Sunday, December 22, 2013

Samaun Bakry dalam Bingkai Nagari Kurai Taji



Sebagai seorang anak Bagindo, Samaun Bakry mewarisi jiwa yang pemberani. Selain itu dia juga anak nazar, setelah lahir, ibunya ingin mengantukkan ke batu nisan Syekh Burhanuddin di Ulakan.

NAGARI Kurai Taji adalah sebuah nagari yang termasuk dalam kawasan ‘rantau’  pesisir barat Pulau Sumatera. Dalam tambo disebutkan perpindahan penduduk dari “pedalaman” Minangkabau terjadi sebelum dibangunnya rantau sebagai pelabuhan. Tambo menyebutkan bahwa “ber-Sunur ber-Kurai Taji, sebelum ber-Tiku Pariaman”. Artinya, jauh sebelum penduduk menjadikan Sunur dan Kurai Taji sebagai pelabuhan entreport (pelabuhan gudang) komoditi pedalaman Minangkabau telah terjadi perpindahan penduduk ke pesisir secara berangsur.
Kurai Taji terletak 43 kilometer ke arah barat laut kota Padang dan 5 kilometer dari arah kota Pariaman. Sekarang, sebagian nagari Kurai Taji termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Sebagian lagi masuk dalam Kecamatan Pariaman Selatan, Kota Pariaman.
Secara etimologis, Kurai Taji berakar pada dua kata: kurai dan taji. Kata kurai kurang jelas artinya. Ada kata kurai yang berarti garis-garis. Sedangkan taji mengandung dua arti. Pertama, susuk pada kaki ayam jantan dewasa. Dan kedua, podocarpus meriifolia, sebatang kayu yang baik untuk kerangka rumah dan daunnya direbus buat obat encok. Boleh jadi pula penduduk asli Kurai Taji berasal dari nagari Kurai --yang sekarang berada di kota Bukittinggi-- jauh sebelum merantau ke Kurai Taji. Namun, sejauh ini belum ada referensi yang menguatkan.
Menyebut Nagari Kurai Taji, ingatan kita langsung melayang pada kisah awal mula Islam masuk ke Sumatera Barat. Nagari Kurai Taji merupakan salah satu pusat pengembangan dam penghasil ulama-ulama besar dan cendekiawan Islam sejak awal abad ke-19. Sementara itu jauh sebelum abad ke-19, Islam telah berkembang di Kurai Taji, bersamaan dengan berkembangnya Islam di Pariaman (Kabupaten Padang Pariaman). Arti kata pada masa itu sudah ada kehidupan Islam sesuai dengan kondisi keagamaan dan pembangunan  pada zaman itu.
Islam masuk ke Pariaman sekitar tahun 610 H (1214 M) dibawa oleh Burhanuddin Al-Kamil. Dia datang dari Aceh pergi ke Batu Kampar, kemudian ke Kumpulan dan tibadi Ulakan, mengajar ilmu agama di Ulakan. Akhirnya dia pergi ke Kuntu (Riau) dan meninggal di sana tahun 1214 M. Sekitar abad ke-16, sebelum datangnya Syekh Burhanuddin atau si Pono ke Ulakan dan akhirnya beliau dikenal sebagai pengembang Islam di Pariaman dan Minangkabau bermakam di Ulakan sekarang, telah datang pula Raja Alam Minangkabau atau Pagaruyung yang setelah masuk Islam bergelar Sultan Alif. Beliau juga mengajar ilmu agama di daerah ini. Akhirnya kembali ke Sumpur Kudus dan wafat di sana. Konon ceritanya di sanalah awal mula dibuat acara basafar.
Di akhir abad ke-16 terjadi transmigrasi lokal dari penduduk daerah darat (sekitar kaki Gunung Marapi) ke daerah rantau, termasuk ke nagari Kurai Taji. Waktu itu kedatangan Si Pono atau Syekh Burhanuddin ke Sintuk buat belajar agama di Tapakib dan kemudian memperdalamnya di Aceh bersama Tuangku Abdurrauf yang ahli dan mendalami ilmu tarekat. Pada masa itu Aceh menjadi pusat kebudayaan dan kerajaan Islam. Kerajaan Islam Aceh ini dipimpin oleh Sultan Alauddin iayat Syah (1537-1568).
Dari Aceh, Syekh Burhanuddin kembali ke Pariaman bersama misi dakwah Islam Kerajaan Aceh lewat jajaran pantai barat Sumatera. Sehingga, daerah pantai saat itu dikuasai oleh kerajaan Islam. Di Tiku dipusatkan kekuatan angkatan laut dan duduk di seorang syahbandar. Jajaran daerah pantai ini berkait sebagaimana disebut dalam pepatah lama “Alun batiku Priaman, alun basunua Kurai Taji, alun basintuk Lubuk Alung”. Artinya, Kurai Taji waktu itu sudah menjadi daerah pengembangan Islam dan adat di jajaran pantai Padang Pariaman ini.   

Garis Pejuang Padri
Desa kecil Paguh Pendakian di Kenagarian Kurai Taji, Kecamatan Nan Sabaris, di Pesisir Ranah Minangkabau (Kabupaten Padang Pariaman) ditumbuhi pohon-pohon kelapa yang berusaha sekitar 150 tahun yang konon disuruh tanam dahulunya oleh seorang Rajo yang termasyhur di pesisir Minangkabau. Raja tersebut terkenal dalam “kaba” dengan julukan Tuanku Nan Garang yang berkedudukan di Tepian Legundi, Padang Galapuang, Tanjung Medan, Ulakan.
Tuanku Nan Garang yang bernama asli Bagindo Talabieh tersebut telah mencetuskan perang melawan Kompeni pada tahun 1832, merobek-robek “plakat panjang” kemudian menyatakan berpihak diri ke Padri di bawah kepemimpinan Tuangku Imam Bonjol. Tak pelak, pada tahun 1840, dia lalu diasingkan ke Manado dan di sana dikenal sebagai Pangeran Baginda Talabe. Berdasarkan laporan De Kolonel Militarian Komandant ter Westkuts Sumatera, W.G. Michhiels, yang berjudul “Nota Betrekkelijk De Gevangen Nemen Van Den Toeanko Imam Van Bonjol”, bahwa Bagindo Talabieh yang lahir dalam tahun 1799, belum lagi mencapai usia 40 tahun ditipu dan ditawan bersama Tuangku Imam Bonjol. Untuk kemudian diasingkan ke Manado dalam usia muda.
Dikisahkan, atas izin dan restu Tuangku Imam Bonjol, Bagindo Talabieh kawin lagi dengan seorang gadis Manado yang bernama Watok Pantaw. Dari hasil perkawinan itu dikuruniai tujuh orang anak dan kini berkembang menjadi fam (achternaam) Bagindo di Manado dan di Pulau Lozon, Filipina.
Kembali di Nagari Kurai Taji, dari salah satu istrinya Puti Surambi Ameh, Tuanku Nan Garang dikaruniai seorang anak bernama Bagindo Abu Bakar Gelar Rajo Luwangso (Lelawangsa). Bagindo Abu Bakar ditinggal pergi oleh ayahnya Bagindo Talabieh ketika masih erat menyusu. Sedangkan ibunda Puti Surambi Ameh mendapat julukan Puti Tupai lantaran terlalu lama ikut suaminya Bagindo Talabieh ‘bergerilya’ dari hutan ke hutan, sampai-sampai banyak makan buah keramunting bagai seekor tupai.
Sewaktu berusia senja Bagindo Abu Bakar (hampir 70 tahun) menikahi Siti Syarifah pada tahun 1895. Ketika menikah, Siti Syarifah baru berusia sekitar 16 tahun (lahir 1879). Sehingga, Syarifah bukan hanya memperoleh anak-anak tiri yang lebih tua dari dirinya tapi juga sekaligus menerima cucu-cucu yang telah dewasa.
Siti Syarifah dikenal pula sebagai seorang pejuang di masanya. Bahkan, oleh Harian Piaman Ekspos, ia dijuluki “Kartini” Kurai Taji. Julukan itu sangatlah wajar karena Siti Syarifah merupakan satu-satunya perempuan yang ikut dalam peperangan Lubuk Alung yang merupakan awal perang belasting tahun 1906. Penarikan pajak yang diberlakukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memang mendapat perlawanan dari beberapa daerah di Sumatera Barat, sehingga menimbulkan pemberontakan.
Namun dalam peperangan Lubuk Alung tersebut, Siti Syarifah hanya sampai Pauh Kambar. Karena, Haji Ranjau dan Tuangku Lareh Sidi Doa, selaku pimpinan pemberontakan, menghendai agar Siti Syarifah tidak melanjutkan peperangan. Ia diperintahkan pulang. Mau tak mau, walau dengan hati kesal, ia pun menuruti perintah pimpinan. Ia pun pulang. Namun perjuangan Siti Syarifah tidak berhenti di Lubuk Alung.
Sebagai wanita, Siti Syarifah dikenal sebagai seorang yang nasionalis. Tubuhnya pendek tapi berhati keras. Ia sangat benci dan anti-Belanda. Darah ke-Indonesia-annya itu telah ada sejak nenek-moyangnya. Sekadar pengetahuan, ia termasuk keturunan ulama besar, putri bungsu dari Tuangku H. St. Ibrahim (1810-1912). Tuangku H. St. Ibrahim sendiri adalah generasi dari ulama Cangking, yang merupakan pusat pendidikan tokoh-tokoh Padri di Luhak Agam.
Dan lantaran sikapnya yang anti-Belanda, Syarifah rela mengorbankan harta-bendanya untuk perjuangan bangsa. Termasuk rumahnya yang terletak di Pendakian Paguh, Nagari Kurai Taji, pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan-pertemuan rahasia untuk persiapan perang Lubuk Alung dan menyerang Belanda.
Selain berani maju ke medan tempur, Syarifah juga dikenal sebagai guru ngaji. Murid-muridnya sebagian besar adalah penduduk Nagari Kurai Taji. Untuk menampung jumlah murid yang cukup banyak itu ia rela menjadikan rumahnya sebagai pesantren kecil. Alhasil, hampir setiap malam rumahnya senantiasa ramai. Islam dan perjuangan tampakna telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam diri Siti Syarifah.  
Siti Syarifah ia pun ternyata pengikut fanatik dari Haji Rasul—orang tua dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Setiap Haji Rasul melakukan pengajian di Nagari Kurai Taji, selalu di rumah Siti Syarifah. Begitu fanatiknya, sampai-sampai ia mengusulkan pada suaminya agar anaknya, Siti Zainab, yang baru berumur 12, dijodohkan dengan Haji Rasul. Tapi suaminya tidak mau.
Perjuangan Padri agaknya membentur pagar tembok Pemerintah Kolonial Belanda. Tahun 1837 perjuangan Kaum Padri ditaklukkan oleh tentara Kolonial. Di bawah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pemerintahan Nagari Kurai Taji diatur Regent-Regent yang dengan Regent-Stelsel. Pada jaman itu, nagari-nagari di Sumatera Barat pada umumnya, diatur berdasarkan Ordonantie Nagari Nomor 677/1918 dan diperbaiki dengan Inlandsche Gemeente  Ordonantie Buitengewesten 490/1938. Undang-undang Anak Nagari Tanah Seberang Nomor 490 Tahun 1938 atau IGOB 490/1938 mengatur Pemerintahan Nagari (waktu itu) terdiri dari Kepala Nagari.
Di tangan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, warga masyarakat Nagari Kurai Taji mengenal pangkat seperti penghulu, kepala nagari, tuanku lareh, angku damang, dan asisten demang. Pada masa sebelumnya, warga masyarakat hanya mengenal dua pangkat, yaitu Penghulu dan Raja --sesuai dengan ungkapan “Luhak Bapangulu, Rantau Barajo”. Panghulu dengan Raja sebagai pemimpin rakyat pada nagari masing-masing.

Kisah Kelahiran Samaun Bakry
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menjadikan Nagari Kurai Taji sebagai pusat perdagangan yang penting di wilayah Padang Pariaman bagian tengah, terutama sejak mereka membangun rel kereta api dari Teluk Bayur (Padang) ke Naras (Pariaman). Stasiun Kurai Taji merupakan pusat perdagangan kopra, yaitu hasil bumi utama daerah Padang Pariaman. Dan lebih kurang 150 meter dari stasiun, Pemerintah Hindia-Belanda juga membangun pabrik minyak kelapa. Sekarang kawasan ini dikenal dengan Kampung Pabirik—meskipun pabriknya sudah tidak ada.
