Friday, August 30, 2013

MENUJU WORLD CLASS COMPANY, MANUSIA DAN ORGANISASI ADALAH KUNCINYA




Di dunia di mana segalanya cepat berubah dan menghilang ini,
sang pemimpin harus tampil untuk mendorong perubahan,
pertumbuhan dan menunjukkan caranya.

John C. Maxwell, Pakar Manajemen dan Kepemimpinan


Di penghujung tahun 2000, PT Taspen, perusahaan pengelola dana Tunjangan Hari Tua (THT) dan Pensiun pegawai negeri sipil yang kala itu dipimpin Achmad Subianto boleh dikatakan dalam kondisi sehat wal afiat. Waktu itu PT Taspen mampu membukukan pendapatan Rp1,3 triliun dengan laba bersih sekitar Rp93 miliar. Perjalanan Taspen dengan segenap prestasinya hingga sekarang ini, tidaklah terlepas dari jasa dan pengabdian yang telah dirintis oleh para CEO terdahulu. Begitu pula para karyawan yang saat itu berada di Kantor Pusat dan Kantor Cabang, maupun para pendahulu yang kini bertugas di tempat lain, mereka yang sudah pensiun, dan juga mereka yang telah tiada karena sudah lebih dulu dipanggil oleh Allah SWT.

Seiring dengan perubahan kondisi lingkungan yang begitu cepat sekarang ini, tugas yang diemban PT Taspen terasa pula semakin penuh tantangan. Karena, selain harus menunaikan fungsi pelayanan, Taspen pun harus memenuhi fungsinya sebagai organisasi bisnis dengan mengelola dana yang dipercayakan kepadanya dalam berbagai bentuk investasi guna membiayai operasional perusahaan sekaligus untuk mengamankan dana itu bagi kepentingan pembayaran para Peserta (THT dan Pensiun). Sejauh ini, kedua fungsi tadi telah berjalan secara baik. Para pimpinan Taspen menyadari betul bahwa pegawai negeri sipil (PNS) selaku Peserta PT Taspen merupakan stakeholders utama yang harus diperhatikan secara serius sehingga mereka dapat merasakan bahwa pelayanan yang diberikan benar-benar dapat memberikan manfaat yang lebih baik.

Namun, di benak Subianto waktu itu, kinerja dan performa PT Taspen yang sudah berjalan bagus itu harus terus didorong agar menjadi lebih baik lagi. Hari ini sudah lebih baik daripada kemarin, dan esok hari harus lebih baik daripada hari ini. Artinya, peran dan fungsi PT Taspen bagi peningkatan kesejahteraan (THT dan Pensiun) PNS (Peserta) harus diupayakan menjadi lebih optimal.

Sebagai BUMN yang berurusan dengan nasib jutaan PNS, eksistensi PT Taspen mesti terus diperbaiki. Terlebih lagi, PNS merupakan pilar penting dalam perputaran roda birokrasi negara dan pemerintahan. Bayangkan, apa jadinya jika kondisi PNS itu terus-menerus terkungkung dalam keprihatinan? Tentunya, harapan akan kinerja dan performa birokrasi yang profesional, bersih dan berwibawa, hanyalah akan menjadi sebuah mimpi belaka. Sebab itu, sebagai anak bangsa yang kebetulan saat itu sedang dipercaya memimpin PT Taspen, Subianto ingin agar keberadaan PT Taspen bisa menjadi salah satu inspirator peningkatan kesejahteraan PNS. Baik semasa mereka masih aktif bekerja maupun jaminan yang lebih baik ketika mereka sudah mencapai usia pensiun, sekaligus mendorong PT Taspen menjadi salah satu entitas penting dalam kegiatan perekonomian nasional.

Tak lama setelah menerima mandat sebagai pimpinan puncak PT Taspen, ada beberapa hal penting yang dilakukan oleh Subianto guna meningkatkan kinerja dan performa PT Taspen. Waktu itu, bersama jajaran karyawan madya, manajer, serta Direksi dan Komisaris, dia melakukan reposisi korporat, termasuk memperjelas visi dan misi PT Taspen agar menjadi lebih fokus pada kompetensinya. Pencanangan reposisi PT Taspen itu, terutama menyangkut beberapa hal penting seperti: Kembali kepada jati diri PT Taspen; Menata kembali PT Taspen; Mendorong langkah PT Taspen menjadi perusahaan berkelas dunia; dan Mendorong PT Taspen agar bisa memberikan kontribusi bagi Indonesia untuk keluar dari krisis; dan menempatkan PT Taspen sebagai “oase” bagi Indonesia yang adil, jujur, bersih, sehat dan benar serta sejahtera.

Yang jelas, sejak hari pertama duduk di kursi Direktur Utama PT Taspen, akhir Mei 2000, dia langsung menyingsingkan lengan bajunya. Dan, sebagai pemimpin, dia tak mau kalau cuma berdiri di depan sekadar memberi komando, tapi dia pun turun dari kursi puncaknya, bergabung ke tengah-tengah awak PT Taspen, untuk bersama-sama merajut masa depan PT Taspen. Yang sungguh membanggakan, bahwa langkah Subianto itu memperoleh respon suportif dari jajaran Direksi dan Komisaris. Khususnya jajaran Direksi, tak hanya terlihat lebih solid, tapi juga lebih kompeten dan profesional. Jajaran Direksi telah menunjukkan dirinya sebagai “orang-orang kunci” dalam memberikan keteladanan bagi segenap awak dan manajemen PT Taspen. Suatu kondisi yang sangat positif buat modal PT Taspen dalam melangkah menuju harapannya, ke depan, guna meraih kinerja dan performa yang lebih baik.

Jarum jam terus berputar dan waktu terus melaju. Di tahun 2002, dalam waktu sekitar dua tahun, telah dilakukan serangkaian langkah evaluatif dan transformatif bagi eksistensi dan manajemen PT Taspen. Banyak prestasi yang diraih PT Taspen, walau masih banyak pula pekerjaan yang harus dilakukan oleh manajemen PT Taspen guna mewujudkan visi-misinya. Minimal, sampai tahun 2002 itu, kinerja dan performa ekonomis PT Taspen sudah menjadi lebih baik dibandingkan kondisi di tahun 2000. Dalam hal pendapatan misalkan, meningkat dari Rp1,3 triliun menjadi Rp2,9 triliun, serta laba bersih naik dari Rp93 miliar menjadi Rp265,8 miliar. Aset PT Taspen pun melonjak dari Rp1,6 triliun (2000) menjadi Rp9,9 triliun (2002).

Dengan kekuatan orang-orang yang telah berpengalaman malang-melintang dalam roda usaha PT Taspen, langkah dalam mendorong perkembangan PT Taspen pun terasa semakin tegap. Dengan mengusung prinsip “berjamaah” (begitu Subianto kerap menyebut istilah kebersamaan, teamwork), dia mendorong manajemen PT Taspen untuk secara intensif mengembangkan beberapa langkah strategis. Di antaranya adalah: Meningkatkan Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendataan; Optimalisasi Kompetensi SDM untuk berbagai bidang tugas; Optimalisasi Penagihan Iuran; Optimalisasi Portofolio Investasi; Peningkatan Investasi Usaha; Peningkatan sinergi Pemeriksaan dengan pihak Eksternal Auditor; dan Peningkatan Pemahaman Pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern pada setiap level manajemen.

Hingga kemudian, setelah setahun berjalan (2003), kinerja dan performa Taspen juga tampak menjadi lebih baik lagi. Pendapatannya meningkat menjadi Rp3,4 triliun. Laba bersih sedikit menurun menjadi Rp176,6 miliar, lantaran biaya beban (antara lain karena peningkatan beban klaim dan manfaat) yang mengalami kenaikan cukup signifikan. Tahun 2004, laba bersih Taspen berada dalam posisi Rp164,9 miliar. Penurunan laba bersih tahun 2004 itu selain disebabkan oleh bertambahnya biaya beban dan manfaat, juga akibat turunnya suku bunga deposito. Waktu itu, sekitar 80 persen investasi dana PT Taspen disimpan dalam bentuk deposito di bank-bank pemerintah (karena peraturan yang ada mengharuskannya begitu).

Cuma sedikit penurunan laba bersih, tidak sampai merugi sebagaimana yang pernah dituduhkan oleh IMF (International Monetary Fund). Dalam tempo yang relatif berbarengan, di kala banyak perusahaan asuransi di Tanah Air merugi akibat krisis moneter, PT Taspen masih tetap mampu membukukan keuntungan. Sebagai gambaran bahwa selama badai krisis perekonomian menerjang Indonesia, demikian banyak perusahaan asuransi yang nyaris kolaps. Ini terjadi karena posisi suku bunga deposito yang hanya sekitar 6,5 persen, sedangkan cover asuransi sampai 9-11 persen, sehingga terjadi negative spread.

Dalam kondisi seperti itu, direksi PT Taspen di bawah komando Subianto segera mengusulkan kepada pemerintah (selaku pemegang saham) agar manajemen PT Taspen diperkenankan memperlebar penempatan investasi dananya. Usulan itu disetujui. Maka, pilihan investasi dananya sebagian besar ditempatkan pada obligasi pemerintah. Sejak saat itu, sekitar 70-80 persen dana PT Taspen ditempatkan pada obligasi pemerintah (berupa Surat Utang Negara, SUN). Lucunya, langkah PT Taspen itu kemudian diikuti oleh sejumlah lembaga dana pensiun (perusahaan) yang lain, juga kalangan perbankan, dengan cara menjadi pembeli SUN. Padahal, sebelumnya, penerbitan SUN seolah menemui jalan buntu. Tapi, karena PT Taspen masuk dalam jumlah besar, nilai SUN meningkat dan peminatnya pun bertambah banyak. Jadi sebenarnya, yang “menyelamatkan” negara pada waktu krisis yang berkepanjangan kala itu, salah satunya adalah uang PNS yang dihimpun di PT Taspen. Sebuah kenyataan yang sungguh luar biasa.

Namun, kebanggaan itu tidak lantas membuat direksi PT Taspen menepuk dada dan berpuas diri. Keinginan untuk berubah menjadi lebih baik terus menguat dalam spirit kerja. Terlebih lagi dengan adanya instruksi dari Menteri Negara BUMN yang kala itu dijabat Sugiharto, agar setiap BUMN di negeri ini bersiap-siap melakukan transformasi menuju perusahaan berkelas dunia. Toward to the world class company. Juga dengan adanya fenomena perubahan dunia usaha, PT Taspen harus tetap bertahan dan terus bertumbuh-kembang pada masa yang akan datang agar sejalan dengan visi Kementerian BUMN, yaitu “Menjadikan BUMN sebagai badan usaha yang tangguh dalam persaingan global dan mampu memenuhi harapan stakeholders”.

Adalah sebuah keniscayaan bila setiap perusahaan harus siap berkompetisi. Karena itu, segala lini harus dikerahkan untuk meraih kemenangan dalam persaingan, guna meraih keuntungan dan mendapat predikat World Class Company. Dan, upaya meraih predikat World Class Company bukanlah hal yang mudah. Hanya perusahaan yang terus hidup, tumbuh dan berkembang, bahkan membesar-lah yang mampu dan berhak meraihnya.

Perubahan. Barangkali kata itulah yang tepat untuk menggambarkan keinginan para direksi PT Taspen di pertengahan tahun 2003 tersebut. Perubahan merupakan faktor yang pasti terjadi sehingga diperlukan antisipasi dan sikap untuk menghadapi perubahan tersebut melalui berbagai tahapan transformasi atau penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi.

John Kotter, seorang pakar perubahan organisasi dari Harvard Business School, mengatakan bahwa untuk terus menjaga daya tahan dan momentum perubahan dalam proses transformasi dibutuhkan apa yang disebut short-term win. Jangka waktu transformasi yang relatif panjang dibagi-bagi menjadi tahapan yang lebih pendek (setahun atau setengah tahun), dengan short-term goal yang harus dicapai dan merupakan milestone yang harus dilalui serta diselesaikan agar keseluruhan transformasi dapat dituntaskan. Dengan adanya milestone memungkinkan jeda yang cukup untuk dapat digunakan buat mengumpulkan energi dan kemudian menggulirkan langkah-langkah berikutnya.

Baru ketika memasuki tahun 2004, manajemen PT Taspen mulai melakukan langkah-langkah strategis dalam rangka proses transformasi secara lebih esensial. Dalam kerangka itu, setelah mengamati, memahami, membuat pemetaan (mapping) serta menganalisa tentang Kekuatan (Strong), Kelemahan (Weakness), Peluang (Opportunity) dan Ancaman (Threat) atau SWOT, Subianto berkesimpulan bahwa organisasi beserta manajemen dan tata kelola perusahaan PT Taspen harus diubah dengan konsep baru yang lebih sistematik, integratif dan aplikatif. Mengingat masalahnya adalah sangat mendasar dan struktural, konsep yang dicanangkan adalah Transformation atau perubahan mendasar (transformasi atau reorganisasi).

Direksi PT Taspen pun tidak main-main dalam merencanakan transformasi PT Taspen. Harianto Mangkusasono, salah satu mantan direktur di perusahaan berkelas dunia IBM, diminta melakukan pengkajian. Setelah melakukan introspeksi, pengkajian dan mawas diri, ternyata dalam perjalanannya, PT Taspen belum selesai sebagaimana keinginan para pendiri PT Taspen (yaitu perusahaan yang bersih, sehat dan benar) serta belum sesuai dengan jati diri dan sasaran perusahaan. Karena itu, PT Taspen harus tetap eksis dengan 5 (lima) sasaran yang tertuang dalam program reposisi. Sasaran pertama adalah kembali kepada jati diri PT Taspen. Sebagai pengelola dana pensiun PNS, PT Taspen berkewajiban mengelola Program Dana Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT) PNS serta kesejahteraan lainnya. Kedua, menyelamatkan PT Taspen dengan cara mewujudkan kecukupan dana yang memadai melalui pemenuhan kewajiban Pemerintah sebagai pemberi kerja dan menghindarkan sistem yang tidak sesuai dengan best practice. Ketiga, menata kembali PT Taspen. Penataan ini dilakukan pada hal-hal yang terkait dengan pengelolaan Dana Pensiun, THT dan kesejahteraan lainnya menjadi sistem pengelolaan Dana Pensiun, THT dan kesejahteraan lainnya yang adil, bersih, sehat dan benar serta transparan. Keempat, menjadikan PT Taspen perusahaan berkelas dunia dengan menjadi Senior Citizen Centre sehingga para senior PNS dapat menikmati hari-hari indah di masa purna bhakti. Kelima, memberikan kontribusi bagi Indonesia untuk segera keluar dari krisis guna menuju Indonesia yang adil, jujur, bersih, sehat dan benar serta sejahtera.

