Tuesday, February 12, 2013

Karir Menjadi Guru, Berorganisasi dan Membina Rumah Tangga




Percayailah orang dan mereka akan bersikap tulus padamu, percayailah mereka dengan sungguh-sungguh maka mereka akan melakukan hal-hal hebat untukmu.
Ralph Waldo Emerson, Penulis Kenamaan

Tekad kuat Undunsyah untuk terus belajar tidak pernah padam. Ihwal minimnya sarana pendidikan dan wawasan bagi lulusan sekolah pada masa itu membuat Undunsyah kebingungan memilih arah dan cita-cita. Ilmu yang diperoleh selama mengikuti pendidikan SD dan SLTP ternyata belum mampu membenamkan arti sebuah asa dan cita-cita ke dalam benaknya yang semakin berbenak.
Undunsyah cuma tahu: sekolah, sekolah dan terus bersekolah. Mesti ke mana melanjutkan pendidikan hanya berdasarkan keberadaan lembaga sekolah yang bersedia menerimanya. Dia tidak mengerti tentang minat dan bakat.
Selepas lulus SMP pada tahun ajaran 1978-1979 itu Undunsyah lalu mendaftarkan diri di Sekolah Menengah Teknik (STM). Waktu itu di Tarakan cuma ada sebuah STM swasta. Ketiadaan biaya untuk masuk ke SMA negeri memaksanya memilih sekolah kejuruan tersebut. Padahal, sebenarnya, dia tidak punya bekal dan bakat buat masuk ke dunia teknik. Ditambah lagi dia harus berjuang melawan hasratnya yang demikian kuat buat masuk ke sekolah umum.
Pilihan masuk STM membuat Undunsyah harus bergelut dengan pendidikan teknik yang baginya lumayan sukar. Sampai akhirnya ketika tiba kenaikan kelas, Undunsyah memilih pindah dari STM. “Alhamdulillah saya naik kelas. Waktu itu saya kurang sekali dalam mata pelajaran menggambar. Sementara saya mengambil jurusan bangunan. Sebab itu, saya memilih pindah sekolah,” terang Undunsyah penuh kenangan.
Pilihan Undunsyah jatuh ke SMA Negeri Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan. Tanpa aral yang berarti, dia diterima di kelas dua jurusan IPA. Kepindahan ke Tanjung Selor pun sebetulnya memiliki arti penting dalam perjalanan hidup seorang Undunsyah. Dia memberanikan diri pindah sekolah dan tinggal di Tanjung Selor dengan tekad untuk bisa bersekolah di SMA.
“Kebetulan ada kerabat yang bersedia menolong saya,” Undunsyah berkisah. Orang itu adalah H. Saleh Umar dan Abdul Manap, dua sosok yang mengulurkan tangannya untuk membantu Undunsyah melanjutkan sekolah sesuai keinginannya. Tidaklah mengherankan bila di kemudian hari keberadaan kedua sosok itu tak mudah dilupakannya. “Berkat bantuan beliau berdua, saya bisa bersekolah di Tanjung Selor,” ungkap Undunsyah.
Di Tanjung Selor, kehidupan sebagai siswa sekolah yang sesungguhnya dijalani Undunsyah remaja. Sehari-hari dia tinggal di asrama pelajar. Namun lantas bukan berarti urusan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi gampang.
Asrama pelajar sekadar dijadikan tempat menginap bersama teman-temannya. Setiap jam makan tiba, Undunsyah dan beberapa rekan seasrama ‘numpang’ makan di rumah H. Saleh Umar. “Saya tinggal di Asrama Harapan, bersama 13 orang pelajar. Kebetulan di asrama itu kebanyakan pelajar dari Tarakan yang pindah ke Tanjung Selor,” jelas Undusyah.
Sebagai imbalan kepada H. Saleh Umar yang memberi jatah makan dua kali sehari, setiap hari Ahad, bersama-sama teman-temannya, Undunsyah mengumpulkan kayu bakar buat keperluan keluarga H. Saleh Umar.
“Kami mencari kayu bakar sampai di Jalan Sengkawit (sekarang adalah lokasi Kantor Bupati Bulungan),” tutur Undunsyah mengenang. Bila tidak sedang mencari kayu bakar (Sabtu sore sepulang sekolah), maka Undunsyah memilih pulang ke Tarakan. Dia biasanya berada di Tarakan sampai Ahad sore.