Dalam belit pemerintahan kolonial yang amat menekan rakyat Nagari Kurai Taji itu, pada tanggal 28 April 1908, pasangan suami-istri Bagindo Abu Bakar dan Siti Syarifah dikaruniai seorang anak yang kemudian diberi nama Samaun Bakry. Sebagai anak kedua, Samaun berbeda dari kakak dan adik-adiknya. Dia lahir dari nazar sang ibu. Sebelum dia lahir, terlebih dulu lahir kakaknya Zainab Bakry (1902). Dan lahir di masa kemudian, adik-adiknya: Zainun Bakry (1920) dan Zaidin Bakry (1922).
Sebagaimana dikisahkan oleh Syamsul (ahli waris Siti Syarifah), sewaktu Siti Syarifah mengandung, ia ingin sekali memiliki anak lelaki. Sebab itu, ia bernazar: bila yang lahir anak laki-laki maka kepala bayi ini akan ia antukkan ke batu nisan Tuangku Syekh Burhanuddin di Ulakan.
Ternyata doa Siti Syarifah diijabah Allah SWT. Ia benar-benar melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Saat itu Syarifah langsung teringat akan nazarnya. Tapi sayang, saat ia hendak memenuhi nazarnya, di Ulakan sedang terjadi perang, secara otomatis pelaksanaan nazar itu diundur sampai perang usai.
Syarifah, Bagindo Abu Bakar dan segenap sanak-saudara menyambut gembira kehadiran anak sulung itu.  Bayi lelaki itu pun diberi nama Samaun Bakry. Samaun dipuja dan dielu-elukan. Bahkan, Samaun telah disebut sebagai “anak rancak”. Kaumnya pun telah berharap penuh terhadap Samaun kecil. Mereka menginginkan, di kemudian hari, Samaun mampu menjadi “tiang tengah” Rumah Gadang.
Hampir setiap malam, anak rancak ini selalu didendangkan legenda-legenda Minangkabau, antara lain Nan Tongga Magek Jabang dan Malin Kundang. Dan yang tidak ketinggalan, ayah-ibunya pun mengisahkan tentang keberanian kakeknya, Tuanku Nan Garang dan pula Rajo si Gadombang.
Di tangan yang penuh kasih sayang, pertumbuhan Samaun cukup pesat. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Sebagai anak Bagindo dan pejuang, ternyata Samaun mewarisi jiwa pemberani. Hal ini dapat dilihat ketika Samaun masih berusia tiga tahun, di mana saat itu dia sudah”berlancang mulut”, yaitu dengan menyebut wa’ang (kamu) terhadap kakeknya, Tuanku H. St. Ibrahim, yang telah berusia lebih dari 100 tahun (1810-1912).
Menderngar perkataan itu, jelas ayah, ibu dan semua saudaranya terperangah. Pasalnya, mereka sendiri tidak berani lancang seperti itu terhadap seorang Tuanku H. St. Ibrahim. Bagi mereka, Tuanku H. St. Ibrahim bukan saja sebagai seorang ayah dan yang dituakan, tapi memang sangat dihormati oleh banyak orang. Menurut kisahnya, kendati dikucilkan, Tuanku H. St. Ibrahim adalah ulama yang terkenal. Dia lulusan dari perguruan Cangking yang menjadi pusat pendidikan para tokoh Padri di Luhak Agam. Namun apa yang telah diucapkan oleh Samaun terhadap orang yang disegani dan dituakan itu sungguh di luar dugaan.
Selain itu, perkembangan diri yang demikian pesat dapat pula dilihat tatkala Samaun berusia lima tahun. Pada saat itu Samaun sudah berani muncul di tengah kelompok masyarakat, gelanggang adu gasing atau berkelahi dengan anak-anak di desanya. Dia pun menjadi ‘jagoan’ dan cukup disegani. Anak-anak, bahkan orang dewasa, menaruh rasa hormat terhadap Samaun. Enta, apakah mereka memandang Samaun adalah anak dari Bagindo Abu Bakar yang cukup kharismatik di Nagari Kurai Taji dan cucu dari Tuangku Nan Garang. Mungkin-mungkin saja.
Yang jelas, Samaun memang mewarisi sifat-sifat ayah dan kakeknya yang cukup terkenal dan disegani. Mereka adalah orang-orang yang beralemu-suluma, alemu kebal dan alemu peluang air segala. Dan mereka pejuang terhadap kaum penjajah Kolonial Belanda. Mereka sangat benci pada sepak terjang kaum penjajah.
Sebenarnya bukan hanya ayah dan kakeknya Samaun yang benci sepak terjang orang-orang Kolonial dan antek-anteknya. Hampir semua orang Nagarai Kurai Taji sangat menaruh rasa tidak senang dan bila perlu menguirnya jauh-jauh. Sampai kemudian Nagari Kurai Taji dapat dikatakan sangat lekat perjuangan melawan penjajah Belanda pada abad ke-19. Untuk memperoleh gambaran bagaimana kebencian dan kesiap-siagaan penduduk Kurai Taji terhadap serdadi Belanda dapat kita simak dari laporan C.J. Boelhouwer (2004:32) berikut:
“Pada tanggal 6 Juli 1831, hari Senin, hari pekan di Kurai Taji. Kurai Taji sebuah kampung yang terletak lebih kurang satu jam perjalanan dair Pariaman. Lapangan yang bagus, tumbuh pohon beringin. Pada hari pasar dikunjungi oleh 3 ribu sampai 4 ribu orang.
Empat opsir Belanda dari Pariaman mufakat untuk pergi menyaksikan keramaian pasar Kurai Taji dengan menunggang kuda. Mereka sangat ceroboh karena hanya seorang kapten yang telah lama di Sumatra yang membawa pedang dan pistol. Serdadu lainnya tidak bersenjata. Setiba di pasar Kurai Taji, keempat serdadu itu berjalan berkeliling. Mereka tampaknya merasa aman menyaksikan pasar yang sedang ramai itu. Penduduk laki-laki dilihatnya membawa senjata yang merupakan hal biasa pada waktu itu. Tetapi ketika mau kembali ke Pariaman, serdadu Belanda itu mengambil jalan lain. Tiba-tiba seorang perempuan memekik di belakang mereka. ‘Mungkinkah tuan-tuan ada yang kealpaan?’ Kapten Belanda itu menggeleng dan terus memacu kudanya. Sambil meraba sakunya dan berkata, ‘saya tidak akan ketinggalan sesuatu.’
Rombongan serdadu Belanda itu kembali ke pasar Kurai Taji yang ditinggalkannya tadi. Perempuan-perempuan telah meninggalkan pasar dan orang laki-laki berkumpul dengan pandangan bermusuhan. Seorang kepala dari kampung menasihati serdadu Belanda itu supaya segera pergi karena pasukan rakyat VII Koto telah banyak datang. Nasihat diturutinya dan orang-orang di belakang mereka menyorakinya sambil menghina. Baru saja mereka pergi terdengar letusan-letusan senjata di belakang.”
   

Masa Sekolah
Di tahun 1915, tepatnya ketika berkecamuk Perang Dunia I, situasi di Nagari Kurai Taji tidaklah berubah drastis. Apalagi Hindia Belanda masih menguasai pemerintahan secara penuh, mulai dari kekuasaan, ekonomi sampai sistem pendidikan.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada waktu itu telah banyak membangun gedung-gedung sekolah. Itu pun lantaran rakyat sudah mau membayar belasting. Sementara di lain hal, seperti jabatan Tuangku-Tuangku Laras yang galir-galir dipusatkan di Nagari “Si Pahit Lidah” digantikan oleh para tamatan dari Mosvia. Tapi, para Demang dan Asisten Demang yang diharapkan dapat berpikir a la Belanda tetap tidak pula kurang galir-galirnya.
Semua itu bukan persoalan bagi Bagindo Talabieh dan Siti Syarifah (kedua orang tua Samaun Bakry). Yang menjadi pemikiran mereka saat itu adalah Samaun harus disekolahkan, karena Samaun telah memasuki usia sekolah dan harus mendapatkan pendidikan formal.
Untuk menentukan di mana Samaun bersekolah, Syarifah rupanya lebih berwenang dan memegang kendali. Tapi, ternyata, hal itu berujung pada perselisihan antara Syarifah dan Bagindo Abu Bakar. Karena, masing-masing mempertahankan pendapatnya yang saling berbeda. Bagindo Abu Bakar menginginkan Samaun bersekolah di sekolah milik Belanda seperti anak-anak yang lain di Padang, antara lain Valksschool dan Vervolgschool. Keinginan itu ditolak keras oleh Syarifah –yang lebih menghendaki Samaun bersekolah di sekolah yang dipimpin dan dimiliki oleh orang Melayu.
Secara historis, pendidikan formal orang Minangkabau berlandaskan pendidikan Islam. Pendidikan untuk pertama kalinya di Sumatera Barat dilakukan oleh pedagang Islam dari Aceh. Sesudah Islam berkembang, pendidikan Islam mulai dilaksanakan di surau. Dan pertama kalinya dimulai oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Hal tersebut berjalan sampai akhir abad ke-10 dengan masuknya pengaruh aliran baru dalam Islam dari Makkah dan Mesir ke Sumatera Barat.
Pun demikian seiring dengan gerakan pembaruan Islam pada awal abad ke-20 yang memunculkan tokoh-tokoh muda sebagai pembaru pendidikan Islam. Kemudian memunculkan sekolah Islam dengan sistem kelas, seperti Sekolah Adabiah, Thawalib dan Diniah.
Pendidikan Islam inilah yang di mata Syarifah harus dimiliki oleh Samaun. Sebab itu Syarifah bersikap cukup keras. Jangankan menaruh Samaun di sekolah Belanda, mendengar nama-nama Belanda saja dirinya sudah merasa mual. Dan ia benar-benar akan tersinggung bilamana ada orang menyebut sesuatu yang cenderung memuji Belanda.
Meliha kekerasan Syarifah, akhirnya Bagindo Abu Bakar mengalah dan menyerahkan pendidikan Samaun kepada istrinya secara penuh. Lalu, Syarifah memasukkan Samaun ke sekolah yang dipimpin oleh Sutan Rajo Alif, guru dari Aceh. Syarifah telah menaruh rasa percaya sepenuhnya terhadap kualitas dan loyalitas guru yang satu ini. Bukan lantaran pendidikan yang diberikan Sutan Rajo Alif lebih ke Melayu semata, tapi memang karena Syarifah telah mengenal siapa Sutan Rajo Alif. Berkat kedekatan itulah, Syarifah mendorong Samaun menjadi murid sekolah Sutan Rajo Alif.
Di sekolah Sutan Rajo Alif, Samaun menunjukkan prestasiberlajar luarbiasa. Dia sangat cerdas. Di luar itu, kendati dikenal sebagai murid pendiam dan tenang, namun jika marah maka Samaun secara cepat meledak-ledak dan membentak. Apalagi bilamana berkelahi, Samaun tidak mau mengalah.
Melihat kecerdasan yang dimiliki oleh Samaun, Sutan Rajo Alif berpikir lain. Dia menyarankan kepada Syarifah agar sebaiknya memindahkan Samaun ke sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS). HIS adalah sekolah pada jenjang pendidikan rendah (Lager Onderwijs) atau setingkat dengan pendidikan dasar. Berbeda dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah, HIS memiliki bahasa pengantar bahasa Belanda (Westersch Lager Onderwijs).
Alasan guru asal Aceh itu jelas, agar Samaun lebih dapat mengembangkan kepandaiannya. Itu semua demi masa depan Samaun.
Mendengar sara tersebut, Syarifah bukannya bergembira, ia justru secara tegas mengatakan, “Samaun akan saya jadikan ulama besar. Dan justru karena pandai lah, ia harus dijadikan ulama.”