Upaya mengubah dan membenahi PT Taspen menjadi lebih baik ternyata bukanlah langkah mudah. Menjadikan PT Taspen perusahan berkelas dunia, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya, mengajak orang untuk berubah, tidak terkecuali berubah menjadi lebih baik, bukanlah sebuah perkara yang gampang. Banyak perusahaan yang telah melakukan perubahan dan berhasil, namun lebih banyak lagi yang justru menuai kegagalan. Salah satu penyebab kegagalan itu adalah resistensi atau penolakan dari para karyawan yang cukup keras. Oleh karyawan, sebuah perubahan biasanya dianggap mulai dari mengganggu kenyamanan (comfort zone) yang telah menjadi rutinintas mereka sehari-hari, takut kehilangan hak-hak istimewa hingga takut kehilangan pekerjaan. Sebab itu, perubahan dianggap “menyakitkan”.

Subianto sadar benar akan hal itu. Karenanya, dia tidak mau gegabah. Dia berusaha sabar. Dia tetap hati-hati dalam menggelindingkan program perubahan. Lalu, langkah awal yang dilakukan bukan langsung mencanangkan konsep perubahan, namun terlebih dulu dirinya “turun ke bawah” untuk menyambangi semua jajaran perusahaan dan segenap karyawan guna mendengar keluh-kesah dan aspirasi mereka tentang kondisi perusahaan selama ini, sekaligus mensosialisasikan program perubahan yang coba digerakkannya. Untuk itu, sejak awal memimpin, dirinya sudah harus menyingsingkan lengan baju. Dia datangi satu per satu karyawan. Dari jajaran eksekutif, manajer hingga karyawan paling bawah. Pendekatan yang digunakan juga bukan memaksa tapi lebih pada menggugah, mendorong dan memberdayakan karyawan.

Subianto adalah sosok pemimpin penggerak perubahan yang lebih banyak bertindak daripada mengedepankan kedudukannya sebagai seorang CEO. Dia bukanlah tipikal seorang bos yang hanya duduk di singgasana empuk CEO. Dalam bekerja dan menjalankan amanah, dia lebih mengedepankan kewajiban daripada hak. Dia bekerja dan melaksanakan amanah bukan hanya demi kebutuhan diri pribadi, tapi lebih pada konteks kepentingan orang banyak: pemegang saham, karyawan, pelanggan, mitra kerja bahkan masyarakat dan lingkungan sekitar. Subianto merupakan sosok pemimpin penggerak perubahan yang tak hanya memberikan kepala (pikiran), tangan dan kaki (bekerja keras pantang menyerah), namun juga hatinya (melayani). Niatnya mantap-lurus, komitmennya tinggi dan konsisten, keyakinannya kuat, dan selalu berdoa agar diberi petunjuk dan jalan oleh Tuhan, serta ridha dari-Nya. Sebuah totalitas Subianto dalam memimpin. Itu semua dilakukan agar pertumbuhan perusahaan terus meningkat secara berkesinambungan.

Subianto pun sangat menyadari bahwa tanpa dukungan, komunikasi yang efektif dan komitmen dari segenap insan perusahaan, sehebat apapun konsepnya sebagai pemimpin tentu hanya akan indah di atas kertas belaka. Dalam hal ini, Subianto cukup beruntung karena sejak awal memimpin didampingi oleh jajaran direksi dan komisaris yang seiring-sejalan dengan pemikiran, hati dan langkahnya.

Sebelum mencanangkan program transformasi, Subianto tak lupa mengumpulkan para direksi, manajer, pemimpin di setiap departemen, divisi, bidang dan wilayah. Dia sampaikan kepada mereka tentang kondisi PT Taspen yang sesungguhnya tinggal menunggu waktu untuk perlahan-lahan jatuh jika tidak segera dibenahi. Subianto gugah sense of belonging dan sense of crisis mereka bagi perusahaan. Dan, Subianto benar. Para pemimpin di semua lini perusahaan pun coba memahami jalan pikirannya. Mereka kemudian kompak menggelorakan semangat: “Kami harus berubah” (We have to change). Subianto bersyukur semua pemimpin di dalam perusahaan mau berubah sesuai dengan harapannya. Bagi Subianto, para pemimpin (leader) harus memulai dan memimpin perubahan. Mengapa? Dalam masyarakat dengan budaya paternalistik seperti Indonesia, jelas membutuhkan figur pemimpin yang mampu mendorong perubahan dengan nilai-nilai, contoh dan keteladanan nyata. Leadership by example. Memberi contoh dalam memimpin. Pesan Guru Bangsa Ki Hajar Dewantara, “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Bangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Di depan memberi contoh dan keteladanan, di tengah memberi inspirasi dan di belakang memberi dorongan dan dukungan. Percuma kalau pemimpin tidak memberi keteladanan. Sebagai contoh, nilai kejujuran. Kalau tidak ingin ada penyelewengan, maka pemimpin harus jujur dan memberi contoh dengan tidak melakukan penyimpangan.

****
Boks 1:

Pentingnya Prinsip Good Corporate Governance (GCG)

Prinsip, nilai-nilai dan perilaku serta etos kerja. Dalam mewujudkan visi dan misi, organisasi perusahaan yang efektif adalah yang memiliki prinsip-prinsip kerja yang baik, nilai-nilai perusahaan yang unggul dan perilaku yang etis, serta etos kerja yang tinggi. Dalam hal ini, tujuan akhir dari sistem manajemen adalah agar perusahaan mampu memelihara dan mengembangkan penerapan sistem manajemen mutu secara efektif dan efisien, dan berjalan secara berkelanjutan.

Dalam rangka menjalankan organisasi perusahaan yang efektif sebagai konsekuensi pelaksanaan Program Transformasi Taspen (PTT), PT Taspen telah menerapkan pengelolaan perusahaan yang sehat sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. GCG merupakan tata kelola perusahaan yang tercermin dari adanya transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, kemandirian dan keadilan (fairness). Transparan, berarti ada keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan serta dalam mengemukakan informasi materiil yang berhubungan dengan perusahaan. Akuntabilitas, artinya ada kejelasan fungsi pelaksanaan dan pertanggung-jawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Tanggung jawab, berarti ada kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan dengan norma dan peraturan serta prinsip-prinsip korporasi (perusahaan) yang sehat. Kemandirian, maksudnya, perusahaan dikelola secara profesional sesuai dengan norma dan peraturan yang berlaku serta prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Tidak boleh ada benturan kepentingan serta pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun. Keadilan, dalam arti perusahaan bersifat adil dalam memenuhi hak-hak pemegang saham dan pemangku kepentingan berdasarkan perjanjian dan/atau peraturan yang berlaku.

Secara sederhana, GCG dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan keputusan efektif yang bersumber dari struktur organisasi, nilai-nilai budaya perusahaan, sistem manajemen, kebijakan dan proses bisnis. GCG mendukung dan mendorong pengembangan perusahaan, pengelolaan sumberdaya dan risiko secara efektif dan efisien, serta pertanggung-jawaban perusahaan kepada pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya.

GCG merupakan syarat higienis dari lingkungan kerja dan mengarahkan manajemen perusahaan agar tidak salah urus (mismanagement). GCG merupakan seperangkat kaidah yang mengatur dan mengendalikan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan secara baik dan benar. Dengan GCG maka nilai kreasi (value creation) perusahaan akan meningkat lantaran di semua lini korporat ada keterbukaan, tanggung jawab, kemandirian, akuntabilitas dan keadilan. Dengan GCG, good corporate values and culture juga akan terimplementasi secara baik.

Nilai-nilai budaya perusahaan menjadi semacam pondasi, sedangkan GCG sebagai strukturnya. Struktur tidak akan berdiri tegak tanpa ditopang pondasi. Sebaliknya, tanpa struktur yang berjalan secara baik, nilai-nilai budaya perusahaan juga tidak mungkin diterapkan secara baik. GCG yang berjalan selaras dengan nilai-nilai budaya perusahaan tentu akan menciptakan kondisi yang saling bahu-membahu dan saling memiliki persepsi yang sama. Dengan persepsi yang sama, akan tercipta pola pikir (mindset) yang sama, yang tentunya akan menjadi lebih mudah untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan. Penerapan GCG itu sendiri harus diketahui, dipahami dan dibudayakan kepada segenap orang di dalam perusahaan, mitra bisnis, pelanggan dan stakeholders lainnya. Dengan begitu, akan terjalin hubungan yang benar-benar harmonis tanpa harus “dikotori” oleh kepentingan pribadi dan sejenisnya.

Dengan nilai-nilai unggul budaya perusahaan, sistem manajemen dan tata kelola perusahaan yang baik dan benar, hal itu akan mampu mewujudkan “organisasi pembelajar” (learning organization) di mana dalam bekerja dan mengelola perusahaan semua karyawan selalu dilandasi dengan nilai-nilai budaya kreasi, inovasi, pembaruan serta manajemen perubahan yang lebih baik dan tidak kenal berhenti. Dengan landasan seperti itu, proses bisnis pun berjalan secara baik sebagaimana tercermin pada produk atau jasa yang berkualitas, memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi. Dengan landasan itu pula, nilai pelanggan yang dicerminkan dengan kepuasan pelanggan akan terus membaik. Dan, kinerja serta performa keuangan menjadi bertambah baik, lebih sehat dan bagus. Keuntungan terus meningkat dan karenanya pertumbuhan perusahaan juga bakal berjalan secara berkesinambungan.

Dalam kerangka itu, tentunya sebuah perusahaan membutuhkan seorang pemimpin (leader). Pemimpin yang mau dan mampu membangun sebuah “rumah idaman”, dengan visi dan misi, nilai-nilai luhur, budaya unggul, serta tindakan dan keteladanan nyata. Pemimpin yang mampu menjadi pembangun sistem manajemen dan mempunyai kemampuan manajerial yang baik dan benar. Pemimpin yang tampil sebagai “panutan” (role model) dan “pelatih” (coach), bukan bos (boss style) bagi para karyawan. Pemimpin yang dipercaya dan mempercayai (trust). Pemimpin yang menerapkan prinsip: “Di depan memberi contoh, di tengah memberi inspirasi (to inspire), dan di belakang memberi motivasi (to motivate).”

Pemimpin yang mau dan mampu memberdayakan segenap sumberdaya perusahaan, baik SDM sebagai human capital, economic capital maupun modalitas lainnya. Pemimpin yang manajer, manajer yang pemimpin (manager-leader). Seperti dikatakan pakar manajemen dan SDM, Robert F. Kelly, pemimpin yang mampu menjadikan segenap karyawan sebagai para “pekerja berkerah emas” (the gold collar worker) yang selalu berkreasi dan berinovasi. Pemimpin dan karyawan adalah kunci penggerak sistem manajemen sebuah organisasi perusahaan dalam meraih kemajuan.

Pemimpin yang mampu menjadikan karyawan sebagai manusia manajemen (people-management) dan manusia organisasi (people-organization) yang mempunyai kemampuan berkreasi sehingga menjadikan perusahaan tiada pernah berhenti untuk berinovasi (inovated company). Pemimpin yang berani memberikan penghargaan (reward) terhadap setiap karyawan yang bekerja dengan prestasi, dedikasi, kerja keras dan kerjasama tim. Begitu pun sebaliknya, pemimpin yang tegas memberikan hukuman (punishment) kepada setiap karyawan yang berperilaku negatif yang bisa berdampak buruk terhadap kinerja dan performa perusahaan.

Seorang pemimpin yang secara obyektif, mau dan mampu membangun organisasi yang lebih efektif, berfokus kepada pelanggan, SDM yang kompeten dan sistem manajemen yang bagus (efisien dan efektif) sesuai dengan kaidah-kaidah manajemen yang baik dan benar (GCG). Sebuah “organisasi pembelajar” di mana dan kapan saja setiap orang yang berada di dalamnya sudah cukup mengerti, memahami dan melaksanakan apa yang menjadi pekerjaan, wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan peran dan fungsinya serta posisi dan jabatannya masing-masing. On the right man, on the right place.

Dengan cara seperti itulah nilai perusahaan (corporate values) menjadi tinggi dan terus hidup sepanjang masa sebagai living company. Para living companies, begitu sebutan bagi para multinasional terbaik di dunia saat ini, ternyata memiliki satu kesamaan, bahwa mereka sama-sama dinakhodai oleh para pemimpin yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan pemimpin perusahaan/korporasi yang lain. Misalnya Konosuke Matshusita dalam memimpin Matshusita, Jack Welch dalam GE, Lou Gerstner bagi IBM, Bill Gates bagi Microsoft serta Lee Iacocca saat menyelamatkan dan kembali membesarkan eksistensi Daimler-Chrysler. Mereka adalah para pemimpin “kelas dunia” yang bernyali besar dan telah menyusuri berbagai perubahan, bahkan jauh melampaui horizon.

Tata kelola perusahaan Taspen yang sehat memang begitu mudah untuk diucapkan, tapi tidaklah gampang diterapkan. Banyak karyawan menyatakan belum sesuai dengan tugas yang diberikan atau atasan menilai stafnya belum bisa bekerja secara baik. Bahkan, prestasi seseorang dibandingkan dengan lainnya tanpa terlebih dulu menilainya lebih dalam. Untuk mengatasi hal itu, PT Taspen pun membuat upaya menilai dan mengevaluasi kompetensi dan kemampuan seseorang. Makanya, tata kelola perusahaan harus memiliki kebijakan, strategi, SOP (Standard Operation Procedure), instruksi kerja dan panduan perilaku agar mereka bisa berinteraksi dan berperilaku kepada sesama karyawan atau pelanggan dengan baik. Termasuk, membuat KPI (Key Performance Indicator) untuk semua level karyawan. Dengan begitu, semua karyawan akan merasa aman dan nyaman dalam bekerja, apabila semua terencana dengan baik dan transparan, termasuk menyangkut struktur gaji, insentif dan promosi internal. Semua karyawan juga harus patuh dan tunduk di bawah payung hukum dan aturan tentang tata krama dalam melakukan pekerjaan secara profesional.

Dengan menjalankan tata kelola perusahaan Taspen yang sehat, tentu akan memacu semangat kompetisi di antara para karyawan. Siapa yang memberikan value lebih besar dalam pekerjaannya maka ia akan menerima reward yang lebih tinggi. Sementara bagi pegawai yang tidak bagus karena value pekerjaannya buruk maka ia akan menerima reward yang lebih rendah, bahkan dapat dijatuhi punsihment. Jika perusahaan sudah menjalankan tata kelola perusahaan yang sehat dan berbasis kinerja, tentu saja akan membuat karyawan merasa yakin bahwa bekerja adalah untuk kepentingan perusahaan, diri sendiri dan bermanfaat bagi orang lain.

Dengan visi dan misi yang jelas serta terarah, nilai-nilai budaya perusahaan unggul, serta sistem-organisasi manajemen yang baik dan benar, tata kelola perusahaan yang sehat beserta aturannya, Taspen diharapkan akan memiliki landasan pengelolaan inovasi tiada henti, serta proses bisnis yang terbaik dan nilai pelanggan yang tinggi (memuaskan). Dan, agar Taspen dapat merasakan serta sesuai aspirasi karyawan sekaligus menata keberlangsungannya, maka perlu dilakukan employee opinion survey guna mengukur kepuasan kerja karyawan maupun manajemen dalam melakukan tugas sehari-hari. Sehingga, apabila terjadi ketidak-puasan, diharapkan manajemen bisa segera mendapatkan solusi untuk memperbaikinya. Berbagai studi membuktikan, perusahaan yang mampu mengelola pegawainya dengan baik, kinerjanya bisa meningkat sekitar 30-40 persen dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mampu mengelola karyawannya secara baik.