Pulang ke Tarakan bukan berarti berlibur. Tapi, bersama dengan kakaknya, dia memanfaatkan waktu lowong buat melaut. “Saya ikut kakak memukat. Masa itu kami memakai pukat gondrong untuk menangkap udang,” Undunsyah mengingat memori yang tak terlupakan itu.
Sekali melaut, Undunsyah mampu mengumpulkan uang sampai beberapa ratus ribu rupiah. Dan uang itu kemudian dia gunakan untuk membayar uang sekolah. “Kadang sekali bayar untuk enam bulan,” jelas Undunsyah.
Tinggal di asrama makan dengan santunan H. Saleh Umar serta melaut setiap hari Sabtu hingga Ahad, dijalani Undunsyah selama dua tahun. Sampai akhirnya dia berhasil menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri Tanjung Selor pada tahun 1982.

A. Kisah Ijazah dan Sepotong Kayu Ulin
Kepahitan hidup selama menempuh pendidikan di SMA Negeri Tanjung Selor tidak menghentikan tapak langkah Undunsyah. Dia justru semakin terpacu untuk terus maju. Sebab itu, Undunsyah mulai menyiapkan diri guna meretas jalan pendidikan tinggi guna meraih gelar sarjana.
Setamat dari SMA Negeri Tanjung Selor, walau sempat diterima sebagai calon pegawai negeri sipil, Undunsyah tetap memilih melanjutkan kuliah. “Saya sempat ikut tes pegawai negeri dengan ijazah SMP dan diterima sebagai pegawai negeri dengan pangkat/golongan I-B. Namun waktu itu saya lebih memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,” katanya.
Tentu ada hal yang aneh mengapa Undunsyah mengikuti tes calon pegawai negeri sipil dengan bekal ijazah SMP, bukan dengan bukti kelulusan yang lebih tinggi lagi. Padahal dia telah lulus dari SMA Negeri Tanjung Selor. Alasannya klasik, Undunsyah belum mampu memperoleh ijazah SMA gara-gara masih menunggak uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). “Saya tidak punya uang buat melunasi tunggakan SPP. Jadi ijazah SMA terpaksa ditahan oleh pihak sekolah,” ucap Undunsyah mengenang masa-masa getir selepas SMA.
Untuk melunasi SPP yang masih terutang, dia tidak punya uang lagi. Di satu sisi dia harus pula menyiapkan uang buat biaya kuliah. “Bingung juga, bagaimana caranya agar bisa memperoleh ijazah dan sekaligus bisa ke Samarinda untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa,” terang Undunsyah.
Di tengah kebingungan ini, Undunsyah berikhtiar mencari jalan agar mampu menebus ijazahnya di SMA Negeri Tanjung Selor tanpa harus menunda keberangkatan ke Samarinda buat mendaftar ke Perguruan Tinggi idolanya, Universitas Mulawarman. Alhasil, berkat kecerdikannya, dia mampu menemukan kiat agar dapat melunasi uang SPP sekaligus berangkat ke Ibukota Provinsi Kalimantan Timur. “Waktu itu saya datangi kakak (H. Fidu – red) dan tanpa sungkan-sungkan minta bantuan. Ternyata dia saat itu memiliki kayu ulin sebanyak empat kubik. Kayu itu lalu saya jual dan hasil penjualannya saya gunakan buat melunasi SPP dan menebus ijazah SMA Negeri Tanjung Selor,” papar Undunsyah.
Kayu ulin itu akhirnya dijual Undunsyah. Itu pun dengan harga relatif murah. “Empat kubik waktu itu dijual hanya seharga Rp176.000. Bersyukur, uang hasil penjualan kayu ulin itu cukup buat menutupi SPP yang tertunggak dan ongkos pergi ke Samarinda,” Undunsyah mengenang masa silam yang teramat kelam.

B. Ke Samarinda Merenda Masa Depan
Bila kita sedang sedih, maka jangan abaikan kesedihan itu. Penderitaan haruslah dinikmati. Dengan begitu, penderitaan akan berbuah kenikmatan. Lalu kita pun akan mengerti dan memahami esensi penderitaan yang datang mewarnai perjalanan hidup kita.