Itulah pendirian keras seorang Syarifah. Dan sebenarnya dari sini pula kita memperoleh gambaran bahwa sebetulnya Samaun dibesarkan di lingkungan keluarga yang berbeda kutub –derajat, ideologi, pendidikan, bahkan perbedaan sikap dan karakter. Tak pelak, konflik antara kedua orang-tuanya dalam mengendalikan rumah tangga tidak biasa, tidak sampai meruncing tajam.
Kembali ke kisah sekolah Samaun, entah bagaimana sampai kemudian tersiar kabar bahwa Samaun telah bersekolah di Vervolgschool, setara Sekolah Dasar. Tahun 1920, Samaun berhasil menyelesaikan studinya. Orang tua dan keluarganya menyambut gembira kelulusan itu. Bahkan mereka tercengang, karena saat itu Samaun sudah pandai berbicara tentang November Belofte.
November Belofte berarti Janji November. Dalam sejarah, bulan November merupakan salah satu bulan mitos bagi bangsa Indonesia Pertama, November belofte tahun 1918 dari Gubernur Jenderal Linburg Stirum yang “berbaik hati” memberikan “kemerdekaan” bagi bangsa Indonesia secara bertahap. Di mana saat itu badan persatuan Volksraad menuntut pembekuan Dewan Parlemen Sementara atau Dewan Nasional sebagai panitia pendirian parlemen sementara, hingga adanya pembentukan parlemen sejati yang disusun oleh dan dari rakyat. Namun sejak 16 November 1918 namanya berubah menjadi Politieke Concentratie, yang dibentuk oleh seorang Belanda bernama Cramer (pemimpin fraksi sosialis Volksraad). Anggotanya terdiri dari Boedi Oetomo, Sarekat islam, Insulinde, dan ISDV (Indische Social Democratische Vereniging).
Dan saat itu Belanda menjawabnya dengan mengeluarkan November Beloftie (November-Verklaring), untuk mengadakan perubahan bagi bangsa Indonesia. Karena tidak ada batas waktu yang pasti, jawaban Belanda itu kembali berbuah mosi dari anggota Radicale Concentratie. Hingga 17 Desember 1918, Belanda membentuk Herzienings Commissie untuk mempelajari perubahan ketata-negaraan Indonesia.
Namun kegembiraan itu tidak berlangsung lama gara-gara kedua orang tua Samaun kembali berdebat ihwal kelanjutan sekolah anaknya selepas dari Vervolgschool. Seperti biasa, sang ayah menginginkan Samaun ke Badang, bersekolah di sekolah Belanda, sedangkan si ibu tetap berkehendak Samaun ke Sumatera Thawalib di Padangpanjang yang tengah populer waktu itu.
Di masa awal abad ke-20 itu memang tengah terjadi pembaruan atau modernisasi Islam di Minangkabau dan kemudian terjadi pula peralihan pusat pengembangan Islam ke darat seperti Padang Panjang dan Padang Pariaman (Syukri Umar, Pariaman Pusat Pengembangan Kebudayaan Islam di Minangkabau, Majalah Penuntun Amal Bakti Kanwil Departemen Agama Sumbar, edisi 139/1992, halaman 12). Pembaruan ini cepat diterima oleh masyarakat di Nagari Kurai Taji sekaligus membawa perubahan paham keagamaan dalam peta pemimpin gerakan kemerdekaan.
Modernisasi Islam masuk Nagari Kurai Taji bersamaan dengan dibawanya organisasi Muhammadiyah oleh SDM Ilyas, mertua mantan Menteri Agama Tarmizi Taher. Dia membawa Muhamadiyah masuk Nagari Kurai Taji pada tahun 1927 sekembalinya dari Yogyakarta.
Kembali ke perjalanan sekolah Samaun Bakry, tidak seperti biasa yang sudah-sudah, perselisihan pendapat kedua orang tua Samaun kali ini tidak  menemukan titik temu. Kali ini mereka sama-sama keras dan tidak mau mengalah. Mereka tidak dapat memutuskan sekolah mana yang harus dituju anaknya. Akibatnya, Samaun pun terkatung-katung selama dua tahun.
Di masa ketidak-jelasan tersebut secaraotomatis membuat Samaun merasa jenuh. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Akhirnya Samaun lebih memilih terjun ke kalangan Parewa untuk ikut meramaikan permainan Indang dan Luambek –suatu kesenian rakyat Minangkabau. Di luar itu, Samaun tetap rajin mengaji dan membaca buku-buku.
Namun semua itu dipantau oleh Syarifah secara diam-diam. Ia sedih dan gelisah melihat kondisi anaknya tersebut. Sebab itu, diam-diam pula, Syarifah bersiasat. Di saat Bagindo Abu Bakar sedang tidak berada di rumah, tengah berada di rumah istrinya (Siti Sawiyah) di Padang, ia akan membawa lari Samaun ke Padangpanjang. Dan ketika sampai Padangpanjang, Samaun langsung diserahkan kepada Inyieek Dotor untuk bersekolah di Thawalib (1922-1925).
Sayangnya cara diam-diam menyekolahkan Samaun ke Thawalib membuat marah besar Bagindo Abu Bakar ketika pulang dari Padang. Bagindo yang ketika itu berusia 85 tahun berbicara keras pada istrinya, “Kau lihat akibatnya nanti, itu sekolah orang-orang komunis.”
Bagindo Abu Bakar terus memojokkan Syarifah sampai kemudian mereka bertengkar. Sampai-sampai kepala Bagindo Abu Bakar benjol-benjol gara-gara dihantam teko.
Tapi, apa yang dipikirkan oleh Bagindo Abu Bakar –tentang sekolah Thawalib-- benar adanya. Karena, pada tahun 1925 ternyata sekolah Thawalib ditutup oleh Belanda. Hal itu terjadi lantaran Belanda mencurigai Thawalib telah menjadi sumber komunis dan pemberontakan yang berkecamuk di banyak nagari di Sumatera Barat. Melihat situasi seperti itu, Samaun lalu pulang ke Nagari Kurai Taji.
Lalu giliran Bagindo Abu Bakar yang membawa Samaun masuk ke sekolah Belanda di Padang. Selain itu, Samaun sempat pula diikutkan kursus-kursus politik dan bahasa asing. Langkah Bagindo terbilang sukses karena pada awal tahun 1926 Samaun sudah dapat bekerja di Kantor Tuan Besar (Residen) di Padang, walau itu berkat hubungan pribadi Bagindo dengan Residen.
