Sistem komunikasi antar-personal sangat efektif untuk mempengaruhi sikap
komunikan yang diinginkan oleh komunikator. Untuk
memperoleh hasil yang diharapkan maka dalam proses komunikasi harus ada
kesamaan antara
komunikan dengan komunikator. Sebagaimana dikatakan oleh Evert M. Rogers dalam teori Homophily, bahwa
Homophily adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan tingkat di
mana pihak yang
berinteraksi memiliki kesamaan dalam beberapa hal, antara
lain kepercayaan, pendidikan,
status sosial, dan kepentingan.
Apabila di pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi
sudah terbentuk kesamaan, selanjutnya untuk mencapai komunikasi yang efektif, maka pesan yang akan disampaikan komunikator haruslah cocok
dengan frame of reference, yakni pengalaman dan pengertian yang pernah didapat
komunikan. Seperti apa yang pernah disampaikan Wilbur Schramm bahwa kondisi yang harus dipenuhi
apabila kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita
kehendaki maka haruslah memenuhi syarat sebagai berikut:
·
Pesan
harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik
perhatian komunikan.
·
Pesan
harus menggunakan lambang-lambang tertuju pada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan sehingga sama-sama mengerti.
·
Pesan
mesti
mampu membangkitkan kebutuhan
pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan
sendiri.
·
Pesan
harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan yang layak bagi
situasi kelompok di mana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.
Dari hal-hal tadi, pada saat akan memulai komunikasinya, seorang komunikator harus memperhatikan
semua faktor tersebut, selain juga harus pandai berempati dengan komunikannya. Syarat
ini mutlak harus dipenuhi oleh komunikator apabila ia menginginkan komunikasi berjalan lancar, efektif dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Kemudian yang penting pula dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan komunikator
itu menimbulkan dampak atau efek tertentu terhadap komunikan. Dampak itu sendiri
dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yaitu dampak kognitif, dampak yang
timbul pada komunikan yang menyebabkan komunikan menjadi tahu atau meningkat
intelektualnya. Kemudian dampak afektif, yaitu dampak yang lebih tinggi
daripada dampak kognitif, di sini diharapkan komunikan sampai tergerak hati.
Dan dampak behavioral, dampak yang
timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan.
Sedangkan
komunikasi kelompok (group communication)
termasuk komunikasi tatap muka, karena komunikator dan komunikan berada dalam
situasi saling berhadapan dan saling intensif melihat. Komunikasi kelompok
adalah komunikasi dengan sejumlah komunikan. Karena jumlah komunikan itu menimbulkan
konsekuensi. Jenis ini diklasifikasikan menjadi kelompok kecil dan kelompok
besar.
Dasar
pengklasifikasian ini bukan dihitung secara matematis, melainkan kesempatan
komunikan dalam penyampaian tanggapanya. Komunikan kelompok kecil bersifat
rasional, komunikan dalam menghadapi persoalan lebih menggunakan pikiran
daripada perasaan. Tetapi kelompok besar lebih bersifat emosional, lebih-lebih
jika komunikannya heterogen, beragam dalam usia, pekerjaan, pendidikan, agama,
pengalaman, dan sebagainya. Dalam situasi seperti ini biasanya terjadi wabah
mental.
Komunikasi
personal atau antar-personal dapat saja berlangsung dalam komunikasi kelompok.
Hal ini mengacu pada pendapat Riyono Pratikno (1997: 58), bahwa komunikasi
kelompok adalah interaksi tatap muka dari tiga individu atau lebih dengan
tujuan yang sudah diketahui sebelumnya, seperti berbagi informasi, pemecahan
masalah, yang anggota-anggotanya dapat mengingat karateristik anggota lainnya.
Komunikasi
kelompok merupakan komunikasi tatap muka yang jumlah anggota-anggotanya
terbatas dan komunikator dapat melakukan komunikasi antar-pribadi dengan
anggota kelompoknya dan bertatap muka secara intensif dengan komunikannya. Efek
komunikasi ini berhubungan dengan persepsi terhadap komunikatornya.
Untuk
memperjelas pemahaman kita tentang komunikasi personal, dapatlah kita
bandingkan dengan komunikasi massa yang bertumpu pada konsep komunikasi
bermedia (mediated communication). Ada
perbedaan esensial di antara keduanya. Dalam komunikasi interpersonal, kontak
tatap muka itu memungkinkan adanya hubungan langsung di antara komunikator dan
komunikan. Sedangkan pada komunikasi bermedia ada perantaraan --seperti surat
kabar harian, majalah, buku, pesawat televisi, atau radio-- antara sumber dan
penerima pesan. Konsekuensinya, sumber pesan (pengarang, produser, pembuat
berita dan sebagainya) tetap tinggal sebagai sebuah sumber yang berada di luar
jangkauan komunikan. Mereka tidak saling membagi kombinasi peran sumber dan
penerima sebagaimana bilamana mereka melakukan komunikasi personal. Orang pun menyimpulkan
bahwa komunikasi interpersonal dan komunikasi massa merupakan proses fenomena
yang berlainan secara fundamental.
Kemudian
untuk menunjukkan karakteristik perbedaan antara komunikasi interpersonal dan
komunikasi bermedia (massa) dapat disimak pada tabel berikut:
Tabel 8.1
Perbedaan Komunikasi Interpersonal
dan Komunikasi Bermedia
Karakteristik
|
Saluran
interpersonal
|
Saluran
media massa
|
|
Cenderung 2 arah
Tatap muka
Tinggi
Relatif lambat
Perubahan sikap
|
Cenderung serarah
Melalui media
Rendah
Relatif cepat
Penambahan
pengetahuan
|
Sumber:
(Eduard Depari, 1996:16)
Mengacu
pada tabel di atas bahwa dalam komunikasi interpersonal, yang menjadi saluran
maupun sumber komunikasi adalah pemrakarsa komunikasi. Saluran media massa
adalah semua alat penyampai pesan-pesan yang melibatkan mekanisme untuk
mencapai audience yang luas dan tidak
terbatas. Surat kabar, radio, film dan televisi merupakan alat yang
memungkinkan sumber informasi menjangkau audience
dengan jumlah yang besar dan tersebar luas.
Sedangkan
teori yang menunjukkan karakteristik (kelebihan/kekurangan) komunikasi bermedia
dan komunikasi interpersonal, adalah sebagai berikut:
·
Teori peluru/jarum suntik. Teori ini
dibangun berdasarkan anggapan bahwa media massa merupakan senjata yang ampuh buat
menembakkan peluru kepada sasarannya. Akibat tindakan ini dapat dirasakan secara
langsung oleh sasaran tindakan tersebut. Hal ini sama dengan teori jarum suntik
yang juga dibangun atas dasar anggapan bahwa audience media massa mempunyai pengaruh terhadap audience secara langsung, segera dan
sangat menentukan.
Teori
peluru dan teori jarum suntik ini menganggap audience bersikap pasif serta tidak mampu berpikir lain, secara otomatis
terikat pada kelompok walaupun terikat pada media massa.
·
Teori Pencarian Informasi. Teori ini
berfokus pada perilaku pencarian informasi oleh seseorang dan berusaha untuk
mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut. Dengan
demikian teori ini memindahkan fokus penelitian dari komunikator/pesan kepada
penerima.
Dengan
melihat kedua teori tersebut, dapat dijelaskan bahwa teori jarum suntuk atau
teori peluru merupakan teori yang berkaitan dengan model komunikasi bermedia.
Media dianggap sebagai senjata yang ampuh untuk memberikan informasi pada
komunikan, sehingga diharapkan komunikan akan bertambah pengetahuan setelah
mengetahui informasi yang disampaikan melalui media tersebut.
Sedangkan
teori pencarian informasi merupakan teori yang berkaitan dengan model
komunikasi interpersonal, misalkan petani aktif mencari informasi dan bertukar
informasi dengan sesama petani lainnya mengenai masalah-masalah pertanian. Diharapkan,
dengan bertambahnya pengetahuan mereka, maka akan dapat memperoleh hasil
pertanian yang lebih meningkat.
Menurut
Lunandi (1994),
ada empat aspek yang mempengaruhi komunikasi interpersonal, yaitu citra diri (self-image), citra pihak lain (the image of the others), lingkungan fisik, dan lingkungan sosial.
Bagaimana penjelasan keempat aspek
tersebut? Kita mulai dari citra
diri (self-image). Setiap manusia mempunyai gambaran tertentu mengenai dirinya, status
sosialnya, kelebihan dan kekurangannya. Gambaran itulah yang menjadi penentu
bagi apa yang dilihatnya, didengarnya, bagaimana penilaiannya terhadap segala
yang berlangsung di sekitarnya. Dengan kata lain, citra diri menentukan
ekspresi dan persepsi orang. Manusia belajar menciptakan citra diri melalui
hubungannya dengan orang lain, terutama manusia lain yang penting bagi dirinya.
Seperti ayah-bunda, guru, dan atasan. Melalui kata-kata ataupun komunikasi tanpa kata (perlakuan, pandangan mata
dan sebagainya) dari orang lain ia mengetahui apakah dirinya dicintai ataukah dibenci, dihormati ataukah diremehkan, dihargai ataukah direndahkan. Citra diri sebagai seseorang yang lemah
akan terlihat pada komunikasinya dengan orang lain. Sukar berbicara bebas,
sulit mengatakan isi hati dan pikiran, ataupun yang terjadi sebaliknya.
Lalu citra pihak lain (the image of
the others). Selain citra diri,
citra pihak lain juga menentukan cara dan kemampuan orang berkomunikasi. Pihak
lain, yakni orang yang diajak berkomunikasi, mempunyai gambaran khas bagi
dirinya. Kadang dengan orang yang satu
komunikasi berjalan lancar, jelas, dan tenang. Dengan orang yang lain
lagi tahu-tahu jadi gugup, sukar
menemukan kata-kata
yang tepat dan bingung. Ternyata pada saat berkomunikasi itu dirasakan campur
tangan ataupun umpan balik antara citra diri dan citra pihak lain.
Selanjutnya lingkungan fisik. Faktor ini punya pengaruh terhadap komunikasi. Bagaimana juga orang yang suka berteriak pada waktu berada di rumah
sendiri, ia lebih banyak berbisik di tempat beribadah. Sekalipun orang diajak
berkomunikasi itu sama (misal anak sendiri). Di tempat kerja, ia berkomunikasi
dengan gaya lain. Memang tingkah laku manusia berbeda dari suatu tempat ke tempat
yang lain. Karena setiap tempat mempunyai norma sendiri yang harus ditaati.
Dan lingkungan sosial. Lingkungan sosial merupakan proses
komunikasi yang terjadi pada situasi ataupun orangnya. Situasi atau orang yang berbeda akan menyebabkan terjadinya proses komunikasi
yang berbeda pula. Pakaian, tingkah laku dan bahasa pada jamuan para cendekiawan di hotel besar tentu tidak sama dengan yang
dipakai pada pesta pernikahan pembantu rumah tangga di kampung. Perlu dikemukakan,
sebagaimana lingkungan (fisik dan sosial) mempengaruhi tingkah laku dan cara
berkomunikasi, setiap orang harus memiliki kepekaan terhadap lingkungan tempat
berada, memiliki kemahiran untuk membedakan lingkungan yang satu dengan lingkungan yang
lain.
Amat penting bagi kita untuk memahami garis-garis atraksi dan penghindaran dalam
sistem sosial agar mampu diramalkan dari mana pesan akan muncul, kepada siapa pesan itu akan
mengalir dan lebih dalam lagi bagaimana pesan akan diterima. Berarti dengan mengetahui
siapa tertarik kepada siapa atau siapa menghindari siapa, seseorang dapat
meramalkan arus komunikasi interpersonal yang akan terjadi. Semakin seseorang
tertarik kepada orang lain bertambah besar kecenderungan seseorang berkomunikasi dengan orang
tersebut. Kesukaan kepada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang
disebut sebagai atraksi interpersonal.
Sebagai seorang komunikator kita tentu
berharap dapat memperoleh kepercayaan dari komunikan dalam komunikasi
interpersonal. Philip Kotler
(2000) menjelaskan adanya tiga faktor yang melandasi kredibilitas komunikator,
yaitu:
·
Keahlian.
Keahlian merupakan kemampuan khusus yang dimiliki oleh
komunikator untuk mendukung pesan yang disampaikan.
Contoh, apabila seorang akunting membicarakan masalah keuangan
perusahaan akan lebih dipercaya dibandingkan yang berbicara adalah bagian
humas.
·
Kelayakan untuk dipercaya.
Kelayakan untuk dipercaya berkaitan dengan anggapan atas
tingkat obyektivitas dan kejujuran sumber pesan itu. Teman lebih dipercaya
dibandingkan orang yang belum dikenal, dan orang yang tidak dibayar untuk
merekomendasikan sesuatu dianggap lebih dapat dipercaya ketimbang orang yang dibayar.
·
Kemampuan untuk disukai.
Kemampuan untuk disukai menunjukkan daya tarik sumber di
mata komunikan. Sifat-sifat seperti terus terang, humoris, dan apa adanya
membuat komunikator lebih disukai.