Pulang dari Tanjung Selor, Undunsyah semakin mantap untuk melanjutkan kuliah ke Samarinda. Kendati untuk naik kapal ke Samarinda saja sebetulnya dia sudah tidak punya cukup ongkos. Uang yang tersisa dari menebus ijazah dan melunasi SPP di SMA Negeri Tanjung Selor tidak cukup lagi buat membeli tiket kapal laut ke Samarinda. “Saya lupa berapa jumlah uang yang tersisa dari penjualan kayu ulin. Tapi setelah saya kumpulkan dengan uang pemberian nenek, jumlahnya sekitar Rp220.000,” kata Undunsyah mengenang masa lepas dari kesulitan yang satu ke kesulian berikutnya. Penuh keberanian Undunsyah berangkat pula ke Samarinda.
Merasa takut uangnya tidak cukup, Undunsyah juga membawa bekal dua dus gelas Arqopal –gelas bikinan Malaysia yang sangat diminati oleh warga perbatasan dan sangat laku jual. “Maksudnya kalau uang saya tidak cukup, gelas itu bisa saya jual setiba di Samarinda,” jelas Undunsyah.
Setelah semua disiapkan, baju-baju dan ijazah dikemas, Undunsyah lalu pamitan pada saudara dan neneknya untuk berangkat ke Samarinda. Waktu itu perjalanan dari Tarakan ke Samarinda biasa ditempuh dengan kapal laut reguler. Namun, karena uang pas-pasan, Undunsyah tidak bisa menumpang kapal tersebut.
“Saya menunggu ada tug boat yang berangkat dari Tarakan ke Samarinda. Memang cukup lama di perjalanan. Namun dengan naik tug boat, saya tidak perlu bayar alias gratis. Selain itu masih bisa makan gratis bersama anak buah kapal,” katanya bangga.
Tug boat yang ditumpangi Undunsyah waktu itu tengah menarik ponton bermuatan pasir. Rutenya tidak langsung ke Samarinda. “Kami ke Biduk-Biduk (Kabupaten Berau – red), baru kemudian ke Samarinda,” ungkapnya. Lama perjalanan menuju Samarinda mencapai lima hari lima malam. Waktu itu Undunsyah bersama tiga orang temannya (Usman, Mulyono dan Saleh) yang juga akan ke Samarinda hendak melanjutkan kuliah.
Selama dalam perjalanan, mereka terpaksa tidur di atas palka. Panas di siang hari dan dingin manakala malam tiba, membuat empat sekawan ini mabuk laut. “Luar biasa waktu itu. Kami berempat muntah-muntah. Sementara di tug boat tidak ada air untuk mandi,” ujar Undunsyah.
Dapat dibayangkan, saat tiba di Samarinda, bagaimana bau badan empat sekawan tersebut. Keringat bercampur muntahan ditambah tidak mandi selama lima hari lima malam.
Masalah belum tuntas setiba di Samarinda. Di ibukota Provinsi Kalimantan Timur itu, mereka tidak tahu hendak ke mana. “Untungnya juragan tug boat orang Samarinda dan dia mau mengantarkan kami ke Asrama Bulungan di Jalan Muso Salim. Waktu itu Jalan Muso Salim lebih dikenal dengan nama Jalan Banjar,” Undunsyah mengenang. Dia dan ketiga temannya dapat bernafas lega. Buat mereka bertiga, tinggal di Asrama Bulungan rasanya seperti berada di lingkungan keluarga sendiri.   
Pada awal kehadirannya di Asrama Bulungan itu, Undunsyah dan ketiga temannya mesti melewati masa orientasi. Misalkan wajib menaati jadwal piket dan hanya diperbolehkan tidur di musholla asrama. Kendati cukup berat menjalani kehidupan asrama, dia tetap berusaha menyiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi ujian seleksi masuk perguruan tinggi. “Selama di asrama, saya sempatkan diri mengikuti bimbingan tes belajar untuk masuk perguruan tinggi,” jelas Undunsyah.
Tibalah waktu pendaftaran masuk perguruan tinggi, Universitas Mulawarman (Unmul). Undunsyah mendaftarkan diri di dua fakultas. Pilihan pertama adalah Fakultas Pertanian dan, kedua, jatuh pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Dengan berbagai pertimbangan, terutama rasa ingin mengabdi kepada masyarakat Tana Tidung melalui pendidikan, Undunsyah akhirnya menjatuhkan pilihan Program Studi Bimbingan Konseling pada FKIP Unmul. “Cita-cita saya waktu itu cuma ingin menjadi seorang guru, agar bisa mengajar banyak orang menjadi lebih pintar,” ucap Undunsyah ihwal cita-citanya yang mengerucut pada pengabdian di dunia pendidikan.
Saat itu Program Pendidikan Bimbingan Konseling merupakan program yang baru dibuka di Unmul. Dan, Undunsyah tidak menemui kesulitan berarti untuk lolos seleksi. Setelah pengumuman penerimaan mahasiswa baru, nama Undunsyah dinyatakan lulus dan secara resmi diterima sebagai mahasiswa baru Unmul. Dia kemudian menghitung beragam kebutuhan untuk masuk dan memulai kuliah di universitas kebanggaan warga Kalimantan Timur itu.
Dari bekal uang yang dibawanya sebesar Rp220.000 dikurangi dengan berbagai kebutuhannya selama di Asrama Bulungan, bekal yang tersisa tinggal Rp165.000. Sisa uang itu dia gunakan buat membayar biaya pendaftaran, uang makan selama tiga bulan dan SPP dalam satu semester serta uang kontrak asrama selama satu tahun. “Sisanya waktu itu tinggal Rp2.300. Itulah yang kemudian saya gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama beberapa bulan,” papar Undunsyah.
Selama menjalani perkuliahan, keuangan Undunsyah tak jua membaik. Enam bulan sekali dia memperoleh kiriman uang dari keluarganya. Itupun cuma sebesar Rp15.000 per bulan. Dengan uang kiriman itu, Undunsyah masih saja makan sekali sehari. Padahal, masa itu, sepotong roti hanya dibanderol Rp100.
“Kalau sudah tidak punya uang, saya biasa berpuasa. Kalau tidak berpuasa, ya berpura-pura bertamu ke rumah teman, siapa tahu bisa diajak makan,” katanya penuh senyum di kulum.
Bagi Undunsyah, kesukaran tidak dianggap sebagai kendala permanen atau sebuah aral melintang, melainkan sebuah garis yang mesti dilampaui. “Kesulitan adalah suatu ukuran untuk kita bisa menjadi lebih besar,” ucap Undunsyah penuh kesungguhan.
Waktu terus melaju. Sepertinya Undunsyah demikian akrab dengan nestapa. Selama masa perkuliahan, dapat dikatakan Undunsyah tidak pernah punya uang lebih buat hura-hura. Manakala tak punya rupiah, Undunsyah bertandang ke rumah karib-kerabat dengan harapan ada makan gratis.
Seiring perjalanan sang waktu, rupanya kekuatan anak manusia itu berbatas. Undunsyah seolah menyerah. Dia lalu mencari cara ihwal bagaimana dapat memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan selama masa kuliah. Ya, paling tidak urusan makan dapat teratasi tanpa berpura-pura bertamu. Ketika itu dia berpikir, apapun bisa dikerjakan, yang penting dia bisa makan dan tidak merugikan orang lain.
Kebetulan kala itu di Asrama Mahasiswa Bulungan, Undunsyah kenal dengan salah satu keluarga yang dapat dikatakan cukup berpunya. Keluarga itu adalah keluarga Kamaruddin Abdullah –seorang pegawai di PT Pelindo yang juga tengah menyelesaikan perkuliahan di Unmul. Dia melihat Kamaruddin Abdullah bisa membantu namun Undunsyah tidak serta merta minta pertolongan begitu saja.
Untuk meraih pertolongan itu, Undunsyah menawarkan jasa  kepada Kamaruddin Abdullah menjadi tukang cuci dan tukang setrika di rumahnya. “Dia terkaget-kaget ketika saya bilang begitu. Tapi, karena saya serius, kemudian permintaan saya itu dia penuhi,” tutur Undunsyah. Dari pekerjaan yang ditekuninya selama dua tahun itulah, Undunsyah memperoleh uang makan.
Ya, pribadi-pribadi yang tengah mengupayakan kebesaran bagi dirinya dan orang lain akan tetap berfungsi maksimal kendati dalam keadaan sakit, tertekan dan penuh nestapa. Dia akan mengatakan, “The show must go on.

C. Guru Honorer yang Sempat Gagal Ujian
Sebagaimana halnya sebagian besar mahasiswa, selain menekuni bangku kuliah, waktu-waktu luang di sela-sela perkuliahan Undunsyah manfaatkan aktif di organisasi. Ketika itu, dia memilih bergabung dengan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Dalam pergaulannya di PMII, walau tidak sempat menjadi elit pimpinan, Undunsyah mengaku memperoleh banyak bekal dan pengetahuan menjadi seorang organisatoris. Dari organisasi ini pula kehidupan Undunsyah perlahan namun pasti mulai meretas jalan asa yang lebih berpengharapan.
