Tuesday, July 30, 2013

Tujuh Regulasi Ditargetkan Rampung Akhir 2013

* BPJS Ketenagakerjaan


Kemenakertrans menargetkan akhir tahun ini dapat menerbitkan tujuh peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan. Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, peraturan pelaksana yang diamanatkan untuk diterbitkan totalnya 10 regulasi. Berbagai ketentuan itu nantinya digunakan sebagai dasar beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan. Dalam rangka mencapai target itu, Muhaimin menginstruksikan jajarannya untuk fokus membahas rancangan peraturan pelaksana tersebut. Serta persiapan lainnya untuk menyongsong pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan.
“Pemerintah terus melakukan persiapan-persiapan dalam menyambut pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan,” kata Muhaimin di Kantor Kemenakertrans, Kalibata, Jakarta, Kamis (25/7).
Dalam persiapan itu, Muhaimin membagi penyusunan regulasi menjadi 2 prioritas kerja dengan memperhatikan kebutuhan atas waktu pelaksanaan. Untuk regulasi yang masuk prioritas pertama ditargetkan selesai paling lambat akhir tahun ini yaitu 7 regulasi. Draf ketujuh peraturan itu menurut Muhaimin sudah siap. Yaitu RPP tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua; RPP tentang Program Jaminan Pensiun dan RPP tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif.
Kemudian, RPP tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pengembangan Dana Jaminan Sosial BPJS Ketenagakerjaan dan RPerpres tentang Penahapan Kepesertaan Jaminan Sosial. Lalu, RPerpres tentang Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan BPJS Ketenagakerjaan dan RPP Hubungan Antar Lembaga.
Sedangkan sisanya, Muhaimin melanjutkan, ada tiga peraturan pelaksana dan bakal diselesaikan tahun berikutnya. Yaitu terdiri dari 1 RPP, 1 RPerpres dan 1 RKeppres. Untuk ketiga peraturan itu, Muhaimin mengatakan progresnya masih dalam pembahasan pembentukan draf. Ketiga rancangan peraturan itu terdiri dari RPP tentang Tata Cara Transformasi Program Dari PT Asabri dan PT Taspen Ke BPJS Ketenagakerjaan dan RPerpres tentang Tata Cara Pernilihan dan Penetapan Dewan Pengawas dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Serta, RKeppres tentang Pernbentukan Panitia Seleksi Dewan Pengawas dan Direksi.
Selain itu Muhaimin menjelaskan dalam membahas peraturan pelaksana untuk BPJS Ketenagakerjaan, dilakukan lintas kementerian dan lembaga pemerintahan. Seperti LKS Tripartit yang terdiri dari unsur pemerintah, pekerja dan pengusaha. Serta OJK, DJSN, TNI dan Polri. Menurutnya, hal itu selaras dengan SK Menteri Koordinator Bidang Kesra No.17 Tahun 2012 jo SK Menteri Koordinator Bidang Kesra No.22 Tahun 2012 tentang Tim Persiapan BPJS.
Mengacu SK itu, Kemenakertrans bertindak sebagai koordinator dalam menyiapkan pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam menindaklanjutinya, Kemenakertrans sudah membentuk dua kelompok kerja (Pokja) yang masing-masing bertugas menyusun rancangan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan.
Terpisah, koordinator advokasi BPJS Watch sekaligus Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan jangka waktu pembuatan regulasi operasional BPJS Ketenagakerjaan sudah jelas diatur dalam UU BPJS. Dalam ketentuan itu, peraturan pelaksana harus diterbitkan dua tahun setelah UU BPJS disahkan. Mengacu hal itu, Timboel menghitung batas waktu dibentuknya berbagai peraturan operasional untuk BPJS Ketenagakerjaan yaitu 25 November 2013. “Bukan akhir tahun 2013,” tegasnya kepada hukumonline lewat surat elektronik, Jumat (26/7).
Timboel khawatir Kemenakertrans akan mengikuti langkah Kemenkes yang telat menerbitkan peraturan pelaksana untuk BPJS. Pasalnya, PP PBI dan Perpres Jamkes untuk BPJS Kesehatan tidak diterbitkan tepat waktu karena melewati batas waktu yang ditentukan yaitu melebihi 25 November 2012. Ia berpendapat keterlambatan menetapkan regulasi itu harusnya tidak terjadi jika pemerintah dan DJSN saling berkoordinasi. Apalagi, UU SJSN mengamantkan pembentukan draf peraturan pelaksana kepada DJSN dan berbagai draf itu sudah dihasilkan serta dilayangkan ke kementerian terkait.
Sayangnya, Timboel melihat pemerintah tidak menggunakan draf regulasi yang telah dihasilkan DJSN. Ujungnya, pemerintah merancang sendiri peraturan itu dan memakan waktu yang cukup lama sehingga melebihi batas waktu yang ditentukan. Apalagi, ketika pembahasan peraturan kementerian itu dilakukan, Timboel yakin ada anggaran negara yang digunakan. Oleh karena itu Timboel menekankan kepada kementerian terkait agar pembahasan regulasi BPJS jangan dianggap sebagai ajang untuk menyedot anggaran negara.
Selain itu, Timboel menjelaskan ketika UU SJSN sudah menegaskan bahwa draf peraturan pelaksana dibentuk DJSN, maka SK Menteri Koordinator Bidang Kesra No. 17 Tahun 2012 jo. SK Menteri Koordinator Bidang Kesra No. 22 Tahun 2012 tentang Tim Penyiapan BPJS sesungguhnya tidak diperlukan. Pasalnya, SK tersebut menginstruksikan kementerian terkait membentuk Pokja membahas peraturan pelaksana BPJS.
Untuk peraturan pelaksana terkait program yang digelar BPJS Ketenagakerjaan menurut Timboel pemerintah bisa mengadopsi isi PP No.53 tahun 2012 untuk mengatur soal Jaminan Hari Tua (JHT), Kematian dan Kecelakaan Kerja. Baginya, yang perlu direvisi dari ketentuan itu salah satunya menaikan iuran JHT dari 5,7 menjadi 8 persen.

Tak ketinggalan Timboel mendesak Menakertrans dalam membahas pembentukan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan harus melibatkan LKS Tripartit Nasional. Setelah itu, rancangan regulasi yang sudah dibentuk diuji publik untuk mengetahui apa kelemahannya dan segera diperbaiki. Dengan uji publik, Timboel yakin para pemangku kepentingan ikut berpartisipasi dan bakal menerima serta menjalankan regulasi itu dengan baik. “Biar isinya tidak seperti PP PBI dan Perpres Jamkes yang merugikan pekerja dan rakyat,” pungkasnya. (hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment