Sunday, August 17, 2014

Lahir dari Keluarga Bersahaja

* SATU


“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’”
(HR Bukhari dan Muslim)

TARAKAN, dalam lintasan waktu. Sekadar kilas sejarah Kota Tarakan. Alkisah, ketenangan masyarakat Tarakan sedikit terganggu ketika pada tahun 1896 Masehi, sebuah perusahaan perminyakan Belanda, BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij), menemukan sumber minyak di pulau ini. Banyak tenaga kerja didatangkan --terutama dari Jawa—seiring dengan meningkatnya kegiatan pengeboran minyak. Mengingat fungsi dan perkembangan wilayah ini, pada tahun 1923 Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu menempatkan seorang Asisten Residen di pulau ini yang membawahi lima wilayah, yakni Tanjung Selor, Tarakan, Malinau, Apau Kayan dan Berau. Pada masa pasca kemerdekaan, Pemerintah RI merasa perlu mengubah status Kawedanan Tarakan menjadi Kecamatan Tarakan sesuai dengan Keppres RI Nomor 22 Tahun 1963.
Memasuki era pendudukan Jepang, Tarakan memiliki arti penting bagi kaum penjajah dari Negeri Matahari Terbit tersebut. Tercatat, bahwa pada saat pendaratan Sekutu, angkatan Jepang di Tarakan berjumlah 2.200 orang yang didatangkan dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Satuan terbesar adalah Batalion Infantri Independen ke-455 yang berkekuatan 740 orang yang dikomandoi oleh Mayor Tadai Tokoi. Sebanyak 150 pasukan pendukung AD juga ada di Tarakan. Sumbangan AL kepada garnisun Tarakan tersusun atas 980 pelaut yang dikomandoi oleh Komandan Kaoru Kaharu. Satuan laut utama adalah Angkatan Garnisun Laut ke-2 yang berkekuatan 600 orang. Satuan laut ini dilatih bertempur sebagai infantri dan mengoperasikan beberapa senapan pertahanan pesisir. Sekitar 350 orang pekerja minyak sipil Jepang juga diharapkan mampu bertempur pada saat serangan Sekutu datang. Angkatan Jepang termasuk sekitar 50 orang Indonesia yang berdinas di satuan pengawal pusat. Mayor Tokoi mengarahkan keseluruhan pertahanan Tarakan, meskipun sedang terjadi hubungan buruk antara AL dan AD.
Angkatan Jepang dipusatkan di sekitar Lingkas, pelabuhan utama Tarakan dan tempat satu-satunya pantai yang cocok untuk pendaratan pasukan. Pembelaan itu telah menghabiskan waktu beberapa bulan sebelum serangan yang menyusun posisi bertahan dan menanam ranjau. Pertahanan yang diatur itu banyak dipakai selama pertempuran, dengan taktik Jepang yang difokuskan pada posisi bertahan pra-persiapan yang kuat. Jepang tak melakukan kontra-serangan besar apapun, dan kebanyakan gerakan menyerang terbatas pada beberapa pihak penyerang yang mencoba menyelusup garis Australia.
Mendapatkan ladang minyak Tarakan adalah satu tujuan awal Jepang selama Perang Pasifik. Jepang menyerang Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942 dan mengalahkan garnisun Belanda yang kecil dalam pertempuran yang berlangsung selama dua hari di mana separuh pasukan Belanda gugur. Saat ladang minyak Tarakan berhasil disabotase oleh Belanda sebelum penyerahannya, Jepang mampu secara cepat memperbaikinya agar bisa menghasilkan lagi dan 350 ribu barel diproduksi tiap bulan dari awal tahun 1944.
Menyusul penyerahan Belanda, sekitar 5.000 penduduk Tarakan amat menderita gara-gara kebijakan pendudukan Jepang. Banyaknya pasukan Jepang yang ditempatkan di pulau ini mengakibatkan penyunatan bahan makanan dan sebagai akibatnya banyak orang Tarakan yang kurang gizi. Selama masa pendudukan itu, Jepang membawa sekitar 600 buruh dari Jawa ke Tarakan. Jepang juga memaksa sekitar 300 wanita Jawa untuk bekerja sebagai jugun ianfu (wanita penghibur) di Tarakan setelah membujuk mereka dengan janji palsu mendapatkan pekerjaan sebagai juru tulis atau membuat pakaian.
Arti penting Tarakan bagi Jepang semakin menguap dengan gerak maju cepat angkatan Sekutu ke daerah itu. Tanker minyak Jepang yang terakhir meninggalkan Tarakan pada bulan Juli 1944, dan serangan udara Sekutu yang hebat pada tahun-tahun itu menghancurkan produksi minyak dan fasilitas penyimpanan di pulau itu. Serangan ini juga membunuh beberapa ratus penduduk sipil Indonesia. Sejalan dengan kepentingannya yang makin terdesak, garnisun Jepang di Tarakan berkurang pada awal 1945 saat salah satu dari dua batalion infantri yang ditempatkan di pulau itu (Batalion Infantri Independen ke-454) ditarik ke Balikpapan. Batalion ini dihancurkan oleh Divisi ke-7 Australia pada bulan Juli selama Pertempuran Balikpapan.
Dalam versi yang lain, pada pertempuran sengit Jepang versus Australia tersebut tercatat 235 tentara Australia tewas. Hal ini dapat dirunut dari masih terdapat banyak tugu peringatan tentara Australia di lokasi yang sekarang menjadi sebuah kompleks militer. Tugu peringatan ini dibangun untuk mengenang tentara Australia yang tewas dalam upaya membebaskan Tarakan dari pendudukan Jepang. Di lokasi lainnya terdapat kuburan tentara Jepang yang berada di bekas bunker Jepang di kawasan perbukitan.
Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Dan, Tarakan yang ketika itu menjadi bagian Kalimantan termasuk ke dalam wilayah Republik Indonesia yang baru saja lahir. Selama sekitar lima tahun pasca proklamasi, perjuangan mempertahankan kemerdekaan terus berlangsung di berbagai kota di Republik. Dan puncak heroik terlihat pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur.
Rakyat Tarakan pun tidak tinggal diam. Memasuki tahun 1952, mereka membangun Tugu Pahlawan di Kota Tarakan. Tugu ini sebagai wujud rasa nasionalisme dan keterkaitan emosional mengukuhkn persatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas Pulau Tarakan. Jelas bahwa dari awal kemerdekaan Tarakan adalah bagian dari Republik Indonesia.

A.   Budiman Arifin Lahir dan Dibesarkan Bagai Anak Pertama
Di tengah suasana heroik dan nasionalisme yang kuat Republik yang belum lama merdeka, tinggallah pasangan suami-isteri Abdussamad dan Hajjah Lana di Kota Tarakan. Selaku kepala rumah tangga yang berkewajiban menafkahi keluarga, Abdussamad yang asli dari Tanah Merah (Tanah Lia, sekarang Kabupaten Tana Tidung) ketika itu mengadu nasib di Kota Tarakan bekerja sebagai guru (pendidik). Sedangkan isterinya cukup menjadi ibu rumah tangga yang fokus mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Memasuki bulan Juni 1952, pasangan Abdussamad dan Lana tengah berbahagia menunggu kelahiran anaknya yang kedua. Sementara anaknya yang pertama Burhanudin Arifin belum beranjak besar, belum terlalu bisa ditinggalkan, masih membutuhkan perhatian yang cukup. Dan tepat tanggal 26 Juni 1952, Lana melahirkan jabang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Budiman Arifin.
Tak seberapa berselang, dari rahim isteri Abdussamad lahir adik-adiknya Budiman Arifin dengan jarak kelahiran yang relatif tidak terlalu lama. Bila dirunut dari anak pertama, sampai lahir 14 jabang bayi namun hanya 10 anak yang hidup sampai dewasa. Tercatat adik-adik Budiman Arifin antara lain Ruslan Arifin (sekarang Kepala Dinas Kominfo Kota Tarakan), Abidinsyah Arifin (kini Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tarakan), Idham Chalid (sekarang pejabat di lingkungan Kantor Catatan Sipil Kota Tarakan), Lis Indriyani (bekerja di Sekretariat Dewan DPRD Kota Tarakan), Achmad Abdul Kadir Safri (guru di SMP di Kota Tarakan), Sri Rahayu (staf kelurahan di wilayah Kota Tarakan), dan Maulidin (staf di Kelurahan Sebengkok, Kota Tarakan).
Lantaran keterbatasan Abdussamad dan isterinya, anak pertamanya Burhanudin Arifin kemudian dititipkan kepada orangtua Abdussamad di lain daerah. Dengan demikian, dalam pengasuhan sehari-hari, Budiman Arifin diperlakukan seperti anak pertama, anak yang diharapkan mampu membimbing dan menjadi panutan adik-adiknya.