“Ada teman satu organisasi yang merasa kasihan melihat tempat kos saya selepas dari Asrama Mahasiswa Bulungan. Kemudian dia mengajak saya mencari pemondokan baru yang lebih baik daripada tempat kos saya di kawasan Sungai Dama,” Undunsyah berkisah.
Di kawasan Sungai Dama, bersama tiga temannya, Undunsyah mengontrak sebuah kamar beratap seng berukuran 4x4 meter persegi tanpa plafon. Sebuah ruangan berukuran 4x4 meter persegi diisi empat anak manusia, laiknya satu orang memperoleh 1x1 meter persegi bagai kavling kuburan. Begitulah Undunsyah setiap kali berseloroh ihwal sepenggal jalan hidupnya di masa kuliah. Ditambah lagi kawasan yang terasa sesak padat mendekati kumuh. Saban hari mereka berempat memanfaatkan air Sungai Dama untuk berbagai keperluan sehari-hari. Sungguh getir nan pahit.
Di organisasi PMII pula Undunsyah memperoleh titian jalan untuk mencari pekerjaan sampingan di sela-sela kesibukan perkuliahan.
Rasa percaya diri Undunsyah termasuk cukup tinggi. Di masa itu, kendati masih baru menimba ilmu di FKIP Unmul, Undunsyah merasa yakin bahwa dirinya telah mampu mengajar. Ya, hitung-hitung praktik mengajar, mempraktikkan teori-teori yang diserap di bangku kuliah.
Dengan penuh keyakinan, Undunsyah memberanikan diri menjadi salah satu guru honorer di Yayasan Pendidikan Al Ma’arif Samarinda yang kala itu tengah membuka sekolah tingkat SD, SMP dan SMA. “Waktu itu saya menjadi guru honorer selama satu tahun tiga bulan. Cukup lumayan dan honornya bisa untuk tambah-tambah biaya kuliah,” ucapnya mengenang.
Aktivitas sampingan Undunsyah mempraktikkan ilmu yang diperolehnya di FKIP Unmul ternyata memberi angin positif terhadap prestasinya di kampus. Berkat keseriusan dan usahanya yang kuat, Undunsyah terpilih menjadi salah satu mahasiswa penerima beasiswa. “Saya menerima beasiswa ketika sudah memasuki semester lima perkuliahan. Jadi beasiswa itu saya pergunakan untuk membiayai Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan ujian seminar,” terang Undunsyah.
Setelah menuntaskan KKN, September 1986, Undunsyah mendapat kesempatan mengikuti ujian komprehensif. Sayangnya, nasib baik belum berpihak ke dirinya. Hasil nilai ujiannya ketika itu cuma meluluskan 80% mahasiswa Unmul, cuma dua orang yang berasal dari FKIP. “Saya sempat kecewa. Padahal saya sudah berusaha dan belajar secara maksimal, mengapa tidak lulus ya?” ucap Undunsyah sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tidak mau berlama-lama meratapi kegagalan ujian komprehensif, Undunsyah memutuskan pulang ke Tarakan. Pulang kampung kali ini, dia tidak terlampau kesulitan, tidak perlu lagi capek-capek naik tug boat. Dia masih memiliki sedikit sisa uang dari beasiswa.
Tapi, baru beberapa hari di Tarakan, dia memperoleh kabar dari Samarinda bahwa Unmul akan menyelenggarakan ujian komprehensif tahap kedua pada bulan November 1986. Undunsyah pun kembali ke kota di tepian Sungai Mahakam itu untuk mengikuti ujian komprehensif. Alhasil, dia mampu melewati ujian komprehensif kali ini tanpa aral yang berarti. Dia sukses memperoleh nilai kelulusan yang cukup baik.
Usai mengikuti ujian komprehensif dan ujian pendadaran, tanggal 2 Januari 1987, Undunsyah dinyatakan lulus bersama ratusan mahasiswa Unmul yang lain. Dan tanggal 7 Juni 1987 dia pun diwisuda sebagai sarjana  pendidikan. Setelah segala urusan tuntas, dia pun balik ke Tarakan.
