Wednesday, December 25, 2013

Sekitar Proklamasi dan Masa Kemerdekaan



Dengan disaksikan Sukarni, Chairul Saleh, Mr. Soebardjo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Sudiro (Mbah), B.M. Diah, Sayuti Melik, Semaun Bakri, kira-kira jam dua dinihari tanggal 17 Agustus 1945 ditanda-tanganilah naskah Proklamasi itu oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Catatan Adam Malik dalam buku “Riwayat Proklamasi”

MEMASUKI tahun 1944, tanda-tanda kehancuran dan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II mulai tampak. Pada tahun itu Saipan jatuh ke tangan Sekutu. Lalu balatentara Jepang di Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Kepulauan Marshall, dipukul mundur oleh pasukan Sekutu. Dengan demikian seluruh garis pertahanan Jepang di Pasifik telah hancur. Selanjutnya Jepang mengalami serangan udara di kota Ambon, Makasar, Manado dan Surabaya. Bahkan, pasukan Sekutu telah mendarat di daerah-daerah minyak seperti Tarakan dan Balikpapan.
Dalam situasi kritis tersebut, pada tanggal 1 Maret 1945, Letnan Jenderal Kumakici Harada, pimpinan pemerintah pendudukan Jepang di Tanah Jawa, mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Junbi Cosakai). Pembentukan badan ini bertujuan untuk menyelidiki hal-hal penting menyangkut pembentukan negara Indonesia merdeka. Pengangkatan pengurus badan ini diumumkan pada 29 April 1945. Dan dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat diangkat sebagai Ketua (Kaico). Sedangkan yang duduk sebagai Ketua Muda (Fuku Kaico) pertama dijabat oleh seorang Jepang, Shucokan Cirebon yang bernama Icibangase. Kemudian R.P. Suroso diangkat sebagai Kepala Sekretariat yang dibantu oleh Toyohito Masuda dan Mr. A.G. Pringgodigdo.
Pada tanggal 28 Mei 1945 dilangsungkan upacara peresmian BPUPKI di Gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri), Jakarta. Upacara peresmian itu dihadiri pula oleh dua pejabat Jepang, Jenderal Itagaki (Panglima Tentara Ketujuh yang bermarkas di Singapura) dan Letnan Jenderal Nagano (Panglima Tentara Keenambelas yang baru). Pada kesempatan itu dikibarkan  bendera Jepang, Hinomaru, oleh Mr. A.G. Pringgodigdo yang disusul dengan pengibaran bendera Sang Merah-Putih oleh Toyohiko Masuda. Peristiwa itu membangkitkan semangat para anggota BPUPKI dalam upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya pada 29 Mei 1945 BPUPKI bersidang yang pertama guna merumuskan Undang-undang Dasar (UUD) yang diawali dengan pembahasan mengenai persoalan “dasar” bagi Negara Indonesia Merdeka.
Pada sidang pertama BPUPKI yang berakhir 1 Juni 1945 itu Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya yang kemudian dikenal sebagai “Lahirnya Pancasila”. Keistimewaan pidato Ir. Sukarno, selain berisi pandangan mengenai Dasar Negara Indonesia Merdeka, juga berisi usulan mengenai nama bagi dasar negara, yaitu : Pancasila, Trisila, atau Ekasila. Sidang pun memilih nama Pancasila sebagai nama dasar negara. Namun persidangan tersebut belum menghasilkan keputusan akhir mengenai Dasar Negara Indonesia Merdeka. Selanjutnya diadakan masa “reses” selama satu bulan lebih.
Pada tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang beranggotakan 9 orang. Karena itu, panitia ini disebut pula Panitia Sembilan –dengan anggota Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Moh. Yamin, Mr. Ahmad Soebardjo, Mr. A.A. Maramis, Abdulkadir Muzakkir, K.H. Wachid Hasyim, K.H. Agus Salim, dan   Abikusno Tjokrosujoso.
Musyawarah dari Panitia Sembilan ini kemudian menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan Negara Indonesia Merdeka. Oleh Moh.Yamin, rumusan itu diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Rumusan draft dasar negara Indonesia Merdeka itu:
1.   Ke-Tuhan-an, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2.   (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.   Persatuan Indonesia;
4.   (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5.   (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, pada tanggal 10 Juli 1945 dibahas Rencana Undang-undang Dasar, termasuk soal pembukaan atau preambule-nya oleh sebuah Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan beranggotakan 21 orang. Hari berikut, 11 Juli 1945, Panitia Perancang Undang-undang Dasar dengan suara bulat menyetujui isi preambule (pembukaan) yang diambil dari Piagam Jakarta.
Kemudian panitia tersebut membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Supomo dengan anggota Mr. Wongsonegoro, Mr. Ahmad Soebardjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, H. Agus Salim dan Sukiman. Hasil perumusan panitia kecil ini lalu disempurnakan bahasanya oleh Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari Husein Djajadiningrat, Agus Salim dan Supomo.
Lantas BPUPKI melaksanakan sidang yang kedua pada 14 Juli 1945 dalam rangka menerima laporan Panitia Perancang Undang-undang Dasar. Selaku ketua panitia, Soekarno melaporkan tiga hasil, pertama, Pernyataan Indonesia Merdeka. Kedua, Pembukaan Undang-undang Dasar. Dan ketiga, Undang-undang Dasar (batang tubuh).

Golongan Muda Terus Mendesak
Sebelum BPUPKI dibentuk di Bandung pada tanggal 16 Mei 1945 telah diadakan Kongres Pemuda Seluruh Jawa yang diprakarsai Angkatan Moeda Indonesia. Organisasi itu sebenarnya dibentuk atas inisitaif Jepang pada pertengahan 1944, namun kemudian justru berkembang menjadi suatu pergerakan pemuda yang anti-Jepang. Kongres pemuda itu dihadiri oleh lebih 100 utusan pemuda, pelajar dan mahasiswa seluruh Jawa di antaranya Djamal Ali, Chairul Saleh, Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto serta sejumlah mahasiswa Ika Daigaku Jakarta. Kongres mengimbau para pemuda di Jawa hendaknya bersatu dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan yang bukan hadiah Jepang. Setelah tiga hari berlangsung kongres akhirnya memutuskan dua buah resolusi, yaitu:
·         Semua golongan Indonesia, terutama golongan pemuda, dipersatukan dan dibulatkan dibawah satu pimpinan nasional.
·         Dipercepatnya pelaksanaan pernyataan kemerdekaan Indonesia. Walaupun demikian kongres pun akhirnya menyatakan dukungan sepenuhnya dan kerjasama erat dengan Jepang dalam usaha mencapai kemerdekaan.
Pernyataan tersebut tidak memuaskan beberapa tokoh pemuda yang hadir, seperti utusan dari Jakarta yang dipimpin oleh Sukarni, Harsono Tjokroaminoto dan Chairul Saleh. Mereka bertekad ingin menyiapkan suatu gerakan pemuda yang lebih radikal. Untuk itulah pada tanggal 3 Juni 1945 diadakan suatu pertemuan rahasia di Jakarta untuk membentuk suatu panitia khusus yang diketuai oleh B.M. Diah, dengan anggota Sukarni, Sudiro, Sjarif Thajeb, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Chairul Saleh, P. Gultom, Supeno dan Asmara Hadi.
Pertemuan semacam itu kembali diadakan pada 15 Juni 1945, yang menghasilkan pembentukan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia. Dalam praktiknya kegiatan organisasi itu banyak dikendalikan oleh para pemuda dari Asrama Menteng 31. Tujuan gerakan itu, sebagaimana yang tercantum di dalam surat kabar Asia Raja pada pertengahan Juni 1945, menunjukkan sifat gerakan yang lebih radikal sebagai berikut:
* Mencapai persatuan kompak di antara seluruh golongan masyarakat Indonesia;
* Menanamkan semangat revolusioner massa atas dasar kesadaran mereka sebagai rakyat yang berdaulat;
* Membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
* Mempersatukan Indonesia bahu-membahu dengan Jepang, tetapi jika perlu gerakan itu bermaksud untuk mencapai kemerdekaan dengan kekuatannya sendiri.
Aktivitas golongan muda terus berlanjut melalui Gerakan Rakyat Baroe yang dibentuk berdasarkan hasil sidang ke-8 Cuo Sangi In yang mengusulkan berdirinya suatu gerakan untuk mengobarkan semangat cinta kepada Tanah Air dan semangat perang. Pembentukan badan ini diperkenankan oleh Saiko Shikikan yang baru, Letnan Jenderal Y. Nagano, pada 2 Juli 1945. Susunan pengurus pusat organisasi ini berjumlah 80 orang. Anggotanya terdiri dari penduduk asli Indonesia dan bangsa Jepang, golongan Cina, golongan Arab dan golongan peranakan Eropa. Tokoh-tokoh pemuda radikal seperti Chairul Saleh, Sukarni, B.M. Diah, Asmara Hadi, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Sudiro, Supeno, Adam Malik, S.K. Trimurti, Sutomo dan Pandu Kartawiguna diikut-sertakan dalam organisasi tersebut.
Tujuan pemerintah Jepang mengangkat wakil-wakil golongan muda di dalam organisasi itu adalah agar pemerintah Jepang dapat mengawasi kegiatan-kegiatan mereka. Sumobuco Mayor Jenderal Nishimura menegaskan bahwa setiap pemuda yang tergabung di dalamnya harus tunduk sepenuhnya kepada Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang) dan mereka harus bekerja di bawah pengawasan pejabat-pejabat pemerintah. Artinya kebebasan bergerak para pemuda dibatasi, sehingga timbullah rasa tidak puas. Karena itu, tatkala Gerakan Rakyat Baroe ini diresmikan pada tanggal 28 Juli 1945, tidak seorang pun pemuda radikal yang bersedia duduk kursi yang telah disediakan. Nampak semakin tajam perselisihan paham antara golongan tua dan golongan muda tentang cara melaksanakan pembentukan negara Indonesia Merdeka.
Lalu pada 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan. Sebagai gantinya, pemerintah pendudukan Jepang membentuk PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai). Sebanyak 21 anggota PPKI yang terpilih tidak terbatas pada wakil-wakil dari Jawa yang berada di bawah pemerintahan Tentara Keenambelas, namun juga dari berbagai pulau, yaitu 12 wakil dari Jawa, 3 wakil dari Sumatera, 2 wakil dari Sulawesi, seorang dari Kalimantan, seorang dari Sunda Kecil (Nusa Tenggara), seorang dari Maluku dan seorang lagi dari golongan penduduk Cina. Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua PPKI dan Drs. Moh. Hatta menjadi wakil ketua. Sedangkan Mr. Ahmad Soebardjo ditunjuk sebagai penasehatnya.
Kepada para anggota PPKI, Gunseikan Mayor Jenderal Yamamoto menegaskan bahwa para anggota PPKI tidak hanya dipilih oleh pejabat di lingkungan Tentara Keenambelas, tapi oleh Jenderal Besar Terauci sendiri yang menjadi penguasa perang tertinggi di Asia Tenggara.
Dalam rangka pengangkatan itulah, Jenderal Besar Terauci memanggil tiga tokoh Pergerakan Nasional --Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan dr. Radjiman Wediodiningrat. Pada 9 Agustus 1945 mereka berangkat menuju markas besar Terauci di Dalat, Vietnam. Dalam pertemuan di Dalat pada  tanggal 12 Agustus 1945 Jenderal Besar Terauci menyampaikan kepada ketiga tokoh itu bahwa Pemerintah Kemaharajaan telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Pelaksanaannya dapat dilakukan segera setelah persiapannya selesai oleh PPKI. Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.
Terauci memberi angin segar kemerdekaan tidak terlepas dari tragedi perang pada tanggal 6 Agustus 1945 ketika sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang. Tragedi ini mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai) dibubarkan lalu berganti PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki. Tak pelak, Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya.
Pada 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan Indoneisa dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke Tanah Air dari Dalat, Sutan Sjahrir lantas mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Syahrir menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu. Dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang, proklamasi harus cepat-cepat dilakukan.
Hatta menceritakan kepada Sjahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin sepenuhnya bahwa Jepang memang telah menyerah, dan menganggap proklamasi kemerdekaan Indonesia saat itu akan menimbulkan pertumpahan darah yang besar dan dapat berakibat sangat fatal bilamana para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan lantaran itu menjadi hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI merupakan badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan “hadiah” dari Jepang.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Lalu golongan muda mendesak golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak mau terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta lantas mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab bahwa dia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI pada pukul 10 pagi tanggal 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon Nomor 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Rupanya tanggal Agustus 1945, gejolak tekanan yang menghendaki pengambil-alihan kekuasaan oleh bangsa Indonesia makin memuncak dilancarkan oleh para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus yang sedianya diselenggarakan pukul 10 pagi batal dilaksanakan lantaran Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Samaun Saksi Penyusunan Naskah Proklamasi