Kelayakan
untuk dipercaya adalah paling utama dari ketiga hal tersebut. Bila seseorang memiliki sikap yang positif terhadap
komunikator dan pesan, atau sikap yang negatif terhadap keduanya, maka
terjadilah keadaan yang dinamakan keadaan kongruen. Perubahan sikap akan
terjadi searah dengan bertambahnya jumlah kesesuaian antara kedua evaluasi
tersebut. Prinsip kongruen menjelaskan bahwa komunikator dapat menggunakan
citra baiknya untuk mengurangi sikap negatif terhadap suatu pesan tetapi dalam
proses tersebut komunikator mungkin kehilangan penghargaan dari komunikan.
Teknik-teknik komunikasi
Dalam melakukan komunikasi interpersonal
terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan agar komunikasi berlangsung secara
efektif. Menurut De Vito (1997), agar komunikasi berlangsung secara efektif,
beberapa teknik yang harus diperhatikan oleh para pelaku komunikasi
interpersonal tersebut, antara lain:
a.
Keterbukaan (openness).
Keterbukaan
dapat dipahami sebagai keinginan untuk membuka diri dalam rangka berinteraksi
dengan orang lain. Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari
komunikasi, yaitu komunikator harus terbuka pada komunikan demikian pula
sebaliknya; kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus
yang datang; dan mengakui perasaan, pikiran serta mempertanggung-jawabkannya.
b.
Empati (Emphaty).
Empati
didefinisikan oleh Henry Backrack (1976) sebagai kemampuan untuk merasakan
hal-hal yang dirasakan orang lain. Hal ini termasuk salah satu cara untuk
melakukan pemahaman terhadap orang lain. Langkah pertama dalam mencapai empati
adalah menahan godaan untuk mengevaluasi, menilai, menafsirkan, dan mengkritik.
Langkah kedua dengan mencoba mengerti alasan yang membuat orang itu memiliki
perasaan tersebut. Ketiga, mencoba
merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain dari sudut pandangnya. Empati
dapat dikomunikasikan secara verbal ataupun non-verbal.
c. Sikap mendukung (supportiveness).
Dukungan meliputi tiga hal. Pertama, descriptiveness, dipahami sebagai lingkungan yang
tidak dievaluasi menjadikan orang bebas dalam mengucapkan perasaannya
dan tidak defensif, sehingga orang tidak malu dalam mengungkapkan
perasaannya dan tidak akan merasa bahwa dirinya dijadikan bahan kritikan secara
terus-menerus.
Kedua, spontanity, dipahami
sebagai kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara spontan dan mempunyai
pandangan yang berorientasi ke depan, yang mempunyai sikap terbuka dalam
menyampaikan pemikirannya. Ketiga, professionalism dipahami
sebagai kemampuan untuk berpikir secara terbuka (open minded).
d. Sikap Positif (positiveness).
Sikap positif dalam komunikasi berarti bahwa kemampuan
seseorang dalam memandang dirinya secara positif dan menghargai orang lain.
Sikap positif tidak dapat lepas dari upaya mendorong menghargai keberadaan
serta pentingnya keberadaan orang lain. Dorongan positif umumnya berbentuk pujian
atau penghargaan, dan terdiri dari perilaku yang biasanya kita harapkan.
d. Kesetaraan (equality).
Tidak akan pernah ada dua orang yang sama-sama setara
dalam semua hal. Komunikasi akan efektif apabila suasananya setara. Artinya,
harus ada pengakuan dari kedua belah pihak sama-sama berharga dan ada sesuatu
yang akan disumbangkan. Kesamaan dalam suatu komunikasi akan menjadikan suasana
komunikasi yang akrab. Sebab, dengan tercapainya kesamaan, kedua belah pihak --baik komunikan maupun komunikator-- akan berinteraksi secara nyaman.
Apabila di dalam suatu hubungan terdapat kesetaraan, maka ketidak-sepakatan serta konflik dipandang sebagai upaya untuk
lebih memahami perbedaan, tidak untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak berarti menerima
semua perilaku verbal dan non-verbal pihak lain melainkan memberikan “penghargaan
positif tak bersyarat”.
Manakala kita mampu menerapkan kelima
teknik komunikasi interpersonal tersebut, maka kita tidak akan mengalami
kesulitan untuk melakukan komunikasi interpersonal yang efektif. Kemampuan ini
pun akan menjadi salah satu modal kita untuk dapat secara efektif berkomunikasi
dalam organisasi. ***
No comments:
Post a Comment