Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183).
Jika seorang hamba telah mampu
memotivasi dirinya untuk senantiasa berperilaku baik, dan mampu menjalankan ibadah
puasanya secara benar, serta senantiasa mempertahankan diri untuk tetap melangkah
di jalan yang benar, sejatinya ia telah memenangkan sayembara ibadah puasa, yaitu
ketakwaan. Takwa sendiri memiliki makna menjauhi segala bentuk kemaksiatan,
baik itu berupa maksiat yang besar yang tidak akan pernah diampuni oleh Allah SWT
seperti syirik, maupun maksiat-maksiat kecil.
Di antara nilai positif yang dapat
kita ambil dari hikmah puasa adalah kita –sebagai seorang hamba-Nya– telah
benar-benar melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada kita. Dan
mereka yang berhasil meraih ketakwaan, sejatinya ia telah berhasil keluar sebagai
juara dari ujian ibadah puasanya. Mereka
ini
akan masuk ke
dalam kelompok wali-wali Allah SWT sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali
Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih
hati.” (QS
Yunus [10]: 62).
Diriwayatkan dalam hadits Qudsi bahwa nanti di hari kiamat
Allah SWT akan memanggil hamba-hambanya, “Wahai hamba-hamba-Ku, janganlah
kalian merasa takut dan bersedih hati di hari kiamat nanti.” Lalu sebagian
kelompok orang akan mengangkat kepalanya dan berkata, “Kami adalah hamba-hamba Allah
SWT.” Kemudian Allah SWT memanggil hamba-hamba-Nya untuk yang kedua kalinya, “Wahai
orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat-Ku, kalian adalah termasuk orang-orang
yang selamat.” Maka kepala orang-orang kafir akan tergantung. Sementara
orang-orang yang mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT tetap
mengangkat kepalanya. Kemudian Allah SWT memanggil hamba-hamba-Nya untuk yang
ketiga kalinya, “Wahai orang-orang yang beriman, kalian adalah termasuk orang-orang
yang bertakwa.” Maka lagi-lagi orang-orang kafir tergantung kepalanya. Sedangkan
orang-orang yang bertakwa tetap mengangkat kepalanya. Mereka tidak lagi merasa
takut dan bersedih hati, karena Allah SWT telah membuktikan janji-janji-Nya.”
Adapun hikmah ibadah puasa yang kedua adalah sebagaimana
firman Allah SWT:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al- Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia. Dan sebagai penjelasan-penjelasan bagi petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (menemui) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS Al-Baqarah [2]: 185).
Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan kepada kita
bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan suci yang penuh keberkahan. Pada bulan ini
pula, Allah SWT menurunkan petunjuk yang paling sempurna, yaitu al-Qur’an.
Dengan demikian, sudah sewajarnya kita merayakan keberkahan bulan Ramadhan ini
dengan amalan-amalan yang bermanfaat yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an. Adapun
perayaan mengenai hidayah al-Qur’an di bulan suci Ramadhan dengan cara
mempersiapkan diri kita menghadapi hidayah-hidayah yang akan turun di bulan
suci ini, yaitu dengan cara menjalankan ibadah puasa. Ketika kita benar-benar
menjalankan ibadah puasa atas dasar keimanan, sesungguhnya kita telah sampai
pada derajat pensucian jiwa. Sehingga, kita akan dapat menikmati betapa indahnya hidayah Allah
SWT itu. Dan juga,
kita akan
benar-benar paham bahwa agama Islam adalah agama paling
sempurna dan telah sempurna. Sebagaimana tercantum dalam ayat berikut:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan
untuk kamu agamamu. Dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku. Serta telah Aku ridhai Islam itu menjadi (satu-satunya)
agama bagimu.” (QS Al-Maidah [5]: 3).
Adapun hikmah ketiga dari ibadah
puasa adalah tersurat dalam ayat penutup dari serangkaian ayat-ayat yang
mengulas tentang ibadah puasa:
“Dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS
Al-Baqarah [2]: 185).
Ketika Allah SWT telah mewajibkan ibadah puasa kepada
kita, dan saat kita telah mampu membersihkan serta menyucikan diri kita dari
segala bentuk kemaksiatan, sudah sewajarnya kita bahagia. Kita harus senantiasa
mengagungkan dan memuja Allah SWT karena Dia telah menurunkan hidayah-Nya ke
muka bumi ini. Dan telah memberikan kedamaian dan ketenteraman hati
serta hidup kita melalui ibadah puasa. Dengan demikian, kita wajib mensyukuri atas
semua yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Hanya dengan rasa
syukur, Allah SWT berjanji akan selalu menambahkan nikmat-nikmat-Nya yang lain
kepada kita. Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan tatkala Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat-Ku) kepadamu. Dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim [14]: 7).