“Di masa kecil, kami hidup sederhana. Penghasilan orangtua kami pas-pasan. Dan karena itu, kakak tertua kami ditipkan ke kakek. Jadinya Pak Budiman kami anggap sebagai kakak tertua. Bahkan, orangtua kami pun memperlakukan Pak Budiman selayaknya anak sulung,” tutur Ruslan Arifin saat dijumpai di Kota Tarakan pada suatu kesempatan.
Ya, Budiman Arifin mesti ngemong adik-adiknya. Sehari-hari dia ikhlas membantu ibunya yang terkadang kedodoran menghadapi anak-anaknya yang relatif cukup banyak. Sampai dewasa, bahkan sampai saat menjadi Bupati, dia tetap menjadi panutan dan penengah bilamana keluarganya mengalami persoalan yang pelik.  
Sikap ngemong penuh tanggung jawab Budiman Arifin tersebut terbawa terus sampai dewasa. Bahkan sampai berumah tangga. Chairiah, perempuan yang dinikahi Budiman Arifin tahun 1982, bertutur, “Beliau sangat ngemong dan dewasa dalam membina rumah tangga selama ini. Beliau senantiasa bisa mengerem bilamana kami sampai berbeda pendapat.”
Kendati kadang disibukkan menjaga adik-adiknya, Budiman tidak serta-merta meninggalkan pendidikan formal yang harus dilewatinya. Ayahnya, Abdussamad, sangat disiplin dalam mendorong anak-anaknya untuk bersekolah. Tidak hanya sekolah formal, tapi juga pendidikan non-formal terutama dalam belajar agama.
Memasuki usia enam, tahun 1958, Budiman Arifin mendaftar dan mulai masuk di bangku SD Negeri di Kota Tarakan. Dan, tanpa sampai tinggal kelas, tahun 1964 dia lulus dari bangku sekolah dasar.
Lalu, dia melanjutkan ke bangku sekolah lanjutan pertama. Kali ini dia tetap memilih sekolah negeri, yakni SMP Negeri Tarakan dan lulus serta berhak mengantongi ijazah pada tahun 1967. Tidak terlalu rumit dan sulit dia melewatkan tiga tahun di bangku SMP mengingat prestasi akademiknya lumayan mengkilap.
Tanpa aral lintang, dengan berbekal ijazah SMP, Budiman melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri Tarakan. Tahun 1970, Budiman remaja berhasil menamatkan pendidikannya di SMA Negeri terbaik di Kota Tarakan tersebut. Prestasinya tetap bagus dan sangat layak melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, di awal 1970-an itu, sayangnya Kota Tarakan belum memiliki perguruan tinggi yang representatif. Budiman berpikir bahwa dirinya harus merantau untuk memenuhi gelegak haus ilmu yang ada dalam benaknya. Dia tidak ingin hanya berhenti di bangku SMA. Mesti ada tambahan bekal keilmuan agar mampu tampil menjadi manusia yang lebih berkualitas.  Haruskah mencari ilmu sampai negeri Cina?

B.    Dari Tarakan ke Samarinda
Pilihan terdekat ketika itu adalah Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Di sana ada Universitas Mulawarman, perguruan tinggi kebanggaan masyarakat Kalimantan Timur dan sekitarnya. Tapi, Budiman belum tahu hendak belajar di fakultas apa dalam perjalanan pemburuan ilmu di Universitas Mulawarman. Dia pun mencarai-cari tahu seluk-beluk perjalanan Universitas Mulawarman sampai di awal 1970-an tersebut.
Universitas Mulawarman, yang biasa disingkat Unmul, merupakan perguruan tinggi negeri tertua di kawasan Kalimantan Timur yang berdiri pada tanggal 27 September 1962. Nama Mulawarman diambil dari nama Raja Mulawarman Nala Dewa dari Kerajaan Kutai di abad ke-4 Masehi, kerajaan pertama di Indonesia yang tercatat dalam sejarah, yang berlokasi di Kalimantan Timur. Saat ini jumlah mahasiswanya mencapai sekitar 37.000 orang. Kampus utamanya terletak di kawasan Gunung Kelua, sedangkan kampus lainnya terdapat di Jalan Pahlawan, Jalan Banggeris dan Jalan Flores.
