Saturday, March 16, 2013

Prasasti Batutulis, Penghormatan Anak Terhadap Orangtua


Prasasti Batu Tulis ini terletak di tepi Jalan Batutulis, namun agak susah dikenali karena bentuknya mirip dengan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Sepintas malah mirip dengan semacam kantor RT atau RW atau sejenis kantor emerintah lainnya.

Terlebih lagi Jalan Batutulis ini tergolong sebagai jalur yang padat, karena jalur tengah yang menghubungkan antara Kota Bogor, Cihideung dan Sukabumi. Bahkan, pada jam-jam tertentu dan akhir pekan lebih sering macet. Hal ini juga yang membuat orang malas untuk berkunjung ke situs ini.
Apalagi bentuk bangunan rumahnya yang biasa, dengan tempat kecil ukuran 5X5 meter, semakin kurang menarik perhatian para pengunjung yang lewat. Papan namanya pun searah dengan jalan, sehingga kalau memacu kendaraan secara cepat, niscaya papan nama yang menunjukkan keberadaan prasati tersebut tidak akan terlihat.

Bicara Prasasti Batutulis, tentunya tak bisa lepas dari sejarah kota Bogor. Terletak di Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor, lokasi ini ratusan tahun yang lalu merupakan tempat yang hening, sepi dan berkabut. Sehingga, dengan alasan itu pulalah dibuat parasasti di tempat ini.

Scipio, seorang ekspedisi Belanda yang ditugaskan untuk membuka daerah pedalaman Jakarta, melukiskan betapa hormat dan khidmatnya mereka (orang pribumi dalam rombongan ekspedisi), menghadapi situs Batutulis sampai mereka berani melarang Scipio yang merupakan pimpinannya menginjakkan kaki ke dalamnya karena ia bukan orang Islam. Jelas sekali mereka menganggap tempat itu "keramat". Karena, di situ, menurut mereka, terletak tahta atau singgasana raja Pajajaran. Dengan keyakinan seperti itu, bila pada saat mereka pertama kali menemukan tempat tersebut lalu melihat seekor atau beberapa ekor harimau keluar dari dalamnya, mereka tidak akan menganggapnya sebagai hewan biasa.

Menurut catatan sejarah, prasasti itu dibangun tahun 1533 oleh Prabu Surawisesa, sebagai peringatan terhadap ayahandanya, Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Prabu Siliwangi memerintah pada tahun 1482-1521. Raja sakti mandraguna itu dinobatkan dengan gelar Prabu Guru Dewata Prana, lalu bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Di kompleks itu terdapat 15 peninggalan berbentuk terasit, batu yang terdapat di sepanjang Sungai Cisadane. Ada enam batu di dalam cungkup, satu di luar teras cungkup, dua di serambi dan enam di halaman. Satu batu bercap alas kaki, satu batu bercap lutut, dan satu batu besar lebar yang berisi tulisan Pallawa dan berbahasa Sanskerta.

Prasasti Batutulis itu dibuat oleh Prabu Surawisesa sebagai bentuk penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan padanya, akibat kalah perang dengan kerajaan Cirebon.

Perang Pakuan-Pajajaran berlangsung selama 5 tahun. Cirebon yang didukung kerajaan Demak berhasil mengalahkan kerajaan Pakuan setelah pasukan meriam Demak datang membantu tepat pada saat pasukan Cirebon mulai terdesak mundur. Laskar Galuh (Pakuan) tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar, menyemburkan kukus ireng, bersuara seperti guntur dan memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam, sehingga jatuhlah Galuh diikuti dua tahun kemudian dengan jatuhnya pula kerajaan Talaga, benteng terakhir kerajaan Galuh.

Di sebelah prasasti itu terdapat sebuah batu panjang dan bulat sama tingginya dengan batu prasasti. Batu panjang dan bulat (lingga batu) ini mewakili sosok Sri Baduga Maharaja sedangkan prasasti itu sendiri mewakili sosok Surawisesa. Penempatan kedua batu itu diatur sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang; akan tetapi ia tidak berani berdiri sejajar dengan si bapak. Demikianlah batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri lingga batu.

Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan dan satunya berisi padatala, ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan dengan upacara srada yakni "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Dengan kata lain, prasasti batutulis merupakan bukti rasa hormat seorang anak terhadap ayahnya, dan merupakan suatu hal yang perlu diteladani oleh generasi sekarang maupun yang akan datang. Adapun tulisan yang ada di batu berbunyi sebagai berikut :

Prasasti yang terpahat dibatu tersebut tersusun dalam 9 baris tulisan. Adapun bunyi dan arti dari prasasti tersebut tiap baris adalah:
1. wangna pun ini sasakla prabu ratu purane pun diwastu: Wangna ini tanda peringatan bagi Prabu almarhum dinobatkan.

2. diya wingaran prebu guru dewata prana diwastu diya dingaran sri: Dia bernama prabu guru dewata parana dinobatkan lagi dengan nama Sri.

3. baduga maharaja ratu haji di pakuan pajajaran sri baduga ratu de: Baduga maharaja ratu haji dipakwan Pajajaran sang ratu de-

4. wata pun ya nu nyusuk na pakuan diya anaka rahyang dewa nis:  wata dialah yang membuat parit pakwan dia anak sangyang dewa nis.

5. kala sang sida mokta di guna tiga incu rahyang nisakala wastu: kala yang mendiang di guna tida cucu rahyang niskala wastu.

6. kancana sang sida mokta ka nusa larang ya siya nu nyian sakaka: kencana yang mendiang ke nu salarang dialah yang membuat tanda pe.

7. la gugunungan ngabalay nyian sanghyang talaga: ringatan gugunungan, membuat teras di lereng bukit membuat hutan samida, telaga

8. rena maha wijaya ya siya pun i saka panca panda: rena maha wijaya ya dialah itu dalam tahun saka lima li-

9. wa emaban bumi .. : ma empat satu (1455) => dalam tahum masehi 1533

(Disaring dari berbagai sumber, AMGD/mlancong.com) 

No comments:

Post a Comment