Thursday, May 29, 2014

Bantuan Sosial Cenderung Dipolitisasi

 Program bantuan sosial dari pemerintah, semisal Bantuan Langsung Tunai (BLT) cenderung dipolitisasi. Bantuan itu juga tidak mendidik karena mengajarkan masyarakat meminta-minta tanpa berusaha.
Hal itu merupakan poin yang dikemukakan dalam diskusi buku 'Perlindungan Sosial dan Klientelisme' karya Mulyadi Sumarto yang digelar di Kampus Fisipol UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Senin (26/5) siang.
Hadir dalam diskusi tersebut penulis buku, guru besar Australia National University Edward Aspinall, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Kuskrido Ambardi, dan mantan Wali Kota Blitar, Djarot Saiful Hidayat.
Mulyadi Sumarto, mengatakan, pembagian BLT menjelang Pemilihan Presiden 2009 dikenai makna politik cukup besar oleh calon presiden. Baik suara pro maupun kontra menjadi senjata mendongkrak popularitas.
Ketika kritik terhadap BLT mulai menghilang dari media massa, maka keriuhan di tingkat elit politik muncul untuk memperebutkan siapa yang berhak memegang klaim terhadap program tersebut.
Alhasil, tiga calon presiden saat itu yaitu Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla, sama-sama menyampaikan klaim atas program bantuan sosial kompensasi kenaikan harga BBM tersebut.
Mulyadi menjelaskan, sebenarnya saat itu pembagian BLT tidak benar-benar diperlukan. Bantuan tersebut justru kontraproduktif ketika kemudian ada pihak berusaha mengklaimnya.
Menurut Kuskrido Ambardi, di balik bantuan sosial terdapat desakan ekonomi dan kultural yang mengimpit masyarakat dan menggiring pilihan politik mereka. Meskipun demikian, masih perlu penelitian tersendiri mengenai dampak pada tingkat individual tersebut.
Ia mengatakan, sebenarnya bantuan sosial merupakan hal yang wajar dan juga diterapkan di berbagai negara lain, bahkan di negara maju sekalipun. Mirip di Indonesia, program serupa di negara lain juga diselimuti permasalahan etis.
Menurut Kuskrido, tidak mudah menghilangkan efek politik dari program bantuan sosial pemerintah. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk menguranginya, misalnya pemilihan waktu yang tepat sehingga program bantuan tidak dieksekusi mengikuti siklus pemilu. "Tapi tetap saja sangat sulit menghilangkan efek politik tersebut," kata Kuskrido.
Sementara itu, Djarot Saiful Hidayat, mengatakan, fenomena money politic pada Pemilu 2014 saat ini tak bisa dilepaskan begitu saja dari apa yang terjadi pada gelaran serupa pada 2009. Ia mengatakan, bukan hal baru bagaimana kemiskinan dipelihara, kemudian dibeli saat ada kepentingan yang diperjuangkan pelaku politik pragmatis.
Mantan wali kota yang menolak program BLT itu mengatakan, bukan berarti program populis menjadi hal tabu. "Program populis sifatnya harus mendidik, jangan membuat malas, apalagi jika berlatarbelakang motif politik," kata dia. (Tribunjogja.com)

No comments:

Post a Comment