Panduan harmonis kepemimpinan yang lugas dan visioner, manajemen yang sistemik, nilai-nilai budaya yang unggul dan SDM yang mumpuni, akan mengantarkan perusahaan menjadi korporat yang bernilai dan berdaya saing tinggi. Semua SDM harus mau berendah hati untuk saling bergandeng tangan dalam sebuah teamwork yang solid, serta bersama-sama menjadi pembelajar ulung. Belajar dan bertindak, bertindak dan bekerja, adalah salah satu kunci sukses perusahaan di jaman modern sekarang ini.

Banyak perusahaan yang melakukan perubahan dan berhasil. Banyak pula perusahaan yang gagal dan malah tersungkur dalam jurang kebangkrutan. Namun, yang pasti, perubahan selalu memberikan sebuah harapan. Mengutip pendapat pakar manajemen Rhenald Kasali (Kompas, 6 Mei 2010), “Memang perubahan itu belum tentu menghasilkan pembaruan, tetapi tanpa adanya perubahan tak akan pernah ada pembaruan.” Untuk berubah atau diubah, seperti dikatakan pakar manajemen dan kepemimpinan Stephen R. Covey (1997), pun butuh nyali yang besar, pembedolan dan rasa sakit di semua bidang dan tingkatan. Sebab itu, dalam arus perubahan, perusahaan membutuhkan seorang pemimpin penggerak perubahan dan tahu caranya bagaimana menggerakkan perubahan menuju titik yang lebih baik itu. Tegas pakar kepemimpinan terkemuka John C. Maxwell, ”Di dunia di mana segalanya cepat berubah dan menghilang ini, sang pemimpin harus tampil untuk mendorong perubahan, pertumbuhan dan menunjukkan caranya.” ***



BERDASARKAN pertemuan dengan para jajaran manajemen PT Taspen dan analisa pakar seperti Harianto Mangkusasono, mantan eksekutif IBM, diperkuat serangkaian program reposisi dan evaluasi melalui analisa SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunity, and Threat), mereka bersepakat untuk segera mendorong PT Taspen sebagai entitas bisnis agar melakukan perubahan karena adanya peluang yang harus diraih dan ancaman yang harus ditanggulangi dengan memperhitungkan kekuatan dan kelemahan yang ada. Dari analisa SWOT, PT Taspen bisa memahami secara benar atas kekuatan yang dimiliki, ruang untuk melakukan perbaikan-perbaikan (room for improvement), memperhitungkan kemungkinan ancaman yang timbul serta tajam melihat peluang bisnis ke depan baik dalam bentuk pasar maupun produk baru. Berdasarkan hasil analisa SWOT inilah yang pada akhirnya semakin mendorong PT Taspen untuk melaksanakan Program Transformasi yang disebut dengan Program Transformasi Taspen (PTT).

Program Transformasi Taspen (PTT) merupakan suatu program perubahan mendasar (fundamental) dan berjangka panjang (strategic) secara menyeluruh (holistic) dan dilakukan perusahaan karena tuntutan bisnis yang mampu meningkatkan kerja dan mewujudkan cita-citanya. Perubahan mendasar artinya perubahan yang berbasis pada paradigma baru dan melaksanakan paradigma tersebut. Manajemen perubahan fundamental tidak didasarkan pada pola perubahan sesaat dan reaktif melainkan didasarkan pada pola antisipasi atas perubahan secara strategis.

Perubahan menyeluruh (holistic), artinya perubahan pada semua dimensi yang dimulai dari perubahan cara berpikir manajemen dan cara mengelola perusahaan yang disebut juga transformasi manajemen, diikuti transformasi strategi, kemudian transformasi struktural yang mengubah dan memperbarui; proses bisnis, sistem manajemen, struktur organisasi, kebijakan-kebijakan perusahaan dan terakhir adalah transformasi budaya berbasis tata nilai yang telah disepakati. Perubahan strategik, artinya perubahan yang dilakukan untuk tujuan jangka panjang, demi masa depan perusahaan untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan.

Program PTT ini memang sudah merupakan keniscayaan. Memasuki era milenium baru, persaingan di hampir semua bidang terasa bertambah sengit. Kompetisi bebas semakin terbuka. Semua tidak bisa melangkah mundur, apalagi melawan, jika tidak ingin digilas oleh roda-roda globalisasi yang sudah menjadi kepastian. Sebuah perusahaan harus terus maju agar bisa terus hidup dengan memanfaatkan semaksimal mungkin kemampuan (kompetensi) dan pola pikir mondial tanpa meninggalkan kearifan lokal. Kata Profesor Akio Morita, kita harus berpikir global, bertindak lokal. Think globally, act locally.

Transformasi itu sendiri biasanya dilakukan oleh perusahaan yang sehat. Ia selalu melakukan transformasi secara terus-menerus tanpa harus menunggu adanya sinyal-sinyal negatif yang datang. Dengan begitu, keuntungan (pertumbuhan) perusahaan terus terjaga sehingga bisa terus hidup secara berkelanjutan. Inilah sesungguhnya bentuk transformasi yang ideal. Transformasi biasanya juga dilakukan oleh sebuah perusahaan yang sehat, namun mulai menangkap sinyal-sinyal yang kurang menggembirakan. Perusahaan pun dapat melakukan perubahan strategis tatkala harus berputar haluan untuk memperbaiki kinerja dan performanya yang tengah menurun dan kurang bagus sehingga terjadi turnaround dan rebound. Dalam hal ini, manajemen krisis bisa pula diterapkan tatkala perusahaan sedang dalam kondisi pendarahan (masalah cash flow) dan kehabisan energi (tumpulnya motivasi dan kreasi).

Pakar manajemen bisnis Rhenald Kasali menjelaskan, ada dua jenis perubahan yang biasa dilakukan oleh sebuah perusahaan. Pertama, perubahan operasional. Perubahan-perubahan kecil yang pada umumnya tidak menimbulkan dampak yang luas dan luar biasa. Perubahan yang dilakukan biasanya cukup menyangkut satu atau dua lini (sektor) saja. Artinya, perubahan yang dilakukan bukanlah perubahan secara menyeluruh (total). Kedua, perubahan strategis. Perubahan yang berdampak luas dan memerlukan koordinasi serta dukungan dari berbagai unit terkait.

Perubahan strategis itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Platt, 2001): Transformasi Manajemen, Manajemen Krisis dan Manajemen Turnaround. Transformasi manajemen biasanya dilakukan oleh perusahaan yang sehat namun mulai menangkap adanya sinyal-sinyal negatif. Pada saat itulah biasanya perusahaan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan, misalnya apa kesalahan yang telah kita lakukan (what are we doing wrong) sekaligus apa yang dapat membuat kita menjadi lebih baik (what could we do better). Tujuan dari transformasi manajemen, antara lain, untuk mencegah kemunduran atau agar keuntungan (pertumbuhan) perusahaan tidak menurun.

Kemudian, manajemen krisis, yang biasanya dilakukan perusahaan tatkala sedang dalam kondisi krisis. Ketika perusahaan mulai ”kehabisan darah” (cashflow) dan energi (kreasi dan motivasi). Pada titik itu perusahaan tampak kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban pembayaran jangka pendek yang sedang dan akan jatuh tempo. Mulai dari tagihan dari para pemasok, kredit jangka pendek perbankan, hingga gaji para karyawan. Untuk itu, langkah yang harus diambil adalah menghentikan ”pendarahan” (stop the bleeding) melalui suntikan dana segar.

Lalu, manajemen turnaround. Manajemen turnaround adalah perubahan yang dilakukan pada saat perusahaan sedang menghadapi berbagai persoalan pelik dan melibatkan pihak-pihak yang luas. Meski begitu, pada tahapan ini, perusahaan masih memiliki sumberdaya (aset) dan waktu yang sesungguhnya memungkinkan dirinya melakukan manuver-manuver perbaikan (turnaround dan rebound). Misalnya, dengan memperbaiki kinerja organisasi dan sistem manajemen agar produk unggulan, reputasi dan aset-aset idle atau kurang produktif yang masih dimiliki dapat ditingkatkan kualitas dan produktivitasnya.

Ketika harus melakukan perubahan strategis, terutama dalam kategori manajemen turnaround, jelaslah bahwa perusahaan harus melakukan perubahan (transformasi, restrukturisasi, re-engineering atau re-organizing) secara menyeluruh (total). Beberapa perubahan mendasar yang dapat dilakukan perusahaan, antara lain, pertama, menyempurnakan macro business process. Kedua, menyempurnakan struktur organisasi. Ketiga, melakukan workloads/jobs analysis, yaitu menghitung ulang pekerjaan masing-masing karyawan dan competency model. Karyawan dinilai per-tahun untuk reward atau punishment. Keempat, menyempurnakan perfomance management system yang disertai key performance indicators (KPI) sesuai tujuan perusahaan, melakukan assessment dan placement pada seluruh karyawan. Kelima, penyempurnaan sistem pengelolaan SDM seperti people planning, reward, rekrutmen, pelatihan dan jenjang karir. Termasuk, membangun nilai-nilai budaya perusahaan yang unggul yang melandasi sikap dan tindak perilaku karyawan.

Banyak perusahaan yang melakukan perubahan, termasuk saat melaksanakan manajemen turnaround, dan berhasil. Banyak pula yang gagal dan justru tersungkur gulung tikar (bangkrut). Perusahaan yang berhasil melakukan perubahan adalah karena mereka benar-benar merencanakan dan mempersiapkan perubahan secara baik dan matang. Semua lini dilibatkan dalam proses perubahan. Begitu pula sebaliknya, perusahaan yang gagal dalam melaksanakan perubahan adalah karena mereka tidak merencanakan dan mempersiapkannya secara matang. Akibatnya, perubahan yang bergulir menjadi tanpa kendali atau berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Di antaranya, lantaran tidak semua (termasuk karyawan) dilibatkan dalam perubahan. Sehingga, perubahan yang dilakukan mendapat perlawanan atau resistensi dari para karyawan.

Jadi, sebuah perubahan memang harus direncanakan dan dipersiapkan secara baik dan matang. Harus dilakukan secara terstruktur dan sistematik. Dengan cara seperti itulah, besar kemungkinan akan berbuah keberhasilan. Dari keadaan biasa-biasa saja menjadi perusahaan berkelas dunia, bahkan pertumbuhan perusahaan bisa terus meningkat sehingga mampu hidup secara berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh pakar perilaku perusahaan Stephen Robbins (2000), bahwa perubahan yang dilakukan perusahaan seharusnya merupakan sebuah aktivitas yang terencana, disengaja dan berorientasi pada tujuan yang jelas. Tujuan dari sebuah perubahan itu sendiri adalah, pertama, untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Kedua, untuk mengubah mindset dan tingkah laku para karyawan dalam menopang proses perubahan ke arah yang lebih baik tersebut.

Dalam kerangka itu, yang harus diubah terlebih dulu adalah pemimpinnya. Secara khusus adalah pemimpin puncak atau CEO-nya. Harus dimengerti dan dipahami, pada saat perusahaan hendak tersungkur lantas berupaya turnaround dan rebound, pergantian pimpinan memang menjadi kunci. Di sini, John C. Maxwell dengan tegas mengatakan, ”Gantilah pemimpinnya, maka organisasi akan berubah.”

Agar Program Transformasi Taspen (PTT) dapat lebih dipahami dan mudah dilaksanakan oleh segenap insan PT Taspen, maka dibuatlah empat model transformasi. Pertama, Strategic Transformation Process Management. Satu proses manajemen transformasi yang menggambarkan urutan-urutan langkah dan kegiatan logis yang harus diikuti agar sampai kepada cita-cita tujuan perusahaan. Kedua, Business Success Model. Adalah satu model yang mampu menetapkan Key Performance Indicators, ukuran atau indikator sukses kunci (kinerja) perusahaan yang bersifat kuantitatif sebagai hasil “terjemahan” dari Visi, Misi, Strategi dan Tata Nilai perusahaan yang deskriptif dan kualitatif. Ketiga, Key Factors That Make The Differences atau faktor pembeda yang harus diperhatikan oleh pimpinan agar PTT sukses dan efektif dilaksanakan dengan dapat menjawab lima macam pertanyaan. Why, perusahaan perlu punya alasan kuat mengapa melakukan perubahan. Who, manusianya harus terlebih dulu berubah karena manusia sebagai pelaku perubahan lebih penting daripada programnya. What, program perubahan apa saja yang harus dibuat. How, bagaimana proses perubahan harus dilakukan.  Dan When, kapan proses perubahan harus dilakukan. Keempat, Transformation Road Map-Strategic Path.
Yaitu, jalur dan langkah strategis berbentuk agenda kegiatan yang berisi program atau action yang harus dilakukan oleh siapa dan kapan serta dilaksanakan satu per satu sampai terwujudnya cita-cita atau visi perusahaan.

Program Transformasi Taspen ini dilakukan dalam empat tahapan yang dapat dilakukan secara paralel. Pertama, Transformasi Manajemen. Transformasi ini merupakan perubahan cara berpikir manajemen (pimpinan) sesuai dengan paradigma perusahaan sebagai dasar dalam setiap pengambilan keputusan dan pemecahan masalah perusahaan. Selanjutnya, paradigma baru tersebut disosialisasikan dan diinternalisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari bagi manajemen dan insan Taspen agar dapat menjadi unsur budaya kerja yang baru. Kedua, Transformasi Strategi. Transformasi ini berisi tahapan menterjemahkan The Winning Formula yang meliputi Visi-Misi Tata-Nilai dan strategi PT Taspen menjadi sesuatu yang bisa diukur dengan Key Performance Indicators (KPI) dengan menggunakan Balance Scorecards (BSC) atau Business Success Model agar mudah dilaksanakan. Dan selanjutnya bisa menetapkan sasaran yang hendak dicapai pada tahun 2010. Ketiga, Transformasi Struktural. Transformasi ini merupakan tahapan pengembangan dan pembangunan infrastruktur perusahaan yang meliputi sistem, proses, dan struktur dengan bantuan teknologi melalui strategic initiative. Infrastruktur tersebut termasuk sistem pengembangan karir SDM, sistem pendidikan dan pelatihan SDM, sistem kompensasi, pengakuan dan penghargaan SDM, sistem komunikasi, sistem informasi, dan struktur organisasi serta hubungan atasan-bawahan. Transformasi ini bertujuan mempercepat terwujudnya cita-cita perusahaan sesuai dengan The Winning Formula yang telah diterjemahkan dalam The Business Success Model. Keempat, Transformasi Kultural. Transformasi kultural adalah tahapan terbentuknya budaya kerja baru yang mempunyai akselerasi tinggi sesuai dengan tuntutan eksternal daerah baru ekonomi pengetahuan, sehingga akan menghasilkan kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik manajemen terbaik  kelas dunia. Pada akhirnya Taspen diharapkan dapat menjadi rujukan perusahaan lain.


