·
Kisah Veteran Pasca Kemerdekaan: Peltu Mar
(Purn) NRP 19203 Supono
Kemerdekaan Negara
Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 silam. Kemerdekaan yang ditandai dengan
pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang sekaligus
didaulat sebagai presiden dan wakil presiden pertama Indonesia. Namun,
proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Bapak Proklamator Indonesia itu, bukan
berarti mengakhiri seluruh peperangan di tanah air.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya,
Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat
Pulau Papua. Namun, pihak Belanda yang sudah dikalahkan di medan perang, tetap
menganggap wilayah Papua Barat – dulu disebut Irian Barat – masih menjadi salah
satu wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai
persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada
1970-an.
Namun, pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua
menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Kemelut ini
kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum
internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia
tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju
bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.
Pada Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian
barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia
mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke
Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia
menolak. Penolakan Indonesia disertai gencatan senjata untuk mempertahankan
Papua Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia dikenal dengan Operasi Tri
Komando Rakyat (Trikora) dengan membentuk Komando Mandala yang dipimpin Mayor
Jendral Soeharto.
Gencatan senjata yang berlangsung sekitar 2 tahun itu,
juga melibatkan prajurit yang bernama Supono yang kini tercatat sebagai salah
satu veteran di Bumi Batiwakkal – sebutan Kabupaten Berau. Pria yang kala itu
masih berusia 20 tahun sudah harus mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan
kedaulatan Republik Indonesia di Papua Barat. “Setiap perang, pasti ada
pengorbanan. Jadi setiap di medan perang, itu antara hidup dan mati saja.
Makanya setiap sebelum berangkat perang, yang menjadi doa
kita cuma satu, berangkat selamat, pulang dengan kemenangan juga selamat,” kata
Supono, sedikit berkisah tentang pengalamannya di medan perang. Itu adalah awal
karier perjuangan Supono melawan penjajah. Pria yang saat ini berusia 70 tahun,
kini hidup sangat sederhana di rumah semi permanen bersama anak dan istrinya di
Jalan dr Murjani II, Tanjung Redeb.
Pria yang terakhir berpangkat Peltu Mar (Purn) NRP 19203
dengan jabatan Harwat Yon Ranratfibmar, TNI Angkatan Darat, ini juga tercatat
sebagai Sekretaris Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Berau. Selesai
melaksanakan tugas di Papua Barat, Supono langsung dikirim mengikuti operasi
Detap III tahun 1964, tahun 1965 kembali ditugaskan dalam Operasi Penegak dan
Operasi Dwikora di Riau, hingga Operasi Seroja di Timor-Timur tahun 1975 dan
tahun 1976.
Untuk menghargai perjuangannya, Supono juga banyak
menerima tanda jasa dari setiap peperangan yang diikutinya. Lalu, apa yang
menjadi harapannya pada peringatan Hari Kemerdekaan ke-68 RI kali ini? Generasi
muda menjadi harapannya. Maksud dia, kebesaran sebuah bangsa pasca kemerdekaan
saat ini, sangat bergantung pada kualitas generasi mudanya. “Kalau sekarang
moral anak-anak muda kita rusak, siapa yang akan jadi pemimpin kita nanti,”
ujarnya.
Untuk soal perhatian kesejahteraan dirinya dan
teman-teman seperjuangannya, tunjangan sebesar Rp 2,5 juta per tahunnya,
dinilai sudah lebih dari cukup, sebagai bentuk perhatian Pemkab Berau terhadap
veteran-veteran sepertinya. “Alhamdullilah, sekarang sudah naik, sudah jadi Rp 2,5
juta setahun. Ya, kita terima kasihlah, karena dibanding tahun sebelumnya hanya
Rp 500 ribu setahun, ini sudah ada peningkatan,” terang dia. Namun, satu hal
yang sangat disayangkannya adalah, saat melihat teman seperjuangannya
dikebumikan di salah satu tempat pemakaman umum (TPU) di Berau.
“Itu saja permintaan kita, supaya bisa dimakamkan di
Makam Pahlawan. Soalnya, saya sedih sekali melihat Pak Wiyanto (Veteran
lainnya, Red) hanya dimakamkan di makam biasa. Mana bentuk penghargaan kita
untuk orang tua ini yang sudah berjuang melawan penjajah. Apa makam pahlawan
itu bukan untuk veteran seperti kita?” katanya, tanpa bisa menahan air matanya,
mengenang jasa-jasa sahabatnya yang kini telah berpulang dan dimakamkan di TPU
warga biasa.(www.kaltimpost.co.id)
No comments:
Post a Comment