Ceritanya, para pemuda pejuang --antara lain Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana-- terbakar gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Mereka kehilangan kesabaran. Pada 16 Agustus 1945 dinihari, bersama Shodanco Singgih (salah seorang anggota PETA) dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda (Wikana) dan golongan tua (Mr. Ahmad Soebardjo) terus berunding. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Namun dia mengingatkan agar para pemuda tidak terburu-buru. Lantas diutuslah Yusuf Kunto guna mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok, menjemput Soekarno dan Moh. Hatta balik ke Jakarta. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing karena Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan Harmoni) tidak dapat digunakan buat pertemuan setelah pukul 10 malam. Sebab itu, tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Malam harinya, Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak bersedia menerima Soekarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.
Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu. Mereka menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Soekarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi-halangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tahu-menahu. Melihat perdebatan yang panas itu, secara diam-diam Maeda meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar dia mematuhi perintah Tokyo. Dan sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) Maeda menyadari dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Soekarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat dengan agenda menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Soekarno-Hatta, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh tokoh-tokoh nasional lain masa itu. Sebagaimana diungkapkan oleh Adam Malik dalam bukunya yang berjudul Wiwayat Proklamasi, tokoh-tokoh tersebut antara lain dr. Radjiman Widyodiningrat, Mas Sutarjo Kartohadikusumo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Abikusno Cokrosuyono, dr. Buntaran Martoatmojo, R. Otto Iskandardinata, Prof. Dr. Mr. Supomo, Ki Hajar Dewantara, Sukarjo Wiryopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, Dr. G.S.S.J. Ratulangi, K.H. Wachid Hasyim, Mr. J. Latuharhay, Mr. I Gusti Ktut Puja, dr. Samsi, dr. Amir, Mr. Teuku Moh. Hasan, Mr. Abdul Abbas, Hamidhan, A.A. Rivai, Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultang Deang Raja, Chaerul Saleh, Harsono Cokroaminoto, Sayuti Melik, Samaun Bakry, Sukarni, Sudiro (Mbah), BM. Diah, dan Syarif Al Wahidin Nasution.
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan rumah Laksamana Maeda. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno. Di ruang depan, B.M. Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro menunggu dengan tekun. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Semula pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi Nomor 1).
Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10.00 dengan pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah-Putih (Sang Saka Merah-Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Disusul kemudian sambutan oleh Soewirjo (Wali Kota Jakarta saat itu) dan Moewardi (pimpinan Barisan Pelopor). Setelah upacara selesai, sekitar 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru lantaran mereka tidak mengetahui perubahan tempat secara mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.