Samaun yang telah bekerja di Kantor Residen Padang ternyata berkehendak lain. Sebab, baru beberapa bulan bekerja, Samaun justru pulang ke Nagari Kurai Taji. Keluarganya pun menaruh tanda tanya. Tapi, Samaun tetap tak mau kembali lagi ke Padang.
“Orang Belanda itu terlalu angkuh. Enak saja memanggil saya dengan siulan sambil menggamit dengan telunjuk,” cerita Samaun kepada ibu dan mamak-mamaknya sebagai alasan kuat mengapa dia tidak mau lagi balik ke Padang menjadi pegawai Kantor Residen.
Dari sinilah kita bisa menangkap bahwa Samaun telah menjadi seorang remaja yang dewasa. Dia sudah dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya.

Ikut Perjuangan
Sebagai seorang remaja, perkembangan diri Samaun telah tumbuh dengan pesat. Apalagi saat itu dia sudah menjadi seorang remaja dengan pemikiran nasionalisme yang demikian tinggi. Lihat saja bagaimana dia mampu berbicara tentang revolusi dan berbagai sarana/prasarana yang seharusnya menjadi milik pribumi. “Kereta api kita punya, jalan raya kita punya, Ombilin kita punya.” Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah dirinya memiliki “kartu merah” sebagai anggota radikal. Dia menjadi anggota partai PNI masa itu.
Pergerakan Samaun pun sudah tidak bisa lagi diatur dan dikendalikan oleh kedua orang-tuanya. Juga ketika secara diam-diam Samaun telah melibatkan diri ke dalam kelompok perjuangan.
Suatu kali pernah pihak Gouverment, lewat pasukan marsose, berhasil mengendus pergerakan perjuangan. Secara cepat Gouverment melakukan razia di setiap daerah yang dicurigai sebagai markas dan jalur perlintasan pemberontak. Dan saat razia dilakukan di Alung, beberapa orang pejuang berhasil diciduk, ternyata salau satunya adalah Samaun Bakry.
Bersyukur, saat razia tersebut ada Sergeant Toemengkol, suami Pensi Bagindo dari Manado yang memang tanpa diketahui oleh pasukan Belanda sebenarnya masih bersaudara dengan Samaun. Sergeant lansung melepaskan Samaun dengan dalih anak itu baru berusia 17 tahun.
Sekadar pengetahuan, ternyata di dalam kelompok pejuang yang berhasil diringkus oleh Gouverment itu terdapat mamak-mamak Samaun. Mereka sempat dikurung dalam kandang kawat berduri dan dipukuli dengan cemeti. Bersyukur pada mamak itu berhasil meloloskan diri.
Setelah berhasil keluar, mamak-mamak itu langsung menemui Samaun dan berkata, “Jangan berpikir yang tidak-tidak lagi buyung. Kini kita sudah hancur. Tak mungkin melawan. Kau ikuti apa baiknya saja. Jangan waang meniru-niru Tuanku Nan Garang, sia-sia belaka. Kembalilah ke Padang. Tengalah kami!” Demikian nasehat mamak-mamak yang telah putus asa menghadapi kenyataan pahit.
Perjuangan melawan kompeni Belanda memang telah kerap dilakukan sebagian warga masyarakat Sumatera Barat pada saat itu. Termasuk di Padang dan juga di Nagari Kurai Taji. Meski kerap diringkus namun api perjuangan  tidak pernah padam.
Di antaranya tahun 1926 pecah perjuangan di Nagai Kurai Taji. Perjuangan kali ini dipimpin oleh Bagindo Baralian Gelar Rajo Luwangso yang merupakan keponakan dari Bagindo Abu Bakar. Tapi naas, perjuangan tersebut berhasil dibuat kocar-kacir dan panik oleh marsose Belanda. Akibatnya, sebagian besar pejuang merasa kapok.
Lain halnya dengan Samaun. Melihat kejadian itu dia justru semakin bersemangat berjuang. “Saya akan melawan Belanda sampai mati!” ucap Samaun berapi-api. Apalagi dilihatnya banyak mamak-mamak menangisi para kemenakannya lelaki yang tewas, padahal mereka diharapkan dapat menjadi penengah keluarga matrilineal. Dengan tekad bulat Samaun pun pergi ke Padang.
Tapi, tak lama berselang, Samaun balik lagi ke Nagari Kurai Taji. Kepulangan Samaun ini membuat seluruh keluarga terperanjat. Pasalnya, Samaun yang barusia 19 tahun itu pulang dengan membawa uang F17,50 dan sepucuk surat sebagai serdadu Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Apa yang sebetulnya terjadi dan dipikirkan oleh Samaun sampai-sampai dia menanda-tangani kontrak dinas selama tiga tahun sebagai serdadu KNIL? Konyolnya lagi, dia telah menggenggam uang kontrak kerja tersebut. Tentu saja berita ini menghebohkan, lantaran tidak ada dalam sejarahnya anak Minangkabau yang bersedia menjadi serdadu Belanda. Tapi, mengapa Samaun berbeda?
“Kok jadinya begini? Kau berkata akan melawan terus sampai mati, tapi justru masuk menjadi serdadu Belanda?” Mamak-mamaknya bertanya penuh keheranan.
Kendati para mamak mrah dan gusar, Samaun tetap tenang. Dengan enteng dia menjawab, “Diusahakan melawan dari dalam.”
Sontak ninik-mamak kembali tercengang dan heboh. Mereka tidak menyangka jalan pikiran Samaun. Walau tujuannya sangat cemerlang namun mereka jelas tidak sepakat bila Samaun menjadi KNIL. Lalu bagaimana cara menyelesaikan persoalan ini.
Tidak ada cara lain kecuali harus mengembalikan uang kontrak dinas yang telah dipegang oleh Samaun. Tentu tidak mudah, karena pihak Belanda pasti tidak mau menerima begitu saja.