Muasal berdirinya Unmul berangkat dari upaya memenuhi kebutuhan sumber daya manusia (SDM) Kalimantan yang relatif terbatas kala itu. Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 1960-an masih merupakan daerah yang sedikit penduduk dan penyebarannya pun tidak merata, bahkan banyak daerah yang masih terisolir. Dari kota Balikpapan ke kota Samarinda saja harus ditempuh dalam waktu satu hari melalui jalan darat dan sungai. Banyak putra daerah Kalimantan Timur yang melanjutkan pendidikan tinggi harus menuju Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Makassar (Sulawesi Selatan) atau kota-kota di pulau Jawa.
Karena itulah, atas keinginan dan aspirasi masyarakat Kalimantan Timur, direncanakanlah pendirian perguruan tinggi di Samarinda. Gubernur (waktu itu) Abdoel Moeis Hasan kemudian meminta Bupati Soebrata Yoeda mengadakan pertemuan dengan pemuka masyarakat di Samarinda. Lalu berdasarkan keputusan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur pada tanggal 7 Juni 1962 dibentuklah Perguruan Tinggi Mulawarman di Samarinda.
Demi menopang kebutuhan dana, fasilitas, dan peralatan Perguruan Tinggi Mulawarman, ditetapkan pula Yayasan Perguruan Tinggi Mulawarman yang dipimpin oleh Abdul Aziz Samad, didampingi Sekretaris E. Abdul Samad dan Bendahara Dorinawati Samalo (Ny. Lo Beng Long). Selanjutnya pada tanggal 28 Juni 1962 ditetapkan pula Presidium untuk menyelenggarakan Perguruan Tinggi Mulawarman dengan Sekretaris Drs. Achmad Dahlan yang dibantu Husein Achutanair dan Syahidin, BA sebagai penyelenggara administrasi yang berkoordinasi dengan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (MPTIP) di Jakarta.
Sedikit perubahan, Perguruan Tinggi Mulawarman kemudian ditetapkan sebagai Universitas Kalimantan Timur berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (saat itu) Thoyib Hadiwidjaja pada tanggal 28 September 1962. Namun nama ini dikembalikan menjadi Universitas Mulawarman dan dikukuhkan secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia (kala itu) Soekarno pada tanggal 23 April 1963. Dan tanggal 27 September 1962 kemudian ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Universitas Mulawarman.
Dimulai pada tanggal 7 Juni 1962, berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor: 15/PPK/KDH/1962 didirikanlah sebuah perguruan tinggi yang berkedudukan di Samarinda dengan nama Perguruan Tinggi Mulawarman, namun nama perguruan tinggi Mulawarman tidak lama dipakai. Pada saat permintaan pengesahan ke Menteri PTIP nama itu berubah menjadi Universitas Kalimantan Timur (Unikat). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Nomor: 130 tahun 1962 tertanggal 28 September, ditetapkan tanggal 27 September 1962 sebagai tanggal berdirinya Universitas Mulawarman. Setahun berselang, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 65 tanggal 23 April 1963, berubah nama menjadi Universitas Mulawarman (Unmul) sampai sekarang.
Pada awal berdiri, Universitas Mulawarman hanya memiliki empat fakultas, masing-masing Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan, Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan dan Fakultas Pertambangan. Dalam proses penyelenggaraan keempat fakultas tersebut masih dijumpai berbagai hambatan, sehingga pada saat itu hanya pendidikan di Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan yang dapat diselenggarakan di kampus Jalan Barito dan kampus Jalan Flores, dan baru pada tahun 1964 disusul penyelenggaraan proses belajar-mengajar di Fakultas Pertanian dan Fakultas Kehutanan di kampus Sidomulyo (Jalan Biawan).
Dalam perkembangannya, pada tahun 1966 Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan dipecah menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Fakultas Ekonomi.
Tepatnya tanggal 14 Mei 1966, Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 12 Tahun 1966. Dalam perjalanannya Fakultas Ekonomi Unmul membuka beberapa program. Tahun 1974 dibuka Fakultas Ekonomi kelas Balikpapan dan Kelas Ekstensi yang kemudian ditutup bersama-sama pada tahun 1982. Tahun 1982 dibuka program Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan (PAAP) yang diganti namanya menjadi program Diploma III Akuntansi pada tahun 1985.
Pada tahun 1977 dibuka Jurusan Akuntansi diikuti dengan pembukaan program Alih Jenjang Akuntansi yang menampung lulusan Diploma III Akuntansi untuk menuju ke jenjang sarjana.
Lalu pada tahun 1988 pembukaan kembali kelas ekstensi yang mengelola program studi S1 Manajemen dan S1 Ekonomi Pembangunan serta program penyelesaian sarjana bagi sarjana muda dan diploma III.
Untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang lebih mumpuni di bidang ekonomi, dibuka pula program Magister Manajemen melalui pembinaan dan kerjasama dengan Universitas Airlangga. Dan membuka program Magister Sains Ilmu Ekonomi melalui kerjasama dengan program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin pada bulan Maret 2000.
Kini Fakultas Ekonomi Unmul memiliki program-program: S1 dan D3 Akuntansi; S1 Ekonomi Pembangunan; S1 Manajemen; S1 Manajemen Keuangan dan Pemasaran; S1 Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah; dan Pendidikan Profesi Akuntansi
Sedikit kilas ke perjalanan Unmul, atas keinginan pejabat dan pemuka masyarakat yang tinggal di Balikpapan, kemudian didirikan Fakultas Teknik dan Jurusan Sosiatri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada tanggal 10 Nopember 1967 di Balikpapan. Namun setelah berjalan dua tahun Fakultas Teknik yang sempat dibina Institut Teknologi Sepuluh Nopember ditutup karena kesulitan dana dan tenaga.
Kembali pada perjalanan kehidupan seorang Budiman Arifin. Tamat dari SMA di Kota Tarakan, dia langsung berangkat ke Kota Samarinda dengan tujuan mendaftarkan diri ke Universitas Mulawarman. Berangkat dari tekad memberikan kontribusi terbaik demi kemajuan kampung halamannya, dia memilih mendaftarkan diri ke Fakultas Ekonomi. Dia ingin mendalami ilmu atau studi pembangunan.
Tanpa banyak mengalami hambatan, Budiman Arifin diterima sebagai mahasiswa baru Fakultas Ekonomi Unmul pada tahun 1970. Dalam balutan kehidupan yang amat sederhana, dia menjalani kuliah di Kota Samarinda. Bahkan, dia sampai bergantian sepatu dengan kakaknya yang sudah lebih dulu kuliah di Universitas Mulawarman.
Mengingat keterbatasan biaya dari orang tua, tahun 1974 Budiman memilih berhenti sejenak dari perkuliahan setelah mengantongi ijazah sarjana muda. Dengan bekal tersebut, dia mencoba mengadu nasib di Kabupaten Bulungan yang ketika itu sedang membutuhkan sumber daya manusia berkualitas. Mulai tahun itu dia langsung magang di Kantor Pemerintah Kabupaten Bulungan yang berada di Tanjung Selor. Tiga tahun berselang, dia menggapai status Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Di sela-sela membangun karir di titian PNS, tahun 1980 Budiman Arifin berniat menuntaskan pendidikannya sampai jenjang sarjana. Dan, berkat izin dari atasannya dan bunda tercinta Hajjah Lana, tahun 1980, dia mendapat tugas belajar pada jurusan Studi Pembangunan Ekonomi (S1) di Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Mulawarman.  Tahun 1982, dia berhasil menamatkan studinya dan berhak menyandang gelar Doktorandus (Drs).

C.   Kasih Ibu Sepanjang Karir
Satu hal yang tidak pernah bisa lepas dari perjalanan kehidupan seorang Budiman Arifin adalah kebiasaannya meminta izin dan nasihat setiap kali hendak mendaki pada jalan hidup yang “menanjak”. Dia selalu datang ke bunda tercinta di Kota Tarakan setiap kali ada perintah penting dari atasannya.
Sekadar contoh ketika dia mendapat tugas belajar ke Universitas Mulawarman pada tahun 1980 untuk menuntaskan jenjang sarjana di Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi. Dia langsung bersimpuh di lutut ibunda tercinta meminta nasihat dan izin hendak berangkat tugas belajar. “Kakak saya Budiman Arifin selalu minta izin ibu di Tarakan setiap kali ada perkembangan penting dalam perjalanan hidupnya. Termasuk saat mendapat tugas belajar tahun 1980. Sampai-sampai atasannya baru memberikan izin bilamana sudah ada restu dari ibu. Waktu itu dia langsung pulang ke Tarakan bersimpuh pada ibu. Dan setelah memperoleh restu, dia kembali ke atasannya. Barulah dia berangkat tugas belajar,” tutur Ruslan Arifin, adik kandung Budiman Arifin, yang kini menjadi Kepala Dinas Kominfo Pemerintah Kota Tarakan.
