Jones dan Larry Kahaner dalam buku Say It and Live It (1999). Mereka menyebutkan bahwa visi dan misi adalah sasaran yang hendak dituju. Sebuah koridor bagi strategi dan program kerja perusahaan dalam langkah menuju harapannya. Namun, agar tidak sekadar indah di atas kertas, visi dan misi tersebut harus diterjemahkan ke dalam core values sebagai wujud nyata budaya perusahaan (corporate culture), dan ditindak-lanjuti dengan serangkaian program kerja yang kongkret. Tentu saja, moto “Layanan dan Kinerja Selalu Ditingkatkan” berdasarkan prinsip 5-T (Tepat Orang, Tepat Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Tempat dan Tepat Administrasi) yang dijadikan pedoman manajemen, sungguh mencitrakan PT Taspen sebagai sebuah perusahaan modern yang didukung oleh manusia (SDM) yang kompeten, profesional dan berintegritas tinggi, sebagaimana yang digariskan pula dalam kaidah good corporate governance (GCG).
Budaya perusahaan yang kemudian dituangkan dalam moto “Layanan dan Kinerja Selalu Ditingkatkan” (Better Service Through Better Performance) berdasarkan prinsip 5-T tadi, oleh segenap insan PT Taspen dilakoninya dengan sopan, sabar, ramah dan manusiawi dalam melayani Peserta. Dengan sistem dan prosedur yang sudah jelas, pelayanan dapat dilakukan secara mudah dan sederhana (tidak berbelit-belit). Mengedepankan aspek profesionalisme sehingga mampu mengelola aset perusahaan secara lebih baik. Dan memantik kemauan bersama dari seluruh jajaran PT Taspen untuk meningkatkan pertumbuhan keuangan perusahaan. Itulah corporate culture, sebagai landasan perusahaan yang sarat dengan nilai-nilai utama (core values), dibahasakan secara sederhana dan mudah dipahami, yakni “Tumbuh, Etika, Profesional, Akuntabilitas dan Integritas”. Artinya, bila core values itu dijiwai secara baik, rasanya tidak terlalu sulit bagi orang-orang Taspen untuk menjalaninya dalam aktivitas kerja sehari-hari.
Dan berkat penyemaian nilai-nilai utama tadi, Taspen pun mampu meraih harapannya melayani Peserta dalam tempo yang sangat cepat dan singkat, tak lebih dari satu jam (one hour service). Kecepatan pelayanan itu tak terlepas dari upaya Taspen memperbaiki sistem kearsipan dan DMS (Document Management System). Dengan kinerja pelayanan yang memuaskan Peserta, Taspen juga menuai sertifikat ISO 9001 dan ISO 9002.
ISO 9000 merupakan standar internasional di bidang manajemen mutu. Suatu lembaga/organisasi yang telah memperoleh akreditasi (pengakuan dari pihak lain yang independen) ISO tersebut dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan internasional dalam manajemen penjaminan mutu produk/jasa yang dihasilkannya. Dengan lain kata, sertifikasi ISO menyatakan bahwa proses binis yang berkualitas dan konsisten telah dilaksanakan oleh perusahaan atau organisasi tersebut. Standar ISO 9000 hasil revisi terbaru tahun 2000 mensyaratkan: adanya satu set prosedur yang mencakup semua proses penting dalam bisnis; adanya pengawasan dalam proses pembuatan untuk memastikan bahwa sistem menghasilkan produk-produk berkualitas; tersimpannya data dan arsip secara baik; adanya pemeriksaan barang-barang yang telah diproduksi untuk mencari unit-unit yang rusah, dengan disertai tindakan perbaikan yang benar apabila dibutuhkan; dan secara teratur meninjau efektivitas tiap-tiap proses dan sistem kualitas itu sendiri. Kendati standar-standar ini mulanya untuk pabrik-pabrik, kini telah pula diaplikasikan ke berbagai perusahaan dan organisasi, termasuk perguruan tinggi dan universitas.   
PT Taspen bertekad agar keterbukaan (transparansi) dalam manajemen dan administrasi menjadi bagian integral dalam setiap kegiatan usaha perusahaan di semua bidang dan tingkatan manajemen. Sebab itu, sistem dan manajemen PT Taspen berusaha bergulir atas dasar prinsip-prinsip GCG. Tata kelola perusahaan yang tercermin dari adanya transparansi, akuntabilitas, responsibility, independent dan fairness. Prinsip GCG mengarahkan PT Taspen untuk bertindak agar mencapai tujuannya dengan baik, selain upaya manajemen PT Taspen tidak salah urus (mismanagement). Dalam kerangka penerapan GCG itu pula, secara internal, PT Taspen membentuk Komite Audit yang diketuai oleh Karsono Surjowibowo (Komisaris  PT Taspen).
GCG dan corporate culture memang harus bergulir seiring sejalan. Sebab, kalau budaya perusahaan menjadi semacam filosofinya, maka GCG adalah strukturnya. Struktur tidak akan berjalan tanpa adanya perekat (yakni budaya perusahaan). Tanpa budaya perusahaan, rasanya juga muskil bagi orang-orang PT Taspen untuk bisa saling mempunyai pemahaman dan persepsi yang sama. Agar GCG dan corporate culture di PT Taspen berjalan selaras dan sesuai harapan, manajemen melakukan serangkaian sosialisasi dan internalisasi kaidah-kaidah GCG, Budaya Perusahaan dan Nilai-nilai Utama (core values) bagi pembentukan corporate mindset orang-orang PT Taspen. Karena itu, manajemen PT Taspen menaruh kepedulian yang tinggi terhadap peningkatan mutu SDM, sesuai dengan kompetensi dan fungsi kerjanya. Pendidikan dan pelatihan bagi SDM secara simultan dilakukan. Sistem reward and punishment juga diterapkan, bahwa karyawan yang berprestasi mesti diberi apresiasi dan yang melanggar dikenai sanksi. Tingkat kesejahteraan karyawan terus pula diperbaiki.
Supaya karyawan betul-betul memahami kebijakan manajemen PT Taspen, maka “Program Transformasi Taspen” (PTT) yang telah digulirkan kemudian diluncurkan dan disosialisasikan dalam bentuk buku yang berjudul Pedoman Pelaksanaan Program Transformasi Taspen (2005). Dalam buku bersampul warna biru simbol corporate color PT Taspen itu, dilengkapi dengan berbagai instrumen kerja perusahaan modern seperti Pedoman Pelaksanaan GCG, Code of Conduct dan Etika Pelayanan yang secara bertahap juga semakin intensif disosialisasikan kepada segenap insan PT Taspen untuk menggapai cita-cita perusahaan berkelas dunia (world class company). Seiring dengan peluncuran buku tersebut, manajemen PT Taspen meluncurkan pula website-nya: www.taspen.com. Hal ini dilatar-belakangi oleh sebuah kebutuhan Peserta dan Pensiunan akan informasi yang cepat dan tepat. Dalam website PT Taspen, Peserta tidak hanya dapat mengakses informasi, melainkan juga berkonsultasi seputar program ketaspenan.
Dengan langkah transformasi tadi, “Tradisi Pelayanan” --yang selama ini telah tumbuh berkembang dalam tubuh PT Taspen-- menjadikan orang-orang PT Taspen seolah berlomba untuk terus mengasah pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bidang kerja dan tugas masing-masing. Sehingga, setiap lini dalam manajemen dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada Peserta.
Unjuk kerja orang-orang Taspen berhasil mengukir kinerja dan performa yang bagus. Orang-orang Taspen pun memiliki daya hidup, daya juang dan daya dorong yang kuat dan kokoh dalam mengarungi gelombang jaman yang penuh dengan ketidak-pastian usaha dan krisis ekonomi yang menerjang negeri ini.
Tak dapat disangkal, dengan berlandaskan GCG serta dukungan seperangkat hardware, software, brainware, organware, dan timeware, bahwa PT Taspen berhasil mencapai beberapa harapan yang dicita-citakan. Setidaknya, eksistensi PT Taspen bertambah bagus. Beberapa pilihan investasi, seperti deposito berjangka, saham, reksadana dan obligasi, menunjukkan peningkatan. Aktiva lancar dan aktiva tetap pun meningkat. Ujung-ujungnya, laba bersih PT Taspen naik cukup signifikan dari Rp164,9 miliar (2004), Rp381,8 miliar (2005), Rp126,89 miliar (2006), Rp147,368 miliar (2007), Rp386 miliar (2008), Rp282 miliar (2009), dan Rp545,4 miliar (2010). Keberadaan PT Taspen dirasakan pula semakin dekat dengan para Peserta yang nota bene para pegawai negeri itu. Demikian juga pelayanannya, dirasakan semakin prima dan memuaskan Peserta.
PT Taspen berharap mampu menuju predikatnya sebagai pengelola dana THT dan Pensiun PNS yang world class pada tahun 2010. Manajemen PT Taspen berusaha mempercepat langkah mencapai harapannya itu melalui serangkaian penguatan internal performance dan perluasan external network. Implementasi GCG sebagai prasyarat perusahaan modern diteguhkannya, antara lain melalui peluncuran buku Pedoman Pelaksanaan GCG PT Taspen bertepatan dengan ulang tahun Taspen yang ke-42 pada April 2005. Kualitas manusia (SDM) PT Taspen sebagai kunci utamanya  juga terus-menerus dipupuk dan diasah kompetensinya melalui kerangka implementatif “Manajemen SDM Berbasis Kompetensi” (MSDM-BK). Arti kata, manajemen PT Taspen memang tidak main-main dalam melakukan “transformasi total” PT Taspen, khususnya berkenaan dengan Penyemaian Nilai Budaya Perusahaan, Transformasi SDM dan Transformasi Sistem dan Infrastruktur, serta Transformasi Bisnis.
Mengingat manfaat dan kemaslahatannya, jaringan kantor Taspen pun terus meluas dan bertambah banyak, seiring dengan meningkatnya pelayanan prima yang bisa diberikan kepada para Peserta (PNS). Memasuki tahun 2006, manajemen PT Taspen terus mendorong setiap kantornya untuk bertumbuh-kembang dengan lebih baik lagi dan memberikan pelayanan kepada para Peserta secara lebih prima. Untuk itu, manajemen menggulirkan berbagai rangcangan program perusahaan unggul bagi perjalanan PT Taspen menuju harapannya yang lebih baik. Juga meneguhkan visi-misi PT Taspen agar eksistensinya lebih bermanfaat dan bermaslahat bagi para Peserta serta bagi viabilitas PT Taspen sendiri sebagai organisasi perusahaan.
Dalam perspektif kemanfaatan dan kemaslahatan, Taspen telah menandatangani kerja sama dengan DPN Korpri dan PB PWRI untuk memanfaatkan Dana UKM dan PKBL Taspen bagi PNS dan pensiunan PNS yang ingin berwirausaha dan dialokasikan ke seluruh provinsi di Indonesia. Kemudian melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dengan melakukan antara lain penghijauan di DAS Ciliwung (Jawa Barat), Puncak Merapi (Jawa Tengah), Mangro (Bali), Green Campus di beberapa universitas dan beberapa cabang Taspen di sejumlah daerah. 
Lalu, manajemen juga berusaha memperkuat fundamental PT Taspen dengan GCG, sistem dan mekanisme perusahaan modern. Semua itu dilakukan dengan harapan agar pondasi PT Taspen semakin kokoh, dengan kinerja dan performa yang bertambah bagus sehingga keberadaannya kian memberikan nilai tambah yang lebih signifikan bagi para stakeholders dan perekonomian nasional pada umumnya.
Karena manajemen organisasi telah dikelola secara baik, bersih, benar dan sehat, setiap orang Taspen menjadi semakin terlekati nilai-nilai yang unggul, prinsip, dan etos kerja yang luhur. Dalam hal pelayanan, seluruh insan Taspen telah pula menerapkan pelayanan paripurna yang mengedepankan prinsip zero defect, zero haram dan zero mind process.
Kemudian, dari sisi ekonomis, kinerja PT Taspen bertambah bagus pula. Minimal, sepanjang tahun 2007, PT Taspen berhasil membukukan laba bersih sekitar Rp147 miliar. Dengan aset yang melejit ke angka Rp37 triliun, pondasi dan eksistensi PT Taspen menjadi bertambah kokoh. Dan, pada akhir tahun 2007 itu kondisi PT Taspen masuk dalam kategori “Wajar Tanpa Pengecualian”. Pembukuan laba bersih cenderung meningkat sejak tahun 2007, yakni Rp386 miliar (2008), Rp282 miliar (2009), dan Rp545,4 miliar (2010).
Masih dari sisi ekonomis, Taspen pun telah meraih harapannya, zero dividen. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dana yang ada di PT Taspen berasal dari akumulasi iuran Peserta. Dengan begitu, seharusnya laba bersih yang diperoleh tidak dikenakan pajak dan dividen seperti halnya yang berlaku di seluruh negara-negara ASEAN. Hasil pengelolaan seluruhnya digunakan untuk meningkatkan manfaat bagi Peserta. Tapi, sampai tahun 2003, Pemerintah masih menarik dividen yang sebetulnya merupakan hak PNS.
Taspen terus mendorong agar Pemerintah (selaku pemegang saham) membebaskan pembagian dividen. Dan, baru tahun 2004, sesuai dengan rekomendasi Menteri Keuangan (waktu itu) Budiono, Menteri BUMN (saat itu) Sofyan Djalil menetapkan berlakunya zero dividen untuk Taspen sehingga hasil sisa laba dapat sepenuhnya digunakan untuk memperbesar cadangan teknis.
Lalu, Taspen cukup berhasil memperjuangkan pengembalian iuran PNS yang berhenti sebelum waktunya. Di waktu lalu ada persoalan pengelolaan dana pensiun berkaitan dengan para PNS yang berhenti sebelum waktu pensiun atau diberhentikan secara tidak hormat. Iuran pensiun mereka tidak dikembalikan sedangkan iuran THT-nya dikembalikan berdasarkan nilai tunai asuransinya.
Di Malaysia, bagi mereka yang berhenti tidak karena pensiun, iuran peserta dan hasil pengembangannya dibayarkan kembali kepada peserta. Sedangkan iuran pemberi kerja dan pengembangannya tetap diakumulasikan kepada Dana Pensiun. Taspen berusaha mendorong Pemerintah melurukan kebijakan yang selama ini tidak sesuai dengan best practice tersebut. Hasilnya, di akhir tahun 2007 Menteri Keuangan menyetujui untuk mengembalikan iuran pensiun PNS bagi PNS yang diberhentikan tanpa hak pensiun, di mana iuran THT-nya selama ini telah dibayarkan. Atas rekomendasi Men-PAN, Menteri Keuangan kemudian mengeluarkan Permenkeu Nomor 71/PMK.02/2008 tanggal 8 Mei 2008.
Dengan keluarnya Permenkeu Nomor 71/PMK.02/2008 dan telah dilakukannya pembayaran kepada seluruh mantan PNS yang berhak (kendati masih mengundang pertanyaan berapa sesungguhnya jumlah mantan PNS yang berhak) ternyata tidak langsung menyelesaikan persoalan. Ada hal-hal strategis terkait yang perlu ditindak-lanjuti, antara lain: dengan Permenkeu ini berarti setelah 39 tahun berlangsung, Pemerintah baru mengakui bahwa iuran PNS yang disimpan di Taspen itu dikembalikan kepada mantan PNS yang tidak memperoleh hak pensiun. Selama bertahun-tahun upaya beberapa mantan PNS untuk mendapatkan haknya ini selalu kandas di pengadilan. Kemudian pengembalian uang iuran dana pensiun bahkan disertai bunga asuransi sebesar 9%. Dalam membayarkan uang pensiunan bulanan, selama ini Pemerintah memanfaatkan dana iuran PNS yang terkumpul. Dana yang telah dipakai sampai dengan tahun 2007 berjumlah sekitar Rp30 triliun. Penggunaan dana itu tidak pernah diberikan bunga. Sejalan dengan Permenkeu tadi, maka sudah selayaknya disertai bunga juga.
DPN Korpri dan PB PWRI harus secara terus-menerus mengingatkan Pemerintah dan Taspen untuk mengembalikan uang itu berupa pokok dengan bunganya kepada Dana Pensiun PNS yang selama ini dikelola Taspen. Bentuk persero bagi Taspen yang mengelola dana pensiun dan THT PNS sebetulnya tidak tepat karena bentuk persero dapat go public. Sedangkan dana Taspen berasal dari Peserta sehingga Taspen sebenarnya milik PNS. Dana tersebut digabung dengan dana yang ada di Taspen yang seluruhnya bernilai sekitar Rp50 triliun dapat dijadikan modal awal Dana Pensiun PNS dengan sistem fully funded sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 11 Tahun 1969 dan PP Nomor 25 Tahun 1981.
Dari sudut pandang kesejahteraan PNS dan pensiunan, Taspen mampu mewujudkan harapan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) yang berupa gaji ke-13. Kendati sebelumnya sempat dimarahi oleh Men-PAN yang saat itu merangkap sebagai Ketua Umum DPN Korpri, dengan alasan Pemerintah tidak punya cukup dana. Tapi, berkat perjuangan Korpri, Taspen dan Menko Kesra (kala itu) Yusuf Kalla, akhirnya Pemerintah memberikan gaji ke-13 di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dengan begitu kebijakan standar ganda Pemerintah untuk THR telah diperbaiki. Namun perasaan kecewa kembali mencuat manakala pada tahun berikutnya THR ditiadakan dan berubah menjadi tunjangan pendidikan karena pendidikan dianggap lebih penting.
Secara korporat, program transformasi Taspen yang telah menggapai beberapa harapannya itu pun berujung pada berbagai pencapaian prestatif dan beroleh sejumlah apresiasi. Pada tahun 2006 misalkan, Taspen termasuk salah satu dari tiga BUMN yang memperoleh penghargaan dalam hal Pembinaan Sistem Kearsipan. Penghargaan diserahkan pada acara Hari Kearsipan tanggal 18 Mei 2006 oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN) bertempat Kantor Arsip Nasional RI, Jakarta. Selain itu, Taspen juga berhasil menyabet Juara Harapan I Kategori Laporan Tahunan dan Juara Harapan II untuk Kategori Penerbitan Internal BUMN dalam Lomba Anugerah Media Humas.
Selain manajemen yang semakin solid, pelayanan kepada Peserta (PNS)  bertambah bagus dan aset perusahaan terus membaik pula. Kualitas pelayanan Taspen dinilai oleh Konsultan Kementerian BUMN (Konsultan DR Padmodimuljo dari KDP Integrated Business and Invesment Solution) sangat baik dengan nilai 6,47 (atau 92% dari nilai tertinggi 7). Men-PAN juga menghadiahi penghargaan “Citra Pelayanan Prima”. Tahun 2001, Taspen dianugerahi pula penghargaan “Abdi Satya Bhakti” yang diserahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bulan November 2006, PT Taspen berhasil meraih predikat Early Results pada penghargaan Indonesian Quality Award (IQA) berbasis Malcolm Balridge Criteria dengan skor 354. Tahun berikutnya, 2007, PT Taspen mampu meningkatkan diri dengan mendapatkan predikat Early Improvement dengan skor 402 dalam penghargaan IQA yang diselenggarakan oleh IQA Foundation.
Dalam penilaian IQA, digunakan Malcolm Balridge Criteria for Performance Excellence (MBCfPE). Metode ini terbukti efektif meningkatkan daya saing banyak perusahaan AS setelah terjadinya krisis ekonomi pada 1980-an. Hasilnya, selama lebih dari satu dasawarsa sampai kini, AS menjadi negara yang memiliki saya saing tertinggi di dunia. Dari pengalaman AS itu, ketika krisis perekonomian yang berkepanjangan melanda Indonesia, BUMN terus tampil menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi nasional. Nah, dalam rangka meningkatkan dan mengapresiasi kinerja BUMN itu, IQA Foundation berupaya menyemangati dan mendorong kalangan BUMN untuk terus meningkatkan prestasinya.
Prestasi lainnya, berdasarkan hasil Survei Integritas Sektor Publik (Agustus-Oktober 2007), Taspen masuk dalam urutan terbaik kelima sebagai salah satu institusi pelayanan publik di Indonesia versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK menetapkan Taspen sebagai salah satu instansi dengan nilai Integritas Pelayanan Publik yang tinggi (8,08).
***
DALAM putaran roda perjalanan waktu, selain mampu mencapai harapan-harapan yang telah dicanangkan di masa lalu, kita pun tak mampu mengelak dari kegagalan dalam meraih apa yang telah dicita-citakan dari mula. Selain berharap menjadi institusi pengelola Dana Pensiun dan THT yang bersih, sehat dan benar, melalui pelayanan 5-T, Taspen juga bercita-cita mewujudkan hari-hari yang indah bagi Peserta (PNS dan Pensiunan). Apa sebenarnya makna hari-hari yang indah bagi Peserta itu?
Selain ingin menikmati pelayanan 5-T tadi, Peserta menuntut pula Taspen lebih transparan dan profesional dalam penyelenggaraan pensiun PNS. PNS sebagai peserta/nasabah Taspen tidak jarang menuntut agar nilai pensiun mereka terus meningkat seiring dengan tingkat inflasi ekonomi. Repotnya, banyak kebijakan pemerintah yang kontra produktif dalam mengakomodasi keluhan PNS yang merasa nilai pensiun mereka masih kecil.