Dari pelbagai ayat-ayat yang membicarakan tentang puasa,
kita akan menemukan salah satu kandungan makna terdalam yang tersurat di
dalamnya. Kesemua ayat-ayat tersebut mengarahkan kita agar senantiasa bertakwa
kepada-Nya, mengagungkan-Nya, dan beryukur atas semua nikmat-Nya. Allah SWT
berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah
[2]: 186).
Tidak dapat diragukan lagi, saat jiwa seorang hamba sudah
dipenuhi dengan kemantapan imannya; senantiasa menyucikan diri dari segala
kemaksiatan pada-Nya; senantiasa berpegang teguh pada ketakwaannya; selalu
mengagungkan Allah SWT dan mensyukuri semua nikmat-Nya, sesungguhnya ia telah sampai
pada puncak kedekatannya dengan Allah SWT. Oleh karena itu, bila jiwa yang suci
itu berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika ia meminta ilham untuk senantiasa
mendapatkan kebenaran, niscaya ia akan diberikan. Dan jika ia meminta
pentunjuk, maka ia akan ditunjukkan.
Hal yang perlu digaris-bawahi adalah bahwa proses penyucian
jiwa yang sedang kita diskusikan sekarang ini sebetulnya adalah proses ikatan antara
jiwa seorang hamba dan malam Lailatul Qadar; malam diturunkannya kitab suci al-Qur’an,
dan juga malam-malam di mana para malaikat turun ke muka bumi; serta malam-malam
di mana Allah SWT akan memilih hamba-hambanya untuk dijadikan sebagai hamba
yang berbahagia di dunia dan di akhirat kelak.
******
Sekarang ini, bila kita bertanya amalan
ibadah seperti apakah yang sekiranya mampu kita lakukan agar bulan suci Ramadhan
tidak lewat begitu saja, dan malam Lailatul Qadar juga tidak berlalu tanpa
bekas? Sekiranya jawaban yang tepat adalah membaca al-Qur’an al-Karim. Tentunya,
tidak sekadar membaca tetapi juga berupaya mentadabburi ayat-ayatnya dan senantiasa
mencari petunjuk-petunjuk di balik makna-maknanya. Apabila kita berhasil
melakukan itu semua, sudah barang tentu seyogianya kita menjadikan al-Qur’an
sebagai tolok ukur atas segala bentuk aktivitas kita.
Demikian pula, apabila kita mampu
memahami keberadaan bulan suci Ramadhan secara benar, tentunya kita akan bersiap
menyambutnya dengan jiwa yang telah dihiasi oleh rahmat Allah SWT. Dan pada
akhirnya, kita akan siap menjalaninya dengan penuh rasa ketakwaan, keimanan dan
kebahagiaan. Tak hanya itu, kita juga akan mampu merasakan betapa nikmatnya
ampunan-ampunan yang diberikan-Nya kepada kita atas segala dosa masa lalu kita.
Bahkan
Allah SWT akan
memberikan kita pahala dan rahmat-Nya.
Ini merupakan janji Allah SWT kepada para
hamba-Nya yang betul-betul mengharapkan ridha-Nya. Ia berfirman dalam hadits Qudsi, “Setiap
amal ibadah anak-cucu Adam akan kembali kepada pribadi masing-masing, kecuali
ibadah puasa. Ketahuilah bahwa ibadah puasa sepenuhnya milik-Ku dan Aku
sendirilah yang akan memberikan balasan pahala bagi siapa saja yang menjalankannya.”
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw bersabda,
“Setiap satu amal kebaikan anak keturunan Adam, akan dilipat-gandakan menjadi
sepuluh kali lipat. Dan hasil dari sepuluh kali lipat tadi, akan
dilipatgandakan lagi sebanyak tujuh ratus kali lipat.” (HR Imam Bukhari dan
Imam Muslim).
Jadi apabila kita benar-benar mengetahui
betapa besar pahala yang terkandung di dalam ibadah puasa, tentunya kita akan menyadari
betapa rahmat Allah SWT sangatlah agung bagi manusia. Dengan menjadikan ibadah
puasa sebagai rukun Islam, Allah telah mengerti betul bahwa watak manusia pada
dasarnya memang cenderung liar bila tak dikontrol oleh suatu yang supra di atas
dirinya. Dan di sinilah sebetulnya, Allah menjadikan puasa sebagai salah satu
kontrol moralitas bagi umat Muslim itu. Sehingga umat Muslim mampu menjaga etika
dirinya --baik ketika berhubungan dengan Tuhannya maupun dengan sesamanya.
Hal ini seperti ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, “Ketahuilah bahwa ibadah puasa
adalah tameng atau perisai. Jika salah satu di antara kalian sedang dalam
keadaan berpuasa, maka janganlah kalian berbicara jorok dan jangan pula bertingkah
bodoh. Seandainya ia dilawan atau dicaci-maki, maka hendaknya ia berkata, ‘Aku sedang
berpuasa’.” (HR
Imam Bukhari)
No comments:
Post a Comment