Memahami perjalanan dirinya selama kuliah di FKIP Unmul, dia menyadari betul bahwa kesabaran itu demikian penting. Kesabaran itu bagai sebatang pohon pepaya. Akar, pohon dan daunnya memang pahit, namun buahnya –bilamana telah matang— terasa manis. Sebab itu, tutur Undunsyah, “Bersabarlah menunggu waktu sampai buah pepaya matang di pohon. Bersabarlah dalam menghadapi setiap ujian kehidupan. Bersabarlah demi sesuatu yang baik. Kelak kita akan menemui ujung kehidupan yang manis.”
Keheningan dan kesulitan terkadang memiliki makna religius yang teramat dalam. Keduanya mengajarkan hidup tanpa perlu bertutur. Dengan kesabaran menghadapi keduanya, Undunsyah mampu memahami arti hidup yang sesungguhnya.
Tiba kembali di Tarakan, Undunsyah tak tinggal diam. Bekal ijazahnya sebagai sarjana pendidikan menjadi modal yang cukup buat melakoni perjalanan hidup selanjutnya. Berkat ikhtiarnya yang tiada henti hendak mewujudkan cita-citanya, Undunsyah memperoleh tawaran mengajar di Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri (SMEAN) Tarakan. Tanpa menghadapi hambatan yang berarti, dia diterima sebagai tenaga pengajar di SMEA Negeri Tarakan yang sampai sekarang masih menjadi sekolah favorit dan unggulan. Cita-cita yang diimpikannya sedari kecil tak lekang dimakan zaman, didapatkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Guna memantapkan posisi dan karirnya di dunia pendidikan, Undunsyah mengikuti ujian calon pegawai negeri sipil (CPNS). Kemudian, jalan menuju sukses terbuka pula pada tanggal 1 Maret 1988 setelah dia dinyatakan lulus ujian. Dan mulai saat itu dia resmi menjadi PNS. Tugas resmi dari pemerintah yang diembannya adalah menjadi guru tetap di SMEA Negeri Tarakan yang saat itu dipimpin oleh H. Abdussamad.
Kerja keras dan taktis tidak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup anak manusia bernama Undunsyah ini. Serta merta karirnya pun cukup mengkilap. Di sela-sela mengajar di SMEA Negeri Tarakan, dia masih menyempatkan diri mengajar di beberapa sekolah di Kota Tarakan. Antara lain SMP Muhamadiyah, SMP Fajar, SPG Filial Tarakan dan SPK Tarakan. Tanpa disadarinya, sosok guru Undunsyah mulai dikenal banyak orang,
Tahun 1995, Undunsyah masuk ke jajaran staf Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Tarakan sebagai pelaksana harian (Plh) penilik Dikbud untuk wilayah kerja Tarakan, Bunyu dan Nunukan. Jabatan itu dia jalani selama enam bulan penuh suka cita.
Pada 1997, H. Saderi selaku Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan (Kakandepdikbudcam) Tarakan memasuki masa pensiun. untuk mengisi kekosongan kursi jabatan, Undunsyah diangkat menjadi Pelaksana Harian Kakandepdikbud Kecamatan Tarakan. Padahal seharusnya dia sudah didefinitifkan menjadi Kepala Kandepdikbud Kecamatan Tarakan. Lantaran ada peraturan yang membatasi, jabatan Kepala Kandepdikbud Kecamatan Tarakan batal dijabatnya.
“Waktu itu ada perubahan peraturan pendidikan, membuat saya tidak bisa dilantik. Seingat saya yang dilantik menduduki jabatan itu adalah Dede Sulaiman,” jelas Undunsyah dalam satu perbincangan khusus. Dia tidak lantas bermuram durja atau bermuka masam. Dia menerima keputusan penuh keikhlasan dan kesabaran.
Kisah Undunsyah berkarir di dunia pendidikan nyaris tidak pernah surut. Sampai suatu hari, dia kembali menjalani keseharian sebagai guru biasa di SMEA Negeri Tarakan. Walau demikian aktivitas dan kesibukan Undunsyah tak pernah berkurang, hingga suatu ketika dia ditawari untuk memimpin SMA Mulawarman yang tengah berada di ambang keambrukan.
Kepercayaan itu dibalas Undunsyah dengan unjuk kerja keras. Dia singsingkan lengan baju demi keselamatan sekolah swasta ini dari jurang penutupan. Pada awal kepemimpinannya di SMA Mulawarman pada tahun 1997, status SMA  itu diturunkan dari terakreditasi diakui menjadi terdaftar. Keadaan ini menjadi beban yang cukup berat buat diemban Undunsyah.