Selama ini pemerintah selaku regulator maupun pemberi kerja bagi aparatur negara telah memberlakukan sistem yang berbeda antara program kesejahteraan untuk pekerja swasta dan BUMN di satu sisi dan para aparatur negara di sisi yang lain. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator: pertama, Pemerintah menetapkan dana pensiun dan THT untuk pegawai swasta dan BUMN dengan sistem pendanaan sendiri atau funded system sedangkan untuk PNS diberlakukan sistem pay as you go (sepenuhnya dibiayai APBN). Bahkan, Pemerintah menerapkan current cost financing system yang sebetulnya tidak dikenal dalam sistem dana pensiun di negara manapun.
Kedua, Gaji dan penghasilan PNS dipotong sebesar 10% untuk Dana Pensiun dan THT dan dana kesehatan tapi Pemerintah selaku pemberi kerja tidak pernah mengiur. Padahal, Pemerintah menetapkan kebijakan untuk perusahaan swasta dan BUMN bahwa pemberi kerja harus mengiur. Akibatnya, THT yang diterima oleh PNS menjadi kecil.
Ketiga, Pemerintah selalu menekankan bahwa setiap perusahaan selaku pemberi kerja harus membayar kewajiban berupa past service liability dari setiap kewajiban menyetor yang belum ditunaikan. Tapi, sampai sekarang kewajiban Pemerintah atas past service liability PNS untuk program Pensiun belum pernah ‘diakui’ dan tidak pernah dibayar.
Keempat, Pemerintah memakai uang PNS untuk membiayai kewajibannya baik dana pensiun PNS maupun THT. Dalam hal dana pensiun PNS, Pemerintah seharusnya menerapkan sistem pay as you go secara penuh, yaitu membayar pensiun sepenuhnya dari dana APBN, sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Namun kenyataannya, mulai tahun 1994 sebagian kewajiban pemerintah dibayar dengan dana milik PNS. Dana itu sebenarnya belum boleh dipakai sebelum dana pensiun menjadi fully funded. Kebijakan menggunakan dana pensiun PNS ini sebenarnya “pintu darurat” karena pada waktu itu Pemerintah mengalami kesulitan dana. Seharusnya kebijakan ini segera dihentikan dan dana yang sudah dipakai Pemerintah harus dikembalikan karena pada dasarnya dana ini milik PNS/pensiunan, bukan milik Pemerintah atau bagian dari APBN. DPR, khususnya Panitia Anggaran, selaku pengawas eksekutif seharusnya mengoreksi dan meluruskan kebijakan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah sistem dana pensiun dan asuransi sosial ini. Tapi, hingga kini, kebijakan yang keliru ini masih dipertahankan oleh Panitia Anggaran DPR, kendati Pemerintah telah menyadari kekeliruannya dan mulai mengusulkan untuk melakukan koreksi. Kami berharap Panitia Anggaran dapat mempertimbangkan untuk meluruskan hal-hal keliru selama ini dalam waktu-waktu mendatang.
Kelima, Pemerintah memberikan gaji kecil kepada PNS dan TNI mengakibatkan mereka kesulitan membiayai hidup dan kehidupannya. Ekses selanjutnya, mereka memanfaatkan waktu untuk mencari tambahan penghasilan (sehingga terjadi korupsi waktu yang berakibat melahirkan KKN) dan kesempatan yang semestinya tidak dilakukan.  
Untuk itu, Pemerintah mesti meningkatkan penghasilan aparatur negara agar besaran subsidi yang diberikan kepada ‘market’ dari hari ke hari semakin berkurang. Subsidi terjadi karena perbedaan gaji/penghasilan PNS yang rendah dibandingkan kondisi pasar. Sekadar contoh, berdasarkan perhitungan tahun 2003 ketika penulis diminta menghadap Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 10 November 2003 di Istana Negara, gaji seorang Direktur Jenderal di Jakarta hanya Rp3,5 juta per bulan. Untuk kehidupan di Jakarta tentu tidaklah cukup. Bila yang dianggap cukup adalah Rp15 juta, maka terdapat beda (selisih) Rp15 juta – Rp35 juta sama dengan Rp11,5 juta. Angka Rp11,5 juta itu merupakan bentuk subsidi sang Direktur Jenderal kepada market. Jika jumlah ini dikumpulkan dari seluruh PNS/TNI akan berjumlah lebih dari Rp75 triliun per bulan.
Pemerintah harus pula kembali memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan sebagaimana yang sudah dilakukan untuk pegawai swata dan BUMN di Indonesia. Bila tidak diberikan maka Pemerintah telah menerapkan kebijakan standar ganda dan dirasa tidak adil. Selain itu, Pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk memberikan Tunjangan Pendidikan sebulan gaji.
Pemerintah pun mesti memberikan tunjangan cuti tahunan sebagaimana yang telah diberlakukan untuk para pegawai swasta dan BUMN. Jika belum memungkinkan maka dapat dilakukan dengan mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Malaysia, yaitu sebesar tiga bulan penghasilan terakhir yang diberikan pada saat memasuki masa pensiun bagi pegawai yang tidak mengambil hak cutinya selama tiga bulan kumulatif.
Pemerintah selaku pemberi kerja harus secepatnya membayar iuran dalam program Purna Kerja bagi PNS dan anggota TNI/Polri. Pemerintah masih memiliki kekurangan dana untuk membayar program pensiun bagi PNS yang pensiun maupun mereka yang akan memasuki masa pensiun. Setidaknya, sampai 31 Desember 2002, kewajiban Pemerintah yang masih kurang mencapai Rp306,32 triliun. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), kekurangan tersebut disebabkan Pemerintah menganut sistem pembayaran pensiun yang dipenuhi secara langsung melalui APBN sebanyak 79% saat PNS memasuki masa pensiun. Adapun pembayaran sisanya, 21%, dipenuhi oleh Taspen.
Ke depan, Taspen berharap dana pensiun PNS diarahkan dari pay as you go menjadi fully funded. Langkah ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memberikan kepastian tersedianya dana untuk membayar pensiun PNS tersebut. Fully funded adalah sistem pendanaan di mana besarnya dana yang dibutuhkan untuk pembayaran pensiun di masa yang akan datang dipenuhi dengan cara diangsur secara bersama-sama melalui iuran oleh masing-masing pegawai dan pemerintah sebagai pemberi kerja selama pegawai masih aktif bekerja. Dengan sistem fully funded kita akan memupuk dana di suatu badan khusus, bisa PT Taspen atau lembaga lainnya.
Sebaiknya, kita tidak sepenuhnya menganut sistem fully funded. Tapi, kombinasi antara fully funded dan pay as you go. Kombinasinya: dana pensiun PNS yang diangkat sebelum 1 Januari 2005 berlaku sistem pay as you go sedangkan mereka yang diangkat setelah 1 Januari 2005 diberlakukan sistem fully funded.   
Tidak hanya sebatas sistem pendanaan yang menjadi concern Taspen yang ingin mewujudkan hari-hari indah para Peserta, asal-muasal dana untuk pembayaran gaji PNS dan pensiunan pun harus jelas. Taspen sudah menyampaikan kepada Pemerintah untuk tidak membayarkan gaji dan penghasilan PNS serta para pensiunan dari dana subhat (misalkan dari cukai rokok) dan sumber-sumber haram lainnya (contoh dari retribusi rumah judi dan lokalisasi pelacuran). Karena, hal ini akan mempengaruhi perilaku sehari-hari dan pola berpikir bagi para penerima gaji tersebut maupun anggota keluarganya. Hal ini sudah berhasil diimplementasikan di Negeri Jiran Malaysia. Dana-dana dari sumber subhat dan haram dipakai saja untuk membangun sarana umum seperti got, jalan raya, listrik dan pabrik semen. Selain itu, dengan adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan bunga bank, juga menjadi persoalan tersendiri yang harus ditangani dengan sebaik-baiknya. Persoalan kesejahteraan PNS-TNI-Polri memang tidak bisa ditangani secara tergesa-gesa dan asal jadi untuk mengejar dead line. ***   

Boks:
Hari Ini Harus Lebih Baik Daripada Kemarin
Dunia ini selalu berubah (berkembang). Sang waktu (jaman) senantiasa berganti. Sang waktu terus melaju dengan kecepatan 3.600 detik per jam. Dalam hitungan 24 jam, hari pun telah berganti. Hari ini berubah menjadi kemarin, dan kita pun harus mengisi hari-hari yang baru lagi. Hari terus berganti, hari terus berlari.
Menurut kalangan agamawan (rohaniawan), jaman memang terus berubah menuju masa depan. Dari masa Nabi Adam (orang pertama di muka bumi), kemudian masa Nabi-Nabi berikutnya, hingga hari ini dan hari esok, yang terus bergerak menuju hari akhir jaman kelak. Sedangkan kata para pakar sejarah, jaman terus berubah dari jaman es, jaman batu, hingga kini jaman teknologi informasi (TI). Dari jaman primitif, pra-sejarah hingga jaman modern sekarang ini. Sementara itu, dalam kajian para ahli ekonomi, jaman (peradaban) terus berubah dan berkembang dari peradaban gelombang pertama, gelombang kedua hingga peradaban gelombang ketiga. Atau, dari jaman yang masih tersekat dalam batas-batas masyarakat dan negara, hingga kini menjadi dunia yang tanpa batas (bonderless world). Era mondial atau jaman global.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan adalah sebuah hukum alam. The change is rule. Kata pakar manajemen bisnis Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul Change! (2005), “Yang berubah itu adalah perubahan itu sendiri.” Dalam kehidupan di dunia ini memang tidak ada yang kekal. Yang kekal adalah perubahan itu sendiri. Perubahan bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan pada siapa saja. Perubahan terjadi karena (antara lain) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), mobilitas dan kebutuhan manusia, atau kepemimpinan yang visioner. Kepemimpin yang memandang jauh ke depan melampaui horizon masanya.
Perubahan senantiasa mengikuti gerak kehidupan. Perubahan adalah denyut dan gerak sebuah kehidupan. Perubahan itu sendiri merupakan sebuah alur kehidupan yang harus dijalani oleh semua makhluk hidup, terutama manusia. Sesungguhnya, banyak pilihan yang diberikan oleh sebuah perubahan. Dan tergantung sikap dan tindak perilaku kita, apakah kita mau berubah, apakah kita hanya berdiam diri, apakah kita melawan, atau apakah kita yang harus diubah. Namun, yang pasti, siapa yang tidak mau berubah (belajar) untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan roda-roda perubahan, pasti akan tertinggal dan bahkan terlindas oleh perubahan jaman yang memang terus bergulir. Seseorang yang tidak mau berubah atau belajar ketika jaman menghendaki perubahan, mau tak mau orang itu bakal menjadi ”orang yang kalah”. Ia bakal terseret oleh derasnya arus perubahan jaman. Ia akan tertinggal dan bahkan terlindas oleh gelombang perubahan jaman.
