Hampir dua bulan diterapkan, pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional masih dikeluhkan sejumlah pasien di Jakarta. Peserta mengeluhkan penurunan nilai keuntungan dibandingan pola jaminan kesehatan sebelumnya.
Sebagai
contoh, menurut pantauan Jumat (21/2/2014), pasien di RSUD Tarakan, Jakarta
Pusat, masih dibebani biaya obat yang tidak tersedia di apotek rumah sakit
tersebut. Padahal, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seharusnya dapat
mencakup seluruh layanan kesehatan dan obat pasien. Pembiayaan obat yang
dibebankan kepada pasien disebabkan kurang tepatnya skema pembiayaan JKN.
Munthe
Silaen (56), pasien penyakit jantung, mengatakan, sekitar sebulan lalu ia
dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD Tarakan karena penyakitnya
kambuh. Saat dirawat di ICU, ia harus mengeluarkan biaya Rp 1,1 juta untuk
membeli dua jenis obat, yaitu Lovenox dan OMZ, yang masing-masing seharga Rp
265.000 dan Rp 165.000 per botol.
"Waktu
itu, dokter dan perawat bilang kami harus menebus di apotek lain karena obat
itu tidak tersedia di apotek rumah sakit,” ujar Munthe saat mengantre obat di
RSUD Tarakan, Jumat.
Sopir
perusahaan aspal hotmix itu mengatakan, biaya tersebut bagi dia cukup mahal.
Namun, ia tetap harus menebus obat cair yang disuntikkan ke badannya itu. Ia
tidak mau serangan jantung tersebut kian parah.
Pria
yang terdaftar sebagai peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS) itu mengatakan,
pelayanan JKN tidak bisa mencakup seluruh tindakan kesehatan dan kebutuhan
obat. Saat memegang KJS, ia mengaku sudah dua kali operasi kelenjar getah
bening (tiroid) dan lipoma. Masing-masing operasi itu menghabiskan dana Rp 22
juta dan Rp 8,7 juta. Namun, kala itu ia tidak dibebani biaya sepeser pun untuk
biaya operasi.
"Saya
merasakan perbedaan itu betul karena saya sudah dua kali operasi. Baru kali ini
dirawat di ruang ICU saya harus tebus obat sendiri," ujar bapak empat anak
tersebut.
Penuturan
serupa diungkapkan Dairoh (52). Warga Jelambar, Jakarta Barat, tersebut juga
harus membeli beberapa jenis obat yang tidak ada di RSUD Tarakan.
"Beberapa jenis obat yang tidak ada di rumah sakit memang harus ditebus di
luar. Obat ditebus memakai dana sendiri," ujar Dairoh.
Dairoh
bahkan tidak mengetahui bahwa pelayanan KJS saat ini sudah langsung
terintegrasi dengan JKN. Karena masih memegang kartu KJS, ia menganggap
keluarganya masih terdaftar sebagai peserta KJS.
Sepekan
sekali, dengan menumpang bajaj, Dairoh dan suaminya, Sodikin (66), selalu
datang ke RSUD Tarakan. Kedatangannya itu untuk mengecek kesehatan Sodikin yang
sudah beberapa tahun terakhir sakit jantung. Sodikin juga berencana menjalani
operasi pemasangan ring di jantung. Saat ini, pemeriksaan intensif dilakukan
sebelum operasi.
Kurang paham
Theryoto,
Kepala Unit Pelaksana Teknis Jaminan Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan DKI,
mengatakan, dengan sistem INA- CBG, pasien tidak seharusnya dibebankan biaya
tindakan kesehatan ataupun obat. Sistem yang dimaksudkan Theryoto adalah biaya
yang diatur peraturan Menteri Kesehatan dengan mengelompokkan tarif pelayanan
kesehatan untuk suatu diagnosis dengan paket.
Pembiayaan
dengan skema INA-CBG tersebut sudah menetapkan berapa jumlah yang harus ditanggung
pemerintah untuk membiayai warga yang sakit. Jika rumah sakit tidak bisa
melakukan efisiensi, maka biaya tambahan menjadi beban dari rumah sakit.
Menurut
Theryoto, rumah sakit harus benar-benar memperhitungkan efisiensi saat
menangani pasien. Soal jenis obat, lanjutnya, merupakan kewenangan dokter untuk
memberikan obat jenis mahal dan murah kepada pasien. Saat biaya membengkak dan
melebihi alokasi dari JKN, rumah sakit seharusnya mengusulkan ke Kementerian
Kesehatan untuk menambah iuran dana yang ditanggung dalam program JKN.
"Sampai
sekarang tampaknya sosialisasi mengenai JKN ini belum sepenuhnya dipahami
masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya ada pasien yang terbebani biaya
obat," ungkapnya.
Sementara
itu, Koesmedi Priharto, Direktur RSUD Tarakan, mengakui masih ada kekurangan
pelayanan dalam program JKN tersebut. Kendala utama adalah persoalan alokasi
pembiayaan yang kurang tepat. Upaya perbaikan pelayanan kini dilakukan sembari
menunggu aturan baru dari Kementerian Kesehatan.
Jumlah
pasien JKN di RSUD Tarakan saat ini rata-rata 800-900 orang per hari. Sementara
jumlah tempat tidur yang dimiliki rumah sakit 486 unit. Sebanyak 76 persen di
antaranya digunakan oleh pasien kelas tiga. (megapolitan.kompas.com)
No comments:
Post a Comment