Kerja keras Undunsyah selama dua tahun kemudian berbuah manis. Status SMA Mulawarman naik dari TERDAFTAR menjadi TERAKREDITASI DIAKUI. Dan tanpa dikomando, para pendiri SMA Mulawarman ‘angkat topi’ mengapresiasi kinerja Undunsyah.
Selain mampu mengembalikan status SMA Mulwarman, berkat kerja cerdas seorang Undunsyah mampu mengubah SMA Mulawaran dari semula sebagai sekolah ‘buangan’ menjadi sekolah yang cukup dipandang oleh warga Kota Tarakan. “Alhamdulillah pada ujian akhir nasional (UAN) tahun 2000, siswa-siswa anak didik kami lulus 100 persen,” ujarnya penuh rasa bangga. Goresan ‘tinta emas’ itu semakin mengokohkan Undunsyah untuk memimpin sekolah itu sampai tahun 2006.
Terdapat satu kunci sukses yang menjadikan kinerja Undunsyah mengkilap, yaitu bekal keyakinan atau rasa percaya diri. Undunsyah berpendapat bila orang berpegang pada keyakinan yang kuat maka hilanglah kesangsian dan bila orang terus dihantui kebimbangan maka hilang pula rasa percaya diri.

D. Kepak Sayap di Organisasi
Bertemanlah sebanyak-banyaknya yang dapat membantu, mengembangkan potensi, memberi nasehat, dan menolong pada masa sulit. Seiring dengan waktu yang terus melaju, pola pikir dan wawasan Undunsyah terus berkembang. Dia mulai berpikir dan bermimpi, bagaimana caranya dengan ilmu yang dimilikinya akan bermanfaat bagi semakin banyak orang. Undunsyah menyadari betul langkah yang mesti ditempuh. “Cara untuk menjadi di depan adalah dimulai dari sekarang. Mengapa? Karena tahun depan kita akan tahu banyak hal yang sekarang ini tidak kita ketahui. Dan kita tak akan mengetahui masa depan jika kita hanya menunggu,” ujarnya mantap.
Untuk mengejawantahkan ucapan itu, Undunsyah mulai aktif di beberapa organisasi kepemudaan. Antara lain Angkat Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Berkat etos kerja yang melekat kuat dalam dirinya, tidak mengherankan bila beragam jabatan strategis dalam organisasi digenggamnya. Mulai dari Sekretaris Bidang, Sekretaris Umum sampai Wakil Ketua dan Ketua. Guna menambah jam terbangnya di organisasi, dia pun ‘menceburkan’ diri aktif di sebuah organisasi politik. “Itu zamannya PNS masih boleh terjun ke partai politik,” tuturnya.
Ya, semua bermula dari sebuah mimpi dan keyakinan memiliki potensi dan kualitas diri yang baik. Pemimpilah yang senantiasa menciptakan dan membuat sebuah terobosan dalam menuju kesuksesan. Undunsyah tak mengenal batas, keterikatan dan kata ‘tidak bisa’ ataupun ‘tidak mungkin’. Semua dia jalani dengan ketekunan, fokus dan selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
E. Karir di Pemerintah Kota Tarakan
Penggalan kisah suksesUndunsyah di SMA Mulawarman menjadikan namanya semakin dikenal di kalangan birokrat dan tokoh masyarakat. tak mengherankan jika dia memiliki kedekatan dengan motor pendiri dan penggerak SMA Mulawarman dr. Jusuf Serang Kasim, yang saat itu menjabat Walikota Tarakan. Tahun 2001, Undunsyah pun dipercaya menjadi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tarakan. Itu semua lantaran Undunsyah memiliki nilai rekam jejak yang baik dalam bekerja. Ya, lumayan lama dia menjalani jabatan itu.
Di saat menjadi pejabat teras di Kota Tarakan itulah, ide mencetuskan Kabupaten Tana Tidung (KTT) mulai muncul ke permukaan. Bersama Drs. Ibrahim Adam Msi, dia berusaha merealisasikan ide tersebut. Bahkan, akibat kesibukan mengurus pembentukan KTT itu Undunsyah memilih untuk ditempatkan pada jabatan staf ahli.