Ketika perubahan harus terjadi dan tak bisa dibendung lagi, maka tak ada gunanya untuk bergeming menahan apalagi melawan arus perubahan. Sebab, seperti dikatakan oleh penulis dan filsuf terkemuka Amerika Serikat, Elbert Hubbard, “Dunia bergerak begitu cepat. Ketika seseorang berkata sesuatu tak bisa dilakukan, sebenarnya dia sudah diinterupsi oleh orang lain yang telah bisa melakukan.” Makanya, yang harus dilakukan adalah bagaimana menyiasati dan beradaptasi dengan arus perubahan agar kita tidak terseret ke dalam jurang keterpurukan. Kita harus mau dan mampu menyiasati serta beradaptasi dengan perubahan ke arah yang lebih baik agar kita menjadi ”orang yang menang”.
Idealnya, tanpa harus diubah, kita sendiri yang semestinya melakukan perubahan agar kita bisa tetap eksis dan terus hidup secara lebih baik. Goethe, sastrawan kenamaan Jerman itu, pernah mengatakan, “Kita harus selalu mengubah, memperbarui dan meremajakan diri. Jika tidak, kita akan membatu.” Hal itu senafas dengan apa yang acap dikatakan oleh Bill Gates, pendiri dan CEO Microsoft, “Siapa pun yang tidak mau berubah akan dijungkir-balikkan oleh perubahan itu sendiri karena memang demikianlah aturan dunia ini.” Senada dengan perkataan Jack Welch, sang pemimpin legendaris General Electric (GE), “Berubahlah sebelum perubahan itu sendiri yang akan memaksa Anda.”
Yang pasti, agama juga telah mengajarkan, “Sesungguhnya Tuhan tidak akan pernah mengubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mau berubah.” Maksudnya, Tuhan tidak akan pernah mengubah nasib seseorang, masyarakat, bangsa atau negara menjadi lebih baik kecuali seseorang, masyarakat, bangsa atau negara itu sendiri mau dan mampu mengubah nasib mereka menjadi lebih baik. Dan memang, hanya mereka yang mau dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang dapat bertahan melewati gerak roda-roda kehidupan.
Belajar dan terus belajar untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik, itulah esensinya. Orang-orang yang selalu melakukan perubahan dan berubah dalam hidupnya, pasti mereka tidak akan terlindas oleh roda-roda perubahan jaman. Karena, sudah menjadi semacam hukum alam kehidupan bahwa sesungguhnya semua manusia akan merugi kecuali mereka yang menerapkan prinsip: Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin, dan esok hari harus lebih baik daripada hari ini. Maknanya, bahwa perubahan dan berubah adalah suatu keharusan agar kita menjadi lebih baik daripada sebelumnya, agar`kita bisa menorehkan keberhasilan yang lebih baik lagi.
Mengasah diri agar modal insani (potensi dan kompetensi) semakin terasah tajam dalam mengiringi derap langkah perubahan (perkembangan) jaman. Itulah makna dan hakikatnya. Istilahnya long life education. Belajar tiada henti, sepanjang jalan kehidupan, sejak dalam buaian ibunda hingga ajal menjemput. Baik formal maupun informal. Belajar kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Termasuk belajar menafakuri segala yang ada dan terjadi di alam kehidupan ini. Belajar seumur hidup ke arah yang lebih baik, lebih bermanfaat dan lebih bermakna. Hal ini senafas dengan pendapat pakar pengembangan diri Peter F. Olivia yang menyatakan bahwa change in both inevitable and necessary, for it is thought change than life form, grow and develop (Soedarsono, 2005).
Memupuk ilmu dan terus mengembangkannya merupakan sebuah upaya untuk belajar tiada henti. Itulah yang dilakukan orang-orang Jepang, Amerika, Eropa dan negara-negara maju lainnya. Kemajuan yang berhasil mereka torehkan sudah demikian jauh di depan kita. Landasannya adalah ilmu pengetahuan yang terus dikembangkan melalui kesungguhan dan ketekunan dalam belajar. Ketekunan merupakan wujud terpenting dari disiplin dan karakter diri seseorang. Jika seseorang belajar dengan semangat yang mengalahkan keadaan, niscaya kesulitan, kelelahan dan kesakitan tidak akan dihiraukan lagi. Sebab, segala yang dilakukan diharapkan akan menghasilkan suatu kesuksesan. Orang yang tekun akan melahirkan tahan uji dan tidak mudah menyerah. Tidak goyah dengan komitmennya untuk terus berubah dan berkembang menjadi lebih baik dalam menorehkan kemajuan dan keberhasilan.
Ketekunan itu sendiri bisa dipelajari dan dilatih. Itulah prinsip orang-orang yang memiliki jiwa pembelajar tiada henti. Sekadar contoh, Sarasate, pemain biola terbesar di abad sembilan belas dari Spanyol. Dia sempat digelari sebagai pemain biola yang jenius oleh para kritikus musik. Dan, menanggapi ”pujian” itu, Sarasate menjawab, “Saya? Jenius? Bukankah mereka tahu bahwa selama tiga puluh tujuh tahun saya berlatih empat belas jam dalam sehari, dan baru sekarang mereka mengatakan saya ini jenius? Berlatih dengan tekun, belajar dan terus belajar menjadi lebih baik, itulah sebenarnya yang senantiasa saya lakukan.”
Begitu pula aktor besar Sylvester Gardenzio Stallone. Pria kelahiran New York (6 Juli 1946) yang kerap dipanggil Sly itu termasuk bintang terpopuler di Hollywood dengan bayaran tinggi. Apakah dia seorang aktor yang terlahir sebagai bintang? Tidak. Sly harus belajar dan berjuang keras merajut perjalanannya menuju kesuksesan. Keluarganya miskin karena ayahnya hanyalah seorang penata rambut, sedangkan ibunya adalah seorang peramal. Mulanya, Sly mendaftar pada sebuah sekolah akting, ikut audisi dan ditolak karena aktingnya yang kaku. Tapi, dia tidak pernah menyerah.