Pada kesempatan perbincangan, Budiman memang kerap menuturkan betapa dirinya amat dekat dengan ibunda yang di mata orang awam hanya ibu rumah. Justru lantaran posisi ibu rumah semata itulah yang membuat sang ibu demikian fokus membesarkan dan mendidik anak-anaknya, termasuk seorang Budiman Arifin.
Budiman sangat memahami benar hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bahwa “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’”
Ibunda tercinta menjadi suluh yang tak pernah padam bagi ruang batin seorang Budiman Arifin. Ikatan batin yang ada di antara Budiman dan Ibunda tercinta begitu indah terjalin dan menjadi sumber kebaikan yang tak akan habis bagi keduanya. Selain itu, Sang Ibunda telah mengajarkan sebuah filosofi hidup yang tak akan pernah dia lupakan. Sang Ibu mengajarkan kepadanya, “Ingatlah bahwa kita selalu hidup di antara dua waktu shalat. Allah memberi keleluasaan kepada kita untuk melakukan segala aktivitas: kita bekerja, berusaha, menuntut ilmu, beristirahat dan segala hal yang dapat kita lakukan, tapi ketika waktu shalat telah tiba, tinggalkan semua itu untuk menghadap kepada-Nya dengan tulus dan ikhlas.”
Di mata Budiman Arifin, ibu adalah seorang wanita yang sangat luar biasa. Ibu adalah wanita yang lebih dari apapun, seorang wanita yang diciptakan oleh Allah SWT yang sangat sempurna. Keikhlasannya diciptakan sebagai wanita seutuhnya untuk mampu mengandung anaknya selama sembilan bulan sepuluh hari dengan tidak merasa sedih, takut atau apapun itu. Justru hal itu membuatnya menjadi seorang wanita seutuhnya.
Cinta ibunda kepada Budiman tidak ada kurang apapun, karena seorang ibu selalu menjaga anaknya baik itu dalam kondisi baik ataupun buruk. Seorang ibu selalu menjaga anaknya sejak seorang ibu dinyatakan memiliki sebuah nyawa di dalam rahimnya. Sejak saat itu pula seorang ibu senantiasa menjaga baik-baik anak yang berada dalam kandungannya tersebut.
Kasih sayang seorang ibu tidak sebatas hanya selama ia menjaga, melindungi, memelihara dan mengandung anaknya dalam waktu sembilan bulan sepuluh hari. Ibunda pun harus mempertaruhkan nyawanya hanya untuk anak yang belum tentu dia bisa mengerti seperti apa anaknya kelak, tapi ibu selalu berpikir positif. Setelah anak dalam kandungan tersebut dilahirkan bukan hanya ibu yang senang bahwa ada nyawa yang dilahirkan tapi juga orang-orang terdekat dari sang ibu tersebut.
Ibunda akan senantiasa menjaga baik-baik anaknya dalam kondisi dia terpuruk atau apapun keadaannya itu. Ibu merupakan manusia yang sangat sempurna dicipakan oleh Allah SWT. Dia diperintahkan oleh Sang Maha Kuasa untuk melahirkan, melindungi, dan menjaga anak yang dititipkan oleh sang maha kuasa tersebut. Tidak ada seorang ibu pun yang menginginkan anaknya terpuruk dalam satu kehidupan. Ibu adalah orang yang sangat dekat anaknya, dalam keadaan buruk, feeling seorang ibu akan berjalan, dia pun akan merasa tidak nyaman apabila anaknya dalam keadaan buruk.
Seburuk apapun seorang anak, ibu akan selalu menganggap, “Dia adalah anak saya.“ Kata itu pasti akan keluar dari mulut seorang ibu yang akan selalu menyayangi anaknya. Ibu merupakan orang yang paling dibutuhkan pada saat seorang anak merasa sendiri, ibu lah yang akan senantiasa menemani kesendirian tersebut.

Kata pepatah, kasih ibu sepanjang masa. Bahkan, di mata Budiman Arifin, kasih ibu itu sepanjang karir dan perjalanan hidupnya. Kata-kata itu memang tidak salah dilayangkan kepada Ibunda tercinta Hajjah Lana. Karena terbukti sudah, kasih ibunda sungguh tidak bisa dibandingkan dengan berapa tahun bumi ini sudah dipijak oleh anak manusia, dan tidak bisa dibandingkan berapa tahun Indonesia dijajah oleh para penjajah. Cinta seorang ibu kepada anaknya akan selalu ada dalam hatinya baik mulai dari hidup sesampainya kelak ibu kita tiada. (*)

No comments:

Post a Comment