Thursday, April 17, 2014

100 Hari JKN, Begini Cerita Nasib RS Swasta

detail berita
drg Sjahrul Amri, MHA (Foto: Marieska/Okezone)
PROGRAM Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah memasuki seratus hari melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Namun, pelaksanaan BPJS masih saja menemui banyak kendala, khususnya bagi rumah sakit swasta.

Meski mendapat dukungan dari rumah sakit swasta, namun sayangnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai regulator pelaksanaan program tersebut belum mampu mengakomodir nasib rumah sakit swasta.

Sebab, tarif INA-CBGs tak bisa menutupi biaya operasional rumah sakit. Kemudian juga pemerintah belum menerbitkan clinical path way atau standar operasional minimal rumah sakit.

Ketua Asosiasi RS Swasta Indonesia ARSI Kota Depok periode 2014-2017, drg  Sjahrul Amri, MHA, baru saja terpilih sebagai pimpinan baru di ARSI. Maka dia mengakui banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan salah satunya mengawal BPJS.

"Ini yang menjadi concern saya dan pengurus Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSI) Kota Depok. Kami saat ini sudah berkoordinasi dengan BPJS Cabang Bogor. BPJS meminta secara tertulis," katanya baru-baru ini.

Amri sekaligus Direktur Utama RS Bhakti Yudha Depok menjelaskan, belum seluruh rumah sakit swasta di Depok sepakat ikut progrm BPJS. Meski sudah bekerja sama, RS Bhakti Yudha pun belum seluruhnya, hanya sebagian. Pihaknya menerima pasien BPJS darurat dengan sistem cost sharing.

"Kami juga punya hati nurani. Kami dahulukan nyawa pasien dibanding ATM. Apalagi moto hidup saya sesuai dengan Al quran dan hadist. Tapi bagaimana pun rumah sakit tetap harus berjalan," paparnya.

Amri menjelaskan, beberapa butir keinginan rumah sakit swasta yang akan disampaikan ke BPJS. Salah satunya adalah pedoman kerja rumah sakit atau standar operasional minimal. Hal ini diperlukan agar dokter dan rumah sakit memahami standar kerja masing-masing. Hal tersebut dibutuhkan untuk menghindari tuntutan hukum dari pasien.

"Contohnya, penanganan pasien usus buntu jika dilihat dari kategori usia itu berbeda. Kemudian juga penangan pasien demam berdarah itu ada prosedurnya. Perlu diketahui banyak dokter tidak tetap di rumah sakit dan mereka praktik tidak hanya satu rumah sakit. Contoh lainnya, biaya operasi persalinan lebih mahal dari sunat di rumah sakit. Ini terjadi karena permintaan operasi itu meningkat," jelas pria kelahiran Palembang, 24 Mei 1959 ini.

Kedua adalah pemerintah harus menjamin ketersedian obat. Pihaknya juga masih terus berkoordinasi dengan rumah sakit swasta, Dinas Kesehatan, dan IDI.

"Sampai kemarin kami terus koordinasi dengan RS swasta lain. Dari mulai berbicara masalah alkes, fasilitas sarana kesehatan primer, pemberi pelayanan tingkat I. Parkes primer (klinik pratama, utama puskesmas). Sebagian besar RS swasta belum kerja sama, bukan enggak mau, mau, clinical pathway-nya dulu atau SOP atau aturan mainnya, harus jelas," tegasnya. (health.okezone.com)

No comments:

Post a Comment