Di tengah perjuangan membentuk KTT, Undunsyah mulai melakukan improvisasi. Hasilnya, dia kembali memperoleh jabatan strategis di Pemkot Tarakan sebagai Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Tarakan. Bak seorang raja midas, dia kembali beraksi. Berkat kinerja dan kepemimpinannya ‘bertangan dingin’, prestasi PDAM terus membaik. Dan hal ini membuat Walikota Tarakan Dr. Jusuf SK memberikan amanah lebih berat lagi sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan.
Diakuinya, posisi sebagai Kepala Dinas Pendidikan merupakan sebuah jabatan yang cukup diperhitungkan. “Apalagi dengan kompleksitas masalah pendidikan yang dihadapi Kota Tarakan, membuat peran dinas ini cukup berat,” katanya penuh senyum.
Dinas Pendidikan yang acap dijuliki ‘dinas raksasa’ itu terus menunjukkan kemajuan selama di bawah kepemimpinan Undunsyah. Antara lain terlaksananya Ujian Akhir Nasional (UAN) tanpa kekurangan, serta berjalannya program Sekolah Internasional yang dicanangkan Pemkot Tarakan. Belum lagi prestasi-prestasi lain yang sempat ditorehkannya. Baik dari kalangan pendidik maupun siswa-siswa dari Kota Tarakan dalam berbagai even nasional dan internasional.
Lagi-lagi bicara bicara soal keyakinan dan rasa percaya diri yang membuat Undunsyah menerima dan menghadapi tantangan. Di sela-sela kesibukannya sebagai orang nomor satu di Kabupaten Tana Tidung, dia mengatakan, “Kita bisa sukses sekalipun tak orang yang percaya pada kita bahwa kita bisa sukses. Tapi kita tak akan pernah sukses kalau kita sendiri tidak pernah percaya pada diri sendiri.”

F. Membangun dan Membina Keluarga
Tidak seberapa lama setelah memperoleh surat keputusan pengangkatan dirinya menjadi PNS pada 1 Maret 1988, Undunsyah memutuskan mengakhiri masa lajangnya. Sekitar bulan Juni 1988, Undunsyah mempersunting Umi Suhartini --wanita pujaan hatinya yang juga seorang guru. Umi Suhartini adalah salah muridnya sewaktu Undunsyah mengajar di SMEA Negeri Tarakan. Dari pernikahaannya dengan Umi Suhartini kini Undunsyah dikaruniai tiga orang anak yang telah beranjak dewasa.
Keluarga pasangan Undunsyah – Umi Suhartini berjalan harmonis, baik saat membesarkan anak-anak maupun dalam menjalai karir. “Mungkin karena kami sama-sama pendidik. Jadi gaya pendidik itu terbawa sampai ke rumah, termasuk dalam pola mengasuh anak-anak,” jelas Undunsyah.
Peran kuat dorongan seorang isteri demikian dirasakan Undunsyah terutama ketika dirinya mulai meretas jalan membangun Kabupaten Tana Tidung. Bahkan, dari isterinya pula, Undunsyah mematangkan inisial pasangan caon bupati dan calon wakil bupati saat maju ke Pilkada Kabupaten Tana Tidung tahun 2010.
Umi pun mampu mengantarkan sang suami Undunsyah menjadi orang pertama di Kabupaten Tana Tidung. Kendati Undunsyah dikelilingi oleh banyak pemikir namun buah pikrian sang isteri tetap sangat diperhatikannya. Misalkan tatkala mencetuskan inisial pasangan Undunsyah-Markus. “Banyak yang memberikan masukan soal ide inisial itu. Ada yang mengusulkan menggunakan inisial UMAR (Undun-Markus) dan beberapa inisial yang lain,” jelas Undunsyah.
Undunsyah merasa  lebih sreg dan pas dengan inisial yang diciptakan isterinya, yakni Yu-Mark. “Inisial itu resmi pemberian isteri. Nama saya memang Undunsyah. Namun d kalangan masyarakat Tidung, saya kerap disapa Yundun. Itu pula yang menjadi pertimbangan isteri mengganti inisial menjadi Yu-Mark,” terang Undunsyah.
Undunsyah betul-betul bersyukur beristerikan Umi Suhartini yang dijumpai kali pertama di perkuliahan dulu. Dia merasa pas menjatuhkan pilihan pada Umi Suhartini yang kini cukup berhasil mendidik tiga anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa. Dan pilihan itu terasa tepat karena Undunsyah memberikan kepercayaan penuh kepada Umi Suhartini. ***

No comments:

Post a Comment