Ada tiga tujuan yang sebenarnya ingin dihasilkan oleh PT Taspen dalam menjalankan PTT ini. Pertama, untuk menghasilkan perusahaan yang sustainable growth dengan pertumbuhan yang berkesinambungan guna mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan sehingga Visi-Misi perusahaan secara terus-menerus dapat direalisasikan. Kedua, agar perusahaan senantiasa menciptakan nilai dalam setiap kegiatan operasionalnya, sehingga setiap tahun terjadi pembentukan nilai tambah yang dirasakan oleh stakeholders. Ketiga, PT Taspen mampu tampil sebagai perusahaan berkelas dunia (World Class Company) pada tahun 2010. Sebuah perusahaan berplat merah yang dikelola dengan cara-cara terbaik sesuai dengan best practices dan tumbuh secara terus-menerus sehingga menjadi perusahaan terbaik di kelasnya atau sejajar dengan industri sejenis berkelas dunia dalam kualitas produk dan pelayanan.

Selain itu, tujuan utama PTT adalah agar perusahaan itu tampil sebagai “perusahaan idaman”. Sebuah perusahaan yang nyaman yang dapat menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi semua karyawan maupun pihak-pihak yang berhubungan dengannya. Sebuah perusahaan yang memiliki pondasi yang kokoh, nilai-nilai yang luhur (good core values), budaya yang unggul (good corporate culture); sistem dan tata kelola manajemen yang baik dan benar (good corporate governance); serta selalu dilandasi oleh kreasi (creation), inovasi (innovation), pembaruan (renewal) dan manajemen perubahan (change management) yang lebih baik dan tiada henti. Dengan begitu perusahaan tetap kuat dan lebih sehat. A world class company.

Langkah dan tahapan PTT sebenarnya dapat dipahami secara sederhana dengan tiga tahapan. Tahapan sadar (awakening), tahapan proaktif dan tahapan terobosan (breaktrough). Tahapan sadar adalah sebuah proses awal yang dimulai dengan adanya pemahaman tentang Transformasi Taspen melalui Awareness Session, adanya tuntutan perubahan dari jajaran manajemen, terbentuknya Tim Transformasi Taspen (Task Force), perumusan paradigma baru dan perumusan the winning formula. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan dalam PTT setelah berhasil melalui tahapan sadar, adalah tahapan Proaktif. Tahapan ini ditandai dengan kebijakan perusahaan dan pelayanan yang berorientasi kepada peserta iur, perumusan business success model yang di dalamnya terkandung Key Performance Indicators (KPI), penetapan posisi awal skor Baldrige dan pembangunan struktur, proses dan sistem perusahaan yang kondusif. Tahapan ketiga adalah tahap terobosan (Breaktrough). Tahapan ini ditandai dengan adanya budaya inovasi dalam perusahaan, meningkatnya produktivitas perusahaan secara signifikan dan operasional perusahaan yang mencerminkan kecepatan kesederhanaan dan tanggap terhadap keinginan peserta. Tahapan terakhir adalah tujuan PTT itu sendiri, yaitu tahap kelas dunia (world class company). Tahapan ini ditandai dengan perusahaan menjadi yang terbaik di kelasnya dengan sistem kerja terbaik, menjadi perusahaan idaman (the most admired company), perusahaan terus tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan (sustainable growth) dan pencapaian skor Baldrige di angka 800.

Namun, sebelum perjalanan panjang menjadi world class company dimulai, agar segenap insan dan pimpinan PT Taspen dapat bertindak sesuai dengan standar yang berlaku dan sebelum digulirkan langkah-langkah strategis transformasi, diperlukan suatu cara berpikir, berperilaku  dan bekerja. Dari sini lahirlah apa yang kemudian disebut dengan The Taspen Way.

The Taspen Way adalah cara berpikir, bekerja dan berperilaku semua insan PT Taspen yang berlandaskan Tata Nilai (Values) Taspen. Jadi, The Taspen Way merupakan budaya kerja insan Taspen yang berlandaskan values atau Tata Nilai Taspen. The Taspen Way adalah jati diri, yaitu PT Taspen sebagai perusahaan yang mengelola program Pensiun, program THT dan program Kesejahteraan lainnya sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 dan 26 tahun 1981. The Taspen Way sebagai budaya kerja perusahaan dapat dirumuskan sebagai kristalisasi tata-nilai (values), kebajikan (virtues) dan harga diri (dignity) yang dimiliki oleh segenap insan Taspen dalam kapasitasnya melayani peserta program Pensiun, THT dan kesejahteraan lainnya.


Gambar 1.1
---------   The Taspen Way, Buku PTT Halaman 12   -----------------

Rumusan Budaya PT Taspen dalam format The Taspen Way diformulasikan sebagai Taspen 1-5-5, yaitu: 1 yang berarti slogan dasar yang berisi layanan dan kinerja yang harus selalu ditingkatkan (better service through better performance); 5 tata nilai yang berisi tumbuh, etika, profesional, akuntabel, dan integritas; dan 5 perilaku berupa lima sifat yakni dinamis, proaktif, peduli, kecepatan dan ketepatan.

The Taspen Way juga merupakan suatu prinsip, paradigma, tata-nilai dan filosofi yang dipergunakan sebagai dasar dalam membangun budaya kerja perusahaan. Prinsip ini mensinergikan cara berpikir, berkata dan bertindak secara jujur, baik dan benar sesuai dengan tata nilai yang dianut, guna merealisasikan Visi dan Misi perusahaan, yaitu mengantarkan PT Taspen menjadi perusahaan berkelas dunia dan bekerja secara best practices dengan citra bisnis unggul berlandaskan layanan prima.

Dengan demikian, The Taspen Way ini sangat penting ditanamkan terlebih dulu kepada segenap insan PT Taspen sebagai langkah awal transformasi. Karena dengan tertanamnya Tata Nilai dan menyatu dalam berperilaku keseharian insan Taspen pada akhirnya The Taspen Way akan menjadi budaya perusahaan. Oleh sebab itu, di awal tahun 2004, The Taspen Way ini tidak sekadar disosialisasikan melainkan juga diinternalisasikan untuk dijadikan cermin perilaku (cara berpikir, berkata dan bertindak) segenap insan PT Taspen.

Setelah The Taspen Way berhasil dirumuskan, disosialisasikan dan ditanamkan di relung hati terdalam segenap insan Taspen, jajaran direksi PT Taspen melakukan langkah selanjutnya dalam kerangka PTT, mentransformasikan visi dan misi perusahaan PT Taspen. Visi adalah sebuah potret masa depan organisasi yang realistik, kredibel dan atraktif. Visi merupakan rumusan salah satu atau gabungan tiga hal: apa yang harus dicapai, apa yang harus dipunyai, dan harus menjadi apa perusahaan pada masa datang. Dan, visi tanpa tindakan adalah mimpi di siang hari bolong. Tindakan tanpa visi adalah mimpi buruk. Sebab itu, dalam kerangka mewujudkan visi, segenap SDM harus mengetahui, mengerti, memahami dan melaksanakannya.

Visi perusahaan biasanya lahir dari sang pemimpin yang kemudian dikristalisasi bersama segenap ”orang-orang kunci” menjadi visi perusahaan. Agar benar-benar menjadi visi bersama, beberapa perusahaan bahkan harus melakukannya dengan cara yang keras. Misalkan, GE di bawah kepemimpinan Jack Welch. Sebelum menggulirkan masa depan perusahaan, Jack Welch terlebih dulu (pada awal kepemimpinannya di GE) mengelompokkan karyawan menjadi empat kategori berdasarkan kemampuan (kompetensi) dan sikap mereka terhadap visi perusahaan. Pertama, tidak kompeten dan tidak sevisi, mereka dipersilakan keluar dari perusahaan. Kedua, tidak kompeten tapi sevisi, mereka diberi pelatihan/pembelajaran. Ketiga, kompeten namun tidak sevisi, mereka dipersilakan keluar. Keempat, kompeten dan sevisi, mereka dipersiapkan menjadi pemimpim masa depan (future leaders).

Pengelompokan Karyawan Berdasarkan Kemampuan dan
Sikap Terhadap Visi dalam Rangka Pemberdayaan
Model General Electric (Jack Welch)
Kompetensi
Visi
Rencana pemberdayaan
Tidak kompeten
Tidak sevisi
Dipersilakan keluar
Tidak kompeten
Sevisi
Diberi pelatihan/pembelajaran
Kompeten
Tidak sevisi
Dipersilakan keluar
Kompeten
Sevisi
Disiapkan manjadi future leaders
Sumber: Arwin Rasyid, “180 Derajat: Inside Story Transformasi Bank Danamon” (2006).

Model di atas rasanya terlalu keras apabila diterapkan di sini. Namun, poin terpenting (reference point) dari model itu adalah betapa pentingnya upaya menyamakan visi bersama. Visi adalah alat paling penting dan utama guna melakukan penyatuan arah (alignment) terhadap semua SDM yang dimiliki perusahaan. Seandainya SDM belum bisa disatu-arahkan guna mewujudkan visi, tentu harus segera disesuaikan. Sebab itu, jangan buang-buang waktu apakah “kamu bersamaku atau kamu tidak bersamaku” (are you with me or are you not with me)? Dan, pemimpin harus meluangkan waktu sejenak untuk berbicara dengan staf dan karyawan dalam rangka sharing vision. Jika semua SDM sudah memahami dan menghayati visi perusahaan, maka mereka akan mudah digerakkan guna mencapai tujuan perusahaan. Bahkan, semakin tajam visinya maka membuat setiap orang tertantang untuk bergerak maju (vision-driven instead of plan-driven).

Secara sederhana, visi bisa diartikan sebagai sebuah impian atau cita-cita yang hendak direalisasikan melalui serangkaian daya upaya dan langkah nyata. Pemimpin yang tidak memiliki visi itu seperti seorang manusia yang tidak memiliki cita-cita. Statis dan tidak mampu menghadapi tantangan dan melihat suatu harapan. Karena tidak memiliki harapan, maka pelan tapi pasti perusahaan yang dipimpin juga akan mati ditelan jaman.

Pakar kepemimpinan bisnis Sylvia B. Odenwald merumuskan secara cukup menarik tentang cakupan-cakupan tematis sebuah visi perusahaan yang unggul di masa depan. Menurutnya, rumusan visi yang baik adalah berupa VISION (Visonary leadership; Innovative strategic; Synthesis of culture; Integration of team; Ongoing flexibility; dan Never-ending transformation). Rumusan itu menegaskan bahwa bila tidak ada visi, maka manusia itu pun akan lenyap (where there is no vision, the people perish). Namun, bila kompas visi seorang pemimpin bisnis begitu jelas dan jauh jangkauannya, maka bisnis yang dipimpinnya benar-benar akan berfungsi sebagai the economic stewardship, bahkan juga bisa menjadi social stewardship. Jadi, pemimpin memang harus memiliki wawasan yang jauh ke depan untuk mengantarkan perusahaan yang dipimpinnya kepada tahap-tahap kemajuan sesuai dengan perubahan dan dinamika lingkungannya (Andi Kirana, 1997).

Visi yang baik itu sendiri harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antaranya, adalah ringkas. Visi harus ringkas sehingga bisa dikomunikasikan secara mudah melalui beragam media komunikasi seperti poster, pamflet dan brosur. Visi juga harus jelas. Kejelasan visi sangat mempengaruhi seberapa baik visi itu bisa dimengerti dan diterima. Visi yang jelas akan membuat setiap orang dalam perusahaan menjadi lebih mudah mengetahui ke mana arah dan masa depan perusahaan. Visi pun harus bersifat abstrak. Bukan berarti bertentangan dengan kejelasan. Maksudnya, visi harus mewakili sebuah idealisme. Dan, idealisme itu bersifat abstrak. Kemudian, visi harus memperlihatkan tantangan, yang mampu memotivasi orang banyak untuk bekerja meraih suatu hasil yang didambakan dengan mengerahkan segenap kemampuan terbaik yang dimiliki. Lalu, visi mesti berorientasi ke masa depan. Visi harus memfokuskan pada perspektif jangka panjang dan menuntun organisasi untuk memasuki masa depan.

Visi juga harus stabil. Tidak sering berubah, atau tidak berubah secara drastis. Meskipun begitu, terkadang dibutuhkan visi yang secara keseluruhan baru bila suatu organisasi harus melakukan transformasi yang signifikan. Dan, visi harus disukai. Disukai semua orang (dalam organisasi perusahaan) sebagai idealisme yang harus dicapai. Apabila tidak disukai, tentunya mereka tidak akan pernah memiliki komitmen untuk meraih visi itu. Walhasil, sehebat apapun pemimpin tentunya tidak akan pernah mampu memimpin bila tidak memiliki visi.

Sudah banyak kita melihat, membaca dan men­dengar cerita tentang orang-orang yang sukses. Kisah-kisah kesuk­ses­an bisnis. Intinya, me­reka selalu berangkat dari sebuah mimpi (visi), cita-cita dan titik sa­sar­an yang hendak dituju. Lantas mereka me­­ne­lusuri ja­lan yang kerapkali terjal-berliku, dengan beker­ja keras dan berpikir cerdas untuk merealisasikannya. Penuh ke­yakin­an dan pan­tang menyerah. Energi dan kekuatan mereka meli­pat­gan­da dan memusat pada upaya dan lang­kah guna me­wu­­jud­kan sebuah mimpi. Thomas Alva Edison hanyalah satu contoh orang yang bermimpi, bercita-cita dan melahirkan lampu listrik yang kini banyak digunakan sebagai penerangan rumah oleh masyarakat di seluruh dunia. Sebelum meninggal dunia, Edison me­ninggalkan warisan besar berupa perusahaan raksasa GE yang bergerak dalam beragam kegiatan bisnis. Kata Edison, “Seandainya dulu saya tak punya mimpi ... maka saya hanyalah ... Sukses itu ber­awal dari imajinasi, mimpi. Mimpi itu dapat menjadi kenyataan jika kita memiliki kemauan dan keberanian untuk mengejarnya.”

Contoh yang lain adalah Soichiro Honda, pendiri dan pemilik mul­tinasional otomotif Honda. Kita juga bisa menyimak kisah sang fenomena Bill Gates, pen­­diri Microsoft Corp, perusahaan pembuat software komputer personal terkemuka di dunia. Mimpi yang menggerakkan hasrat, tekad, energi dan langkah untuk meraihnya. Mimpi pula yang telah menggerakkan Shakespeare yang lum­puh itu menjadi pengarang sandiwara terbaik dunia. Mimpi yang menggerakkan Beethoven yang tuli menjadi seorang penggubah beberapa aran­semen musik klasik terindah dunia. Juga soal keteguhan visi seorang Walter Elias Dis­ney, melalui Walt Disney Productions, menjadi penguasa kera­ja­an bisnis dongeng.

Kekuatan mimpi, kekuatan visi. The power of dream, the power of vision. Mimpi yang menjadi kenyataan. The dream come true. Ada semerbak bunga dalam mimpi. Ada buah sesu­dah bunga. Bermimpi menjadi bintang. Bercita-cita setinggi bintang di langit. Hidup tanpa mimpi, tanpa ci­­ta-cita, rasanya membuat kita seperti tak punya arah ke ma­­na hendak melangkah. Namun, supaya kita tak hanya menjadi pemimpi, lak­sana pungguk yang merindukan bulan, tentunya mimpi-mimpi (cita-cita) yang kita kibarkan harus terukur. Sesuai de­ngan kemampuan maksimal kita. Kemudian kita bergerak dan bertindak merajut bentangan anak tangga guna mera­ih apa yang kita impikan. Titik demi titik dirangkai hingga men­ja­di sebuah garis panjang. Begitulah cara ki­ta “membeli” mimpi, cita-cita. Mimpi yang mengukuhkan kompetensi, prestasi dan reputasi. Mim­pi yang mengkristal dalam visi, misi, stra­tegi dan tahapan program implementatif.

Dalam tataran orga­ni­sasi atau perusahaan, “mimpi-mimpi yang terbeli” atau ci­ta-cita yang terukur, biasanya memang dikibarkan se­ba­­gai visi. Pemimpin dengan visi bukan sekadar menjadikan cita-cita yang luhur (visi) sebagai jargon belaka. Bukan pula sebagai isapan jempol semata. Tapi, visi itulah yang dijadikan sebagai pedoman, acuan dan landasan dalam mengelola perusahaan, baik dalam bekerja, mengatasi berbagai masalah dan tantangan maupun dalam menggapai target, sasaran dan tujuan yang diharapkan. Visi itu juga yang dijadikan pedoman dan tuntunan bagi sistem manajemen-organisasi sehingga perusahaan benar-benar dikelola secara baik dan benar serta dijalankan secara lebih efisien dan efektif. Pada pemimpin yang bervisi (vision-driven), visi merupakan cara untuk menyatukan dan memberi inspirasi kepada orang-orang yang dipimpinnya. Visi menunjukkan kepada mereka akan menjadi apa perusahaan nantinya jika mereka bersatu dan menggambarkan keunggulan yang harus mereka upayakan untuk dicapai pada suatu titik di masa mendatang. Para pemimpin yang bervisi ingin orang-orangnya terilhami dan termotivasi oleh potensi kejayaan yang dapat mereka capai bersama-sama di hari esok.

Hasil pertemuan dewan direksi dan komisaris PT Taspen pada tanggal 24 dan 26 Maret 2004 yang kemudian disepakati melalui Komitmen Bersama antara komisaris, dewan direksi, manajer utama, kepala/wakil kepala cabang utama dan kepala cabang pada tanggal 12-15 April 2004 menetapkan visi baru PT Taspen dalam rangka PTT. Visi lama PT Taspen menyebutkan: “Menjadi Perusahaan Asuransi dengan layanan dan produk yang prima”. Selanjutnya dipertajam dalam bahasa yang lebih implementatif, yaitu: “Menjadikan PT Taspen sebagai Pengelola Dana Pensiun dan THT yang Bersih, Sehat dan Benar, dengan Pelayanan yang Tepat Orang, Tepat Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Tempat dan Tepat Administrasi”.

Makna Tepat Orang dalam 5T adalah manfaat dibayarkan kepada peserta yang berhak atau ahli waris yang sah sesuai dengan identitas penerima yang dibuktikan dengan KTP/SIM/Kartu Pegawai dan sesuai dengan identitas peserta yang meliputi Nomor Induk Pegawai (NIP), nama, tanggal lahir, jenis kelamin, status, penghasilan, instansi dan domisili yang tercantum pada Kartu Peserta Taspen, Kartu Identitas Pensiun, kartu pegawai dan dokumen kepegawaian lainnya.

Tepat Waktu adalah manfaat dibayarkan kepada peserta atau ahli warisnya setelah permohonan klaim diterima dan dinyatakan memenuhi syarat serta dibayarkan kepada pemohon dalam waktu tidak lebih dari satu jam untuk surat permohonan pembayaran (SPP) langsung dan tidak lebih dari dua jam untuk SPP tidak langsung.

Tepat Jumlah adalah nilai yang dibayarkan sesuai dengan jumlah yang tertera dalam tanda penerimaan uang tanpa dikurangi biaya-biaya lain. Tepat Tempat adalah manfaat dibayarkan pada peserta atau ahli waris pada kantor bayar sesuai dengan keinginan pemohon klaim. Tepat Administrasi adalah setiap permohonan klaim diterima, diperiksa, dibayarkan, dan diadministrasikan menurut prinsip-prinsip kearsipan dan dokumentasi sehingga mudah dan cepat ditemukan, serta aman dari bahaya kebakaran, kebanjiran dan kehilangan.

Supaya visi yang digulirkan menjadi idealisme dan komitmen bersama, maka visi mesti dijabarkan secara lebih rinci dalam bentuk misi (tujuan dan sasaran). Peter M. Senge (1990), mengungkapkan bahwa misi adalah the why, yaitu alasan mengapa organisasi/perusahaan itu ada. Sedangkan Stephen R. Covey (1997) menggariskan bahwa misi merefleksikan visi dan nilai-nilai bersama dari organisasi/perusahaan. Sementara itu, Patricia Jones dan Larry Kahaner (1999) mengungkapkan bahwa misi adalah manifesto, garis besar, yang hendak dicapai dan bagaimana cara merealisasikan sebuah visi perusahaan. Rumusan misi merupakan cara yang paling efektif untuk memastikan bahwa karyawan bisa memahami visi dan menjadi alat paling kuat ketika harus melakukan transformasi, reformasi dan perubahan fundamental bagi perusahaan.

Setelah visi dibuat atau diubah (diganti), misi (tujuan dan sasaran) juga harus dibuat atau diubah. Misi merupakan turunan implementatif dari sebuah visi. Misi yang baik mesti mengandung alasan mengapa sebuah perusahaan dibentuk atau didirikan. Bilamana dirumuskan secara benar maka pernyataan misi memiliki pengaruh yang dapat membangkitkan inspirasi, spirit dan motivasi bagi segenap SDM perusahaan, menerangkan apa yang mereka perjuangkan dan memberi mereka suatu perasaan identitas (sense of identity) bersama. Makanya, di dalam misi harus terkandung nilai-nilai budaya perusahaan, tujuan dan sasaran yang hendak direalisasikan yang dirumuskan secara jelas, yang dirumuskan berdasarkan pengamatan empiris dan penelaahan yang mendalam.

Misi PT Taspen yang lama menyebutkan: “Meningkatkan kesejahteraan Peserta (PNS dan Pegawai BUMN-BUMD); Meningkatkan Pelayanan kepada Peserta; dan Menumbuh-kembangkan Kepercayaan Peserta bahwa Perusahaan Berkemampuan dalam Memenuhi Kewajibannya”. Misi itu kemudian diperbarui dalam bahasa yang lebih simpel dan fokus pada sasaran, yakni: “Mewujudkan Hari-Hari yang Indah bagi Peserta Melalui Pengelolaan Dana Pensiun dan THT secara Profesional”.

Kendati visi dan misi berubah, namun Subianto dan segenap insan PT Taspen tetap mempertahankan logo PT Taspen yang dianggap memiliki jiwa dan nilai historis yang tinggi. Selain itu, logo PT Taspen yang berwarna biru muda dalam lingkaran, juga menunjukkan sebuah kematangan, langkah yang dinamis dan performa yang lebih profesional. Tema dan makna logo itu jelas semakin sinergis dengan pencanangan visi dan misi baru PT Taspen tadi.

Namun, supaya tidak sekadar indah bagai fatamorgana, visi dan misi tersebut harus diterjemahkan ke dalam core values sebagai wujud nyata budaya perusahaan (corporate culture), dan ditindak-lanjuti dalam serangkaian program kerja yang kongkret. Tentu saja, motto “Layanan dan Kinerja Selalu Ditingkatkan” berdasarkan prinsip 5-T (Tepat Orang, Tepat Waktu, Tetap Jumlah, Tepat Tempat dan Tepat Administrasi) yang dijadikan pedoman manajemen, sungguh mencitrakan PT Taspen sebagai perusahaan modern yang didukung oleh manusia (SDM) yang kompeten, profesional dan berintegritas tinggi, sebagaimana yang digariskan pula dalam kaidah good corporate governance (GCG).

Budaya perusahaan yang kemudian dituangkan dalam motto “Layanan dan Kinerja Selalu Ditingkatkan” (Better Service Through Better Performance) berdasarkan prinsip 5-T tadi, oleh segenap insan PT Taspen dilakoninya dengan sopan, sabar, ramah dan manusiawi dalam melayani Peserta. Dengan sistem dan prosedur yang sudah jelas, pelayanan dapat dilakukan secara mudah dan sederhana (tidak berbelit-belit). Mengedepankan profesionalisme sehingga mampu mengelola aset perusahaan secara lebih baik. Tumbuhnya kemauan bersama dari seluruh jajaran PT Taspen untuk meningkatkan pertumbuhan keuangan perusahaan. Itulah corporate culture, sebagai landasan perusahaan yang sarat dengan nilai-nilai utama (core values), dibahasakan secara lebih sederhana dan mudah dipahami, yakni “Tumbuh, Etika, Profesional, Akuntabilitas dan Integritas”. Artinya, jika core values itu dijiwai dengan baik, rasanya juga tidak terlalu sulit bagi segenap insan PT Taspen untuk menjalaninya dalam aktivitas kerja sehari-hari.

Setelah melakukan transformasi visi dan misi PT Taspen, langkah selanjutnya yang dilakukan dalam rangka PTT adalah membenahi tata-kelola manajemen perusahaan. Sebab organisasi perusahaan yang efektif juga ditandai dengan adanya sistem manajemen dan tata kelola perusahaan yang baik dan benar. Sistem manajemen dan tata kelola perusahaan yang dilandasi dengan kaidah-kaidah GCG (Good Corporate Governance). Sistem manajemen itu sendiri pada dasarnya menyangkut prinsip-prinsip manajemen, yakni perencanaan strategis, pengorganisasian yang efektif, pengarahan yang jelas dan penilaian yang tegas. Oleh karena itu, prinsip-prinsip manajemen harus berjalan dengan baik dan benar. Sedangkan GCG merupakan tata kelola perusahaan yang tercermin dari adanya transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability), tanggung jawab (responsibility), kemandirian (independent) dan keadilan (fairness).

Seiring dengan dibangun dan ditumbuh-kembangkannya nilai-nilai budaya dan GCG, maka segenap sumberdaya PT Taspen (terutama SDM) harus pula diberdayakan secara optimal sehingga gerak organisasi berjalan dinamis. Dalam kerangka itu, pola pikir SDM (corporate mindset) harus diubah sejalan dengan nilai-nilai budaya perusahaan dan prinsip-prinsip GCG. SDM yang kompeten, berkomitmen tinggi, yang bekerja sesuai peran dan fungsi serta posisi dan kedudukannya. SDM yang memiliki prinsip dan etos kerja, antara lain, yang memberikan pelayanan memuaskan (satisfaction), melaksanakan proses bisnis yang terbaik (excellent), berintegritas, berjiwa kepemimpinan (leadership) dan kewirausahaan (entrepreneurship) yang tinggi. Segenap SDM PT Taspen yang kompeten dan beretika yang berada dalam organisasi yang efektif.

Sistem komunikasi yang efektif: cepat, cermat dan ringkas, harus diciptakan dalam organisasi PT Taspen. The boundaryless collaboration. Kekakuan birokrasi semaksimal mungkin dihilangkan. Tidak ada jurang pemisah antara pimpinan dan bawahan, bah­kan dengan staf paling bawah se­kalipun. Semua pihak juga harus senantiasa berprinsip “me­ngen­dalikan hati yang bersih”. Saling percaya dan mempercayai (trust) mesti dikedepankan. Tidak boleh ada yang merasa lebih hebat, kare­na kehebatan itu adalah milik bersama (superteam). Dengan teamwork yang solid dan sistem komunikasi yang efektif, tentu ada semangat yang besar untuk mencapai tujuan dan sasaran perusahaan dengan baik dan benar. Passion comes from the direct connection to purpose.

Tentu, semua itu harus disosialisasikan, diinternalisasikan dan diakulturasikan oleh pimpinan dan direksi PT Taspen kepada segenap karyawan dan masyarakat peserta. Pemimpin harus selalu bersama para karyawan. Pemimpin harus berada di depan, di tengah dan di belakang untuk mendorong mereka. Apabila semua itu telah terbangun dalam pikiran, sikap tindak dan unjuk kerja karyawan, tentu akan terjadi lompatan perubahan yang lebih baik dalam pondasi, struktur dan kultur kerja perusahaan.

Ada beberapa cara dalam melakukan sosialisasi, internalisasi dan akulturasi. Bisa menggunakan cara yang agresif dan drastis, atau istilahnya brainstorming (cuci otak). Di sini, karyawan dipaksa untuk berubah sesuai visi dan misi serta nilai-nilai budaya dan strategi perusahaan. Ini biasanya dilakukan oleh seorang bos yang otoriter. Ada pula melalui cara indoktrinasi, yakni melalui pendidikan-pelatihan, memberikan panduan, tulisan-tulisan dan contoh-contoh. Inilah model yang diterapkan PT Taspen dalam mensosialisasikan perubahan. Karena, model indoktrinasi ini dianggap relatif tepat dan efektif, sesuai esensi dan hakikatnya, yakni memberdayakan SDM perusahaan sesuai dengan kompetensi masing-masing. Untuk itu, dalam setiap kesempatan, harus selalu dijelaskan tentang nilai-nilai budaya perusahaan unggul yang sedang dibangun oleh sang pemimpin.

Perubahan dengan pendekatan indoktrinasi juga dianggap relatif “aman”. Karena, proses perubahan yang tengah digulirkan dilakukan secara bertahap, mulai dari pimpinan atas bertahap ke bawah secara berjenjang dan berkelanjutan. Untuk itu, dalam setiap acara dan kesempatan, pimpinan perusahaan (CEO), pimpinan divisi, pimpinan cabang dan lain-lainnya, harus senantiasa menjelaskan tentang nilai-nilai unggul budaya perusahaan.

Mengajak insan PT Taspen untuk melakukan perubahan itu sendiri bukanlah pekerjaan mudah. Tidak bisa instan. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perubahan itu membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang serta butuh kesabaran dan ketekunan. Karenanya, pimpinan perusahaan dan pemimpin perubahan harus selalu merasa optimis dan konsisten meskipun terkadang dalam hatinya bergumam “apa bisa ya”. Bahkan, terkadang, dihinggapi oleh kelelahan dan kesepian dalam kesendirian lantaran belum banyak orang yang memiliki pemikiran, perasaan dan tindakan yang sama.

Sebab itu, dalam langkah PTT ini, semua karyawan PT Taspen harus mau berendah hati untuk saling bergandeng tangan dalam sebuah teamwork yang solid dan sama-sama menjadi para pembelajar yang andal dalam arus perubahan. Perusahaan dan karyawan harus belajar dari pengalaman terdahulu agar tidak terperosok ke zona nyaman yang sama. Belajar dan belajar, bertindak dan bekerja, adalah kunci sukses dalam proses perubahan. Manajemen juga selalu menerapkan corporate awareness guna meningkatkan kesadaran karyawan bahwa dirinya mesti bekerja dan berkontribusi lebih optimal kepada perusahaan sesuai dengan kemampuan maksimalnya. Selain itu, karyawan selalu diingatkan tentang corporate care dengan cara melakukan semacam upacara untuk mengingatkan visi-misi, tujuan dan nilai-nilai budaya perusahaan yang dilakukan secara rutin.