Suatu hari, Sly terinspirasi oleh pertandingan tinju Muhammad Ali dengan Chuck Wepner, pada tahun 1975, di Cleveland. Dia kemudian ”mulai belajar” menuliskan inspirasinya itu sepanjang 84 jam tanpa henti hingga bisa menyelesaikan naskah Rocky. Namun, naskah itu tidak laku dijual. Sekali lagi, Sly tidak patah arang. Sampai akhirnya ada perusahaan film yang memberikan kesempatan kepadanya untuk membintangi (sebagai aktor) film yang naskahnya ditulis sendiri tadi. Naskahnya sendiri hanya dihargai US$35.000. Pada waktu Rocky diluncurkan dan berhasil meraih box office, film ini mampu menghasilkan uang US$171 juta. Kemudian, film Rocky dinominasikan untuk 10 Academy Awards dan memenangi The Best Picture Award 1976.
Sang petinju legendaris Muhammad Ali sendiri dikenal dengan pernyataannya, “Hanya orang yang pernah ‘dikalahkan’ yang akan menjadi orang yang lebih kuat dan akan memiliki kekuatan ekstra untuk meraih kemenangan.” Mirip dengan Ali, pebasket kenamaan Michael Jordan juga berprinsip, “Rintangan tidak harus menghentikan langkah Anda. Jika Anda menabrak tembok, jangan berbalik dan menyerah. Terus berpikir dan bertindaklah mencari cara untuk mendakinya, melompatinya, melaluinya, atau memutarinya.” Para atlet memang harus terus mengasah dirinya dengan latihan selama bertahun-tahun untuk bertanding hanya selama beberapa detik atau beberapa menit saja.
Kalau kita cermati, pemimpin-pemimpin sukses di bidangnya masing-masing seperti Henry Ford, Mahatma Ghandi dan Bill Gates lantaran mereka juga merupakan sosok orang-orang yang senantiasa belajar dan terus mengembangkan diri dalam merespon jalannya perubahan jaman. Perubahan (menjadi lebih baik) bagi mereka adalah suatu keharusan yang memang harus mereka lakukan. Henry Ford bisa sukses karena melakukan perubahan dengan menyederhanakan proses produksi mobil dan menurunkan biaya produksi secara signifikan. Mahatma Gandhi bisa meraih kesuksesan karena dapat mengubah perjuangan yang penuh kekerasan menjadi perjuangan dengan ”damai”. Sementara Bill Gates bisa sukses lantaran merevolusi penggunaan komputer dari komputer main frame yang besar, berat, dan mahal, menjadi komputer personal yang kecil, ringan dan harga yang jauh lebih murah.
Masalahnya, banyak orang yang berkeinginan untuk berubah, tapi sedikit sekali yang menyikapinya dengan semangat maju terus pantang mundur. Artinya, untuk meraih perubahan yang lebih baik, kita memang tidak boleh mundur. Karena, ”pemenang” itu memang tidak pernah mundur. Dan, orang yang mundur itu tidak pernah ”menang”. Tapi, terkadang, banyak orang sering merasa ragu atau bahkan enggan untuk melakukannya. Bukan berarti mereka resisten terhadap perubahan, tapi hasrat untuk berubah (wilingness to change) ternyata kurang mengedepan. Jadi, benarlah apa yang pernah dikatakan oleh pakar manajemen korporasi Peter Senge, ”People do not resist change, they resist being change.”
Alasan yang mempengaruhi banyak orang enggan atau ragu untuk berubah biasanya adalah karena adanya rasa takut. Rasa takut itu muncul lantaran mereka tidak tahu pasti hasil yang menanti di depan sewaktu melakukan perubahan. Makanya, banyak orang beranggapan bahwa melakukan perubahan layaknya melangkah memasuki lorong jalan kegelapan. Mereka tidak tahu apa yang ada di depan, apakah lubang, batu atau kerikil-kerikil tajam yang bisa melukai atau bahkan mematikan mereka.
Kemudian, risiko. Risiko merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perubahan. Sebagai gambaran, seandainya kita memutuskan untuk membuka usaha sendiri menjadi wirausahawan. Tentu, risikonya adalah kerugian, bahkan kebangkrutan dalam usaha. Sedangkan apabila memilih melamar pekerjaan, maka risikonya adalah ditolak oleh perusahaan. Contoh lainnya, guna meraih sebuah jenjang karir yang lebih tinggi, biasanya kita dituntut untuk mempersembahkan sebuah prestasi bagi perusahaan. Prestasi itu tentu dimulai dari ide perubahan yang kita sampaikan pada pimpinan. Risiko yang mungkin muncul adalah ide kita ditolak sehingga karir kita tidak beranjak naik.
Jadi, secara psikologis, perubahan dan berubah itu memang dianggap begitu ”menyakitkan”. Sebab itu, tak heran bila banyak orang yang kemudian sudah cukup merasa senang dengan kondisi yang ”nyaman” (comfort zone) yang telah menjadi rutinitas dan kebiasaan mereka setiap hari. Semuanya dianggap baik-baik dan aman-aman saja. Everything is fine and will be fine. Tapi, yang harus dimengerti, sudah menjadi semacam kebenaran yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, bahwa kalau kita menolak perubahan dan tidak mau berubah maka kita akan dilindas oleh roda-roda perubahan jaman. ***

No comments:

Post a Comment