Di saat itulah Haji Ahmad, seorang kaya raya di Nagai Kurai Taji, turun tangan. Haji Ahmad merogoh sakunya dalam-dalam untuk mengembalikan dua kali lipat uang kontrak yang telah dipegang Samaun. Singkat cerita, akhirnya Samaun berhasil dikeluarkan lagi dari kontrak dinas KNIL. Lepas dari kontrak KNIL, Samaun lalu bekerja sebagai korensponden surat kabar harian Persamaan di Padang (1928-1935).
Memang, siasat yang akan dilakukan Samaun untuk melawan Belanda dengan cara masuk ke dalam tubuh KNIL, terbilang cukup jitu. Dan itu pun sebenarnya telah dilakukan oleh beberapa pejuang Tanah Air, karena tanpa diketahui oleh banyak orang sebenarnya ada beberapa bagindo yang telah menyusup menjadi tentara KNIL. Salah satunya Marten Bagindo Sergeant KNIL.
Marten sendiri adalah cucu Pangeran Baginda Talabe. Dia adalah serdadu KNIL namun sejak 1910 –secara diam-diam—membina hubungan atau komunikasi dengan para Bagindo, termasuk dengan Tuanku Nan Garang. Misalkan sekitar setahun setelah perang Ulakan usai, Bagindo Abu Bakar bersama sekelompok tamu asing datang ke pendakian Paguh Kurai Taji. Tamu asing dari Padang itu terdiri dari lima orang lelaki dan lima orang perempuan, di mana dua orang lelaki berpakaian seragam KNIL sedangkan para perempuan berpakaian aneh dengan sanggul dipucuk di kepala.
Bagindo Abu Bakar langsung memperkenalkan tamu asing tersebut kepada istrinya, “Fah, ini adik, ini ipar, dan ini anak menantu saya.”
Syarifah tercengang melihat kehdairan tamu asing di rumahnya. Dengan nada keheranan ia bertanya, “Adik, ipar, anak menantu bagaimana?”
“Ini Mahmud adik saya, dan ini istrinya. Sementara yang ini Pensi adik Marten, dan ini suaminya, Toemengkol,” jelas Bagindo Abu Bakar memperkenalkan satu per satu tamunya kepada Syarifah.
“Saya tidak mengerti,” ujar Syarifah yang masih terdiam.
Namun akhirnya, setelah mendapat penjelasan yang lebih panjang, Syarifah mulai mengerti siapa sebetulnya Mahmud, Pensi, Marten atau Toemengkol. Ternyata mereka masih keturunan dari Tuanku Nan Garang dari istrinya di Manado.
Di kalangan kaum terpelajar Sumatera Barat, kaum nasionalis dan kalangan kmunis, Samaun selalu dipanggil sebagai “Semaun”. Hal ini mengingatkan orang pada salah satu tokoh Sarekat Islam (SI) yang kemudian terkenal menjadi “SI Merah”. Sementara di sebagian lingkungan PID dan segelintir ambtenaar, namanya dibisik-bisikkan sebagai “Pira’un” (Firaun = Pharao).
Begitulah kisah masa remaja Samaun. Dia tidak pandang pilih untuk bergaul dengan berbagai kalangan masyarakat. Dari lingkungan Parewa sampai surau, sampai ke lingkungan terpelajar hingga kaum radikal dan komunis. Tapi toh, dia tetap diterima, bahkan menjadi kebanggaan.
Kegelisahan memang terjadi dalam diri Samaun Bakry. Kegelisahan itu ditandai dengan dimilikinya “kartu merah”, kemudian sebagai PNI, lalu PSII dan Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Anak muda yang baru berusia 20 tahun ini selalu tertarik kepada berbagai macam gerakan politik untuk menggapai kemerdekaan Indonesia. Walau Samaun sendiri belum mempunyai prinsip-prinsip politik, kecuali sifat-sifatnya yang keras dan radikal.
Apalagi saat itu api perjuangan membara di Minangkabau. Sejak perang Padri usai (1837), suasana perjuangan rakyat Minangkabau terus menggelora. Perjuangan-perjuangan kerap meletup dan meletus di mana-mana secara sporadis. Tokoh-tokoh perjuangan pun tampak muncul secara bergantian, yaitu antara ninik-mamak, alim ulama, dan parewa di setiap nagari.
Situasi ini tentu tak ditinggalkan oleh Samaun. Dia ikut pula terlibat di setiap perjuangan yang terjadi. Karena, ini adalah jalan yang diinginkannya, sebagaimana dia seringkali mengucapkan kata “merdeka”.
Sementara bersamaan dengan berjalannya waktu, ayahnya Bagindo Abu Bakar sudah mulai sakit-sakitan. Dan di akhir 1928 Bagindo Abu Bakar wafat dalam usia 92 tahun di rumah istrinya Siti Sawiyah alias Upik Putih yang telah meninggal duluan (1926) di Alang Lawas Padang.

Hati Samaun Gampang Tersentuh
Selain pintar, Samaun anak nazar ini memiliki sifat-sifat yang di mata banyak orang terlihat aneh. Bahkan, kerap membuat geleng-geleng sekaligus mengangguk-angguk. Misalkan saja, suatu waktu ada seseorang datang ke Samaun. Orang itu lalu bercerita pada Samaun bahwa dirinya membutuhkan kain sarung untuk shalat, namun dia tidak memiliki uang untuk membeli. Mendengar keluhan itu, tanpa berpikir panjang, Samaun langsung memberikan sarung yang sedang dikenakannya kepada orang miskin tersebut.
Ya, seperti itulah sosok Samaun. Bahkan, bukan cuma sarung, tapi juga jas, kemeja ataupun peci yang dipakainya juga telah berpindah tangan kepada setiap orang yang datang dan mengadu kepadanya. Sebab itulah, pantas bila orang-orang yang melihat dan mendengar kisah itu langsung menilai aneh sosok Samaun.
Tapi, suatu hari Samaun pernah bernasib buruk. Kejadiannya pada tahun 1928 ketika Samaun memberikan kain sarung Bugis kesayangan ibunya kepada seseorang. Tak pelak hal itu membuat ibunya marah.
Sekadar pengetahuan, kain sarung Bugis berbeda dengan kain sarung yang lain. Saat itu kain sarung Bugis termasuk barang yang relatif mahal, bergengsi dan dijadikan pusaka oleh warga masyarakat Minangkabau. Akibatnya, ketika Samaun pulang dan tidak lagi bersarung Bugis, ibunya langsung bertanya-tanya.