***

Boks 2:

Pelayanan Prima adalah Salah Satu Kuncinya

Selama masa transformasi, salah satu nilai utama (core values) yang juga dijalankan dan diterapkan PT Taspen adalah pelayanan yang prima. Sejak awal Program Transformasi Taspen (PTT) digulirkan, PT Taspen memang telah berkomitmen untuk menerapkan dan mengembangkan pelayanan “satu jam selesai” yang kemudian disempurnakan dengan pelayanan proaktif. Pelayanan proaktif adalah melayani pembayaran Pensiun pertama dan Tunjangan Hari Tua (THT) di instansi peserta secara kolektif. Pelayanan tadi mesti memenuhi target mutu pelayanan PT Taspen yang meliputi 5T (Tepat Waktu, Tepat Orang, Tepat Jumlah, Tepat Tempat dan Tepat Administrasi).

Untuk mempermudah dan meningkatkan pelayanan kepada seluruh Peserta dan Penerima Pensiun, PT Taspen terus berupaya mengoptimalkan kinerja dan performa pelayanan di seluruh kantornya (Kantor Cabang Utama dan Kantor Cabang) serta ribuan titik pelayanannya (melalui kerja sama dengan Bank dan Kantor Pos). Guna memberikan pemahaman yang lebih komprehensif kepada masyarakat, secara rutin PT Taspen elakukan sosialisasi lewat dialog interaktif melalui siaran radio (RRI dan Swasta) di setiap Kantor Cabang. PT Taspen juga menyelenggarakan “pelayanan proaktif” dengan cara mendatangi instansi-instansi tempat Calon Peserta atau Peserta bekerja, untuk melakukan komunikasi dialogis, pembayaran iuran THT dan Pensiun pertama. Taspen membuka pula layanan telepon bebas pulsa 0800-1222-333.

Semboyan “Layanan dan Kinerja Selalu Ditingkatkan” (Better Service Through Better Performance), benar-benar harus dijadikan pedoman bagi seluruh insan dan manajemen PT Taspen dalam memberikan pelayanan. Sebuah prinsip pelayanan prima dengan target mutu 5-T. Pelayanan diberikan secepat dan seefektif mungkin (one hour service). Segenap awak PT Taspen harus  memberikan pelayanan dengan sopan, sabar, ramah dan manusiawi, serta mudah dan sederhana (tidak berbelit-belit). Semua target pelayanan prima itu telah dapat dicapai berkat peningkatan pemahaman Peserta dan masyarakat mengenai program-program PT Taspen; selain karena PT Taspen sendiri terus berusaha memperbaiki standarisasi sistem dan prosedur, pengoptimalan sistem informasi serta peningkatan dan produktivitas SDM-nya.

Guna mendukung peningkatan mutu pelayanan dan kinerja perusahaan, melalui PTT, PT Taspen memang secara kontinyu melakukan serangkaian upaya peningkatan profesionalisme dan produktivitas SDM-nya, melalui berbagai pendidikan dan pelatihan. Terutama dalam bidang keahlian: Asuransi/Aktuaria, Pengelolaan Keuangan/Investasi, dan Teknologi Informasi (TI). Di luar itu, pun terus ditingkatkan beberapa program pelatihan, misalkan Latihan Kerja Orientasi, Latihan Kerja Pemantapan, Latihan Kepemimpinan (Muda, Madya dan Utama) dan Kursus Pelengkap. Ada pula Pendidikan Khusus dan Kursus Pembekalan, untuk memberi bekal pengetahuan dalam menunjang kemandirian karyawan buat berwirausaha manakala mereka sudah memasuki masa pensiun. Selain itu, untuk meningkatkan keimanan karyawan, setiap bulan PT Taspen  mengadakan Ceramah Keagamaan.

Menyadari bahwa pelayanan merupakan kunci pokok usaha, maka dalam PTT, PT Taspen secara berkesinambungan juga menyelenggarakan Pendidikan Pelayanan Prima Plus (Service Excellent Quotient, SEQ) bagi seluruh karyawannya. Program pendidikan SEQ itu, antara lain, berisikan beberapa unsur utama, seperti program Pelayanan Prima (Service Excellent), Emotional Spiritual Quotient (ESQ, Manajemen Qalbu), dan Outbond atau Mind Tune-up. Suatu perpaduan yang serasi, di mana outbond/outing dimaksudkan untuk membentuk kemampuan teamwork yang diperlukan dalam kegiatan perusahaan sebagai pondasinya, sedangkan manajemen dan pelayanan prima dimaksudkan sebagai output-nya. Semboyan pelayanan prima yang ditanamkan kepada orang-orang PT Taspen adalah “Saya akan berbahagia apabila karena saya orang lain berbahagia.”

Manajemen PT Taspen pun ingin menegaskan bahwa pelayanan yang dilakukan berlandaskan prinsip: “Tanpa Kesalahan (Zero Defect), Tanpa Pungutan (Zero Haram), dan Tanpa Pamrih (Zero Mind Process)”. Zero Defect memberi makna bahwa setiap orang PT Taspen memberikan pelayanan dengan tingkat kualitas dan akurasi tinggi, sehingga tingkat kesalahannya berada pada titik nol. Pedoman 5-T dalam pelayanan Taspen merupakan instrumen yang jitu guna mencapai sasaran zero defect tadi. Zero Haram berarti semua pelayanan yang diberikan Taspen kepada para Peserta tidak dipungut biaya. Di sini, Taspen mau mengubah dirinya sebagai pengembang budaya “anti-pungutan liar”. Sedangkan Zero Mind Process berarti, setiap orang PT Taspen harus memberikan pelayanan dengan tulus ikhlas. Prinsip pemberian pelayanan dengan sopan, sabar, ramah dan manusiawi, serta mudah dan sederhana, adalah instrumen signifikan dalam meraih target zero mind process ini.

Pelayanan “tanpa pungutan dan kesalahan” yang selama ini dikembangkan PT Taspen, pada akhirnya melahirkan sejumlah apresiasi dari banyak Peserta. Juga pengakuan dan penghargaan dari sejumlah kalangan. Sertifikat ISO (ISO 9002 yang kemudian dikonversi menjadi ISO 9001:2000) yang diterima oleh Kantor Taspen Cabang Bogor tahun 1998 dan kemudian dijadikan sebagai acuan pelayanan bagi semua Kantor PT Taspen di seluruh Indonesia, hanyalah salah satu bukti pengakuan atas pelayanan mutu berstandar internasional yang diberikan oleh pihak SGS Yarsley ICS Limited. Dari Presiden Republik Indonesia pun PT Taspen memperoleh penghargaan Abdisatya Bhakti. Bahkan Pemerintah, dalam hal ini Presiden, juga memberikan penghargaan di bidang pelayanan, berupa Piala dan Piagam Citra Pelayanan Prima, kepada beberapa Kantor Cabang PT Taspen di sejumlah daerah, sebagai Unit Pelayanan Percontohan.

Itulah PT Taspen, melalui PTT, mereka telah mengembangkan tradisi pelayanan bermutu tinggi. Spirit dan implementasi pelayanan prima yang telah tumbuh dan berkembang menjadi core values dan corporate culture PT Taspen tersebut, para pimpinan PT Taspen kala itu pun menegaskan betapa “prinsip dan jiwa melayani” itu penting bagi setiap orang dalam setiap kegiatan. Termasuk bagi setiap pemimpin dalam organisasi apapun dan level manapun.

PT Taspen juga pernah menularkan prinsip dan jiwa pelayanan prima kepada masyarakat. Pelatihan Pelayanan Prima PT Taspen ditularkan pula kepada pihak eksternal perusahaan. Antara lain kepada kalangan mitra usaha, komunitas pendidikan, instansi pemerintah (Pusat dan Daerah) dan BUMN-BUMN. Misalkan pada 16-21 September 2002, PT Taspen menyelenggarakan Pelatihan Manajemen Pelayanan Prima di Gedung Bidakara yang diikuti peserta dari Badan Kepegawaian Negara, PT Pos Indonesia, Garuda Indonesia, Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara, Bank Rakyat Indonesia, PT Jamsostek dan PT Askes. Dengan tutor andal Ary Ginanjar Agustian, Nurcahyo Adi Kusumo dan AA Aufar, pelatihan ini mencoba menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran akal dan qalbu/hati yang menyatu dalam perilaku atau amalan berupa pelayanan prima dengan mengaktifkan fitrah dasar: kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (tauhid), kejujuran dan kasih sayang.

Pelatihan manajemen pelayanan prima itu pada pokoknya ingin membentuk pribadi yang sempurna dan berkualitas. Pribadi yang memiliki kecemerlangan pikiran dan qalbu/hati, kecermatan dan kecerdasan akal, dan keluasan wawasan, dengan senyum dan ikhlas serta rendah hati. Akal dan iman tidak dapat dipisahkan dalam agama. Bagi iman, akal adalah mata yang sangat dibutuhkan oleh seseorang ketika berjalan. Bila iman kehilangan akal, maka yang terjadi adalah seperti orang buta yang berjalan di kegelapan malam.

Melalui pelatihan manajemen pelayanan prima ini keluarga besar Taspen memperoleh pemahaman bahwa dalam diri Taspen terdapat potensi dan kekuatan yang bisa dimanfaatkan dan didayagunakan buat pengembangan pelayanan prima sehingga berdampak positif terhadap bisnis Taspen. Sebagai sebuah institusi, PT Taspen mesti melihat kekuatan dan potensi itu untuk dikembangkan menjadi keunggulan. Kekuatan PT Taspen adalah tradisi pelayanan yang kuat, SDM yang andal dan jaringan kerja yang luas melingkupi hampir semua daerah di seluruh Indonesia.

PT Taspen tidak hanya memberikan Pelatihan Pelayanan Prima kepada masyarakat tertentu, tapi “prinsip berbagi” juga diwujudkan dalam program “ikut memajukan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UKMK)”. Setiap tahun, PT Taspen mengucurkan sebagian dananya kepada UKMK dalam bentuk pinjaman modal usaha. Hingga di awal tahun 2008, pinjaman modal usaha tadi sudah mencapai puluhan miliar rupiah dengan jumlah mitra binaan yang mencapai ribuan unit UKMK yang bergerak di sektor jasa, perdagangan, industri, pertanian, peternakan, perikanan dan koperasi. PT Taspen berkeyakinan bahwa UKMK itu merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat dan karenanya PT Taspen mesti memberi dukungan optimal sesuai dengan kemampuannya.

***

Jakarta, September 2005. Proyek Program Transformasi PT Taspen (PTT) dicanangkan. Selaku pimpinan, Achmad Subianto sesungguhnya telah menggelindingkan angin perubahan sejak medio 2003, namun secara korporat proyek PTT itu baru dimulai pada September 2005. Untuk itu, agar proyek perubahan tersebut tidak mengalami kegagalan, Subianto telah mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari arah (visi, vision), tujuan dan sasaran (misi, mission) hingga strateginya. Tujuan atau sasaran utama dari PTT itu sendiri adalah terciptanya organisasi yang efektif dan fokus kepada kepuasan pelanggan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan tata kelola GCG (Good Corporate Governance) yang berkelas dunia (World Class Company). Sebuah “Organizing for Business Excellence”. Sebuah “organisasi pembelajaran” (learning organization) di mana dan kapan saja setiap orang yang berada di dalam perusahaan bisa mengerti, memahami dan melaksanakan apa yang menjadi pekerjaan, wewenang dan tanggung jawab mereka sesuai dengan peran dan fungsi serta posisi dan jabatan masing-masing. On the right man on the right place.

Organisasi yang efektif itu laiknya sebuah “rumah idaman”. Sebuah rumah (organisasi) yang nyaman serta menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi para penghuninya maupun pihak-pihak yang berhubungan dengannya. Sebuah organisasi di mana manusia di dalamnya dapat belajar menjadi manusia organisasi (people-organization) dan manusia manajemen (people-management). Begitu pun sebaliknya, organisasi dan manajemen yang belajar dari manusianya (learning-organization and learning-management). Sudah menjadi “hukum bisnis” bahwa setiap organisasi dan manajemen harus mau dan mampu menjadikan manusia di dalamnya lebih berguna dan bermanfaat, baik untuk perusahaan, diri sendiri maupun orang lain.

Untuk itu, struktur organisasi dan sistem kerja (SDM, keuangan, administrasi, teknologi dan lain-lain), nilai-nilai utama dan kultur perusahaan unggul (Taspen Way) coba disemai dan dijadikan jiwa (soul) dalam mengelola PT Taspen. Prinsip-prinsip perusahaan modern yang sesuai dengan kaidah-kaidah GCG ditegakkan. Kemalasan, ketidak-disiplinan dan ketidak-jujuran diberangus. Model dan proses bisnis didaur ulang menjadi lebih fleksibel dan tahan banting terhadap arus perubahan jaman serta sesuai dengan tuntutan peserta. Intinya, semua modal dan kekuatan yang dimiliki terus didorong, digerakkan dan diberdayakan agar bisa memberi kontribusi optimal bagi PT Taspen.

----- Gambar Rumah Dimensi Masa Depan Taspen Hal. 51 -----

Ruang lingkup proyek PTT tersebut meliputi: pertama, menyempurnakan macro business process. Menjadikan proses bisnis yang terbaik (excellence) dan pelayanan pelanggan yang memuaskan (customers satisfaction). Kedua, menambah kompetensi karyawan dan menyempurnakan struktur organisasi. Struktur organisasi dibuat lebih “ramping” agar dapat bergerak “lincah” serta terdesentralisasi sesuai dengan unit kerja, divisi, peran dan fungsinya. Ketiga, melakukan dan merumuskan the winning formula, workloads, job analysis, job description dan competency model. Atau, menghitung ulang beban pekerjaan masing-masing orang. Misalkan seorang karyawan mampu menyelesaikan seberapa banyak pekerjaan. Dengan begitu, perusahaan menjadi tahu berapa banyak karyawan yang dibutuhkan oleh setiap unit dan divisi. Lalu, dengan competency model, karyawan akan dinilai selama setahun. Mereka yang berhasil dan berprestasi diberi reward (penghargaan) berupa Taspen Excelence Award dan mereka yang melanggar aturan akan diberi punishment.

Keempat, menjabarkan dan menterjemahkan The Winning Formula menjadi The Business Success Model yang terdiri dari dimensi finansial, internal, eksternal, dan karyawan serta inovasi dan pertumbuhan. Setiap dimensi memuat Key Performance Indicators (KPI) yang merupakan ukuran sukses dari sasaran perusahaan. Dulu, memang telah ada performance management system yang disertai Key Performance Indicators (KPI). Tapi, terjemahan pelaksanaannya tergantung pada masing-masing individu. Kini, KPI disearahkan dengan tujuan perusahaan. Kelima, karena terdapat kesenjangan antara KPI yang telah dibuat dalam rangka menuju World Class Company dan kondisi sekarang, maka untuk menutup gap tersebut dibuatlah Strategic Initiatives (SI) berupa program-program kerja dengan tujuan untuk mendorong terwujudnya sasaran strategis yang dinyatakan dalam The Business Success Model.

       -----------Tabel Strategic Iniatives dan Penanggung-jawab Hal. 79-----

Keenam, dilakukan assessment (penilaian) dalam bentuk Taspen Scorecards. Ketujuh, setelah semua langkah dalam menuju perusahaan berkelas dunia dilakukan, maka untuk mengukur seberapa baiknya kinerja yang dicapai selama perjalanan tersebut dapat direkam melalui Baldrige Assessment dengan mengevaluasi beberapa kriteria-kriteria, antara lain, efektivitas kepemimpinan (leadership effectiveness), perencanaan strategis (strategic planning), fokus kepada peserta dan pasar (customer and market focus), pengelolaan informasi (information management), pengelolaan SDM (human resources management), pengelolaan proses bisnis (business process management) dan hasil kerja yang telah dicapai (business result). Dengan begitu, nantinya akan terwujud SDM yang berintegritas, berjiwa kepemimpinan (leadership) dan kewirausahaan (entrepreneurship) yang tinggi. Kedelapan, langkah terakhir di mana merupakan tujuan dari seluruh proses yang ditandai dengan hasil Baldrige Assesment berupa skor yang merupakan gambaran kekuatan dan kelemahan perusahaan PT Taspen untuk mengetahui Opportunity for Improvement (OFI) sekaligus sebagai penilai posisi perusahaan terhadap standar best practices dan perusahaan berkelas dunia. Proses ini dilakukan berulang-ulang dengan cara melakukan perbaikan (improvement) secara terus-menerus sampai pada tujuan akhir di mana visi-misi perusahan PT Taspen dapat terwujud.

  ----Tabel Tahapan Pelaksanaan Strategic Initiatives PT Taspen Hal. 90-99----

Dalam rangka PTT, PT Taspen juga telah menyusun berbagai program strategis guna mendukung implementasi SDM berbasis kompetensi untuk meraih world class company di tahun 2010. Salah satunya adalah program Sistem Manajer Kinerja (SMK). Program SMK ini diperlukan sebagai dokumen utama pengelolaan SDM. Sebab, guna mewujudkan visi-misi dan nilai–nilai perusahaan serta mendukung PTT diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kompetensi tinggi. Untuk itu dipandang perlu melakukan pembaruan dalam pengelolaan SDM. Selain menerapkan program SMK,  Divisi Personalia juga telah mencanangkan program Man Power Planning dengan pendekatan Analisis Beban Kerja (ABK).

Program ini kelak dapat menjadi nilai tambah bagi pencapaian sasaran strategis perusahaan dan sebagai alat ukur pengelolaan SDM yang mencakup, antara lain, mengukur jumlah kecukupan karyawan dalam mendukung aktivitas operasional perusahaan. Selain itu, program ini dapat pula untuk mengukur load dari masing-masing unit kerja, mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan jumlah pegawai pada suatu unit kerja yang bermuara pada kebijakan Employee Exit Policy, serta mampu mentransformasikan perusahaan pada iklim bisnis yang lebih kompetitif. Dalam rangka mengimplementasikan kegiatan Analisa Beban Kerja (ABK) tersebut, PT Taspen telah menunjuk konsultan yang berkompeten di bidang SDM, yakni LAPI (Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri) ITB.

Menurut Mantan Direktur SDM PT Taspen, Djoko Daljono, pendekatan ABK ini dilaksanakan dengan melihat adanya keluhan dari beberapa unit kerja yang bervariasi. “Ada unit kerja yang merasa kekurangan karyawan, kelebihan karyawan, pekerjaan karyawan banyak tapi tidak tuntas atau progres kerja karyawannya tidak kelihatan,” ujarnya.

--------------- Gambar Strategi Pengembangan SDM PT Taspen 2007-2011 --------

Transformasi di Bidang SDM
Transformasi di Bidang IT

Begitu banyak yang harus dikerjakan. Tentu, buat mewujudkan semua itu bukanlah perkara yang sederhana, mudah dan gampang. Mengingat masalahnya mendasar dan besar, selaku pemimpin, tentu saja Subianto tidak bisa bekerja sendirian. Harus dilaksanakan secara bersama-sama. Sebuah kearifan lokal telah mengajarkan tentang filosofi sapu lidi. Jika hanya satu-satu lidi maka akan kurang memiliki kekuatan dan manfaat. Namun, apabila menjadi sebuah ikatan sapu lidi, pastinya akan mempunyai kekuatan dan manfaat yang besar. Makna dan artinya, bahwa dalam kehidupan apapun dan di mana saja di dunia ini, seandainya dikerjakan dan dilaksanakan dalam sebuah kebersamaan (kerjasama tim) tentu akan menjadi lebih ringan, cepat dan efisien. Produktivitas menjadi lebih tinggi serta memuaskan banyak pihak dibandingkan dengan dikerjakan sendiri-sendiri. Arah (visi) dan tujuan (misi) yang hendak dicapai, atau kesuksesan dan keberhasilan pun menjadi lebih mudah untuk diraih dengan kerjasama tim yang solid, handal dan tangguh.

Untuk meraih kesuksesan, kerjasama tim yang solid, handal dan tangguh adalah sebuah keniscayaan. Kerjasama tim harus ada dalam organisasi bisnis (perusahaan). Makanya, selain menggandeng konsultan manajemen-organisasi, Harianto Mangkusasono, salah satu mantan Direktur IBM, dan Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri - Institut Teknologi Bandung (LAPI-ITB), Subianto juga membentuk sebuah tim yang solid, tangguh dan andal guna merencanakan, mengelola dan mengimplementasikan proyek PTT. Strateginya adalah membentuk Tim Transformasi atau dikenal dengan sebutan Tim Task Force, yang beranggotakan SDM yang memiliki kompetensi unggul yang berbeda-beda dan berada di lintas unit atau divisi yang bertanggung-jawab kepada Direksi. Mulai dari yang unggul di bidang keuangan, komunikasi dan informasi, inovasi, pengembangan, organisasi, hukum, pengawasan hingga statistik.

Subianto terlihat melangkah dengan penuh perhitungan dalam membentuk tim. Hal ini tampak pada komposisi Tim Task Force. Terlihat, di dalam Tim Task Force terdapat nama Ratih Kusumaningrini yang enerjik, penuh inspirasi dan kompeten dalam bidang audit, keuangan dan pengawasan. Ada lagi Pasek Suartha, sosok yang kompeten dalam bidang pengembangan dan statistik. Ada pula Riswadha, pribadi yang cukup piawai mengelola Information Technology dalam perusahaan. Juga Dewi Widayanti dan Ahmad Muhtarom yang piawai di bidang hukum serta Nur Supriyanto, sebagai tokoh senior yang cukup disegani di PT Taspen sebagai penghubung antar-lini. Tim Task Force bersama jajaran direksi serta didampingi konsultan, kemudian merumuskan dan meredefinisi struktur organisasi dan proses kerja baru serta mensosialisasikannya guna mendorong perubahan total dalam tubuh perusahaan. “Tim 11 mendapat tugas mensosialisasikan, mengorganisasikan dan mengelola proses PTT. Kami bekerja ekstra keras siang-malam. Kami memang harus berubah menjadi lebih baik agar masa depan kami menjadi lebih berpengharapan,” ungkap Ratih Kusumaningrini yang ditunjuk sebagai Ketua Tim Task Force.
 
Dalam sebuah perubahan yang lebih baik, tentu harus ada yang menjadi fokus, alat (tool) sebagai arah navigasi, alat eksekusi, change management dan change agents sebagai wahana perubahan, serta pondasi spiritual. Dan selaku pemimpin, bersama Tim Task Force dan konsultan, Subianto telah mempersiapkan semuanya. Sebagai pemimpin, tentunya banyak hal penting (Important Goals) yang harus dicapai. Ibarat seorang Air Traffic Controller (ATC) di sebuah bandara yang begitu sibuk namun tetap harus cekatan dan cermat. Semua pesawat yang akan berangkat atau lepas landas (take off) maupun yang akan mendarat (landing), keduanya sama-sama penting. Tapi, tidaklah mungkin seorang ATC memberangkatkan sekaligus mendaratkan semua pesawat pada waktu yang bersamaan. Harus ada yang menjadi prioritas-prioritas utama. Wildly Important Goals (WIGs): Pesawat yang sudah waktunya mendarat setelah terbang jauh harus mendapat prioritas utama untuk mendarat, dan pesawat yang sudah lama di-grounded harus segera diberangkatkan.

Dari sekian banyak yang ingin dicapai dan diraih, telah disepakati untuk fokus memprioritaskan pada WIGs sesuai dengan indikator-indikator keberhasilan bisnis jasa: kepuasan pelanggan dan pertumbuhan yang meningkat. Subianto merasa yakin, apabila usaha-usaha tersebut difokuskan ke WIGs tadi, maka Important Goals lainnya juga akan tercapai. Fokus merupakan salah satu faktor sukses-tidaknya perusahaan pada saat melakukan perubahan. Secara sederhana, fokus dapat diartikan sebagai titik atau daerah kecil tempat berkas cahaya mengumpul atau menyebar setelah menimpa sebuah cermin. Berkas cahaya yang terfokus itu bisa menghasilkan energi yang luar biasa, sedangkan cahaya yang tidak terfokus kecil kekuatannya. Seperti api yang berhasil dinyalakan dengan memfokuskan sinar matahari pada sebuah titik sebuah lensa kaca pembesar (suryakanta). Kekuatan fokus bisa menyalakan semangat, meraih mimpi dan membawa perubahan yang lebih besar. Pakar manajemen dan kepemimpinan John C. Maxwell mengatakan, kunci untuk memiliki fokus, antara lain, prioritas dan konsentrasi. Dalam perusahaan, fokus berarti sesuatu yang secara terus-menerus diprioritaskan dan dikonsentrasikan kepada satu atau beberapa kegiatan. Masa depan perusahaan sangat tergantung kepada fokus dari kegiatan. Perusahaan yang fokus akan sangat kokoh. Dengan demikian akan memiliki masa depan. Begitu pula sebaliknya, kalau tidak fokus, maka tidak akan memperoleh pencapaian apa-apa. Keberhasilan Bill Gates (Microsoft) utamanya lantaran fokus menjadikan Windows sebagai sistem operasi komputer yang dominan.

Untuk memastikan bahwa seluruh upaya yang dilakukan secara baik dan benar telah memenuhi kebutuhan pelanggan dan stakeholders, pada masa proses organization effectiveness cycle selama pelaksanaan Transformasi, maka sebagai alat arah navigasinya dipilih konsep penilaian yang mengadopsi Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellent (MBCfPE) yang dimaksudkan untuk melihat keterkaitan antara target-target keuangan (finansial), pelanggan (customers), proses bisnis internal (internal business process) serta pembelajaran dan pertumbuhan organisasi. Berdasarkan Dashboard MBCfPE, para pimpinan dapat segera melihat target-target mana yang sudah atau belum tercapai sehingga dapat diputuskan action plan yang paling tepat.

Nama MBCfPE yang diadopsi dari Malcolm Baldrige National Quality Award adalah sejenis penghargaan tahunan yang diberikan oleh Pemerintah Amerika Serikat (melalui Department of Commerce) kepada setiap organisasi di negara Amerika Serikat (baik profit dan non-profit) yang dianggap mencapai kinerja yang unggul nan ekselen. Nama Malcolm Baldrige sendiri diambil dari nama mantan Menteri Perdagangan AS yang menginisiasi kegiatan penghargaan ini. Sejak diperkenalkan pada tahun 1988, penghargaan tahunan ini telah memberikan kontiribusi yang signifikan bagi peningkatan mutu dan kinerja bisnis beragam perusahaan di sana.

Seiring dengan hal itu, banyak negara di berbagai belahan dunia yang mengadopsi pendekatan dan kriteria yang digunakan oleh Komite Malcolm Baldrige untuk mengukur keunggulan kinerja. Kriteria-kriteria tersebut dijabarkan ke dalam kurang lebih 350 pertanyaan yang dikelompokkan dalam 7 kriteria inti. Kriteria yang mereka gunakan dikenal juga sebagai 7 Pilar Malcolm Baldrige. Dan jika diamati, tujuh kriteria ini memang sangat berperan dalam menentukan maju-mundurnya sebuah organisasi (baik organisasi bisnis maupun organisasi publik).

Pilar yang pertama adalah Leadership. Kriteria ini ingin melihat bagaimana para leader di organisasi perusahaan bisa menampilkan kapasitasnya, bagaimana mereka menetapkan visi dan tujuan organisasi dan mengkomunikasikannya kepada setiap anggota atau karyawan di bawahnya. Juga apakah leaders di organisasi memiliki kecakapan untuk mengelola dan menginspirasi anak buahnya untuk mencapai keunggulan kinerja.

Pilar kedua, Strategic Planning. Kriteria ini untuk melihat bagaimana proses perumusan strategi ditetapkan di lingkungan perusahaan atau organisasi. Dan yang tak kalah penting, apakah konten strategi itu secara tepat merespon dinamika perubahan lingkungan bisnis. Pilar ketiga, Customer Focus. Ini adalah model penilaian tentang apakah produk dan layanan yang disediakan oleh organisasi atau perusahaan di tempat kita bekerja sudah bagus? Atau hanya bermutu alakadarnya? Apakah produk atau layanan yang dibentangkan selalu segar nan inovatif dan membuat para pelanggan bisa tersenyum riang? Atau malah sebaliknya selalu menebarkan ketidak-andalan dan kualitas yang pas-pasan.

Pilar keempat, Performance Measurement. Pilar ini untuk mengukur apakah setiap leader di perusahaan atau organisasi sudah memiliki Key Performance Indicators (KPI) yang jelas dan terukur. Juga agar KPI itu selalu di-review secara periodik untuk melihat progress dan mengambil corrective action (jika targetnya meleset). Pengelolaan kinerja dengan indikator yang jelas merupakan salah satu tanda munculnya performance-based culture yang kuat di sebuah organisasi.

Pilar kelima, People Focus. Pilar ini untuk mengetahui seberapa jauh perhatian dan komitmen manajemen organisasi Anda terhadap pengembangan mutu SDM-nya? Elemen ini juga mau melihat apakah organisasi telah memberikan skema reward yang fair dan atraktif kepada segenap anggotanya. Kontribusi angggota yang melejit hanya akan merebak jika sebuah organisasi punya kebjiakan people focus yang solid dan konsisten.

Pilar keenam, Process Management. Kriteria ini untuk mengukur bagaimana perusahaan atau organisasi kerja mendesain dan mengelola proses kerja secara ramping dan efisien. Organisasi kerja yang baik adalah proses kerja yang tidak terlalu birokratis, saling terkoordinasi dengan baik dan tidak menimbulkan banyak silang sengketa di antara berbagai bagian/departemen. Pilar yang ketujuh, Result. Pilar yang terakhir ini untuk melihat bagaimana hasil akhir kinerja organisasi. Apakah makin kompetitif, makin efektif, dan makin mengkilap kinerja seluruh aspek organisasinya?

