Saturday, June 28, 2014

Pembangunan dan Era Otonomi Daerah

Strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan merupakan kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi tersebut, pinjaman luar negeri telah memainkan peran besar sebagai sumber pembiayaan. Padahal, sering terjadi adanya ketidak-sesuaian antara paket pembangunan yang dianjurkan donor dan kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak pro kaum miskin, perencanaan pembangunan bersifat top-down, liberalisasi perekonomian terlalu dini tanpa persiapan yang memadai untuk melindungi kemungkinan terpinggirkannya kelompok-kelompok miskin. (HS Dillon, Utusan Khusus Presiden RI Bidang Penanggulangan Kemiskinan; 2001)

YOGYAKARTA, awal 2003. Sebayak 12 orang Gubernur dan 418 bupati/walikota seluruh Indonesia mengikrarkan Deklarasi Yogyakarta untuk menegaskan komitmen bersama dalam upaya penanggulangan kemiskinan secara terpadu. Pembacaan deklarasi dipimpin oleh Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 22 Maret 2003 saat penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Penanggulangan Kemiskinan yang diikuti para gubernur dan bupati/walikota dari seluruh Indonesia.
Secara langsung, deklarasi tersebut disaksikan Menko Kesra (waktu itu) Jusuf Kalla selaku Ketua Komite Penanggulangan Kemiskinan. Rakernas dihadiri pula Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Mendagri Hari Sabarno, Menkes Suyudi, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, serta sejumlah direktur utama bank BUMN, antara lain E.C.W. Neloe (Bank Mandiri) dan Rudjito (BRI).
Pada kesempatan itu Jusuf Kalla mengatakan bahwa pengurangan tingkat kemiskinan tidak ada kaitan secara otomatis dengan besarnya dana yang dikerahkan. "Berapa pun besarnya uang yang telah dikeluarkan selama 32 tahun untuk memerangi kemiskinan, tidak ada gunanya jika tidak disusun cara dan strategi yang baik untuk mengatasi masalah ini," tandasnya.
Tahun 2003, menurut Kalla, BI dan Komite Penanggulangan Kemiskinan mengkoordinir 13 bank swasta dan BUMN untuk mengucurkan kredit usaha mikro kecil dan menengah sebesar Rp40,37 triliun serta sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebanyak Rp2,1 triliun.
Strategi untuk mengatasi kemiskinan, lanjut Kalla, minimal perlu disinergikan dengan sistem perbankan nasional. Ini karena sistem perbankan bisa bertindak seperti malaikat ataupun, sebaliknya, seperti setan. "Beberapa waktu lalu ekonomi kita ambruk karena sistem perbankannya rusak. Bank hanya mau memberi kredit kepada pengusaha besar saja," ujar Kalla.
Kalla menambahkan perlu dua hal untukmengurangi tingkat kemiskinan, yaitu meningkatkan pendapatan yang dibarengi menurunkan biaya hidup, serta memperbaiki berbagai pelayanan sosial utama yakni pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dia mengharapkan pemerintah daerah mampu dan bersedia mengerahkan seluruh sumber daya untuk mendukung kesuksesan gerakan ini.
Dalam kaitan gerakan ini, Sekretaris Komite Penanggulangan Kemiskinan Gunawan Sumodiningrat mengatakan angka kemiskinan sampai 2002 mencapai 38,4 juta orang, atau 18,20% dari total penduduk Indonesia. "Sesuai Propenas, pada 2004 pemerintah akan menurunkan angka tersebut sampai 11%," ungkapnya.
Sementara itu Menko Perekonomian Dorodjatun mengharapkan Deklarasi Yogyakarta dapat mendorong kebangkitan gerakan revolusioner dalam memerangi kemiskinan di Indonesia.
Deputi Gubernur BI Maulana Ibrahim mengungkapkan komitmen kucuran kredit tersebut telah dituangkan dalam business plan masing-masing bank dan akan dipantau pelaksanaannya oleh BI. "Setiap tiga bulan mereka harus melaporkan pelaksanaan komitmen tersebut kepada BI. Kami akan terus memantau pelaksanaannya," jelas Maulana.
Dan Gubernur BI Syahril Sabirin menambahkan proses pengucuran kredit tersebut diarahkan sesuai prinsip bisnis dan bebas tekanan dari luar agar gerakan memerangi kemiskinan ini bisa berjalan berkesinambungan.
Ya, di era Otonomi Daerah (Otda), pembangunan –termasuk di antaranya upaya pengentasan kemiskinan—semaksimal mungkin melibatkan peran aktif pemerintah daerah. Pemerintah daerah diberi peluang sebesar-besarnya untuk aktif mulai dari merencanakan, melaksanakan sampai monitoring/evaluasi program sehingga program pembangunan bisa tepat sasaran.

A.   Peluang Pembangunan di Era Otonomi Daerah
Sedikit kilas balik, pada masa Orde Baru semua keputusan dipusatkan di Jakarta sehingga tidak memberi ruang bagi aspirasi dari bawah. Dalam upaya penghapusan kemiskinan, konsentrasi pengambilan keputusan di Pusat tidak mampu membawa hasil yang maksimal. Ada penduduk yang tidak terlayani dengan baik yang berakibat tidak tercapainya tujuan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat. Pemerintah menyadari bahwa pelayanan kepada masyarakat akan sangat efektif bila kewenangan pengambilan keputusan diberikan kepada daerah. Karena itu, sejak tumbangnya Orde Baru, desentralisasi diberlakukan secara penuh di Indonesia.
Sejauh ini desentralisasi masih merupakan konsep yang belum jelas. Konsep ini terus mengalami perubahan makna dari waktu ke waktu. Konsep densentralisasi awal diperkenalkan pada 1950 ketika pemerintah Kolonial (baca Inggris) mulai mempersiapkan kemerdekaan negara jajahan mereka (Osmani 2005). Ada lima prinsip yang perlu diperhatikan dalam proses desentralisasi:
·         Pemerintahan Lokal secara kelembagaan harus dipisahkan dari pemerintahan Pusat ;
·         Pemerintahan Lokal harus mempunyai anggaran belanja sendiri. Pendapatan pemerintahan Lokal dapat diperoleh dari pajak langsung;
·         Pemerintah Lokal juga berhak mengangkat pegawai sendiri. Mungkin mulai dengan tenaga honorer;
·         Pemerintahan Lokal perlu dikontrol oleh parlemen lokal yang dipilih secara demokratis;
·         Administrasi Pusat, dalam hubungan dengan pemerintah Lokal, harus menarik diri dari urusan eksekutif lokal dan hanya bertindak sebagai penasehat atau pengawas.
Namun, dalam kenyataan, kelima prinsip desentralisasi klasik yang dimaksud hampir tidak pernah berjalan di negara berkembang. Kemudian diperkenalkan klasifikasi lain yang membedakan desentralisasi menjadi empat bentuk yang didasarkan pada proses pengambilan keputusan:
·         Dekonsentrasi. Dekonsentrasi merupakan perubahan kelembagaan di mana kewenangan pengambilan keputusan oleh aparat pemerintah pusat digeser ke aparat pemerintah yang berada di daerah. Dalam sistem ini sumber-sumber dari pusat ditransfer ke daerah dan wewenang keputusan penggunaan dana diberikan kepada aparat daerah tanpa harus konsultasi kepada pemerintah pusat.
·         Devolusi. Yang dimaksud devolusi adalah upaya reorganisasi di mana daerah diberi kebebasan kewenangan membuat aturan dan kewenangan fiskal. Pemerintah daerah mempunyai otonomi dan diberi tanggung jawab membuat keputusan penggunaan dana tersebut.
·         Delegasi. Delegasi adalah transfer kewenangan kepada Badan Usaha Milik Negara atau petugas khusus ditunjuk negara yang berada di luar struktur birokrasi pemerintah. Delegasi wewenang dari pemerintah pusat kepada Badan atau petugas hanya dilakukan untuk tugas atau pekerjaan tertentu. Pemerintah pusat yang menetapkan tujuan proyek dan mentransfer sumber keuangan yang tersedia sesuai kesepakatan yang telah dibuat bersama. Pihak yang menerima wewenang bertindak sebagai agen yang memiliki otonomi yang cukup dalam melaksanakan tugasnya.
·         Privatisasi dan partnership. Privatisasi dan partnership yang dimaksud adalah transfer tanggung jawab publik kepada organisasi volunter atau perusahaan swasta. Tujuan privatisasi adalah memobilisasi kapasitas dan inisiatif organisasi masyarakat sipil yang bekerja bagi perkembangan sosial dan pembangunan ekonomi. Sumber keuangan ditransfer kepada organisasi atau perusahaan berdasarkan program kerja yang telah ditetapkan. Pemerintah biasanya tidak campur tangan dalam perencanaan dan anggaran, namun meminta pertanggungan-jawaban penggunaan dana setelah program selesai.
Dari keempat bentuk desentralisasi tersebut, dekonsentrasi kurang memberi ruang bagi transfer kekuasaan kepada masyarakat lokal. Sama halnya dengan delegasi juga kurang memberi peluang bagi transfer kekuasaan, walaupun lembaga yang mendapat delegasi melibatkan masyarakat lokal dalam pembuatan keputusan. Devolusi dan privatisasi atau partnership yang paling memberi kesempatan bagi kepemerintahan lokal berdasarkan partisipasi masyarakat luas. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan merupakan prakondisi penting bagi keberhasilan penghapusan kemiskinan dari sisi efisiensi dan kesetaraan. Salah satu alasan adalah pelayanan terhadap masyarakat lokal dapat disesuaikan dengan keinginan masyarakat setempat.
Sejak tahun 2001, memasuki era Otda, Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki kewenangan yang cukup besar dalam menentukan arah membangun daerahnya. Ruh desentralisasi sangat kental pembangunan di daerah, tidak lagi semata-mata ditentukan oleh Pusat. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (lalu disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan UU Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberi warna kepada pengembangan pembangunan ekonomi daerah. Selain telah menampung tuntutan akan meningkatnya tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah, kehadiran kedua undang-undang tersebut juga secara tegas dan jelas telah mengatur bahwa kewenangan pemerintah di tingkat lokal akan bertambah dan mencakup kewenangan pada hampir seluruh bidang pemerintahan.
Selain itu, hal yang sangat mendasar yang tersirat di dalam undang-undang tersebut adalah upaya pemberdayaan masyarakat, upaya menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat secara aktif, dan peningkatan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada setiap jenis pemerintahan dari desa sampai dengan provinsi. Dengan demikian otonomi daerah sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 22 Tahun 1999 secara eksplisit merupakan kewenangan hakiki yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai urusan penyelenggaraan pemerintahan di daerah bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat di daerah di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terlebih dengan penguatan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah betul-betul memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang - undangan.

B.   Komitmen Kepala Daerah dalam Pengentasan Kemiskinan
Spirit otonomi daerah yang kemudian dikokohkan melalui Deklarasi Yogyakarta pada bulan Maret 2003, dapat dikatakan menjadi komitmen kuat kepala daerah untuk membangun daerah masing-masing, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada tahun 2004.  
Upaya penanggulangan kemiskinan yang paling strategis di era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”. Ini berarti pihak luar harus mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan. Input yang berasal dari luar yang masuk dalam proses pemberdayaan harus mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama komunitasnya melalui proses dialog yang produktif agar sesuai dengan konteks setempat.
Sejauh mana kepala daerah bersama segenap jajarannya berkomitmen mengentaskan kemiskinan yang bertumpu pada pemberian peluang pada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mandiri? Komitmen dan kerja keras yang berorientasi kepada pengentasan kemiskinan harus menjadi tekad dari pemerintah --baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tak terkecuali, kepala daerah yang aktif, kreatif dan berinisiatif dalam memantik kemandirian kelompok miskin yang ada di wilayahnya
Hiruk-pikuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat di berbagai daerah sebagai tindak lanjut pelaksanaan otonomi daerah disambut antusias rakyat Indonesia. Mereka berharap melalui pemilihan secara langsung, rakyat dapat memunculkan sosok kepala daerah yang mampu mewujudkan cita-cita proklamasi --yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa secara nyata. Lalu apa sebenarnya relasi proses pemilihan langsung kepala daerah di era otonomi ini dengan upaya pengentasan kemiskinan?
Tujuan otonomi daerah adalah agar pemerintah daerah dapat berfungsi sebagai instrumen untuk menciptakan kesejahteraan dan mendukung proses demokratisasi di tingkat lokal. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan lebih kongkrit dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bagaimana kita dapat melihat dan mengevaluasi sejauh mana pemerintah daerah telah melakukan upaya serius dalam menciptakan kesejahteraan atau mengentaskan kemiskinan? Berdasarkan Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), indikator kesejahteraan dapat dilihat dari tiga aspek penting, yaitu meningkatnya kualitas pendidikan, derajat kesehatan dan daya beli masyarakat. Sederhananya bahwa keberadaan pemerintah (daerah) itu untuk membuat rakyat cerdas, badannya sehat dan dompetnya berisi. Inilah komitmen yang harus dibangun oleh kepala daerah bersama DPRD sehingga mereka tidak hanya sibuk berlomba untuk mencerdaskan, menyehatkan dan mengisi dompetnya sendiri-sendiri.
Tiga indikator itulah yang bisa kita jadikan parameter untuk mengevaluasi berjalannya fungsi pemerintahan terutama di tingkat daerah. Sebuah kebijakan harus berorientasi untuk memperkokoh penguatan tiga indikator tersebut. Contoh kebijakan yang tidak berorientasi kepada penguatan tiga hal tersebut adalah kebijakan pemerintah pusat untuk menaikkan harga BBM sehingga berakibat menurunnya daya beli masyarakat dan gairah dunia usaha. Kebijakan seperti ini jelas tidak berorientasi mengurangi kemiskinan.
Bagaimana dengan pemerintah daerah? Apakah kepala daerah memiliki tekad yang kuat untuk mensejahterakan rakyat atau mereka sekadar menjalankan tradisi birokrasi, kita bisa melihatnya berdasarkan tiga indikator tersebut.
Sebagai pemegang kekuasaan penuh di daerah,  kepala daerah berhak melakukan perombakan dan perubahan tradisi birokrasi yang kadang menjadi ritualisme sehingga menghambat upaya mewujudkan kesejahterakan rakyat. Sebab itu diperlukan Kepala daerah yang memiliki komitmen dan keberanian yang memadai untuk melakukan perubahan agar kesejahteraan rakyat itu tidak hanya menjadi sebuah cita-cita.
Komitmen dan keberanian seorang kepala daerah dalam melakukan perubahan mewujudkan kesejahteraan masih jarang kita temui, hanya 7 – 10 Kota/Kabupaten dari sekitar 450 Kota/Kabupaten di seluruh Indonesia yang secara nyata menunjukkan hal tersebut. Satu di antaranya adalah Kabupaten Padang Pariaman, terutama di masa kepeimpinan Bupati Muslim Kasim.
Di masa pemerintahan Kabupaten Padang Pariaman dipimpin Muslim Kasim (2000-2005 dan 2005-2010), Pemkab menerapkan strategi penanggulangan kemiskinan berbasis nagari. Pemkab membina institusi sosial ekonomi lokal seperti:
·         Revitalisasi peran “Tali Tigo Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan”. Hasil akhir dari revitalisasi peran ini adalah dimilikinya kemampuan oleh seluruh komponen yang eksis pada institusi tersebut sebagai pelopor dalam proses penguatan basis ekonomi rumah tangga miskin.
·         Revitalisasi peran Bunda Kandung (perempuan) dalam pembangunan nagari melalui pembentukan kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif.
·         Revitalisasi peran Karang Taruna pada tingkat nagari. Melalui revitalisasi ini diharapkan institusi tersebut mampu berperan strategis dalam membina dan mengembangkan basis ekonomi rumah tangga miskin.
Dalam konteks penanggulangan dan pengentasan kemiskinan berbasis nagari di Kabupaten Padang Pariaman, di bawah  kepemimpinan Bupati Muslim Kasim, Pemkab mengusung visi dengan capaian, “Berkurangnya jumlah KK miskin sebesar 50 persen pada tahun 2010.”
Lalu visi itu diejawantahkan ke dalam misi penanggulangan kemiskinan:
·         Meningkatkan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui perbaikan kesehatan dan pendidikan.
·         Meningkatkan pendapatan masyarakat miskin melalui peningkatan kesempatan kerja dan berusaha dengan meningkatkan permodalan, pelatihan dan pendampingan.
·         Mengurangi pengeluaran kelompok masyarakat miskin melalui peningkatan pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, kesehatan, pendidikan dan pemukiman.
·         Membangun sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, khususnya masyarakat miskin yang terkena bencana, dampak negatif dari krisis ekonomi dan konflik sosial.
·         Mendorong terciptanya kerja sama antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya memberdayakan masyarakat.
Misi-misi tersebut kemudian diperkuat dengan empat strategi penanggulangan dan pengentasan kemiskinan:
·         Perluasan kesempatan bekerja dan berusaha. Menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkesinambungan.
·         Pemberdayaan masyarakat. Memperkuat kelembagaan sosial politik, ekonomi dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin (laki-laki dan perempuan) dalam pengambilan keputusan kebijakan publik (menyalurkan aspirasi, mengidentifikasi masalah dan kebutuhan sendiri).
·         Peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Peningkatan kemampuan masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, keterampilan berusaha, permodalan/prasarana, teknologi dan informasi pasar.
·         Perlindungan sosial. Memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin (perempuan, kepala rumah tangga fakir miskin/orang jompo, anak-anak terlantar, penyandang cacat, serta masyarakat yang terkena dampak krisis ekonomi dan bencana alam).
Visi, misi dan strategi tersebut lantas diimplementasikan ke dalam langkah-langkah nyata:
·         Bidang kesehatan, digulirkan dana bantuan kepada 33 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp23,25 juta dialokasikan dari APBN (2005) dan Rp2,25 juta dari APBD (2005).
·         Bidang pertanian, digulirkan dana bantuan kepada 3.820 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp350 juta dialokasikan dari APBN (2005) dan Rp135 juta dari APBN (2006). Selain itu juga dikucurkan dana Rp365 juta yang dialokasikan dari APBD (2005) serta Rp730 juta dan Rp110 juta dari APBD (2006).
·         Bidang sosial, digulirkan bantuan pada 420 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp640 juta dari APBN (2005) dan Rp110 juta dari APBN (2006). Selain itu dikucurkan pula  dana Rp1,171 miliar yang dialokasikan dari APBD (2005) serta Rp1,912 miliar dari APBD (2006).
·         Bidang peternakan, digulirkan dana bantuan kepada 3.715 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp102 juta dialokasikan dari APBD (2005) dan Rp215 juta dari APBD (2006).
·         Bidang koperasi, digulirkan dana bantuan kepada 30 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp45 juta yang dialokasikan dari APBD (2006).
·         Bidang perikanan, digulirkan dana bantuan kepada 140 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp90 juta yang dialokasikan dari APBD (2005) dan Rp85 juta dari APBD (2006).
Selanjutnya pada 2008, melalui alokasi APBD, Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman kembali menggulirkan serangkan program dan kegiatan penanggulangan dan pengentasan kemiskinan, meliputi: (1). Pembinaan kelompok KK miskin pengguna TTG dengan alokasi anggaran Rp20 juta dengan target 20 kecamatan dan terealisasi 20 kecamatan; (2). Pelatihan keterampilan bagi KK miskin dengan alokasi anggaran Rp35 juta dengan target 16 nagari dan terealisasi 16 nagari; (3). Operasionalisasi TKPK Kabupaten dalam mengkoordinasikan PPK Kecamatan dengan alokasi anggaran Rp28,225 juta dengan target 16 kecamatan dan terealisasi 16 kecamatan; (4). Operasionalisasi TKPK Kecamatan dan nagari serta P2KL, dengan alokasi anggaran Rp560,5 juta dengan target 46 nagari dan terealisasi 46 nagari; (5). Pembinaan dan evaluasi kelompok UEM-SP KKM, dengan alokasi anggaran Rp59,1 juta dengan target 16 nagari dan terealisasi 16 nagari; (6). PAP kegiatan PNPM, dengan alokasi anggaran Rp1,392 miliar dengan target 16 kecamatan dan terealisasi 16 kecamatan; serta (7). Pembinaan Latsitardanus dengan alokasi anggaran Rp249 juta dengan target 250 orang dan terealisasi 250 orang.
Selain itu, juga dikucurkan dana yang bersumber dari APBD Sumatera Barat. Pada tahun anggaran 2007, dana ini dialokasikan khusus untuk bantuan Kredit Mikro Nagari pada 14 kecamatan dan 16 nagari yang ada di wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Jumlah dana Kredit Mikro Nagari yang dikucurkan sebanyak Rp3,36 miliar. Sedangkan pada 2008, dana Kredit Mikro Nagari yang dikucurkan mencapai Rp2,94 miliar.
Dengan bekal komitmen dan konsistensi kebijakan yang tinggi dari top management Pemkab Padang Pariaman dan segenap aparaturnya serta pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan di lapangan, maka sejumlah kebijakan, program dan aksi serta kucuran dana bergulir yang dialokasikan dari APBN, APBD provinsi dan APBD kabupaten, ternyata membawa manfaat yang cukup berarti bagi warga miskin. Secara bertahap, jumlah warga miskin (angka kemiskinan) menurun relatif signifikan. Bila pada 2005 jumlah KK miskin yang tersebar di 17 kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman masih tercatat sebanyak 24.683 KK (BPS 2005), maka dua tahun berselang berkurang cukup berarti menjadi 14.885 KK (BPS 2007). Bahkan, jumlah KK miskin semakin menurun jika mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Kabupaten Padang Pariaman, yang mencatat KK miskin sebanyak 14.221 KK (2007). Barangkali, selisih perbedaan angka pada kedua lembaga ini muncul lantaran memang secara berkala, minimal tiap semester, BPM Kabupaten Padang Pariaman terus memantau dan melalui survai langsung ke lapangan. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) juga melakukan survai dan pendapataan statistik, namun pada umumnya dilakukan sekali dalam setahun.
Kendati berbeda angka dan jumlah KK miskin versi BPM dengan versi BPS, yang terpenting dicatat, semenjak 2005 sampai 2007, wlayah hinterland Kota Padang ini terbukti mampu menurunkan angka kemiskinan cukup signifikan, dari 24.683 KK (BPS, 2005) turun menjadi 14.885 KK (BPS, 2007) atau 14.221 KK miskin versi BPM Kabupaten Padang Pariaman (2007). Sungguh ini suatu keberhasilan yang cukup membanggakan, sekaligus membuat optimis bahwa kebijakan pengentasan kemiskinan berbasis nagari yang dicanangkan secara simbolis oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006 silam telah berada pada trek yang benar (on the right track).
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kerja keras, kekompakan dan fokus Bupati Muslim Kasim bersama segenap jajaran birokrasi serta stakeholders yang ada di wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Sayangnya, hasil positif pengentasan kemiskinan itu kembali hancur berantakan tatkala gempa dahsyat melanda wilayah Sumatera Barat, terutama Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman, pada tahun 2010. Bupati Padang Pariaman 2010-2015 Ali Mughni harus memulai dari nol untuk membangun puing-puing kehancuran Kabupaten Padang Pariaman.  
Sekadar bercermin, kekuatan tekad dan kerja keras juga tampak di Kabupaten Jembrana, Bali. Jembrana adalah kabupaten paling miskin di Provinsi Bali, namun kepala daerahnya memiliki komitmen dan keberanian mensejahterakan rakyatnya sehingga langkah-langkah yang diambil lebih fokus dan kongkrit.
Dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, langkah kongkrit yang diambil oleh Bupati Jembrana adalah:
* Peningkatan kualitas pendidikan dengan menggratiskan biaya pendidikan dari SD sampai SMA yang bertujuan agar tidak ada alasan bagi rakyat Jembrana tidak menyekolahkan anaknya --minimal sampai dengan SMA-- karena alasan biaya.
*  Menggratiskan biaya kesehatan bagi masyarakat melalui JKJ (Jaminan Kesehatan Jembrana).
* Meningkatkan perekonomian rakyat melalui dana bergulir bagi usaha perekonomian rakyat yang mencapai Rp20 miliar dan dana talangan bagi para petani. Usaha peningkatan ekonomi juga dilakukan oleh Pemkab Jembrana dengan membuat air kemasan (merk Megumi) yang disuling dari air laut dan menjadi konsumsi di kantor-kantor pemerintahan.
Untuk mewujudkan langkah-langkah tersebut Bupati Jembrana melakukan prinsip efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan melakukan perampingan struktur birokrasi dari 21 lembaga pemerintahan menjadi 11 lembaga (7 Dinas, 2 badan dan 2 kantor). Langkah efisiensi dilakukan pula dengan meniadakan mobil Dinas. Semua keperluan Dinas yang berhubungan dengan operasional di lapangan disewakan mobil dari rent car, sehingga Pemkab Jembrana tidak diributkan  anggaran membeli mobil dinas dan biaya perawatannya. Untuk menghindari mark up (penggelembungan harga) pada proyek-proyek pemerintah yang cenderung dikorup, dibentuk tim independen dari Universitas Udayana (yang tidak melibatkan orang Dinas). Dengan begitu, proyek pembangunan yang biasanya dianggarkan untuk membuat sebuah jembatan, bisa dipakai untuk membuat dua buah jembatan dengan kualitas yang sama.
Langkah-langkah berani sebagaimana yang telah dilakukan oleh Bupati Jembrana masih sulit dilakukan oleh para kepala daerah di daerah-daerah yang lain. Misalnya tentang perampingan organisasi perangkat daerah, di beberapa daerah masih mempertahankan struktur organisasi perangkat daerah yang gemuk. Bahkan ada sebuah pemerintahan kota yang tidak punya lahan pertanian dan perkebunan namun ada Dinas Pertanian dan Perkebunan, ada sebuah kantor yang dipertahankan keberadaannya meskipun fungsinya tidak jelas sekadar untuk menampung seseorang yang menjadi pendukung pada saat pilkada. Model pengelolaan pemerintah daerah yang demikian hanyalah menjalankan tradisi birokrasi pemerintahan sehingga sulit mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya meskipun daerahnya tergolong daerah yang kaya. Padahal telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang organisasi perangkat daerah yang menekankan agar organisasi perangkat daerah berprinsip hemat srtruktur kaya fungsi. Latar belakang PP No. 8 Tahun 2003 dimaksudkan untuk memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah sehingga daerah dapat lebih meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.

C.   Peran Birokrasi Pemerintah Daerah dalam Pengentasan Kemiskinan
Birokrasi kadang menjadi penghambat bagi jalannya program-program pembangunan, termasuk upaya pengentasan kemiskinan di berbagai daerah. Terlebih lagi, tatkala kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, setiap kepala daerah ingin memiliki “penanda” kepemimpinan dengan merombak birokrasi. Padahal, di tengah pergantian kepala daerah setiap periode kepemimpinan, birokrasi seharusnya dapat menjadi penghubung transformasi pemerintahan lama ke pemerintahan yang baru. Karena, mereka memiliki sistem dan regulasi yang ajek. Sebab itu kualitas pelayanan publik idealnya semakin baik dari waktu ke waktu.
Namun kecenderungan hasil penelitian Indonesia Governance Index (IGI) di 33 Provinsi justru menunjukkan kenyataan sebaliknya, pergantian kepala daerah kerapkali berpengaruh besar dan, bahkan pada beberapa kasus, sangat besar terhadap birokrasi dan kualitas pelayanan publik.
Hasil penelitian IGI  tahun 2008 dan 2012 menunjukkan adanya gelagat tersebut, misalnya Provinsi Bengkulu yang mengalami penurunan ranking dari peringkat 17 ke 31, Sumatera Barat turun drastis dari peringkat 3 ke 20, dan Gorontalo dari 8 ke 23. Sebaliknya ada provinsi-provinsi yang peringkatnya naik, misalkan Jambi dari peringkat 22 naik ke 4, Sumatera Utara dari peringkat 33 naik ke peringkat 13.
Gubernur Bengkulu saat ini terjerat kasus korupsi, sementara Gubernur Sumatera Barat periode sekarang belum mampu menyamai prestasi Gamawan Fauzi, pun dengan Gorontalo di era kepemimpinan Fadel Muhammad yang tercatat telah melakukan banyak inovasi, sedangkan Gubernur kali ini relatif biasa-biasa saja. Provinsi yang mengalami peningkatan peringkat juga sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor Gubernur. Provinsi Jambi tercatat telah melakukan beberapa inovasi program pro-rakyat dan melakukan reformasi birokrasi, sedangkan di Sumatera Utara, Gubernur periode sebelumnya terlibat kasus korupsi.
Kunci dari terjadinya perubahan di Provinsi (termasuk daerah kabupaten/kota) terletak pada bagaimana pemerintah daerah menata-kelola daerahnya.Salah satu contoh peringkat yang kontras di IGI adalah Jambi dan Bengkulu, meskipun letak mereka berdekatan. Kendati Indeks Pembangunan Manusia tahun 2011 Jambi dan Bengkulu hampir sama (72.74 dan 72.92) dan tingkat pertumbuhan ekonomi berada di level (5.88% dan 4.77%), namun cara kedua provinsi ini menata-kelola daerahnya jauh berbeda.
Sekadar contoh, biaya overhead aparatur birokrasi terhadap belanja program di Jambi hanya 42%, sedangkan Bengkulu 92%. Biaya birokrasi Bengkulu jauh lebih boros dibandingkan dengan Jambi. Begitu pun dengan biaya operasional DPRD di Bengkulu yang menghabiskan dana 6% dari total APBD Provinsi, bandingkan dengan Jambi yang hanya 2% dari total APBD. Komitmen kedua provinsi di bidang investasi, kesetaraan jender, dan lingkungan juga berbeda jauh.
Terlebih lagi kualitas pelayanan publik yang tercermin dalam komitmen anggaran dan keberadaan unit layanan pengaduan. Di bidang pengentasan kemiskinan, Jambi mengalokasikan Rp106.933/orang miskin dengan tingkat kemiskinan 8%, sedangkan Bengkulu mengalokasikan Rp38.472/orang miskin dengan tingkat kemiskinan 17.5%.
Anggaran pendidikan juga memprihatinkan, alokasi Jambi adalah Rp226.955/ siswa/tahun (Usia Wajib belajar 9 tahun), sedangkan Bengkulu hanya mengalokasikan Rp158.523. Melihat kenyataan ini, dapat ditarik benang merah bahwa komitmen Bengkulu terhadap pelayanan dasar lebih rendah dibanding Jambi. Jika dilihat lebih jauh, komitmen anggaran tersebut adalah wewenang Gubernur dan DPRD, sedangkan birokrasi hanya mesin pelaksana kebijakan yang telah dibuat. Karena itu, besar-kecil anggaran yang dialokasikan oleh Provinsi sangatlah bergantung pada figur seorang Gubernur.
Selain kecenderungan faktor Kepala Daerah, IGI 2012 juga membuktikan bahwa sedikitnya ada tiga faktor yang menghambat pembangunan daerah, di antaranya: pertama,sukses-tidaknya pembangunan daerah sangat dipengaruhi oleh kualitas perencanaan dan penganggaran. Ironisnya, proses yang seharusnya melibatkan publik ini justru belum terbuka sepenuhnya. Partisipasi yang sering digaungkan hanya bersifat formalitas, bukan konsultatif. Hasil uji akses dokumen publik seperti APBD dan LKPJ di 33 provinsi pun sangat sulit sekali didapatkan.
Ketika interaksi antara birokrasi dan masyarakat terkunci, maka mustahil perubahan pelayanan publik dapat terjadi, sebab tidak ada mekanisme untuk mengevaluasi dan saling merespon. Sebagian besar provinsi tidak memiliki unit pengaduan publik guna menampung masukan dan perbaikan layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan dan pengentasan kemiskinan.
Kedua, belum ada sinkronisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan perencanaan tahunan. Dari analisa RPJMD dan LKPJ 33 provinsi di Indonesia, hanya ada dua provinsi yang dapat ditelusuri kesesuaian perencanaan lima tahun dan laporan tahunannya, yakni DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Sebagian besar provinsi tidak memiliki indikator tahunan yang dapat diukur dan transparan agar dapat dimonitor bersama-sama. Idealnya RPJMD dilengkapi dengan target pencapaian yang terukur, misalkan prosentase turunnya tingkat kemiskinan, kecilnya kesenjangan pendapatan, sempitnya kesenjangan sekolah anak laki-laki dan perempuan, naiknya tingkat penyerapan kerja, dan sebagainya.
Ketiga, siklus anggaran yang suka molor, dari 33 daerah hanya satu provinsi yang mengesahkan Perda APBD di bulan Oktober 2010 yaitu Sumatra Utara, sebagian besar di bulan Desember 2010 dan paling lambat adalah bulan April 2011. Dengan kondisi ini, anggaran setahun hanya digunakan dalam waktu 3-4 bulan efektif. Pertanyaannya kemudian, dapatkah pelaksanaan pembangunan dilakukan secara maksimal, dan dana mampu terserap secara optimal?
Diperlukan kelegowoan seorang kepala daerah untuk meneruskan program prioritas kepala daerah sebelumnya dalam menjalankan roda pembangunan. Seperti yang dilakukan oleh Gubernur DKI, program seperti MRT, normalisasi waduk Pluit, monorail adalah program-program yang sejatinya sudah diagendakan oleh Gubernur sebelumnya.
Selain itu, diperlukan tolok ukur yang sama dalam mengukur perkembangan bukan hanya dari sisi pemerintah namun juga dari sisi masyarakat. Sudah waktunya masyarakat memiliki basis data dan penelitian yang bisa menjadi rujukan bagi semua pihak sehingga perbaikan lebih terfokus dan dapat dimonitor. Akhirnya, kuncinya adalah dengan meningkatkan interaksi dan keran partisipasi serta transparansi pembangunan dengan menggunakan rujukan data dan tolok ukur yang sama, niscaya pergantian kepala daerah membawa keberuntungan karena membawa warisan birokrasi pelayanan publik yang responsif bukan menganulir pembangunan sebelumnya. Dengan cara ini, Indonesia seyogianya dapat menikmati buah manis dari proses demokratisasi yang katanya dapat membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

D.   Efektivitas Pengentasan Kemiskinan di Era Otonomi Daerah
Sebelum era Ototnomi Daerah, berbagai upaya pengentasan kemiskinan telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Di antaranya menggulirkan kebijakan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada tahun 1993. Sayangnya, upaya ini menjadi sia-sia setelah negeri ini diterpa krisis moneter pada tahun 1997 yang berlanjut pada krisis ekonomi, sosial dan politik, yang mencapai klimaksnya pada 1998 dengan keruntuhan rezim Orde Baru dan digantikan Orde Reformasi yang pada 2001 mulai mendorong Otonomi Daerah.
Krisis multidimensi seakan tidak akan berakhir. Imbasnya, jumlah warga masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan terus bertambah, banyak balita kekurangan gizi, dan semakin banyak anak usia sekolah yang terpaksa drop out lantaran tak cukup biaya. Berpijak pada kondisi ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berupaya memformulasikan berbagai program kebijakan guna mengerem laju tingkat kemiskinan. Antara lain program PDM-DKE, program kompensasi subsidi BBM, program Kartu Sehat, program Raskin (Beras Miskin), program P2D, dan beberapa program serupa lainnya, yang semua itu merupakan bentuk kepedulian pemerintah pada kaum miskin.
Agar berbagai program penanggulangan kemiskinan tersebut lebih terkoordinasi, lalu Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 2 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK). Fokus dan pendekatan utama yang telah diterapkan dalam rangka menanggulangi kemiskinan adalah: mengurangi beban biaya dan meningkatkan pendapatan penduduk miskin.
Upaya tersebut ditempuh melalui empat langkah kebijakan sebagai berikut:
·         Perluasan kesempatan kerja, pemerintah dan sektor swasta bersama masyarakat menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagi warga masyarakat miskin.
·         Pemberdayaan masyarakat, yakni pemerintah, sektor swasta dan masyarakat memberdayakan masyarakat miskin agar memperoleh kembali hak-hak ekonomi sosial dan politiknya, mengontrol keputusan yang menyangkut kepentingannya, menyalurkan aspirasi, mengidentifikasi masyalah dan kebutuhannya sendiri.
·         Peningkatan kemampuan, yakni pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat miskin agar mampu bekerja dan berusaha secara lebih produktif dan memperjuangkan kepentingannya.
·         Perlindungan sosial, yakni, melalui kebijakan publik, pemerintah mengajak sektor swasta dan masyarakat memberikan perlindungan dan rasa aman bagi warga masyarakat miskin.
Sebagai follow up kebijakan Pemerintah Pusat tersebut, Bupati Padang Pariaman (2000-2005) Muslim Kasim membentuk Komite Penanggulan Kemiskinan (KPK) di wilayahnya dan menuangkannya dalam Keputusan Bupati Padang Pariaman Nomor  85/KEP/BPP/2003 yang kemudian diperbarui dengan Keputusan Bupati Padang Pariaman Nomor 08 KEP/BPP-2004 tanggal 6 April 2004. Pembentukan KPK ini bertujuan untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan atau program penanggulangan kemiskinan oleh dinas atau instansi terkait. Sasarannya adalah terciptanya keterpaduan program dalam rangka mendapatkan hasil yang optimal dan bermanfaat bagi pengentasan kemiskinan di wilayah Kabupaten Padang Pariaman.
Secara umum, Komite Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Padang Pariaman bertugas melakukan sinkorinisasi kebijakan nasional dengan perumusan Program Penanggulangan Kemiskinan Daerah, dalam satu pola atau acuan, dengan menciptakan kebijakan strategi jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Dalam beberapa kali pertemuan dan rapat-rapat Komite Penanggulangan Kemiskinan telah disepakati untuk merumuskan dan menetapkan strategi penanggulangan kemiskinan. Penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan Kabupaten Padang Pariaman mengacu pada strategi penanggulangan kemiskinan nasional, dan mengakomodasi Renstra Pembangunan Kabupaten Padang Pariaman (2005-2010), serta Program Prioritas Pembangunan Kabupaten Padang Pariaman lainnya.
Tujuan dan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Padang Parimanan, secara umum, adalah untuk memberikan arahan dan panduan terhadap program-program strategis dalam konteks penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh masing-masing dinas teknis atau sektor, baik program jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
Sedangkan sasarannya adalah membuat sinkronisasi kebijakan makro strategis (Rencana Strategis Pembangunan Kabupaten Padang Pariaman), kebijakan makro operasional (Program Prioritas Pembangunan Kabupaten Padang Pariaman) dengan mikro operasional (berupa proyek/kegiatan), menetapkan kelompok sasaran (target area) penanggulangan kemiskinan dan sinkronisasi kebijakan dengan anggaran biaya yang diperlukan dan implementasinya dalam APBD Kabupaten Padang Pariaman.
Penyusunan Strategi Pembangunan Kabupaten Padang Pariaman ini melibatkan secara penuh partisipasi seluruh unsur Komite Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Padang Pariaman dan membentuk suatu tim perumus yang beranggota unsur Bappeda; BPM Statistik; BKKBN; Dinas Kesehatan; Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi;  Dinas Peternakan; Dinas Pekerjaan Umum dan Transmigrasi; Dinas Kelautan dan Perikanan; Dinas Pertanian, dan Bagian Hukum.
Di tahun 2004, Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman –untuk pembangunan wilayah pedesaan— langsung mulai menggulirkan program kongkrit pemberdayaan masyarakat sekaligus pengentasan kemiskinan di wilayahnya. Berbagai program yang dilakukan meliputi: program pendampingan masyarakat terpadu; program peningkatan kualitas SDM aparatur pedesaan; dan program pertanian rakyat terpadu. Kemudian ada lagi program pemberdayaan di bidang peternakan; program pemberdayaan di bidang perikanan dan kelautan; program pemberdayaan di bidang pendidikan; dan program pemberdayaan di bidang kesehatan.
Kemudian ada pula revitalisasi program pemberdayaan masyarakat miskin di semua bidang kehidupan. Di antaranya pembebasan SPP mulai dari tingkat SD sampai SMA, pemberian fasilitas kesehatan gratis bagi warga miskin dan tidak mampu. Ditambah lagi program teknologi masuk desa; program sarjana masuk desa; program pemeliharaan prasarana pedesaan; program dakwah pedesaan; dan program pembinaan kelembagaan sosial pedesaan.
Apa yang dilakukan oleh Bupati Muslim Kasih cukup efektif mengurangi angka kemiskinan di Kabupaten Padang Pariaman. Parameternya: pertumbuhan ekonomi Kabupaten Padang Pariaman relatif bagus meski masih di bawah angka provinsi namun masih di atas angka nasional. Begitu pula dalam pengurangan kemiskinan, penurunannya masih di bawah angka provinsi tapi masih sedikit di atas skala nasional.  
Di era Otda, penanggulangan kemiskinan relatif lebih efektif dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Terlebih lagi ada dukungan komitmen internasional (Bank Dunia dan lembaga donor lainnya) melalui pencanangan Millenium Development Goals (MDGs) pada 2003. Sebuah komitmen politik yang harus tercapai dalam rangka perdamaian global. Langkah-langkah dan program-program yang ditempuh oleh Bupati Muslim Kasim dapat dikatakan selaras dengan  beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui program MDGs seperti:
·         Menghapus kemiskinan ekstrim atau kronis.
·         Memberikan pendidikan dasar bagi semua anak.
·         Menjamin hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan.
·         Mengurangi tingkat kematian bayi.
·         Mengurangi tingkat kematian ibu melahirkan.
·         Menghambat penyebaran penyakit menular HIV/Aids.
·         Menjamin pelestarian lingkungan.
·         Membangun kerjasama pembangunan secara global
Lembaga internasional sudah mempunyai komitmen agar program MDGs ini sudah terlihat hasilnya pada tahun 2015. Masalah kemiskinan ekstrim sudah harus berakhir pada tahun 2025. Hal ini berarti sebelum 2025 banyak negara sudah keluar dari jebakan kemiskinan. Dalam rangka keberhasilan program ini perlu ada komitmen keuangan dari negara maju membantu lembaga-lembaga donor internasional (Sachs 2005).