Isi Teks Proklamasi

Dari catatan historis, teks naskah proklamasi mengalami perkembangan sebelum menjadi naskah yang kita kenal selama ini. Semula berupa naskah Proklamasi Klad yang merupakan asli tulisan tangan oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat –yang kini naskahnya disimpan di Monumen Nasional (Monas):
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/bc/Proklamasi_Klad.jpg/300px-Proklamasi_Klad.jpg

Kemudian naskah klad tersebut digubah oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, yang isinya adalah sebagai berikut :
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 - 8 - '05
Wakil2 bangsa Indonesia.

Selanjutnya, naskah tersebut mengalami penyempurnaan dan menjadi naskah yang selama ini kita kenal sebagai Naskah "Proklamasi Otentik" dan juga ditempatkan di Monumen Nasional (Monas). Naskah "Proklamasi Otentik" ini merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi). Redaksional naskah Proklamasi Otentik sebagai berikut:
P R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.

Ketika menulis naskah proklamasi, para pendiri negeri ini tidak memakai kalender Masehi. Mereka menggunakan kalender Jepang. Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan kependekan dari angka "tahun 2605". Pada masa pendudukan militer Jepang, masyarakat bangsa Indonesia harus menggunakan tahun penanggalan yang dipergunakan pemerintah pendudukan militer Jepang. Dan sesuai dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, kala itu adalah tahun 2605.
Perbedaan teks naskah Proklamasi Klad dan Proklamasi Otentik. Teks naskah Proklamasi Otentik sudah mengalami beberapa perubahan, sebagai berikut:
        Kata "Proklamasi" diubah menjadi "P R O K L A M A S I",
        Kata "Hal2" diubah menjadi "Hal-hal",
        Kata "tempoh" diubah menjadi "tempo",
        Kata "Djakarta, 17 - 8 - '05" diubah menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05",
        Kata "Wakil2 bangsa Indonesia" diubah menjadi "Atas nama bangsa Indonesia",
        Isi naskah Proklamasi Klad merupakan tulisan tangan asli Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Sedangkan isi naskah Proklamasi Otentik adalah hasil ketikan Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi),
        Pada naskah Proklamasi Klad memang tidak ditanda-tangani, sementara pada naskah Proklamasi Otentik sudah ditanda-tangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/07/Proklamasi.png/300px-Proklamasi.png
http://bits.wikimedia.org/static-1.23wmf3/skins/common/images/magnify-clip.png

Cara Penyebaran Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas. Selain itu, hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, menjadi sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Namun dengan penuh tekad dan semangat berjuang, akhirnya peristiwa proklamasi dapat diketahui oleh segenap rakyat Indonesia.
Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu pula, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Dia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian dia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, gara-gara mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, namun Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei), para pemuda ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebar-luasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh koran harian di Jawa --dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945-- memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan pun disebar-luaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!). Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping melalui media massa, berita proklamasi disebarkan pula secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi, antara lain Teuku Mohammad Hassan dari Aceh, Sam Ratulangi dari Sulawesi, Ketut Pudja dari Sunda Kecil (Bali), dan A.A. Hamidan dari Kalimantan.

Samaun Bakry Jadi Anggota KNIP
Tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 1945. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan PPKI sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan Wakil Presiden akan dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Dan Samaun Bakry pun duduk sebagai anggota KNIP mewakili wilayah Jawa Barat.
Selain pernah menjadi anggota KNIP mewakili Jawa Barat, Samaun juga sempat menjadi salah seorang petugas Gubernur Jawa Barat yang pertama Mr. Dt. Djamin dan salah seorang pembantu terpenting Wali Kota Jakarta (masa itu) Soewirjo.
Pada saat Samaun Bakry mengemban amanah sebagai staf Gubernur Jawa Barat itu, pecah peristiwa Bandung Lautan Api. Yakni, peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. ***


No comments:

Post a Comment