Wednesday, April 16, 2014

"Sharoushi" Bisa Diterapkan di BPJS Ketenagakerjaan


Ratusan buruh dari berbagai aliansi melakukan aksi blokir jalan raya serang di kawasan Jatake, Tangerang, Banten, Kamis (31/10).
Ratusan buruh dari berbagai aliansi melakukan aksi blokir jalan raya serang di kawasan Jatake, Tangerang, Banten, Kamis (31/10). (sumber: Antara)

Sistem yang dijalankan lembaga konsultan buruh di Jepang yang disebut Shakai Hoken Roumushi (Sharoushi) akan diterapkan di Indonesia terutama dalam meningkatkan jumlah kepesertaan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan BPJS Kesehatan.
Cara Sharoushi adalah bagaimana mengajak semua perusahaan Jepang agar mengikutsertakan karyawannya dalam program jaminan sosial di Jepang. “Saya pikir cara-cara Sharoushi mengajak para pengusaha bisa diterapkan di Indonesia terutama di BPJS Ketenagakerjaan,” kata salah satu Ketua Sharoushi, Yoshihiko Ono, dalam acara diskusi dengan wartawan di Jakarta, Selasa (15/4).
Turut tampil sebagai pembicara dalam acara itu adalah Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial, Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Wahyu Widodo.
Wahyu sepakat dengan apa yang dikatakan Yoshihiko Ono. “Untuk meningkatkan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan bisa diterapkan cara-cara Sharoushi,” kata Wahyu.
Menurut Wahyu, cara-cara Sharoushi hanya bisa diterapkan untuk perusahaan-perusahaan kecil di Indonesia agar mengikutkan karyawannya dalam program BPJS Ketenagakerjaan. “Kalau perusahaan-perusahaan besar di Indonesia umumnya sudah menyadari soal pentingkan karyawan diikutsertakan dalam program BPJS Ketenagakerjaan,” kata Wahyu.
Wahyu mengatakan, memang secara keseluruhan sistem Sharoushi belum bisa diterapkan di Indonesia karena, pertama, budaya Indonesia dan Jepang berbeda. Kedua, penerapan hukum di Indonesia belum sebagus di Jepang. “Kalau penerapan hukum di Indonesia bagus, maka sistem Jepang ini bagus,” kata dia.
Yoshihiko Ono menjelaskan, Sharoushi berasal dari singkatan bahasa Jepang yakni Shakai Hoken Roumushi (Sharoushi) yang berarti Pengacara Buruh dan Jaminan Sosial atau Labor and Social Security Attorney. Didirikan pada tahun 1968 oleh Kementerian Buruh dan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan. Pada tahun 2001 kedua kementerian bergabung menjadi Kementerian Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan (Ministry of Health, Labor and Welfare, MHLW).
Sharoushi didirikan dengan latar belakang, waktu itu terjadi unjuk rasa buruh secara besar-besaran di Jepang. Untuk menyelesaikan itu semua pemerintah dan pengusaha Jepang serta perwakilan pekerja di Jepang duduk satu meja untuk mendirikan sebuah lembaga konsultan yang berdiri di tengah-tengah antara pengusaha, pekerja dan pemerintah ketika terjadi masalah ketenagakerjaan antara pekerja dan pengusaha.
Dalam perkembangannya keberadaan Sharoushi sangat membantu dan tidak mengalami kendala yang berarti. Di Jepang jarang terjadi demo buruh atau pekerja, atau masalah ketenagakerjaan yang serius karena bisa diselesaikan melalui Sharoushi.
Ono mengatakan, cara-cara Sharoushi adalah mengajak perusahaan-perusahaan atau pengusaha agar menghormati hak-hak pekerja atau buruh. Selain itu, Sharoushi juga tampil menyadarkan buruh atau pekerja agar mentaati hukum dan pemberi kerja atau pihak perusahaan.
“Sharoushi selalu tampil sebagai penengah di kala buruh atau pekerja bertentangan dengan pengusaha atau pemberi kerja. Karena hal inilah jarang terjadi unjukrasa buruh di Jepang,” kata dia.
Wahyu menambahkan, pemerintah Indonesia terutama Kemnakertrans masih menjajaki untuk memberlakukan sistem Sharoushi di Indonesia.
Menurut Wahyu, yang paling utama yang perlu dipejari dari Sharoushi ini aspek perlindungan untuk tenaga kerjanya, luar biasa.
Keberadaan lembaga Sharoushi ini sejak berdirinya dikukuhkan oleh sebuah undang-undang, sehingga keberadaannya sah dan independen.
Secara garis besar masalah yang selalu ditangani Sharoushi adalah masalah penentuan upah minimum, jaminan pensiun, jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan sosial dan kesehatan dan haritua untuk penyandang disabilitas (cacat). (www.beritasatu.com)

No comments:

Post a Comment