Di negara mana pun upaya menghapus kemiskinan tidak mungkin dilepaskan pada sektor swasta meski tetap merupakan tugas utama pemerintah. Namun pemerintah perlu menyadari bahwa pembangunan ekonomi regional merupakan suatu proses jangka panjang dan bukan untuk jangka pendek (The NGO Committe for Social Development 2003). Sebab itu, ketika pemerintah daerah membuat rencana pembangunan regional, yang perlu diperhatikan adalah dimensi keberlangsungan. Untuk itu pemerintah perlu menyadari beberapa hal berikut:
·         Perlu pemahaman pemerintah bahwa proyek pembangunan selalu untuk jangka panjang;
·         Konsekuensinya perlu ada tanggung jawab jangka panjang untuk manajemen dan pengawasan;
·         Pemerintah harus menyediakan infrastruktur dan teknologi dasar;
·         Menjamin stabilitas sosial dengan menciptakan stabilitas politik sehingga tidak terjadi perang dan konflik sosial. Pengentasan kemiskinan tidak mungkin terjadi di daerah yang tidak aman dan penuh konflik;
·         Mengintegrasi pelayanan sosial dengan struktur ekonomi;
·         Menghapus korupsi; dan
·         Melakukan streamline struktur birokrasi.
Tentu tujuh poin tersebut merupakan syarat penting yang perlu diperhatikan pemerintah daerah dalam menghapus kemiskinan. Salah satu poin penting adalah kestabilan sosial dan politik. Program pengentasan kemiskinan tidak mungkin berjalan di wilayah konflik.
Poin ke 6 sangat krusial untuk seluruh negara berkembang. Korupsi di daerah akan menghambat proses pengentasan kemiskinan. Dalam kasus tertentu penguasa sendiri dapat menjadi penyebab kemiskinan. Penguasa lokal sering mengeksploitir masyarakatnya dalam bentuk korupsi kecil-kecilan. Kaum penguasa daerah seolah-olah merasa mempunyai keistimewaan menerima upeti dari masyarakat. Masyarakat sering diminta uang untuk pelayanan yang seharusnya mereka terima secara cuma-cuma. Bagi kelompok masyarakat kaya membayar pungutan liar mungkin tidak terlalu memberatkan namun tidak demikian bagi masyarakat miskin. Pengeluaran untuk pungli terlalu memberatkan bagi ekonomi rumah tangga (Bhagwandin, 1993).
Selain itu ada faktor lain yang tidak kalah penting, yakni pelibatan masyarakat lokal dan pemberdayaan perempuan. Pelibatan masyarakat lokal dapat dilakukan dalam hal rancangan strategi pengentasan kemiskinan di wilayah bersangkutan. Khusus tentang pemberdayaan perempuan tidak dapat diragukan lagi. Perempuan yang paling banyak bersentuhan dengan kesejahteraan rumah tangga.
Dalam upaya menghapus kemiskinan ada beberapa masalah yang sering dihadapi pemerintah di negara berkembang, yaitu konsep, konten, koordinasi, korupsi, dan kontinyuitas (5K).
·         Masalah konsep. Pemahaman konsep kemiskinan oleh pemerintah daerah turut pula berpengaruh terhadap strategi pengentasan kemiskinan. Sering pemerintah tidak bersungguh-sungguh ingin menghapus kemiskinan tapi dipakai sebagai komoditas politik untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Misalkan dalam hal kelangkaan pupuk, pemerintah membuat kebijakan pengadaan pupuk agar partai yang berkuasa semakin populer dan mendapat suara banyak dalam pemilu.
·         Masalah konten. Kelemahan pengentasan kemiskinan bisa disebabkan oleh konten yang kurang. Contohnya, pengentasan kemiskinan sering bersifat topdown dan kurang melibatkan aspirasi masyarakat bawah. Pemerintah daerah tidak mempunyai pengetahuan tentang kondisi lokal sehingga upaya pengentasan kemiskinan lebih banyak mengandalkan buku-buku teks umum yang tidak bersentuhan dengan realitas kemiskinan masyarakat setempat.
·         Masalah koordinasi. Masalah yang sering muncul di lapangan adalah terlalu banyak lembaga yang terlibat dalam pengentasan kemiskinan. Kerapkali program kerja satu lembaga tumpang tindih dengan lembaga lain atau justru bertentangan. Hal semacam ini terjadi lantaran koordinasi antar-lembaga sangat lemah.
·         Masalah korupsi. Banyak pengalaman menunjukkan program pengentasan kemiskinan tidak berjalan dengan baik karena ada bagian dana yang hilang. Korupsi menyebabkan pemberdayaan masyarakat miskin tidak mencapai tingkat kualitas seperti yang diharapkan. Korupsi tidak selamanya dalam bentuk uang. Bisa terjadi bahwa sasaran pemberdayaan yang seharusnya untuk orang miskin ternyata dinikmati orang kaya di suatu wilayah karena kelompok ini mempunyai pengaruh politik yang lebih kuat. Kita sering mendengar pemberian dana yang seharusnya untuk masyarakat miskin diterima mereka yang mampu. Akibatnya masyarakat miskin tetap bergelut dalam kemiskinan.
·         Masalah kontinyuitas. Dalam hal pengentasan kemiskinan sering terjadi pergantian rezim tidak mendukung kebijakan sebelumnya. Hal ini terjadi karena ada kesombongan kekuasaan seorang kepala daerah tidak ingin hidup dalam bayangan kepala daerah sebelumnya. Dalam kaitan dengan pengentasan kemiskinan setiap program cuma bertahan terbatas pada masa kekuasaan seorang kepala daerah. Kondisi seperti ini tidak menguntungkan masyarakat miskin karena program pemberdayaan bisa berhenti setelah masa kekuasaan seorang pejabat berakhir.
Pada prinsipnya langkah-langkah dan program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Padang Pariaman (mulai dari kepemimpinan Bupati Muslim Kasim sampai penggantinya Bupati Ali Mughni) telah memperhatikan apa yang ingin dicapai MDGs dan persoalan-persoalan 5K. Langkah dan program yang sekarang berlangsung bukanlah sesuatu yang putus dari program yang telah dirintis oleh kepala daerah sebelumnya. (*)

No comments:

Post a Comment