* BPJS
Ketenagakerjaan
Kemenakertrans
menargetkan akhir tahun ini dapat menerbitkan tujuh peraturan pelaksana BPJS
Ketenagakerjaan. Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, peraturan pelaksana
yang diamanatkan untuk diterbitkan totalnya 10 regulasi. Berbagai ketentuan itu
nantinya digunakan sebagai dasar beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan. Dalam
rangka mencapai target itu, Muhaimin menginstruksikan jajarannya untuk fokus
membahas rancangan peraturan pelaksana tersebut. Serta persiapan lainnya untuk
menyongsong pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan.
“Pemerintah
terus melakukan persiapan-persiapan dalam menyambut pelaksanaan BPJS
Ketenagakerjaan,” kata Muhaimin di Kantor Kemenakertrans, Kalibata, Jakarta,
Kamis (25/7).
Dalam
persiapan itu, Muhaimin membagi penyusunan regulasi menjadi 2 prioritas kerja
dengan memperhatikan kebutuhan atas waktu pelaksanaan. Untuk regulasi yang
masuk prioritas pertama ditargetkan selesai paling lambat akhir tahun ini yaitu
7 regulasi. Draf ketujuh peraturan itu menurut Muhaimin sudah siap. Yaitu RPP
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan
Jaminan Hari Tua; RPP tentang Program Jaminan Pensiun dan RPP tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif.
Kemudian,
RPP tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pengembangan Dana Jaminan Sosial BPJS
Ketenagakerjaan dan RPerpres tentang Penahapan Kepesertaan Jaminan Sosial.
Lalu, RPerpres tentang Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan BPJS
Ketenagakerjaan dan RPP Hubungan Antar Lembaga.
Sedangkan
sisanya, Muhaimin melanjutkan, ada tiga peraturan pelaksana dan bakal
diselesaikan tahun berikutnya. Yaitu terdiri dari 1 RPP, 1 RPerpres dan 1
RKeppres. Untuk ketiga peraturan itu, Muhaimin mengatakan progresnya masih
dalam pembahasan pembentukan draf. Ketiga rancangan peraturan itu terdiri dari RPP
tentang Tata Cara Transformasi Program Dari PT Asabri dan PT Taspen Ke BPJS
Ketenagakerjaan dan RPerpres tentang Tata Cara Pernilihan dan Penetapan Dewan
Pengawas dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Serta, RKeppres tentang Pernbentukan
Panitia Seleksi Dewan Pengawas dan Direksi.
Selain
itu Muhaimin menjelaskan dalam membahas peraturan pelaksana untuk BPJS
Ketenagakerjaan, dilakukan lintas kementerian dan lembaga pemerintahan. Seperti
LKS Tripartit yang terdiri dari unsur pemerintah, pekerja dan pengusaha. Serta
OJK, DJSN, TNI dan Polri. Menurutnya, hal itu selaras dengan SK Menteri
Koordinator Bidang Kesra No.17 Tahun 2012 jo SK Menteri Koordinator Bidang
Kesra No.22 Tahun 2012 tentang Tim Persiapan BPJS.
Mengacu
SK itu, Kemenakertrans bertindak sebagai koordinator dalam menyiapkan
pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam menindaklanjutinya, Kemenakertrans
sudah membentuk dua kelompok kerja (Pokja) yang masing-masing bertugas menyusun
rancangan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan.
Terpisah,
koordinator advokasi BPJS Watch sekaligus Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh
Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan jangka waktu pembuatan regulasi
operasional BPJS Ketenagakerjaan sudah jelas diatur dalam UU BPJS. Dalam
ketentuan itu, peraturan pelaksana harus diterbitkan dua tahun setelah UU BPJS
disahkan. Mengacu hal itu, Timboel menghitung batas waktu dibentuknya berbagai
peraturan operasional untuk BPJS Ketenagakerjaan yaitu 25 November 2013. “Bukan
akhir tahun 2013,” tegasnya kepada hukumonline lewat surat elektronik, Jumat
(26/7).
Timboel
khawatir Kemenakertrans akan mengikuti langkah Kemenkes yang telat menerbitkan
peraturan pelaksana untuk BPJS. Pasalnya, PP PBI dan Perpres Jamkes untuk BPJS
Kesehatan tidak diterbitkan tepat waktu karena melewati batas waktu yang
ditentukan yaitu melebihi 25 November 2012. Ia berpendapat keterlambatan
menetapkan regulasi itu harusnya tidak terjadi jika pemerintah dan DJSN saling
berkoordinasi. Apalagi, UU SJSN mengamantkan pembentukan draf peraturan
pelaksana kepada DJSN dan berbagai draf itu sudah dihasilkan serta dilayangkan
ke kementerian terkait.
Sayangnya,
Timboel melihat pemerintah tidak menggunakan draf regulasi yang telah
dihasilkan DJSN. Ujungnya, pemerintah merancang sendiri peraturan itu dan
memakan waktu yang cukup lama sehingga melebihi batas waktu yang ditentukan.
Apalagi, ketika pembahasan peraturan kementerian itu dilakukan, Timboel yakin
ada anggaran negara yang digunakan. Oleh karena itu Timboel menekankan kepada
kementerian terkait agar pembahasan regulasi BPJS jangan dianggap sebagai ajang
untuk menyedot anggaran negara.
Selain
itu, Timboel menjelaskan ketika UU SJSN sudah menegaskan bahwa draf peraturan
pelaksana dibentuk DJSN, maka SK Menteri Koordinator Bidang Kesra No. 17 Tahun
2012 jo. SK Menteri Koordinator Bidang Kesra No. 22 Tahun 2012 tentang Tim
Penyiapan BPJS sesungguhnya tidak diperlukan. Pasalnya, SK tersebut
menginstruksikan kementerian terkait membentuk Pokja membahas peraturan
pelaksana BPJS.
Untuk
peraturan pelaksana terkait program yang digelar BPJS Ketenagakerjaan menurut
Timboel pemerintah bisa mengadopsi isi PP No.53 tahun 2012 untuk mengatur soal
Jaminan Hari Tua (JHT), Kematian dan Kecelakaan Kerja. Baginya, yang perlu
direvisi dari ketentuan itu salah satunya menaikan iuran JHT dari 5,7 menjadi 8
persen.
Tak
ketinggalan Timboel mendesak Menakertrans dalam membahas pembentukan peraturan
pelaksana BPJS Ketenagakerjaan harus melibatkan LKS Tripartit Nasional. Setelah
itu, rancangan regulasi yang sudah dibentuk diuji publik untuk mengetahui apa
kelemahannya dan segera diperbaiki. Dengan uji publik, Timboel yakin para
pemangku kepentingan ikut berpartisipasi dan bakal menerima serta menjalankan
regulasi itu dengan baik. “Biar isinya tidak seperti PP PBI dan Perpres Jamkes
yang merugikan pekerja dan rakyat,” pungkasnya. (hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment