Sunday, March 17, 2013

Tunjangan Kinerja Polisi



Mulai Januari 2011 lalu, jajaran Polri telah menikmati remunerasi yang dikemas dalam Peraturan Presiden Nomor 73/2010 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kepolisian. Mulai dari pangkat terendah ajun brigadir polisi (Abrip) sampai jenderal bintang empat segera menikmati remunerasi yang terbagi ke dalam 18 kelas tersebut. 

Adakah yang istimewa dari remunerasi tersebut? Dari sisi angka-angka yang mengikuti kelas (grade) dapat dikatakan tidak ada yang istimewa. Misalkan kelas 18 yang dihuni Wakapolri ditetapkan remunerasi Rp21.305.000 atau kelas 11 yang diisi polisi berpangkat Komsaris Besar (Kombes) Rp2,839 juta dan kelas 8 (Ajun Komisaris Besar Polisi/AKBP) Rp1,453 juta. Boleh jadi bagi seorang Kombes atau AKBP tanpa jabatan fungsional, angka itu relatif memadai. Memadaikah angka itu buat seorang Kombes atau AKBP yang mengemban jabatan fungsional sebagai Kepala Kepolisian Resor? Tak mudah untuk menjawabnya.

Mari kita gabungkan angka remunerasi itu dengan gaji polisi yang berlaku selama ini. Seorang kepala kepolisian resor (Kapolres) berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP) sekadar contoh, menerima gaji Rp2.854.554 per bulan plus uang lauk pauk Rp30 ribu per hari. Maksimal yang dibawa pulang ke rumah, 31 hari kerja, sebesar Rp3.784.600. Perincian jumlah sebesar itu: gaji pokok Rp1.725.000, tunjangan isteri Rp172.500, tunjangan anak (dua orang) Rp60.000, tunjangan beras Rp187.704, tunjangan jabatan Rp900.000. Setelah dipotong 10 persen dan ditambah uang lauk pauk maka terhitung jumlah yang dibayarkan oleh negara sebesar Rp3.784.600. Bila angka ini ditambah dengan remunerasi maka diperoleh jumlah Rp5,237 juta. Sebuah angka yang membuat kita tetap bertanya-tanya, cukupkah jumlah itu untuk memenuhi kebutuhan seorang Kapolres bersama keluarganya.

Sebagai pejabat yang memimpin sebuah wilayah kabupaten/kota tentu seorang Kapolres tidak hanya bekerja ongkang-ongkang kaki di kursi tertinggi di Mapolres. Ada kalanya dia harus turun ke pelosok wilayahnya, menyambangi stakeholders kepolisian, yang sudah barang tentu membutuhkan biaya. Seorang Kapolres kerapkali mesti menjalin keakraban dengan berbagai kelompok masyarakat. Pasal 14 ayat (1) huruf c UU Nomor 2/2002 mengamanatkan Polri untuk membina masyarakat guna meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga  terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Masyarakat di sini dapat berupa mitra kelembagaan maupun perorangan. Kemitraan ini pun kemudian dikukuhkan oleh Kepala Polri dengan menerbitkan Surat Keputusan Nomor SKEP/737/X/2005 tentang Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) tertanggal 13 Oktober 2005. Penerapan kemitraan seperti dimaksud peraturan tersebut jelas membutuhkan biaya yang tidak murah. Di sini lah, seorang rekan yang pernah menjadi Kapolres menuturkan, seorang Kapolres dituntut untuk pandai-pandai menyiasati keadaan agar tidak terpeleset. Dan di sini pula terlihat betapa tidak mudah menjawab apakah remunerasi yang mulai diterapkan Januari 2011 itu memadai.

Yang justru menarik di benak penulis adalah judul Peraturan Presiden Nomor 73/2010, yakni Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kepolisian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kinerja mengandung makna sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan. Makna ini senada dengan kata remunerasi yang berarti pemberian hadiah atau penghargaan atas jasa. Dengan demikian, tunjangan kinerja atau remunerasi diberikan berdasarkan prestasi yang telah dicapai oleh seorang polisi. Boleh saja remunerasi yang segera digulirkan ini diklasifikasikan menjadi 18 kelas. Tapi, klasifikasi itu tidak berangkat dari kepangkatan dan jabatan seorang polisi. Klasifikasi itu dibuat memuat kategorisasi raihan prestasi seorang polisi sesuai dengan peran/fungsinya.

Selama polisi mengemban peran/fungsi sebagai pemberantas kejahatan, pencegah kejahatan dan pembina masyarakat dengan prosentase sebagai berikut: 60 persen tugas Binmas (pembinaan masyarakat), 30 persen preventif dan 10 persen represif (Awaloeddin Djamin, 1986). Mengacu kepada proporsi fungsi/peran kepolisian model Awaloeddin Djamin, tentu dapat dibuat klasifikasi tunjangan kinerja dengan melihat besaran risiko yang tercermin dari fungsi-fungsi tersebut.  Misalkan polisi yang mengemban tugas intelkam dalam upaya preventif dan represif kejahatan jelas memiliki risiko lebih besar daripada polisi yang bertugas di Binmas. Hal ini sebetulnya sudah direpresentasikan dalam alokasi dana operasional: dana untuk kegiatan turjawali (mengatur, menjaga, mengawal dan patroli) sebesar Rp1.500/unit/hari, kegiatan binamitra sebesar Rp5.000/unit/hari, dan kegiatan Intelkam sebesar Rp20.000/unit/hari.

Alangkah bagusnya proporsi semacam proporsi alokasi dana operasional tadi dapat diterapkan pada pengklasifikasian tunjangan kinerja atau remunerasi Polri. Dengan begitu akan ada semangat kompetisi secara sehat di antara para anggota polisi. Dan setiap anggota polisi mau tak mau mesti mengerahkan kreativitas dan inovasi kerjanya. Tentu saja kreativitas dan inovasi yang tetap mematuhi rambu-rambu yang ada. Pangkat atau jabatan boleh sama tapi tunjangan yang dibawa pulang dapat saja berbeda. Tunjangan yang diterima betul-betul karena prestasi kerja. Kinerja dan citra kepolisian secara institusi pun akan ikut terdongkrak. Kita ingin Polri menjadi lembaga yang mengedepankan prinsip kepada setiap anggota polisi: Buktikan bahwa Anda kreatif. Kita butuh polisi yang kreatif dan inovatif di tengah intensitas dan kualitas kejahatan yang terus meningkat. Dan itu dapat dicapai dengan pemberian tunjangan kinerja yang proporsional yang mengacu pada risiko, kompleksitas dan kerumitan pekerjaan polisi. (BN)    
                   

No comments:

Post a Comment