------------------ Gambar Skema Proses Penilaian Malcome Baldrige Arbi ---------

Secara ringkas, konsep ini dapat dipahami sebagai upaya untuk mengukur aktivitas operasional suatu perusahaan agar sejalan dengan sasaran yang lebih besar sesuai dengan visi, misi dan strategi. MBCfPe membantu memberikan pandangan lebih menyeluruh pada suatu perusahaan yang pada giliran selanjutnya akan membantu organisasi untuk bertindak sesuai dengan tujuannya jangka panjang. MBCfPE membantu para manajer untuk fokus pada ukuran kinerja sambil menyeimbangkan sasaran keuangan dengan perspektif pelanggan, proses dan karyawan.

Selain itu, supaya perubahan lebih mulus di tingkat mayoritas karyawan, maka Tim Task Force didampingi para konsultan kemudian menunjuk sekitar 30 orang setiap tahun sebagai change agent yang terdiri dari karyawan setingkat Supervisor atau Leader yang berkinerja dan mempunyai attitude baik serta dianggap mempunyai keinginan untuk melakukan hal-hal positif bagi perusahaan. Salah satu kunci utama kesuksesan perusahaan adalah kerjasama tim. Tidak ada yang merasa menjadi superman atau superwoman. Yang ada hanyalah superteam. Hubungan kerja harus dilandasi prinsip saling memberi pema­haman, kepedulian, saling membutuhkan dan mengedepankan kepentingan bersama.

Tidak hanya menyentuh aspek bisnis-manajemen, Subianto pun berupaya menyentuh aspek emosional-spiritual para karyawan sebagai benteng keimanan dalam bekerja dan menghadapi perubahan. Melalui persetujuan para dewan komisaris dan direksi, telah dilaksanakan pelatihan ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Hal ini ditempuh agar pondasi keimanan untuk menggerakkan perubahan perusahaan yang lebih baik menjadi sama dan seirama.

Tutur Subianto:

“Kita tidak hanya berbicara struktur organisasi dan manajemen, namun juga pondasi keimanan dalam menghadapi perubahan. Mental karyawan harus diperkuat dalam menghadapi perubahan yang akan mereka alami. Dalam menghadapi perubahan, karyawan akan dihadapkan pada pilihan: apakah ikut dalam arus perubahan untuk mencapai hasil yang lebih baik, atau bersikap tidak peduli dengan segala perubahan yang dilakukan oleh manajemen baru.

Untuk itu, seluruh karyawan, mulai dari tingkat Direktur, tidak terkecuali jajaran Komisaris, manajer hingga karyawan pada level terendah, dikirim ke pelatihan ESQ. Tujuannya adalah untuk memberikan bekal rohani kepada semua karyawan dalam menghadapi perubahan. Itu kami lakukan untuk memastikan bahwa ke depan karyawan akan bekerja secara efektif dan efisien, serta lebih baik dalam melayani dan memenuhi kebutuhan para pelanggan dan stakeholders lainnya.”

Dengan pelatihan ESQ, diharapkan semua karyawan akan memiliki sebuah prinsip yang kuat bahwa bekerja keras adalah bagian dari ibadah. Sebagai bakti kepada Tuhan dan bermanfaat atau diperuntukkan bagi kebaikan orang banyak. Bekerja sebagai amanah yang harus dilaksanakan sebaik mungkin dan semaksimal kemampuan yang dimiliki dengan sepenuh profesionalisme, komitmen, kejujuran, memiliki daya saing berkelanjutan dan menghasilkan nilai tambah (added value) yang tinggi. Sebuah prinsip yang mengajarkan kepada segenap SDM untuk senantiasa bersyukur dan bekerja lebih kompeten serta profesional. Sebuah prinsip yang mengajarkan kepada semua SDM bahwa dalam bekerja tidak boleh hanya mengandalkan kecerdasan otak (IQ, Intelligence Quotient) semata. Lebih penting dari itu, adalah “kecerdasan hati dan spiritual” (EQ, Emotional Quotient dan ESQ, Emotional Spiritual Quotient). Sebab, IQ tanpa diimbangi oleh EQ dan ESQ dapat merusak segalanya. Kompetensi tanpa diimbangi moralitas hanya melahirkan SDM dengan watak yang kurang beretika.

Tentu, hal ini tidak dapat dilepaskan dari prinsip Subianto, baik dalam bekerja maupun melaksanakan amanah sebagai seorang pemimpin. Dia selalu bekerja dengan sebaik mungkin, komitmen tinggi dan bertanggung-jawab. Bahwa yang menilai atau menentukan hasil kerjanya adalah Tuhan. Tuhan selalu mengawasi setiap saat. Karena itu, pekerjaan yang dijalani merupakan amanah dan ditujukan demi kebaikan diri sendiri dan orang banyak. Bekerja keras, berpikir cerdas dan beramal ikhlas untuk melengkapi ibadahnya. Kalau ibadah ritualnya masih kurang, maka bekerja ikhlas dimaksudkan sebagai pelengkapnya. Dengan bekerja dalam perasaan yang tulus-ikhlas, seorang pemimpin dalam bekerja tak pernah kenal waktu. Apapun hasilnya, selalu disyukuri.

Sebagai wujud nyata bahwa bekerja sebagai ibadah adalah nilai integritas. Satu kata, satu perbuatan. Tanpa adanya integritas, yang tercipta adalah manusia-manusia yang munafik atau hipokrisi. Ciri-ciri manusia yang munafik, di antaranya, kalau berbicara bohong, kalau berjanji ingkar, dan kalau dipercaya berkhianat. Tentu, Subianto tidak mau dan tidak ingin karyawan yang dipimpinnya menjadi manusia yang munafik. Untuk itulah, dalam rangka perubahan yang lebih baik, karyawan yang telah mengikuti ESQ “diwajibkan” untuk menanda-tangani Pakta Integritas. Semua karyawan pada semua lapisan dan semua lini usaha, tanpa kecuali, wajib membubuhkan tanda tangan di selembar kertas berlabel Pakta Integritas. Dengan begitu ada tekad dan komitmen bersama dalam kesungguhan hati untuk menjadi bagian dari proses perubahan.

Kesungguhan hati untuk mengutamakan kejujuran dalam bekerja, melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab, selalu berpikir positif jauh ke depan serta disiplin. Kesungguhan hati untuk senantiasa menjunjung tinggi kebersamaan, kerja sama, saling menghargai, dan saling menghormati. Dengan kesungguhan nurani serta menjunjung profesionalisme dalam menjalankan tugas sehari-hari di PT Taspen. Dari lubuk hati terdalam selalu memberikan pelayanan terbaik kepada peserta. Kesungguhan hati untuk selalu menghormati dan menghargai pendapat, aspirasi dan kritik yang bersifat membangun. Dengan kesungguhan sepenuh hati tidak akan menerima pemberian uang, barang atau pemberian dalam bentuk apapun yang berhubungan dengan pekerjaan atau dapat menyebabkan konflik kepentingan (conflict of interest). Dan dengan sepenuh hati pula ikut serta secara aktif dalam proses perubahan yang dijalankan oleh perusahaan.

Agar karyawan benar-benar memahami kebijakan manajemen PT Taspen, maka ”Program Transformasi Taspen” (PTT) yang telah digulirkan kemudian diluncurkan dan disosialisasikan dalam bentuk buku yang berjudul Pedoman Pelaksanaan Program Transformasi Taspen (2005). Dalam buku bersampul biru simbol corporate color PT Taspen itu, juga dilengkapi dengan berbagai instrumen kerja perusahaan modern seperti Pedoman Pelaksanaan GCG, Code of Conduct dan Etika Pelayanan secara bertahap juga semakin intensif disosialisasikan kepada segenap insan PT Taspen. Dalam buku itu pun tercantum tahapan-tahapan transformasi yang dilaksanakan PT Taspen untuk mencapai cita-cita perusahaan berkelas dunia (world class company). Seiring dengan peluncuran buku tersebut, manajemen PT Taspen juga meluncurkan website-nya, www.taspen.com. Hal itu dilatar-belakangi oleh sebuah kebutuhan Peserta dan Pensiunan akan informasi yang cepat dan tepat. Dalam website PT Taspen, Peserta tidak hanya bisa mengakses informasi, melainkan juga berkonsultasi seputar program ketaspenan. Tahun berikutnya, 2006, PT Taspen bergabung pula dalam situs BUMN di portal.bumn-ri.com/taspen.

Tak dapat disangkal bahwa eksistensi PT Taspen bertambah bagus. Beberapa pilihan investasi, seperti deposito berjangka, saham, reksadana, dan obligasi, menunjukkan peningkatan. Aktiva lancar dan aktiva tetap, juga meningkat. Ujung-ujungnya, laba bersih PT Taspen naik cukup signifikan dari Rp164,9 miliar (2004) menjadi Rp381,8 miliar (2005). Keberadaan PT Taspen dirasakan pula semakin dekat dengan para Peserta yang nota bene para pegawai negeri itu. Begitu juga pelayanannya, dirasakan semakin prima dan memuaskan Peserta.

Memasuki tahun 2006 manajemen PT Taspen terus mendorong setiap kantornya untuk terus bertumbuh-kembang dengan lebih baik lagi dan memberikan pelayanan kepada para Peserta Taspen secara lebih prima. Untuk itu, manajemen menggulirkan berbagai rangsangan program prestatif seperti Taspen Excellent Award (TEA) yang berbasis Malcolm Baldrige Criteria. Hasil penilaian diumumkan setiap hari ulang tahun PT Taspen (17 April). Kantor Cabang terbaik akan menerima Taspen Platinum Excellent Award, kemudian Taspen Gold Excellent Award, dan seterusnya. Kegiatan ini bertujuan agar semua unit kerja di Kantor Pusat maupun Kantor Cabang mampu melaksanakan program transformasi dan mengukur keberhasilan tiap-tiap unit kerja. Terutama buat Kantor Cabang agar “berlomba” dalam memberikan pelayanan secara lebih baik serta berpacu dalam perbaikan kinerja dan performa masing-masing.

---------- Tabel Kantor Cabang Peraih TEA 2006 dan 2007  ------------

Selanjutnya, dalam memasuki tahun 2007, untuk mendukung kelancaran operasi bisnis, manajemen PT Taspen pun memberlakukan Standar Akuntansi Perusahaan (SAP), yang kemudian diikuti dengan Joint Application Development (JAD) dan Document Management System (DMS). Dalam tahun 2007 pula Subianto mencanangkan ”Tahun SDM Taspen” yang dibarengi dengan dilakukannya Reklasifikasi Kantor Cabang dan Restrukturisasi Organisasi.

Lengkap sudah transformasi fundamental yang dilakukan oleh Subianto bagi keberadaan PT Taspen. Dia tidak hanya telah menanamkan nilai-nilai utama dan budaya perusahaan unggul bagi perjalanan PT Taspen menuju harapannya yang lebih baik, tapi dia juga telah meneguhkan visi-misi PT Taspen agar eksistensinya lebih bermanfaat dan bermaslahat bagi para Peserta serta bagi viabilitas PT Taspen sendiri sebagai organisasi perusahaan. Dia pun telah memperkuat fundamental PT Taspen dengan GCG, sistem dan mekanisme perusahaan modern. Semua itu dilakukan oleh Subianto dengan harapan agar pondasi PT Taspen semakin kokoh, dengan kinerja dan performa yang bertambah bagus sehingga keberadaannya kian memberikan nilai tambah yang lebih signifikan bagi para stakeholders dan perekonomian nasional pada umumnya.

Pendek kata, di bawah kepemimpinan Achmad Subianto, PT Taspen tampil lebih apik. Wajarlah jika kemudian banyak kalangan memberikan apresiasi dan penghargaan. Pada tahun 2006 misalnya, selain menerima penghargaan Tata Laksana Kearsipan dari Arsip Nasional, PT Taspen juga meraih Juara I Lomba Kadarkum, Juara I Perlombaan Satpam antar-perusahaan di wilayah DKI Jakarta, Juara Harapan I Kategori Laporan Tahunan dan Juara Harapan II untuk Kategori Penerbitan Internal BUMN dalam Lomba Anugerah Media Humas 2006. Di bulan November 2006 PT Taspen pun berhasil meraih predikat Early Results pada penghargaan Indonesia Quality Award (IQA) berbasis Malcolm Baldrige Criteria dengan skor 354. Tahun selanjutnya (2007) PT Taspen mampu meningkatkan diri dengan mendapatkan predikat Early Improvement dengan skor 402 dalam penghargaan IQA yang diselenggarakan oleh IQA Foundation itu.

-----Tabel Scoring Band Menurut MBCfPE Hal. 105 Arbi-----

Dalam penilaian IQA, digunakan Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE). Metode ini terbukti efektif meningkatkan daya saing banyak perusahaan AS setelah terjadinya krisis ekonomi pada 1980-an. Hasilnya, selama lebih dari satu dasawarsa sampai kini, AS menjadi negara yang memiliki daya saing tertinggi di dunia. Dari pengalaman AS itu, ketika krisis perekonomian yang berkepanjangan melanda Indonesia, BUMN terus tampil menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi nasional. Nah, dalam rangka meningkatkan dan mengapresiasi kinerja BUMN itu, IQA Foundation berupaya menyemangati dan mendorong kalangan BUMN untuk terus meningkatkan prestasinya.

Sementara itu, dari sisi ekonomis, kinerja PT Taspen juga bertambah bagus. Paling tidak, sepanjang tahun 2007, PT Taspen berhasil membukukan laba bersih sekitar Rp147 miliar. Dengan aset yang melejit ke angka Rp37 triliun, pondasi dan eksistensi PT Taspen pun menjadi bertambah kokoh. Dan, secara umum, pada penghujung tahun 2007 itu kondisi PT Taspen masuk dalam kategori ”Wajar Tanpa Pengecualian”.

----------  Tabel Taspen Transformation Road Map  -----------
Taspen Towards World Class By 2010
Hal. 88

Sebuah prestasi seorang Achmad Subianto dalam membangun dan membawa PT Taspen pada kondisi peak performance. Hanya saja, sukses seorang pemimpin itu tidak hanya diukur dari prestasi matematis-ekonomis semata. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana sang pemimpin itu mampu membuat landasan yang kokoh bagi kepemimpinan berikutnya. Ya, Subianto pun telah memperbaiki dan mengembangkan landasan yang lebih kokoh bagi manajemen dan kepemimpinan PT Taspen selanjutnya. Dan, memasuki awal tahun 2008, Subianto memang harus mengakhiri masa kepemimpinannya di PT Taspen. Tepatnya pada medio Januari 2008, dia menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Agus Haryanto selaku Direktur Utama PT Taspen yang baru. Kepada Agus Haryanto lah, Program Transformasi Taspen (PTT) Menuju World Class Company di tahun 2010 sesuai dengan agenda yang telah dibuat, diserah-terimakan dan bisa dilaksanakan dengan baik dan maksimal.***

No comments:

Post a Comment