Tuesday, March 25, 2014

Begitulah Seharusnya Sabar


Al-Ashmu'i mengisahkan,[1] seorang wanita Arab ditimpa musibah dengan kematian anaknya saat dia sedang melakukan ibadah haji. Ketika dia menguburkannya, dia berdiri di atas kuburannya dan berkata, "Anakku, aku telah memberimu makan saat kau menyusu dan aku begitu cepat kehilanganmu seakan-akan antara keduanya hanya ada sedikit waktu untuk aku nikmati bersamamu. Setelah kemewahan, kenikmatan dan keindahan hidup serta memakai segala wewangian, sekarang kau berada di bawah tanah menjadi tubuh yang beku, hancur dan menjadi debu yang binasa. Anakku, ekor-ekor kebinasaan telah menarikmu dari dunia dan menempatkanmu di rumah yang usang, lalu melemparmu dengan musibah yang membinasakan. Anakku, pagi yang telah hilang gelapnya sudah menyinari wajah dunia untukku."
Lalu dia berkeluh-kesah, "Tuhanku, keadilan dari-Mu, di antara makhluk-Mu ada yang tidak adil. Kau telah menganugerahkan dia untukku sebagai penyejuk mata dan Kau tidak memberiku banyak kenikmatan dengannya, tetapi Kau merampasnya dariku begitu cepat. Kemudian Kau menyuruhku untuk bersabar dan menjanjikanku dengan kesabaran itu pahala yang besar. Aku percaya pada janji-Mu dan aku ridha pada keputusan-Mu. Semoga Allah SWT merahmati orang yang mengucapkan rahimallah  atas orang yang diurug tanah, berbantal tanah. Ya Allah, rahmatilah kesendiriannya, temanilah kesepiannya, tutupilah auratnya pada hari kehinaan dan keburukan akan diungkap."
Ketika ingin pulang, dia bertutur, "Anakku, aku telah menyiapkan bekal untuk perjalananku. Apakah bekalmu untuk perjalananmu yang jauh dan hari akhiratmu? Ya Allah, aku memohon keridhaan-Mu untuknya dengan keridhaanku padanya."
Kemudian dia berujar, "Aku titipkan kau pada Dia yang telah menitipkanmu sewaktu masih janin dalam perutku. Ibu-ibu yang anaknya mati, alangkah sakit hati mereka, risau malam mereka, singkat siang mereka, sedikit kegembiraan mereka, sangat kesepian mereka, amat jauh dari kegembiraan dan amat dekat dengan kesedihan!"
Al-Ashmu'i berkata, "Dia terus mengucapkan itu sampai membuat setiap orang yang mendengarnya menangis. Lalu dia memuji Allah SWT dengan mengucapkan Innâ Lillâhi wa innâ Ilaihi râji'ûn dan dia pulang."

Yang Mendapat Taufiq dan Tidak
Dari Muhamad bin Sulaiman al-Qurasyi, dia bercerita, "Ketika aku melintasi jalan di daerah Yaman, aku melihat seorang pemuda berdiri di jalan. Kedua telinganya memakai anting. Pada setiap anting, ada permata yang menyinari wajahnya dengan kilaunya. Dia sedang memuji Tuhannya lewat bait-bait syair. Aku mendengarnya dia berkata:
Aku bangga pada Raja di langit
Yang Maha Agung dan tidak ada yang tersembunyi dari-Nya
Aku mendekatinya dan memberi salam kepadanya.
Lalu pemuda itu menanggapi, "Aku tidak mau menjawab salammu sampai kau menunaikan hakku yang wajib atas dirimu."
Muhamad bertanya, "Apa hakmu?"
Pemuda itu menjawab, "Aku seorang pemuda yang mengamalkan ajaran Ibrahim al-Khalil 'alaihissalaam. Aku tidak makan siang dan tidak makan malam sebelum aku berjalan satu-dua mil untuk mencari tamu."
Lalu Muhamad memenuhi ajakannya dan dia menyambut Muhamad. Lalu Muhamad berjalan bersamanya sampai ke dekat sebuah kemah dari bulu. Ketika mendekati kemah tersebut, pemuda itu berteriak, "Wahai saudariku."
Seorang gadis dari dalam kemah menjawabnya, "Ya." Lantas pemuda itu berkata, "Siapkan makanan untuk tamu kita." Gadis itu mengucap, "Biarlah aku bersyukur dulu pada Allah SWT yang telah membuat tamu ini datang pada kita." Lalu dia bangkit dan shalat dua rakaat untuk bersyukur kepada Allah SWT.
Pemuda itu menyuruh Muhamad masuk dan duduk di dalam kemahnya. Pemuda itu kemudian mengambil alas makan dan menyembelih beberapa ekor hewan sembelihan. Ketika Muhamad duduk di dalam kemah, dia melihat wajah yang sangat cantik. Muhamad mencuri pandang darinya dan dia merasakan pandangan Muhamad dan mengingatkan, "Hei, tidakkah kau tahu apa yang dinukil dari al-Ma'shum Saw bahwa zinanya mata adalah memandang? Aku tidak ingin mempermalukanmu dengan itu, tetapi aku ingin mengajarkanmu agar kau tidak mengulanginya lagi."
Saat tidur, Muhamad dan pemuda itu tidur di luar kemah dan gadis itu di dalam. Muhamad mendengar lantunan ayat-ayat al-Quran sepanjang malam dengan suara yang merdu dan lembut. Pagi harinya, Muhamad bertanya kepada pemuda itu, "Suara siapa semalam?"
Pemuda itu menjawab, "Itu saudariku. Dia menghidupkan seluruh malam sampai pagi."
Muhamad mengingatkan, "Wahai pemuda, kau lebih pantas melakukan itu daripada saudarimu, kau laki-laki dan dia wanita." Pemuda itu tersenyum dan berkata, "Celaka kau, apakah kau tidak tahu bahwa ada orang yang mendapat taufiq dan ada yang tidak mendapatkannya?"

Hati dan Nafsuku
Malik bin Dinar mengisahkan bahwa ketika dia melakukan thawaf di Ka'bah, dia melihat seorang wanita bersuara keras di Hijr Ismail. Wanita itu berdoa, "Aku datang kepada-Mu dari negeri yang jauh untuk mengharap kebaikan-Mu, maka berilah aku kebaikan-Mu yang membuatku tidak memerlukan kebaikan selain-Mu, wahai Yang Maha Baik dengan kebaikan-Nya."
Wanita itu mengenal Ayub al-Sakhtiyani, lalu Malik bertanya tentang rumahnya, kemudian mereka menuju ke rumah Ayub. Mereka memberi salam padanya dan Ayub berpesan pada wanita itu, "Katakanlah yang baik, semoga Allah merahmatimu."
Wanita itu menjawab, "Apa yang aku katakan? Aku mengadu pada Allah tentang hati dan nafsuku karena keduanya membuatku susah dan membuatku sibuk dari beribadah kepada Tuhanku. Bangunlah kalian, aku harus segera mengisi catatanku."
Ayub berujar, "Aku belum pernah berbicara dengan wanita sebelumnya." Lalu Malik menukas, "Kalau saja kau menikah dengan seorang yang akan membantumu dengan keadaanmu sekarang!"
Ayub menjawab, "Walaupun orang itu Malik bin Dinar atau Ayub al-Sakhtiyani, aku tidak mau."
Malik mengucap, "Aku Malik bin Dinar dan ini Ayub al-Sakhtiyani." Lanjut Malik, "Oh, aku menyangka dzikir kepada Allah telah menyibukkan kalian dari berbicara dengan wanita." Lalu Ayub memulai shalatnya. Malik bertanya tentang wanita itu dan Ayub menjawab, "Itu Malikah binti al-Munkadir."


[1]Wafiyât al-A’yân (1/288), Târikh Bagdad (10/410).

No comments:

Post a Comment