“Sudah saya berikan kepada yang membutuhkan,” jawab Samaun tenang, seolah tiada persoalan apa-apa.
Mendengar jawaban seperti itu, Syarifah tak mampu lagi menahan diri. Ia langsung menyambar sapu dan cerek. Melihat ibunya yang ingin menhantamnya, Samaun langsung berlari ke luar rumah. Satu sepakan cerek sempat mengenai tubuh Samaun, tapi anak itu terus berlari.
Setelah kejadian itu, Samaun tidak pulang. Dia baru pulang ke rumah pada keesokan harinya.
Syarifah tidak lagi berang namun ia mencoba mensehati anaknya itu. “Bagaimana kau ini Samaun? Keadaan sekarang begini sulit, kau malah menghabiskan apa yang ada, mulai dari toko, pabrik, kini kau justru mulai menghabiskan apa yang ada padaku!”
Samaun berusaha menjawab, “Kalau sudah merdeka, semua kesulitan akan hilang.”
“Merdeka,merdeka katamu. Aku juga ingin merdeka, tapi tidak dengan menghabiskan harta seperti caramu itu. Dan aku mendengar kau berutang di mana-mana, itu kan membuat malu keluarga!” Suara ibunya kembali meledak-ledak.
Kacau. Setelah membagi-bagikan pakaiannya ternyata ibunya juga mengetahui bahwa Samaun telah memiliki banyak utang.
Kabar tentang Samaun yang memiliki banyak utang benar adanya. Dia banyak berutang pada para pedagang atau orang berduit di banyak tempat. Dan itu sebenarnya telah pula diketahui oleh banyak orang.
Mengapa Samaun banyak berutang? Ternyata hal ini berkaitan dengan sikapnya yang aneh yang gampang memberikan apa saja yang dibutuhkan oleh orang yang mengadu padanya. Sayangnya, solusi Samaun pun tergolong aneh. Bilamana sudah tidak ada lagi yang dapat diberikannya, Samaun langsung membwa orang-orang muskin tersebut ke sebuah toko atau kedai. Di toko itulah dia membelikan keperluan orang-orang miskin yang datang kepadanya, kendati ujung-ujungnya membuat bon utang.
Yang tidak masuk di akal lagi, para pemilik toko tersebut tidak menagih utang kepada Samaun. Mereka sepertinya sudah mengetahui bahwa bon-bon utang itu tidak akan terlunasi. Sebab itu para pemilik toko menganggap utang Samaun sama saja seperti zakat yang diberikan Samaun kepada orang-orang miskin melalui toko mereka.
Lantaran todak ingin melihat Samaun bertingkah aneh-aneh lagi, paling tidak menjauhkan Samaun dari perang gerilya melawan Belanda, ayahnya langsung bergegas pulang kampung. Di sana Bagindo Abu Bakar mendirikan sebuah pabrik Limundo. Lalu Samaun ditunjuk untuk mengendalikan dan mengelola pabrik tersebut. Namun tidak berlangsung lama, pabrik itu bangkrut. Kehancuran perusahaan itu jelas gara-gara Samaun yang mempercayakan seseorang untuk mengendalikannya namun justru membawa pada kehancuran.
Hal itu tidak menyurutkan niat Bagindo Abu Bakar untuk menjadikan Samaun sebagai seorang pengusaha. Setelah pabrik Limundo bangkrut, selanjutnya Bagindo membuatkan sebuah toko untuk Samaun. Toko yang lumayan besar yang menjual porselen, kromopon, jam dan barang modern lainnya. Kali ini nasibnya sama saja. toko itu kembali bangkrut lantaran –lagi-lagi—Samaun menyuruh seorang parewa (preman) untuk mengelolanya.
Kali habis pula semangat Bagindo Abu Bakar untuk mendidik dan membangunkan tempat usaha untuk Samaun. Bagindo telah kehabisan akan dan kesabaran. Dia sudah tidak peduli lagi hendak ke mana masa depan Samaun.
Dalam situasi seperti ini Samaun pun resah-gelisah. Setiap hari dia tampak hilir-mudik dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu surau kesurau yang lain. Bahkan dirinya dapat secara mudah dijumpai di kalangan preman “Cap Tombak” atau kalangan preman lainnya.
Di kelompok preman, Samaun lebih dikenal dengan nama “Karibana”. Nama Karibana sendiri sebetulnya nama dari seorang tokoh parewa yang paling terkenal di ondistrik Lubuk Alung. Karibana juga seorang “Runcing Tanduk” yang amat ditakuti, karena memiliki berbagai ilmu kejahatan dan disegani orang “bagak” yang baru keluar dari penjara Cilacap, Jawa Tengah.
Demikianlah kehidupan keseharian Samaun selepas dirinya tidak lagi bekerja di Kantor Residen Padang. Keadaan psikologisnya tampak tidak stabil. Di mana saja dia berada hanya untuk mencari kesibukan.
Dan diceritakan oleh anak Jawinya, yaitu Marasisir yang pernah menjadi tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di Kabupaten Padang Pariaman, bahwa Samaun juga tidak terlalu larut dalam kehidupan parewa karena terkadang dia dapat pula ditemui di kalangan rakyat dan lingkungan para seniman “Indang”. Di kelompok kesenian inilah pengetahuan politik Samaun mulai bertambah, walau semua itu disampaikan secara kiasan atau dengan lambang (metaforik).
Pun begitu dilakangan surau, Samaun cukup aktif. Bahkan namanya kerap diucapkan dengan logat Arab secara fasih. “Samaun” disengaukan dengan suara berdengung dalam hidung yang bermakna “mendengar”.
Itulah jalan pemikiran seorang Samaun yang berbeda dengan kebanyakan orang. Anak muda yang bertampang mirip ibunya dan hanya bertinggi badan sekitar 160 centimeter ini memang tengah gelisah dan mencari jati dirinya. Terlebih semangat mudanya yang senantiasa menyala-nyala dalam meneriakkan perjuangan, kendati dia sendiri belum mengetahui realisasi perjuangan itu sendiri. ***  


No comments:

Post a Comment